DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.


Hidden Motif Behind the Regional Regulation of Bestriding Woman Forbiddance: 
Foucault Critical Discourse Analysis


Paper for International Coference on Sosial and Humanities: Contemporary Issues on Social and Culture,Faculty of Social and Culture Studies, University of Trunojoyo Madura
Bangkalan, 20 November 2013

by
D. Jupriono
lecturer of Faculty of Social and Political Science (FISIP), Untag Surabaya; juprion@untag-sby.ac.id

Ambar Andayani J.
lecturer of Faculty of Letters, Untag Surabaya; ambarandayani@gmail.com



ABSTRACT
The issue of “all together exclamation” Regional Regulation (Qanun) No. 002/2013 dated on 2 January 2013, which is signed by Mayor of Lhokseumawe Suaidi Yahya, Leader of  DPRK Saifuddin Yunus, Leader of MPU Tengku Asnawi Abdullah, and Leader of MAA Tengku Usman Budiman, causes pro and contra responds. The essence of this regional regulation is for the upright of Islamic shari’a in kaffah (total perfection) and well keeping of Aceh people cultural values and customs, adult woman who gets a lift on motor cycle is forbidden to bestride (duek phang). This new regional regulation strikes public opinion from varied people, not only Lhokseumawe people, Nangroe Aceh Darussalam, it also however gets reactions from other regions. There are not only few supporters, but also many protesters.
Eventhough it rises many polemics, scientific studies on qanun are very rare. The previous study, which applied Derrida deconstruction, found a proof that qanun text is full with intrinsic dispute in it (contradictio in terminis). The writer discusses qanun from critical discourse analysis perspective (Bungin 2011), especially knowledge-authority relation genealogy of Michel Foucault. The interpretation of this qanun finds hidden motifs behind that regional regulation agreement, namely: in a long period the City Government of Lhokseumawe purposes to muffle public protest movement and  immobilize Aceh woman feminist movement, and in a short period it aims to divert the attention and watch of public on corruption act of local authorities.

Keywords: critical discourse analysis, genealogy of power, language and authority relation, feminist movement

 Tradisi Lisan sebagai Basis Pengembangan Industri Kreatif:
Parikan dalam Desain Grafis Kaos Wisata

Oral Tradition as Creative Industry Development Base: Parikan in Tourism T-shirt Graphic Design

Paper  for The International Conference on Regional Culture: 
The Challenges of Culture Revitalization in the 2015  ASEAN Economic Community Era
Universitas Negeri Jember, 8-9 Oktober 2014

 


D. Jupriono
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untag Surabaya
juprion@untag-sby.ac.id





Ayun Maduwinarti
Prodi Administrasi Bisnis, FISIP, Untag Surabaya
ayunmaduwinarti@untag-sby.ac.id

 




Hamim D.M.
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untag Surabaya






ABSTRACT
Tourism T-shirt with unique and funny words of textual graphic design are found in many cities in Indonesia, however which make use of parikan oral tradition have not been found, so it is necessary to start bravely a parikan design tourism t-shirt production. Many sources of parikan can be exploited, the parikan of ludruk artist creation as well as from campursari song creators, classic parikan and plesetan, also erotic parikan of individual creators, sounded in shows as well as recorded in cassettes, CD, DVD, and internet. There are varied parikan which can be explored as the subject of tourism t-shirt graphic design, and every type has its own market target according to typography consideration and communication norms. It needs requirements to sell tourism t-shirt: fulfilling market need, defining valuable product, offering unique subject, and entering market with the precise name.
Keywords: oral tradition, parikan, creative industry, typography graphic design, marketing strategy.

ABSTRAK
Kaos wisata berdesain grafis tekstual kata-kata unik dan lucu ada di banyak kota di Indonesia, tetapi yang memanfaatkan tradisi lisan parikan belum ada, maka perlu keberanian memulai produksi kaos wisata berdesain parikan. Banyak sumber parikan dapat dimanfaatkan, baik parikan karya cipta seniman ludruk, pencipta lagu campursari, maupun parikan klasik serta parikan pelesetan dan erotik karya orang per orang, baik yang terlantunkan dalam pertunjukan maupun yang terekam dalam kaset, CD, DVD, maupun internet. Ada bermacam-macam parikan yang dapat dieksplorasi sebagai materi desain grafis kaos wisata, dan setiap macamnya memiliki pangsa pasarnya sendiri menurut perhitungan tipografi dan kesesuaian norma komunikasi. Untuk memasarkan kaos wisata, diperlukan syarat: memenuhi kebutuhan pasar, memastikan produk bernilai, menawarkan sesuatu yang unik, dan memasuki pasar dengan nama yang tepat.
Kata kunci: tradisi lisan, parikan, industri kreatif, desain grafis tipografi, strategi pemasaran

