DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Kesalahan Nalar dalam Karangan Ilmiah Mahasiswa

Pernah dimuat di Jurnal Magister Scientiae (2002), Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya


D. Jupriono

Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kesalahan penalaran yang terjadi dalam karangan ilmiah mahasiswa dapat dikelompokkan ke dalam delapan jenis. Kedelapan salah nalar tersebut adalah  fallacy of dramatic instance atau overgeneralisasi, fallacy of retrospective determinism, yang mentakdirkan segala masalah, post hoc ergo propter hoc, yakni memvonis kejadian sebelumnya sebagai penyebab sesudahnya, fallacy of misplaced concretness, yakni mengkonkretkan yang abstrak,  argumentum ad verecundian, yakni menyandarkan pendapat pribadi pada otoritas tertentu,  fallacy of composition, yang menganggap kecocokan yang satu untuk semua hal, circular reasoning, yang menggunakan kesimpulan untuk mendukung pendapat yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan itu, dan gobbledygook, yakni bertumpangtindihnya berbagai ide, berbelit-belitnya pengungkapan.


Kata kunci: kesalahan nalar, karangan ilmiah, kemampuan menulis, paragraf


Pendahuluan

Menulis karya ilmiah bagi mahasiswa merupakan momok. Hal ini tampak dari karya tulis mereka, baik laporan kegiatan, makalah, apalagi skripsi. Karya tulis tersebut umumnya mengandung berbagai kelemahan dalam hal penentuan fokus kajian, pengembangan dan pengorganisasian gagasan, pemakaian kata, komunikativitas, dan penerapan  tata ejaan. Dalam pengembangan, pengorganisasian ide, dan komunikativitas tersebut tersirat bagaimana proses  penalaran mahasiswa. Corbert & Burke (1991) memformulasikan sejumlah aktivitas menulis, yakni pengolahan gagasan, penataan kalimat, pengembangan paragraph, dan pengembangan karangan dalam jenis wacana tertentu. Begitulah, dibandingkan dengan  kemampuan berbahasa menyimak, berbicara, dan membaca, menulis merupakan   kemampuan berbahasa tertinggi dan tersulit dikuasai.

Fokus kajian tulisan ini adalah kesalahan nalar dalam karangan ilmiah. Tujuannya adalah mendeskripsikan berbagai kesalahan penalaran yang terdapat dalam makalah mahasiswa. Analisis dilakukan pada unit paragraf sebagai objek kajian kesalahan penalaran penulisnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini tidak menggambarkan realitas apa adanya data, tetapi membuat penilaian salah-benar berdasarkan kriteria kelogisan terhadap paragraf argumentasi dalam karangan ilmiah mahasiswa. Maka, yang dipakai adalah metode preskriptif (Sudaryanto, 1999) dan bukan deskriptif. Data penelitian berupa paragraf-paragraf argumentasi yang dijaring dengan seleksi purposif atas makalah-makalah mahasiswa (46 makalah dari Fakultas Sastra, 60 FISIP, 71 Fakultas Psikologi). Penjaringan data dihentikan ketika tidak lagi ditemukan jenis kesalahan penalaran yang baru dalam paragraf-paragraf mahasiswa; dengan demikian, pengumpulan data mengikuti prinsip kejenuhan informasi (Muhadjir, 2000). Semua makalah merupakan tugas akhir semester (UAS) mata kuliah Bahasa Indonesia Karya Ilmiah. Karena sumber datanya tertulis, teknik pengumpulan datanya tergolong teknik dokumentasi (Silverman, 1993).

Analisis dilakukan dengan teknik analisis domain dengan bersandar pada kejelicermatan peneliti sebagai human instrument (cf. Silverman, 1993) dalam mengaplikasikan jenis-jenis kesalahan penalaran.  Data dianalisis dengan melalui langkah: (1) mengklasifikasikan setiap paragraf argumentasi yang telah terseleksi ke dalam jenis kesalahan nalar tertentu; (2) menentukan bagian paragraf (kalimat) penyebab kesalahan penalaran; (3) menjelaskan hubungan antarkalimat penyebab kesalahan  berdasarkan rambu-rambu teoretis kesalahan penalaran.

Aneka Salah Nalar dalam Paragraf Argumentasi Mahasiswa

Terdapat delapan jenis salah nalar dalam paragraf-paragraf argumentasi pada makalah karya tulis mahasiswa. Kedelapan salah nalar tersebut meliputi (1) fallacy of dramatic instance, (2) fallacy of retrospective determinism, (3)  post hoc ergo propter hoc, (4) fallacy of misplaced concretness, (5) argumentum ad verecundian, (6) fallacy of composition, (7) circular reasoning, dan (8) gobbledygook. Konsep dasar, contoh, dan penjelasannya dibentangkan pada bagian-bagian berikut.
Fallacy of Dramatic Instance 
Salah nalar yang tergolong fallacy of dramatic instance dalam ungkapan sehari-hari sering disebut sebagai perampatan berlebihan, perampatan yang terlampau cepat,  atau overgeneralisasi (over-generalisation) (Poespoprodjo & Gilarso, 2000; Burnie, 2003). Dalam karya ilmiah salah nalar ini sering muncul juga. Sebagai penulis karangan, mahasiswa menggunakan satu dua kasus khusus untuk mendukung argumen generik, umum (general). Satu dua kasus tersebut lazimnya diangkat mahasiswa dari pengalaman pribadinya atau pandangan subjektifnya sebagai individu (Rakhmat, 2000). Seorang mahasiswa semester III, misalnya, menuturkan pengalamannya dengan cara merampatkan secara berlebihan (overgeneralisasi) dalam paragraf argumentasi  pada karangan ilmiahnya berikut.

