DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Revitalisasi Tradisi Lisan Parikan Dalam Era Kelisanan Sekunder

D. Jupriono

Makalah The 2nd International Symposiumon Urban Studies: Arts, Culture and History, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.
23 Januari 2010


Parikan terpinggirkan karena serbuan tayangan genre baru media massa, tergusurnya ranah pakai komunikasi tradisional (seni pentas, budaya pasemon, lokalisasi WTS, dan penjual obat/jamu keliling). Meskipun demikian, karena mengalami regenerasi dan revitalisasi performansi, parikan masih tersisa di media produk teknologi massa, birokrasi (aparat kepolisian, partai politik), dan komunikasi publik (masyarakat desa/kampung, komunitas urban di kota). Hal ini menandai berakhirnya era kelisanan primer dan bangkitnya era kelisanan sekunder.

Kata kunci: tradisi lisan, revitalisasi, tradisi lisan, kelisanan primer, kelisanan sekunder

Pendahuluan

Di dalam masyarakat di Jawa, misalnya, hidup berdampingan sastra modern Indonesia, sastra (tulis) mutakhir Jawa, dan sastra lisan Jawa. Sastra lisan Jawa hidup subur berabad-abad di samping tradisi lisan lain, seperti mantra, teka-teki, tembang, parikan, dongeng, nyanyian dolanan anak-anak, dll. (Hutomo, 1991). Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, sastra Jawa ditinggalkan penikmatnya; sastra Jawa di ambang kepunahan (Quinn, 1983; Prawoto, 1993). Kecemasan para pakar sastra Jawa ini ada benarnya sejauh menyangkut sastra tulis (Sudikan, 1996).

Bagaimanakah dengan pantun Jawa parikan? Apakah ia juga terkikis dan ditinggalkan komunitasnya? Jika jawabnya "Ya", faktor apa sajakah yang mendorong terjadinya pergeseran itu? Jika masih ada yang tersisa, di mana sajakah parikan dapat ditemukan? Golongan manakah yang masih mengekspresikan parikan dan apakah fungsinya? Apakah terjadi pergeseran komunitas penikmat? Bagaimana perkembangan mutakhir parikan?

Paradigma Kritis dalam Pengajaran Linguistik untuk Membangun Karakter Bangsa

D. Jupriono

Makalah disampaikan dalam :
Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Sosial, Humaniora, dan Pendidikan untuk Membangun Karakter Bangsa, diselenggarakan oleh Yayasan Beasiswa Tunas Bangsa dan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya Surabaya, 27 Maret 2010

Pengajaran linguistik berparadigma deskriptif hanya berkutat pada soal sistem bahasa, bahkan tata bahasa semata, sehingga memisahkan bahasa dari realitas konteks sosial. Akibatnya, mahasiswa menjadi tidak mengenal, tidak peduli, dan terasingkan dari persoalan-persoalan bangsanya. Pengajaran linguistik hendaknya dilengkapi dengan paradigma kritis, yang memandang bahwa bahasa tidak pernah netral dari kepentingan kekuasaan, kompetisi, dan dominasi antarkelompok. Dengan pengajaran linguistik berparadigma kritis (critical linguistics), pada mahasiswa akan ditumbuhkan karakter, sikap, dan kesadaran kritis untuk menemukenali dan peduli atas persoalan-persoalan bangsanya.

Kata-kata kunci: paradigma deskriptif, paradigma kritis, linguistik kritis, karakter mahasiswa



PENDAHULUAN

Salah satu kalimat yang dari bangku SD hingga perguruan tinggi, sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, tetap terdengar adalah Amir memukul anjing di halaman. atau pasifnya Anjing dipukul Amir di halaman. Proses pembelajaran berikutnya lazimnya adalah menentukan fungsi kalimat—subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K)—dan ketransitifannya. Di perguruan tinggi, khususnya fakultas sastra, FPBS, FKIP, dan FIB, pembelajaran akan dilanjutkan ke analisis kategori kata pengisi fungsi-fungsi tersebut, misalnya Amir, anjing, halaman, rumah nomina, memukul dan dipukul verba, di preposisi, serta analisis peran, misalnya Amir pelaku/agentif, memukul tindakan/aktif, anjing penderta/objektif, di halaman tempat/lokatif. Karena analisis fungsi-kategori-peran, buku ”klasik bangkotan” Pengantar Lingguistik Verhaar (1977) menjadi semacam resep wajib.

Ketika di dalam kelas mahasiswa asyik, sibuk, pusing menentukan fungsi-kategori-peran kalimat, di luar kelas terbentang realitas lain yang amat berbeda: ketidakadilan, ketimpangan sosial, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), ”makelar kasus” (markus), ”cicak” vs ”buaya” plus ”komodo”, unjuk rasa, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dsb. Di tengah-tengah masyarakat yang multiproblem rumit seperti ini, kontribusi apakah yang sanggup diberikan oleh pengajaran linguistik yang masih berkutat ke soal SPOK, aktif-pasif, nomina-verba, dan semacamnya? Sanggupkah pengajaran linguistik semacam itu menggugah kesadarkan kritis mahasiswa untuk peduli terhadap masalah-masalah bangsanya? Kepedulian macam apakah yang muncul setelah mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia (misal) menuntaskan belajar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi et al., 1993)? Apa yang salah dengan pengajaran linguistik yang sudah berlangsung puluhan tahun ini?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan diangkat dalam makalah ini. Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada paradigma deskriptif (semacam analisis fungsi, kategori, peran sintaktis di muka) dan paradigma kritis dalam pengajaran linguistik, lalu dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan karakter mahasiswa.