Wacana Humor Agama di Indonesia dalam Perspektif Tindak Tutur



Wacana Humor Agama di Indonesia dalam Perspektif Tindak Tutur

Makalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (Senabastra) V
Prodi Sastra Inggris, FISIB, Universitas Negeri Trunojoyo Madura
Bangkalan, 27 Juni 2013

D. Jupriono
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP,
Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
e-mail: bahasakomunikasi@gmail.com; juprion@untag-sby.ac.id

ABSTRAK
Corak dan dinamika hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak hanya memantik lahirnya berbagai perbedaan persepsi, perdebatan pandangan, dan konflik sosial, tetapi juga menyuburkan tumbuhnya humor-humor agama dalam interaksi sosial. Humor agama mencakup humor eksklusif-esoteris dan humor inklusif-eksoteris. Humor eksklusif-esoteris didominasi oleh persepsi suatu umat yang memandang bahwa keyakinan, ritual ibadah, dan praksis sosial umat lain itu salah, aneh, dan dangkal. Humor inklusif-eksoteris lazimnya berupa paradoks, parodi, dan satire perilaku sosial pemimpin suatu umat beragama. Kualitas humor baik eksklusif-esoteris maupun inklusif-eksoteris dibangun dengan cara sama-sama melanggar norma-norma tindak tutur (speech act), baik prinsip kerja sama (cooperative principle), prinsip kesantunan (politeness principle), maupun parameter pragmatik, yang beroperasi dalam komunikasi umat beragama dalam interaksi sosial sehari-hari.

Kata kunci: wacana humor, humor eksklusif-esoteris, humor inklusif-eksoteris, tindak tutur, parameter pragmatik


PENDAHULUAN
Pernahkah para Pembaca budiman mendengar humor berikut? Konteks humor berikut adalah kelas mengaji TPA di sebuah langgar sore hari.

Ustadz:              Anak-anak patuhilah nasihat orangtua dan gurumu, agar kalian masuk surga. Jangan durhaka pada orangtua. Kalau durhaka, kalian akan masuk neraka. Bapak pastilah memilih surga. Nah, siapa yang pengin ikut Bapak ke surga? Angkat tangan ...!
Anak-anak:      Sayaa ... Saya, Pak! Saya, Pak Ustadz! Saya sayaa ... Sayaaa ...
(Semua anak berebut menjawab sambil mengangkat tangannya, kecuali Cakil. Tentu saja, ini membuat Ustadz heran)
Ustadz:              Cakil, kamu kok tidak angkat tangan? Kamu juga pingin masuk surga ‘kan?
Cakil:                 Kepingin, Pak Ustadz. Tapi tadi ibu saya berpesan ...
Ustadz:              Alhamdulillah ... Tapi ngomong-omong ibu kamu pesan apa sih?
Cakil:                 Begini, Pak Ustadz: “Kil, habis ngaji, jangan ke mana-mana, harus langsung pulang ya”. Begitu, Pak 