Salah besar kalau kita percaya bahwa tayangan iklan perawatan tubuh di televisi  sangat mempengaruhi perilaku cewek-cewek dari ABG sampai ibu-ibu. Untuk memantapkan pendapatnya, beberapa penulis yang meyakini pendapat ini bahkan mengutip temuan-temuan riset asing mengenai dampak tayangan iklan terhadap perilaku pemirsa (konsumen). Akan tetapi, sebenarnya pendapat ini tidak layak dipercaya. Tidak sulit membuktikan kesalahannya. Penulis sendiri adalah seorang mahasiswi yang juga pemirsa aktif tayangan sinetron. Karena  setiap tayangan selalu diselingi iklan, maka otomatis penulis juga menyaksikan iklan itu. Akan tetapi dalam hal perawatan tubuh, penulis tidak dipengaruhi oleh tawaran dan rayuan persuasif iklan-iklan itu.

Tidak sulit meyakini bahwa mahasiswai ini jujur. Ia betul-betul pemirsa aktif tayangan sinetron dan iklan. Ia juga benar-benar berpendirian kuat, tidak mudah berubah berganti merek produk samphoo atau pemutih kulit, misalnya, hanya gara-gara tayangan iklan di TV. Meskipun demikian, ia telah melakukan kesalahan penalaran, sadar atau tidak. Kesalahan ini terjadi karena ia mengira bahwa  cewek atau ibu-ibu pemirsa TV yang lain pun mempunyai pengalaman yang sama dengan dirinya. Secara sendirian, ia  mengangkat pengalaman pribadinya (khusus, individual’s personal experience) sebagai dasar untuk menarik suatu simpulan (umum) (Burnie, 2003) berupa sanggahan terhadap pendapat lain.

Menurut pakar psikolinguistik dan semantik general Alfred Korzybski (2003), perampatan berlebihan terjadi karena umumnya individu tidak mampu menangkap perbedaan, perubahan, dan pergeseran fakta-fakta yang diamati. Umumnya, orang berpikir mapan, menikmati status quo (Lewis, 2002), sehingga tidak merasakan bahwa orang-orang lain berbeda dari dirinya, bahwa tahun ini bukan tahun kemarin, apalagi dua puluh tahun silam.

Fallacy of Retrospective Determinism

Salah nalar yang tergolong fallacy of retrospective determinism muncul karena penulis menganggap bahwa sesuatu yang sekarang terjadi (ada) sebagai sesuatu yang bukan masalah baru, sudah lama ada, selalu muncul sepanjang zaman, seakan-akan sama tuanya dengan usia dunia (Burnie, 2003). Masalah ini dianggap sudah ditentukan (determined) di dalam rentang waktu yang menyejarah sejak masa silam.Oleh karena seakan-akan  masalah tersebut sudah menjadi warisan sejarah sebagai hukum alam, penulis berpendapat bahwa tidak ada gunanya upaya apa pun yang bertujuan mengubahnya; program sehebat apa pun pada akhirnya hanyalah akan membentur pada kesia-siaan belaka.

Kemiskinan, perbedaan kelas sosial, keterbelakangan, dan berbagai bentuk patologi sosial (kejahatan, pelacuran, perjudian) lazim  dipersepsi masyarakat sebagai masalah klasik, “lagu lama”, yang mustahil dapat diatasi. Masalah-masalah ini sudah ada sejak masyarakat ada. Sebuah paragraf  pada karya ilmiah mahasiswa dapat dicontohkan berikut.

Sejak awal zaman kemerdekaan korupsi sudah ada di Republik Indonesia. Dalam hal ini, Bung Hatta, sang moralis yang rendah hati itu, menyebutkan bahwa korupsi itu budaya bangsa Indonesia. Karena itulah, maka muncul istilah “budaya korupsi”. P terus berusaha memberantasnya. Tetapi hasilnya selalu gagal. Pada tahun 1973 Arief Budiman, Sjahrir,  dan kawan-kawan pernah membentuk Komite Anti Korupsi, atas izin Soeharto. Hasilnya: korupsi tetap merajalela sepanjang Orde Baru dan sesudahnya, meskipun undang-undang yang dapat menjerat korupsi sudah ada. Toh tidak berjalan.. Bahwa korupsi itu menyebabkan penderitaan masyarakat, itu jelas. Akan tetapi jangan psimis, di mana pun kapan pun korupsi selalu ada. Karena itu daripada repot-repot membentuk komisi anti korupsi atau bikin undang-undang baru, lebih baik pemerintah mengganti orang-orang yang ketahuan korupsi.