Lelucon Etnis Madura dalam Perspektif Multikulturalisme

D. Jupriono

Ada tiga kelompok lelucon etnis Madura: positif, negatif, dan netral. Lelucon netral dan positif sarat dengan humor yang menghibur, sedang yang negatif umumnya merendahkan etnis ini. Lelucon negatif etnis Madura diduga kuat diciptakan oleh kalangan eksternal dengan berbasis etnosentrisme, stereotipe etnis, dan prasangka rasial. Dalam rangka membangun komunikasi antaretnis yang bersuasana multikultural, terhadap lelucon etnis tersebut, warga Madura hendaknya bersikap lebih positif dengan memperkecil ketersinggungan dan prasangka serta menyadari bahwa lelucon sebagai produk folklor diciptakan tidak berdasarkan fakta, tetapi prasangka dan stereotipe. Sementara, etnis lain pun hendaknya tidak mendasarkan penilaian berdasarkan stereotipe, prasangka, dan etnosentrisme, serta mengembangkan reinterpretasi terhadap lelucon etnis Madura dengan lebih mengapresiasi sisi positifnya. Akhirnya, semua pihak hendaknya menumbuhkan motivasi saling mengenal, saling belajar memahami dan menerima perbedaan, menghormati kemerdekaan berekspresi, serta mengupayakan kualitas kehidupan bersama yang tidak sekadar koeksistensi, tetapi lebih dari itu juga proeksistensi.

Kata-kata kunci: lelucon etnis, multikulturalisme, komunikasi lintas budaya, etnosentrisme, stereotipe


PENDAHULUAN


Kertas kerja ini dibuka dengan mengangkat salah satu lelucon etnis Madura, yang demi kelancaran diskusi dijuduli ”Orang Madura dan Tentara” (1), sebagai berikut.

1) Di dalam bis kota yang berjubel penumpang, seorang penumpang yang berdiri bertanya kepada penumpang yang berdesakan di depannya yang badannya kekar, tegap, dan berambut cepak, yang juga tidak kebagian tempat duduk.

“Maaf, Pak, apakah sampiyan tentara?” (dengan logat khas Bangkalan!)
“Bukan.”
“Sampiyan angkatan udara?”
“Bukan juga.”
“Marinir ya?”
“Ah bukan ... Ada apa to sebenarnya!” (dengan logat khas Jogja)
“O tahu saya, … sampiyan pasti polisi.”
“Polisi? Bukan!”
“Kalau begitu, ... jancuk sampiyan!”
“Lho lho lho ... kenapa marah?”
“Ini sampiyan ’nginjak kaki saya dari tadi.”

Tidak terlalu penting dipersoalkan di sini lelucon ini empiri faktual ataukah sekadar imajinasi fiksional. Lelucon etnis tersebut memang hidup dan menyebar di obrolan sehari-hari dan media massa, hingga sekarang. Sebagai produk budaya lisan, lelucon ini anonim; siapa penciptanya sulit diketahui (Brunvand, 1968) serta tampak tidak berharga. Akan tetapi, dari sudut pandang disiplin folklor, lelucon tersebut bukan soal sepele. Ia, misalnya, akan disorot sebagai sistem proyeksi (projective system) dan sebagai refleksi protes sosial suatu kolektif (Bascom & Wang dlm. Dananjaya, 1984). Dari perspektif komunikasi lintasbudaya, isi lelucon ini dan juga interpretasi terhadapnya sarat dengan etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka (cf. Rogers & Steinfatt, 1999).

Lelucon ini cukup menghibur—terutama bagi kolektif non-Madura. Bagaimana di mata kolektif Madura sendiri? Apakah semua lelucon yang menyangkut etnis Madura selalu dipersepsi sebagai humor di mata etnis ini? Suka atau tidak, lelucon-lelucon semacam ini akan terus mengalir. Bagaimanakah seyogianya menyikapi lelucon-lelucon tersebut dalam kerangka pengembangan komunikasi lintasetnis yang mengedepankan spirit toleransi, menghormati perbedaan, menenggang rasa satu sama lain? Di seputar persoalan-persoalan inilah pembahasan makalah ini dijabarkan.

Data lelucon dalam tulisan ini sebagain diambil dengan menjaringnya di lapangan dan sebagian lain dari sumber tertulis, yaitu Humor Madura untuk Penyegar Jiwa (Musa, 2006) dan Folklore Madura (Nadjib, 2009). Perlu diketahui bahwa lelucon atau humor Madura yang tertulis sesungguhnya merupakan reproduksi dari lelucon etnis Madura yang tersebar luas di masyarakat.