Humor ini ringan, tidak berpeluang sensitif bagi penafsir. Humor-humor agama tumbuh subur di masyarakat. Anehnya, jika pencermatan penulis bisa dipercaya, agama mana pun tidak akrab dengan lelucon, lawak, atau humor. Dalam kitab-kitab suci semua agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia sulit ditemukan ayat-ayat yang mengangkat humor sebagai pokok persoalan. Dalam konteks Islam, misalnya, teks-teks Al-Qur’an, juga Hadits Nabi, biarpun merepresentasikan dan mencitrakan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (ar-Rahman nir-Rakhim), belum pernah ditemukan data apakah Tuhan suka bercanda, melucu, atau sekadar tersenyum. Bagaimana dalam Injil, Veda, Tripitaka, Tao The Ching? Sama. Begitulah agama dalam konteks tekstual-skripturalistik, yang selalu sakral, mustahil bersanding mesra dengan humor, yang pastilah sangat profan (Dennet 2007).
Akan tetapi, jika yang dimaksud “agama” di sini merujuk pada wilayah persepsi dan praksis sosial beragama, dakwah, syiar, dan tutur sehari-hari pemuka dan umatnya, soalnya menjadi lain. Dari pesantren diproduksi beragam tutur lelucon konyol; dari biara-biara Katolik berkembang subur tutur humor-humor segar; begitu juga sekolah-sekolah guru Kulla Hindu, vihara Budha, dan saolin Konghuchu, dll. Tutur-tutur humor tersebut umumnya justru memprofankan agama. Karena itu, dalam setiap humor tersebut sesungguhnya terjadi pelanggaran norma-norma sakral suatu agama. Justru inilah yang membangun suasana lucu. Maka, di samping memicu banyaknya perbedaan, polemik, bahkan konflik berdarah, realitas praksis sosial agama-agama di Indonesia juga turut berjasa melahirkan banyak lelucon yang menyegarkan suasana dan mengendurkan ketegangan di sana-sini.
Humor-humor tersebut berkembang baik di dalam interaksi internal satu umat maupun komunikasi eksternal antarumat beragama. Keduanya berkembang subur dengan karakteristiknya masing-masing. Meskipun demikian, memang mengherankan, sangat sedikit kajian terhadap hal itu. Inilah yang mendorong penulis untuk membahasnya.
Tulisan ini memfokuskan kajiannya pada pelanggaran terhadap norma-norma tutur dalam humor, baik humor intraumat maupun antarumat beragama di Indonesia. Norma-norma tutur di sini memanfaatkan perspektif tindak tutur (speech act), yang mencakup prinsip kerja sama (cooperative principle), prinsip kesantunan (politeness principle), maupun parameter pragmatik (Levinson 1995; Yule 1996).
 Fokus kajian ini diformulakan ke dalam jabaran berikut. (1) Bagaimana karakteristik humor agama (baik intra maupun antarumat agama) di Indonesia? (2) Bagamana tutur humor agama dilihat dari perspektif tindak tutur (prinsip kerja sama, kesantunan, dan paramater pragmatik)?

PEMBAHASAN
1.    Karakteristik Humor Agama di Indonesia
Apa yang disebut sebagai humor agama adalah setiap humor yang materinya tentang agama (ritual ibadah, interaksi sosial, perilaku para pemuka) (Dananjaya 1997), baik yang berkembang di kalangan umat agama tertentu maupun yang beroperasi di tengah-tengah antarumat agama yang berbeda. Yang pertama melahirkan humor eksklusif-esoteris dan yang kedua memunculkan humor inklusif-eksoteris.

1.1    Humor Eksklusif-Esoteris
Humor eksklusif-esoteris tumbuh di kalangan umat agamalain. Dengan kata lain, humor ini merupakan persepsi kolektif suatu umat terhadap umat lain. Humor eksklusif-esoteris umat beragama didominasi oleh persepsi sepihak sosial-religi suatu umat yang memandang bahwa keyakinan dan ritual ibadah umat lain itu salah, aneh, dan dangkal, dan berkembang di tengah-tengah umat agama lain. Suatu umat sering tidak mengetahui bahwa mereka dijadikan objek bulan-bulanan lelucon oleh umat lain. Perhatikan wacana humor (1)

1)              LETUSAN NGABEN
Sepulang berwisata dari Pulau Bali, Ahmad bercerita kepada teman-teman desanya di Trenggalek. Teman-temannya tertarik pada cerita tentang ngaben palebon (pembakaran jenazah). Kebetulan Ahmad piawai berkisah dengan sedikit melebih-lebihkan.
“Nah, mayat lelaki dan perempuan, saat dibakar, suara apinya berbeda,” kata Ahmad.
“Apanya yang beda?” serentak teman-temannya kepingin tahu.
“Pada pembakaran mayat perempuan, suara apinya sama seperti api-api lainnya. Tetapi, pada mayat lelaki, ... ada suara letusan dua kali hampir bersamaan, thaar thaar ... begitu ...,” jawab Ahmad meyakinkan.
“Itu apa ...?” ada juga yang belum mengerti. Yang mengerti, ketawa ngakak.