Paragraf ini realistis dan masuk akal, kelihatannya. Akan tetapi, jika dicermati, dapat ditangkap kesan kuat penulisnya bahwa korupsi itu bukan masalah besar, harus dimaklumi, karena dari dulu sudah ada. Bacalah pada deret kalimat Bahwa korupsi itu menyebabkan penderitaan masyarakat, itu jelas. Akan tetapi, jangan psimis, di mana pun  kapan pun korupsi selalu ada. Bagi penulis (mahasiswa) yang berpola penalaran seperti ini, pemberantasan korupsi adalah tindakan sia-sia, bahkan mungkin juga melawan kodrat dunia. Pemakaian konjungsi akan tetapi, dalam deret kalimat tersebut menunjukkan bahwa kalimat sesudah akan tetapi lebih penting (dan lebih benar) ketimbang kalimat sebelum konjungsi itu. Pada titik inilah mahasiswa terperangkap pada kesalahan penalaran determinisme retrospektif. Menurut Wiliams et al. (2003), salah nalar semacam ini merefleksikan psimisme dan kebuntuan jalan pikiran  intelektual. Mahasiswa dalam hal ini terjebak ke dalam suasana berpikir yang tidak menemukan jalan keluar atau  kuldesak (cul-de-sac) (Rakhmat, 2000).

Kesalahan determinisme retrospektif juga terjadi karena penulis berpikir bahwa apa yang sudah berabad-abad diyakini orang pastilah tidak perlu dipersoalkan, sudah benar, sudah takdir! Ketimpangan gender, misalnya, sesungguhnya merupakan masalah ketidakadilan sosial. Karena masalah tersebut berlangsung berabad-abad, bukan saja lelaki yang menganggap tidak ada persoalan, melainkan perempuan pun, yang sesungguhnya diposisikan sebagai korban, mempersepsinya sebagai sesuatu yang alamiah, natural, dan harus diterima begitu saja (Ardener, 1995). Perhatikan paragraf berikut!

Kalau kaum wanita hendak menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan kaum pria,  maka ada persoalan yang perlu diperhatikan. Pertama, wanita itu memang berbeda dengan pria sejak awal penciptaan. Kekuatan fisik, kecepatan berpikir, rasionalitas keputusan, objektivitas pendapatnya. Maka, tidak dapat disanggah  kebenaran keyakinan klasik bahwa “wanita itu makhluk berperasaan halus”. Di sini tersirat bahwa wanita kurang kuat otaknya, lebih dominan perasaannya. Yang kedua, kalau wanita juga meminta sejajar dengan pria di bidang kemasyarakatan, lalu siapa yang merawat dan mendidik anak-anak, siapa yang menjaga rumah, siapa yang masak? Dapat dibayangkan betapa kacaunya seandainya pikiran ini dipraktekkan oleh semua istri.

Jalan berpikir penulis paragraf ini juga kelihatan amat logis dan runtut. Pembaca merasakannya begitu karena di dalam otaknya sudah ada kategorisasi pengetahuan yang a priori bahwa wanita itu memang ditakdirkan lebih lemah  sebagai warga kelas dua. Maka, langsung saja pembaca tidak mempermasalahkan kalimat wanita itu memang berbeda dengan pria sejak awal penciptaan. Lagi-lagi di sini dominasi pria dikokohkan dengan alasan takdir—sesuatu yang sudah menjadi kehendak Tuhan, maka jangan coba diubah!

Kalimat berikutnya bahwa kalau wanita juga meminta sejajar dengan pria di bidang kemasyarakatan, lalu siapa yang merawat dan mendidik anak-anak, siapa yang menjaga rumah, siapa yang masak? juga menyimpan persoalan kritis. Mengapa yang merawat anak, menjaga rumah, dan memasak harus wanita (istri)? Apa alasannya? Mengapa bukan sebaliknya? Mahasiswa penulis paragraf dalam hal ini tidak sadar telah terjebak ke dalam arus utama persepsi sosial bahwa tugas pria dan wanita memang beda; wanita di sektor domestik (rumah tangga), pria di sektor publik (di luar rumah). Ia tidak menyadari bahwa perbedaan peran yang “enak di pria, susah di wanita”, yang beraroma strukturalisme-fungsional, itu adalah diciptakan masyarakat. Jadi, anggapan itu tidak lebih dari konstruksi sosial (Bungin, 2001), dan bukan kodrat alam, apalagi takdir.

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Poespoprodjo & Gilarso (2000) menerjemahkan kesalahan nalar post hoc ergo propter hoc sebagai “sesudahnya—maka--karenanya” atau, menurut Rakhmat (2000),  “sesudah itu—karena itu—oleh sebab itu”. Kesalahan ini terjadi karena persepsi penulis tentang hukum kausalitas terbelit oleh logika  sekuensi kronologis: bahwa kejadian (fakta) pertama adalah sebab dan kejadian (fakta) kedua adalah akibat (Burnie, 2003). Contoh ekstremnya, seseorang yang berpenalaran seperti ini, ketika menderita mencret-mencret setelah  menonton “Goyang Inul” di TV, akan menarik sebuah konklusi bahwa menonton “Goyang Inul” mengakibatkan sakit mencret-mencret.