Kata kunci humor ini adalah “letusan dua kali hampir bersamaan, thaar thaar”. Humor ini berkembang di kalangan umat muslim. Meskipun lucu, di kalangan umat Hindu Bali humor ini pantang tumbuh. Bisa dimengerti bahwa peristiwa upacara ngaben (palebon) adalah sakral, sedikit pun tidak ada unsur candanya. Akan tetapi, dalam persepsi nakal iseng umat lain (Ahmad), sesuatu yang sakral ini diprofankan menjadi objek lelucon.
Kalangan umat minoritas lain yang juga menjadi objek lelucon adalah penganut Khonghuchu. Lelucon ini dari Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI yang juga sering dan cerdas melontarkan humor. Perhatikan wacana (2) 

2)              MENGAPA TIONGHOA KAYA-KAYA?
Tiga orang mahasiswa, Rahman yang Islam, Samuel yang Protestan, Nyoman yang Hindhu, membahas mengapa umumnya rata-rata warga Tionghoa kaya.
“Faktor genetik. Dari sononya memang leluhur mereka berbakat dagang,” kata Samuel berintepretasi. Dua mahasiswa lainnya tidak sependapat.
“Secara historis, ... kan selama rezim Orde Baru, kawan-kawan Tionghoa hanya boleh memasuki profesi bisnis. Justru inilah penyebabnya,” kata Nyoman mencoba berargumentasi. Rahman dan Samuel tidak menunjukkan persetujuannya.
“Nah, sekarang kau Rahman, bagaimana kamu punya pendapat?” tanya Samuel.
Dengan pelan Rahman menganalisis, “Begini. Saya lihat dari sisi ritual religi. Bukankah Tionghoa banyak yang memeluk Konghuchu ...” 
“Lalu, ... apa hubungannya?” tukas Nyoman tak sabar.
“Sembahyangnya orang Khonghuchu mesti pakai dupa Cina hio. Caranya cukup kreatif memaksa Tuhan: hio dijolok-jolokkan ke atas. Nah ... lama-lama Tuhan geli dan risih juga dijolok-jolok hio. Makanya cepat-cepat saja doa orang Khonghuchu dikabulkan,” jelas Rahman dan diikuti anggukan kedua temannya tanda setuju. (cf. Jupriono 2009)

Apa yang dipersepsi lucu oleh umat lain (Tuhan risih dijolok-jolok hio) tentu sungguh tidak lucu di mata umat Khonghuchu. Agama mana pun selalu sensitif di mata pemeluknya. Justru karena itu, wacana humor agama adalah sebuah paradoks dan antitesis atas keangkeran dan kesakralan ajaran suatu agama (cf. Haryatmoko 2010).

1.2    Humor Inklusif-Eksoteris
Humor inklusif-eksoteris umat beragama lazim mengangkat paradoks, parodi, dan satire perilaku sosial pemimpin suatu umat agama dengan atau tanpa pemuka agama lain. Dalam realitas komunikasi keseharian seorang pemimpin umat tentu merupakan figur yang disegani, dihormati, didengar nasihat-nasihatnya. Tetapi, justru dalam humor, perilaku para pemuka agama (kiai, haji, pendeta, pastor, pedanda, biksu) inilah yang dijadikan bahan lelucon. Maka, wacana humor ini menjadi semacam parodi atau satire atas paradoksnya perilaku para pemuka agama. Perhatikan wacana (3) dan (4).

3)              MBAH SABAR DAN EYANG SUBUR
Amin:    Apa besa Mbak Sabar dengan Eyang Subur?
Amat:    Eyang Subur istrinya banyak, Mbak Sabar istrinya satu ... mungkin
Amin:    Bukaaan ...
Amat:    Mbak Sabar orangnya sabar, Eyang Subur orangnya cepat marah
Amin:    Bukan juga. Begini: Mbah Sabar itu kiai, sedang Eyang Subur itu pak yai
Amat:    Kiai dengan pak yai .... maksudnya?
Amin:    Kiai itu alim ulama yang menguasai ilmu gaib, kalau pak yai itu numpak karo nggrayahi (menunggangi sambil meraba-raba) 