Contoh yang (dibuat) ekstrem semacam ini cepat dirasakan salah nalarnya. Tetapi, dalam makalah mahasiswa, misalnya, salah nalar ini cukup lembut mewarnai keseluruhan paragraf, sehingga tidak gampang menangkap salah nalarnya.  Perhatikan contoh berikut.

Dalam hal dinamika spriritualitas agama, pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto lebih berhasil dibandingkan dengan Orde Lama di bawah Bung Karno. Pada zaman Pak Harto, jumlah masjid, mushala, gereja, pura, tempat ibadah lain jauh lebih banyak. Juga, sekolah Minggu, penginjil, penceramah agama, madrasah, kelompok pengajian dan tahlil, dan jumlah jamaah haji, jelas lebih gampang ditemui ketimbang di masa Orde Lama.  Tayangan siraman rohani setiap agama juga berfrekuensi lebih tinggi ketimbang dulu.

Berbagai kritik layak didesakkan untuk mengkoreksi isi paragraf ini. Apa dasar pembenarnya bahwa kemajuan spiritualitas rakyat akibat diperintah Orde Baru? Bagaimana kelogisan hubungan ini dapat dijelaskan?

Di sini orang akan merasakan betapa mahasiswa penulis paragraf ini telah melakukan simplifikasi (penyederhanaan persoalan) secara berlebihan. Pertama, memang benar bahwa jumlah tempat ibadah, dinamika aktivitas agama, dan tayangan siraman rohani di TV dahulu jauh lebih sedikit, tetapi dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk, akan ditemukan persentase yang hampir sama dengan persentase rasio sekarang. Maka, meskipun sekarang jumlah semua itu lebih tinggi, jumlah penduduk juga berlipat-lipat, sehingga bia dihitung rasio perbandingan antara jumlah tempat ibadah dan jumlah penduduk, misalnya, akan ditemukan persentase yang hampir sama, atau dapat saja lebih rendah dari keadaan dulu. Kedua, bagaikan malapetaka bumerang, dapat juga dituduhkan bahwa kalau kemajuan kehidupan agama karena Orde Baru, maka segala korupsi, kolusi, nepotisme, suap-menyuap, pembunuhan, penculikan aktivis—yang jelas-jelas antitesis dari spiritualitas—harus juga dikatakan akibat Orde Baru. Mengapa? Karena, segala penyakit kekuasaan itu terjadi setelah Orde baru berkuasa.   Dalam kerangka keadilan, keduanya harus dilihat dari kaca mata post hoc ergo propter hoc. Ketiga, apakah tepat menjadikan jumlah tempat beribadah (fisik, kuantitatif) sebagai indikator spiritualitas keberagamaan (psikis, kualitatif)? Hal ini sama juga dengan persepsi yang hendak dikonstruksi-sosialkan penguasa Orde Baru kepada rakyatnya bahwa warga yang telah memegang sertifikat P4 (karena telah ikut penataran) akan mengamalkan Pancasila dengan lebih baik. Benarkah?

Fallacy of Misplaced Concretness

Kesalahnalaran jenis fallacy of misplaced concretness terjadi karena penulis menganggap konkret sesuatu yang sesungguhnya niskala (abstrak) (Burnie, 2003). Apa yang sering disebut orang sebagai reifikasi (pemberhalaan(?), reification) pada dasarnya juga me-real-kan yang abstrak (Rakhmat, 2000). Perhatikan contoh berikut!

Saat ini banyak ABG terlibat dalam berbagai kasus kenakalan remaja. Hampir tiap hari di media massa dapat dibaca dan disaksikan berita pemerkosaan, keluyuran, mabuk-mabukan, tawuran massal, konsumsi dan pengedaran narkoba, hubungan seksual pranikah yang pelakunya adalah remaja. Semua ini terjadei karena para remaja ABG di Indonesia meninggalkan nilai-nilai budaya ketimuran dan mempraktikkan budaya Barat.

Penulis paragraf ini tertelikung oleh pikiran reifikatif. Problem sosial yang jelas-jelas konkret di depan mata (pemerkosaan, keluyuran, mabuk-mabukan, tawuran, narkoba, seks bebas) diyakini dapat diselesaikan hanya dengan nilai budaya Timur—sesuatu yang jelas-jelas abstrak: tidak bernilai aplikatif! Pikiran konkret akan menjawab pemerkosaan, misalnya, dengan cara yang konkret pula, contohnya memecat hakim yang menerima suap, meningkatkan razia narkoba di sekolah-sekolah, menghukum seberat-beratnya  pengedar, kerja sama informasi dan kontrol dari aparat, guru, dan orang tua siswa. 

Apakah budaya Barat juga abstrak? Tentu saja, ya. Untuk ini ada dua catatan. Pertama, apa yang disebut budaya Barat (seperti juga budaya Timur) sesungguhnya tidak lebih dari konstruksi sosial atas realitas yang diinginkan dan dilakukan oleh kolonialis demi kepntingan kolonialismenya. Kedua, tidak setiap yang disebut Barat an sich—taruhlah budaya Barat itu memang ada—itu negatif; egalitarianisme, HAM, riset, misalnya, adalah dari Barat.

Masyarakat Indonesia puluhan tahun pernah dikonstruksi untuk hal-hal yang sesungguhnya abstrak. Tampaknya kebiasaan ini juga berdampak pada pola piker mahasiswa. Misalnya “stabilitas nasional”, “ketahanan nasional”, “sistem perburuhan Pancasila”,  “pembangunan manusia seutuhnya”, “keadilan dan kemakmuran berdasarkan Pancasila”, “organisasi tanpa bentuk (OTB)”. Semua ini sesungguhnya abstrak, tidak mempunyai titik sentuhnya di bumi masyarakat Indonesia, tetapi lalu diideologiskan, sehingga seakan-akan konkret. Memang, pengkonkretan sesuatu yang abstrak yang paling mudah adalah dengan mengucapkannya (Barnes, 1996). Maka, selama ini penguasa kelewat sering mengucapkan frase “pembangunan manusia seutuhnya”, misalnya. Akan tetapi, sudahkah para penguasa tersebut melaksanakan pembangunan itu secara konkret—ini soal lain.

Argumentum ad Verecundian

Nasihat klasik bahwa “jangan pandang siapa orangnya, tetapi perhatikan apa yang dikatakan” sungguh tepat dihadirkan untuk membekali siapa pun agar tidak terlena dalam salah nalar argumentum ad verecundian. Untuk memperkuat alasannya, membenarkan pendapatnya, agar diterima pembaca, sering kali penulis manfaatkan sesuatu yang  mempunyai otoritas atau yang berpotensi diotoritaskan orang (Tuhan, Nabi, dasar negara, UU, tokoh terkenal, pemimpin, pakar) (Burnie, 2003). “Jangan membantah suami, ini perintah kitab suci!”, misalnya, adalah contoh mempengaruhi (dan menakut-nakuti) orang lain dengan memperalat firman Tuhan atau sabda Nabi. Logikanya, kalau ini perintah kitab suci, yang menentang langsung berdosa. Penulis dan sebagian pembaca lupa mempersoalkan sudah relevankah antara pernyataan dari ayat suci dan pendapat yang disodorkan penulis. Juga sering tidak disadari bahwa sesungguhnya yang disampaikan penulis itu adalah penafsirannya atas ayat kitab suci dan bukan hakikat isi ayat kitab suci.

Paragraf tulisan mahasiswa berikut tepat juga dicermati.

Kelompok diskusi politik yang mayoritas anggotanya mahasiswa tersebut layak ditempatkan pada golongan yang harus diwaspadai. Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya   tidak disebutkan dasar Pancasila. Hal ini berarti bahwa organisasi ini telah menyimpang dari Pancasila dan pasal 29 UUD 1945, yakni “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bahwa Pancasila itu dasar negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan dasar seluruh rakyat dalam berperilaku, itu benar. Bahwa pasal 29 UUD 1945 memang berbunyi seperti itu juga tidak dibantah. Yang layak dipertanyakan adalah pendefinisian yang dilakukan penulis terhadap apa yang disebut sebagai “organisasi menyimpang” itu. Benarkah  tidak dicantumkankan Pancasila dalam AD-ART itu sama dengan menyimpang dari dasar negara, atau berarti anti-Pancasila? Ini tidak lebih dari tafsiran penulis paragraf. Tafsiran orang lain bisa berbeda. Penyimpangan itu semata-mata menurut interpretasi penulis atas Pancasila dan UUD 1945 dan bukan menurut Pancasila dan UUD 1945 an sich.

Kalau pola pikir sesat ini diterima, banyak sekali jatuh korban—dan sudah terbukti selama ini. Contohnya stigmatisasi “kelompok ekstrem”, “teroris”, “subversif”, “PKI”, “antipembangunan” yang dilabelkan penguasa secara sepihak kepada kelompok yang dianggap mengancam konsolidasi kekuasaan. Bagi kelompok yang sedang berkuasa, mencari dasar pembenar untuk menghancurkan kelompok lawan bukan soal sulit. Mereka  cukup dengan bersandar pada otoritas penafsiran atas dasar negara, undang-undang, Tap MPR, dan ayat suci.

Fallacy of Composition

Salah nalar jenis fallacy of composition terjadi ketika penulis menduga bahwa apa yang cocok untuk suatu keadaan atau seseorang pastilah juga cocok untuk semua keadaan dan semua orang; apa yang gagal diterapkan pada sesuatu pastilah juga gagal untuk yang lainnya (Burnie, 2003). Dalam pemahaman ini juga diyakini bahwa sesuatu yang sudah cocok (baik) hendaknya segera disosialisaikan, dilipatgandakan agar kebaikan itu memasyarakat. Perhatikan contoh berikut! 

Setiap bentuk kesenian pertunjukan harus mampu beradabtasi dengan perubahan selera masyarakat. Kelompok kesenian yang bersifat kaku, mempertahankan  “gaya asli”, akan tersingkir dan ditinggalkan penontonnya. Mengapa wayang kulit dapat terus hidup sementara ketoprak (kecuali Ketoprak Humor RCTI), wayang orang, ludruk, randai, dan ande-ande kembang kempis mempertahankan diri? Sudah jelas itu disebabkan karena wayang mampu menyesuaikan diri dengan selera pasar, sedang yang lain tidak. Maka, jika ingin tetap eksis, sebaiknya ketoprak, ludruk, wayang orang, randai, ande-ande,  juga harus menuruti perubahan selera penontonnya.