Wacana humor (3) merambah di komunitas nahdhiyin. Humor ini sudah lama penulis dengar, lalu muncul lagi dengan sedikit interpolasi di saat media massa memuat-tayangkan perseteruan Eyang Subur (berpoligami dengan 8 istri) dengan Adi Bing Slamet, Arya Wiguna, dll. Sekadar melengkapi informasi, Mbah Sabar adalah Kiai Almukarom Sabaruddin tinggal di tepi Gunung Merapi, seorang ulama sir legendaris, yang menyamar sebagai pengembala itik, terkenal dengan wejangan (ajaran) “ojo rumongso biso, ojo rumangso weruh, ojo rumongso ngerti” (janganlah merasa bisa, tahu, dan mengerti; Bowo 2012). Meskipun dimunculkan untuk mengkritik perilaku syahwat Eyang Subur, sejatinya humor ini juga mengritik pemuka-pemuka umat Islam di lingkungan nahdhiyin (NU), terutama yang poligami (konon, tidak sedikit).
Jika wacana (3) muncul sebagai otokritik umat Islam, wacana (4) berikut melontarkan kritik kepada semua pemuka agama masing-masing.

4)              PASTUR, KIAI, DAN PEDANDA
Dalam kereta api Jakarta—Surabaya seorang kiai duduk berdampingan dengan seorang pastor. Di tengah perjalanan pastor membuka bekal, senyum ke kiai, dan segera makan dengan lahapnya. “Pak Pastor, lahap banget. Itu apa sih?” tanya kiai penasaran.
“Oh ..., ini sosis, dari babi, masakan paling enak di dunia. Sayang Pak Kiai tidak boleh. Maaf,” jawab pastor sedikit malu sekaligus menang: 1-0.
Memasuki stasiun Gubeng, Surabaya, keduanya sama-sama turun. Di beranda peron tampak dua wanita berkerudung, cantik dan semlohe, tersenyum, tangannya melambai-lambai kepada kiai. “Siapa wanita-wanita cantik ini, Pak Kiai?” tanya pastor disergap penasaran.
“Ooo ... itu daging, eh istri-istri saya. Yang ini nih ‘daging’ paling nikmat di dunia. Sayang, Pak Pastor tidak boleh. Maaf ya...,” balas kiai: 2-1.
Tiba-tiba keduanya menoleh balik karena bahu mereka ditepuk orang dari belakang. Tampak seorang lelaki berjubah putih dengan rambut dikerucut. “Saya pedanda. Saya telah menikmati keduanya,” kata pedanda itu dengan tenangnya. (Media Hindu, I/3, 2005)

Sebagai humor inklusif-eksoteris, wacana humor semacam (4) bisa muncul di kalangan umat mana pun. Secara cepat orang akan menarik implikasi konvensional dan konversasional dari wacana ini bahwa “pemenang” pertama adalah pedanda, kiai kedua, dan pastor ketiga. Akan tetapi, wacana humor ini bisa juga ditafsirkan lain. Humor ini, misalnya, justru melontarkan peringatan sekaligus parodi satiris bermuatan kritik sosial kepada para pemimpin umat agar senantiasa berperilaku yang meneladani umatnya. Dalam humor (4) ketiga pemimpin umat sibuk berdebat soal syahwat dan bukan bagaimana menuntun umat masing-masing agar berperilaku mulia (cf. Haryatmoko 2010)..
Banyaknya berita asusila yang melibatkan pemimpin umat (kiai berpoligami, guru ngaji mencabuli santriwatinya, guru spiritual melecehkan anak-anak didiknya, dll.) mendorong ditampilkannya humor ini di hadapan pemimpin umat. Jadi, sesungguhnya humor ini ditujukan kepada sebagai paradoks, satir, dan parodi para pemuka agama, dan bukan umat. Boleh diduga bahwa pencipta humor ini datang dari kalangan umat biasa, dalam agama mana pun.

2.    Tutur Humor Agama dalam Perspektif Tindak Tutur

2.1    Prinsip Kerja Sama
Untuk memenuhi prinsip kerja sama dalam komunikasi antarumat beragama, misalnya, Paul Grice (Yule, 1996) mengemukakan bahwa “the speaker is commited to the truth and relevance of his text, the hearer is aware of this commitment and perceives the uttered text as true and relevant by virtue of his recognition of the speaker’s commitment to its truth and relevance”. Siapa pun yang terlibat dalam tindak tutur hendaknya memperhatikan saran Grice selanjutnya: “make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged” (Yule 1996; Littlejohn 1996). Dalam hal ini penutur hendaknya mematuhi empat norma (maksim) tutur: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Apakah humor agama cukup patuh pada norma-norma kerja sama ini, perhatikan wacana humor (5).