Penulis paragraf ini juga terpenjara dalam salah nalar fallacy of composition. Betulkah setelah menuruti selera pasar, ketoprak, ludruk, wayang orang, randai, ande-ande akan mampu bertahan dan berkembang seperti wayang kulit? Tidak semudah itu. Ketoprak humor sukses, akan tetapi  mengapa ludruk humor tidak mampu mengikat pasar? Langgam dan gendinmg yang dicampursarikan sukses, tetapi mengapa keroncong dan jazz tidak?  Begitulah apa yang berlaku dan cocok untuk kasus satu belum tentu tepat untu kasus-kasus lain.

Hal lainnya adalah betulkah kejayaan wayang kulit dan ketoprak humor hanya disebabkan oleh  perubahan format pertunjukan yang sudah diadaptasikan? Jangan-jangan, ada kondisi basis material dan immaterial lainnya yang juga turut menentukan kejayaan seni pertunjukan itu. Perubahan, pendeknya, terjadi karena berbagai factor, bukan hanya faktor tunggal.

Circular Reasoning

Salah nalar circular reasoning, atau penalaran melingkar berputar-putar, terjadi manakala penulis meletakkan kesimpulan ke dalam premisnya dan kemudian menggunakan premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya (Burnie, 2003). Jadi, kesimpulan dan premisnya sama (begging the question) (Poespoprodjo & Gilarso, 2000; Rakhmat, 2000). Perhatikan contoh paragraf berikut.

Produktivitas pekerja industri di Indonesia sangat rendah. Berbagai upaya stimulasi, pembinaan, dan revitalisasi terus dilakukan melalui berbagai program. Semua upaya tersebut bertujuan meningkatkan keterampilan dan kedisiplinan kerja. Akan tetapi, pengamatan selintas membuktikan bahwa upaya tersebut menghadapi berbagai kendala internal, yakni tiadanya rasa ikut memiliki (self belonging) perusahaan tempat mereka bekerja. Tidak diragukan lagi, rendahnya rasa ikut memiliki itu  sebagai akibat dari produktivitasnya yang juga rendah.

Betapa melingkar-lingkarnya jalannya penalaran penulis paragraf di atas. Kalau disekuensikan, prosesnya menapaki jalan berputar-putar seperti ini: rendahnya produktivitas ß stimulasi, pembinaan, revitalisasi à keterampilan, kedisiplinan ß tidak ada self belonging ß rendahnya produktivitas. Akibat menjadi sebab dan sebab juga menjadi akibat. Proses penalaran mahasiswa penulis bagaikan meniti logika-memusingkan:  “Mana yang lebih dulu, telur atau ayam?”

Adakah yang lebih parah dari penalaran melingkar-lingkar? Ada. Namanya  gobbledygook, yang lebih berbelit-belit, kata-katanya bertumpuk-tumpuk, dan sangat tidak komunikatif (Chase, 1998). Penjelasan selengkapnya berikut ini.

Gobbledygook

Salah nalar berupa pemberbelit-belitan penjelasan semacam ini dapat terjadi karena penulis tidak cerdas, dapat pula terjadi karena ingin menutupi kelemahan diri. Stuart Chase (1998: 50) menjelaskan gobbledygook sebagai “using two, or three, or ten words in the place of one, or using a five syllable word where a single syllable would suffice”. Dengan gaya penalaran semacam ini kata-kata diacak-acak seenaknya, ide-ide beragam ditumpangtindahkan, atau pesan dikemas dengan muatan berlebihan, bermakna ganda, sehingga substansinya kabur dan teramat sulit ditangkap awam (Barnes, 1996: 51).

Mahasiswa pun dapat terjebak—atau memang menjebakkan diri—ke dalam pola bernalar gobbledygook ini. Hal ini diperparah oleh rendahnya kemampuan penulis untuk mengaplikasikan tata ejaan dan tanda baca dalam karangannya. Perhatikan contoh berikut.

Kita bersama sepenuhnya menyadari bahwa berbagai masalah KKN, kolusi, main hakim sendiri, karena hakimnya mengkomersialisaikan keadilan, sehingga supremasi hukum ternoda,  siapakah yang bisa dipercaya untuk menegakkan nilai daripada kebenaran dan rasa keadilan, maka meski salah, tetapi dapat dimengerti mengapa di jalanan banyak orang main hakim sendiri, banyak pencopet dibakar. Sedangkan koruptor bebas, sebab hakimnya disuap, berarti reformasi baru sebatas menggulingkan Soeharto, tetapi sesungguhnya orang-orang  sekarang masih banyak yang berotak Soeharto. Yang menyebabkan reformasi berjalan ditempat, jadi untuk menjadi koruptor tak harus Suharto, cukup yang bermental Soeharto.

Siapa pun pembacanya akan merasakan betapa berbelit-belitnya topik pembicaraan, yang jumlahnya banyak, apalagi dikemas tumpang tindih dan mengulang-ulang pengertian yang sama,  dengan aplikasi ejaan dan tanda baca yang kacau pula. Maka, sempurna sudah kebingungan pembaca memahami paragraph yang ditulis dengan penalaran gobbledygook ini.

Penalaran mahasiswa semacam ini diduga kuat terjadi karena banyaknya pokok pikiran yang hendak ditulis, sementara betapa rendahnya kemampuan untuk mengekspresikannya dalam tulisan, dan pasti bukan karena motivasi terselubung mahasiswa untuk menutupi kekurangan. Akan tetapi, jika gobbledygook muncul dalam teks bahasa pejabat birokrasi, kuat diduga hal ini memang disengaja untuk menutup-nutupi realitas yang negatif (Johanessen, 1998). Sekadar membandingkan, pembaca dapat mencermati kutipan Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto tahun 1990 berikut.

Kita tetap sadar bahwa berbagai masalah masih belum selesai kita tangani secara tuntas. Kita juga sadar bahwa setiap kemajuan membawa permasalahan-permasalahan baru. Peningkatan laju pembangunan justru menampilkan harapan-harapan baru, tuntutan-tuntutan baru, dan aspirasi-aspirasi baru. Kita telah berhasil mengurangi jumlah rakyat kita yang miskin. Meskipun telah sangat menurun, jumlah penduduk miskin masih besar. Jumlahnya sekitar 30 juta orang. Untuk itu kita masih harus berusaha keras.

Teks ini dipakai Presiden untuk menjelaskan isu yang sedang dituntut oleh masyarakat, yakni kemiskinan. Presiden menunjukkan simpati-empati dengan mengatakan kita tetap sadar … dan jumlah penduduk miskin masih besar. Tetapi pada kesempatan yang sama pula Presiden menyodorkan kemajuan, peningkatan laju pembangunan, serta kemudian kita telah berhasil mengurangi jumlah rakyat miskin. Kenyataan di depan mata adanya 30 juta orang miskin  ditumpangtindihkan dan diberbelit-belitkan dengan kalimat yang menslogankan keberhasilan pembangunan dan dampak logis pembangunan yang memunculkan aspirasi baru.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di muka sebagai berikut. Kesalahan penalaran yang terjadi dalam karangan ilmiah mahasiswa dapat dikelompokkan ke dalam delapan jenis. Kedelapan salah nalar dimaksud adalah (1) fallacy of dramatic instance, (2) fallacy of retrospective determinism (determinisme retrospektif), (3)  post hoc ergo propter hoc (“sesudah itu—maka—oleh sebab itu”), (4) fallacy of misplaced concretness, (5) argumentum ad verecundian, (6) fallacy of composition, (7) circular reasoning, dan (8) gobbledygook.

Temuan tentang kesalahan penalaran paragraf argumentasi mahasiswa ini berimplikasi pada pengajaran keterampilan menulis dalam wadah mata kuliah bertitel apa pun: “Bahasa Indonesia”,  “Penulisan Karya Ilmiah”, “Bahasa Indonesia Penelitian”, “Penulisan Laporan Penelitian”, “Bahasa Indonesia Karya Ilmiah”, atau apa pun namanya. Implikasinya bersangkut paut dengan (1) materi, (2) metode, dan (3) bentuk soal evaluasi, pengajaran menulis. Seperti dikeluhkesahkan berbagai kalangan, pengajaran menulis (mengarang) selalu gagal untuk mayoritas siswa dan mahasiswa—mungkin juga dosennya (Muharimin, 1993; cf. Alwi, 2001).

Dengan realitas banyaknya mahasiswa yang gagal membuat paragraf logis, seperti contoh di muka, dalam hal materi pengajaran, yang harus mendapat tekanan perhatian lebih adalah submateri tentang kalimat efektif serta kohesi dan koherensi paragraf.   (cf. Sihombing, 1993; Charlie, 2000). Salah satu bahasan dalam kalimat efektif adalah kalimat logis. Sesungguhnya, kalimat logis dapat diberdayakan untuk membangun penalaran mahasiswa dalam karangannya. Akan tetapi, isi materi yang diberikan sungguh “klasik” dan menjemukan untuk tataran mahasiswa—karena merupakan selalu yang itu-itu juga sejak SLTP—misalnya Kucingku membaca puisi atau Waktu dan tempat kami persilakan. Dalam hal ini, contoh  hendaknya dipersiapkan dalam rangka membangun paragraf argumentasi, bukan kalimat lepas otonom seperti itu. Submateri kohesi dan koherensi paragraf tentu saja amat relevan dengan tujuan membangun penalaran mahasiswa. Oleh karena itu, diharapkan submateri ini selayaknya mendapat perhatian lebih—walaupun tetap dalam koridor proporsionalitas kurikulum.

Temuan penelitian ini juga berimplikasi pada pemilihan metode yang relevan untuk pengajaran menulis karya ilmiah. Sebagai sebuah keterampilan berbahasa, metode paling tepat adalah metode praktik latihan menulis dan bukan ceramah panjang lebar tentang menulis (Muharimin, 1993; Alwi, 2001). Di awal pengenalan dosen hendaknya mengangkat contoh-contoh paragraf yang memuat kesalahan penalaran agar mahasiswa mempersepsinya secara konkret. Dosen hendaknya menghilangkan kebiasaan memberi contoh abstrak, misalnya seseorang yang …, sesuatu yang …, suatu kasus …, dan menggantinya dengan contoh konkret, misalnya buruh pabrik yang …, kerusuhan pembongkaran Pasar Wonokromo yang …, kasus korupsi DPRD …, dll. Hal yang sama juga ditekankan kepada mahasiswa dalam melakukan latihan menulis karangan ilmiah.

Bentuk soal evaluasi untuk karangan mahasiswa, setelah mempertimbangkan temuan penlitian ini, hendaknya berupa tes menulis secara individual yang boleh dikerjakan di rumah. Tesnya harus menulis karangan argumentasi, bukan teori dan konsep dasar tentang wacana argumentasi mengingat sebagai sebuah keterampilan (skill), menulis hanya mungkin dikuasai jika mahasiswa sering berlatih secara langsung dan konkret menulis. Tes tersebut hendaknya individual karena menulis berhubungan dengan dinamika ekspresi kemampuan personal (Sihombing, 1993; Charlie, 2000), di samping, kalau berbentuk kelompok, mungkin saja sebagian mahasiswa aktif, tetapi sebagian yang lain hanya “titip nama dan NBI”. Tes tersebut hendaknya boleh dikerjakan di rumah, bukan di kelas. Konsekuensinya, waktunya diperkirakan  dua minggu, pada hari H, mahasiswa tinggal mengumpulkan. Evaluasi hendaknya kontinu; sejak judul tulisan dikonsultasikan hingga penulisan akhir hendakdnya selalu dalam pantauan evaluasi dosennya.

Kajian ini memang membatasi diri hanya pada salah nalar yang membayang dalam deret kalimat sebagai wacana dalam karya ilmiah mahasiswa (makalah). Tentu saja, kajian masih dapat diluaslengkapkan dengan menggunakan perspektif salah nalar yang lain, misalnya saja fallacy of personal attack, fallacy of appeal prejudice, fallacy of non sequitur (Burnie, 2003), deduksi cacat, pemikiran simplistik, argumen ad hominem, argumen ad populum (Poespoprodjo & Gilarso, 2000), mitos devian, dan mitos sosial (Rakhmat, 2000). Pengkajian juga dapat dikembangkan lagi pada fokus kajian yang bersangkut paut dengan efektivitas kalimat, ketepatan struktur gramatikal, ketegasan arti, kohesi dan koherensi paragraph (Ngadiman, 1999), dll. Temuan-temuan berbagai riset yang memanfaatkan aneka perspektif dan fokus kajian tersebut bukjan saja memperkaya kajian mengenai kesalahan nalar dalam karangan ilmiah, akan tetapi juga membantu siapa pun yang meminati totalitas kemampuan menulis karangan ilmiah mahasiswa secara holistik.

DAFTAR RUJUKAN

Ardener, E. 1995. Belief and the problem of women, dalam S. Ardener (ed.), Perceiving Women. New York: Malby.
Barnes, H.A. 1996. The language of bureaucracy, in N. Postman et al (ed.), Language in America. New York: Pegasus.
Bungin, B. 2001. Realitas sosial dan konstruksi sosial, dalam B.Bungin (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:  RajaGrafindo Persada.
Burnie, B. 2003. Key terms and phrases.  http://www.thompsonbooks.com/ foundations/keyterms. html
Charlie, L. 2000. Pelajaran mengarang. Kompas, 9 Oktober: 9.
Chase, S. 1998. Gobbledygook, in G. Goshgarian (ed.), Exploring Language. Boston: Little, Brown & Co.
Corbert, A. & V.M. Burke. 1991. The New Composition—Rhetoric. New York: Meredith Corporation.
Dawes, M. 2003. General semantics: A critical and meta-critical system. http://www. general-semantics.org/Basics/MD_meta.shtml
Johanessen, R.L. 1998. Highspeech, secretary of state high and communication ethics, in R.L. Savage et al (ed.), The Orwellian Moment. University of Arkansas Press.
Kompas, 11 Juli 2001. Kerapian berbahasa berkorelasi dengan kecermatan penalaran. Hal. 9.
Korzybski, A. 2003. Historical note on the structural differential. http://www.general-semantics. org/Basics/AK_sdnote.shtml
Lewis, S. 2002. A general semantics perspective on “critical thinking”. http://www.kcmetro. cc. Mo.us/pennvalley/biology/lewis/critikink.htm
Muhadjir, H.N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muharimin, I. 1993. Pengajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi: Latihan menulis sebagai mata kuliah pilihan. Hal. 434—441 dalam Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: MLI.
Ngadiman, A. 1999. Coherence in Javanese expository writing.  Magister Science 7, Februari—Juli: 34—43.
Poespoprodjo, W. & T. Gilarso. 2000. Logika: Ilmu Menalar. Bandung: Remadja Karya.
Rakhmat, J. 2000. Rekayasa Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sihombing L.P. 1993. Beberapa masalah dalam pengajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi,. Hal. 453—454 dalam Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: MLI.
Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data. London: Sage Publication.
Sudaryanto. 1999. Metode Linguistik Bagian Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Williams, R.H. et al. 2003. On the intellectual versatility. Human Nature Review Vol . 3, Mey: 296—301.

Posting Komentar