5)              UMAT MANA YANG PALING DEKAT TUHAN?
Seorang pedanda, pastor, dan kiai berdebat siapa yang paling dekat Tuhan.
“Jelas umat Hindhu dong. Kami biasa menyapa Tuhan dengan Om. Om swastiatsu ... Om shanti, shanti Om...,” kata seorang pedanda.
Seorang pastor tidak mau kalah. “Kalau itu alasannya, umat Katolik dong yang lebih dekat. Lihat saja, kami memanggilnya Bapa, ... Bapa kami yang ada di surga. Nah...” 
Kiai diam, pedanda dan pastor penasaran. “Kalau Pak Kiai, sedekat apa umat Islam dengan Tuhan?”
“Duuh ... boro-boro dekat,” jawab kiai, “wong manggil-Nya saja mesti teriak-teriak dari menara, pakai pengeras lagi ...!” (Jupriono 2009)

Wacana humor (5) memenuhi maksim kuantitas (maxim of quantity); ketiga pemimpin umat bertutur secukupnya, tidak berlebihan, hanya mengatakan sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur. Maksim cara (maxim of manner) juga terpenuhi; pedanda, pastor, dan kiai sama-sama bertutur dengan wajar, jelas, dan runtut, sehingga lawan tutur dapat memahami dengan tepat. Akan tetapi, dua maksim lain, yakni maksim kualitas (maxim of quality) dan maksim relevansi (maxim of relevance), dilanggar. Pelanggaran atas maksim kualitas terjadi ketika ketiga pemuka agama tersebut tidak menyertakan bukti yang memadai untuk memperkuat tuturan masing-masing; tidak disertakan bukti-bukti rasional-argumentatif bahwa mereka masing-masing sebagai yang terdekat dengan Tuhan. Pelanggaran atas maksim relevansi terjadi saat ketiga pemimpin umat tidak memberi kontribusi yang sesuai (cocok) dengan topik tuturan; kedekatan dengan Tuhan yang diukur hanya dari sebutan (Om, Bapa), cara memanggil (teriak-teriak, ‘adzan’ maksudnya), serta lokasi pemanggilan (dari menara), itu jelas tidak sesuai (relevan).
Jika para peserta tindak tutur dalam proses komunikasi sudah menjalankan keempat maksim kerja sama, selalukah bisa dijamin komunikasi akan efektif? Tidak selalu, ternyata. Perhatikan wacana humor (6)!

6)              HALELUYA & BISMILLAH
Suatu hari seorang pendeta dan seorang kiai ke terminal, hendak menghadiri undangan acara Pak Bupati. Tiba-tiba turun hujan disertai badai angin petir menggelegar. Kaget, spontan pendeta berkata, “Haleluyaah...!
Pak kiai heran mendengar ucapan pendeta, “Maaf, Pak Pendeta, ... itu tadi bukan  haleluya, tapi halilintar...”
Sampai di terminal keduanya akan naik bis. Saat naik pintu bis, kiai spontan berkata, “Bismillah...`
Ganti Pendeta yang heran, “Maaf, Pak Kiai, ... ini bukan bismillah. Ini bis kota.”

Wacana (6) membuktikan bahwa keempat maksim kerja sama ternyata belum cukup dalam mencapai tujuan tindak tutur komunikasi. Baik kiai maupun pendeta dalam hal ini sudah memenuhi keempat maksim kerja sama. Dalam perspektif Grice (dlm. Littlejohn 1996), keduanya dapat dikatakan telah memberikan kontribusi seinformatif secukupnya (maksim kuantitas), menyatakan sesuatu yang benar (maksim kualitas), melontarkan pernyataan yang relevan (maksim kecocokan), serta tidak mengaburkan pernyataan dan juga cukup singkat dan urut (maksim cara). Mengapa tujuan tutur gagal dicapai? Prinsip kerja sama memang belum cukup. Peserta tutur masih harus memiliki kompetensi lain, yakni kemampuan menarik praanggapan (presupposition) (Leech dlm. Levinson 1995; Littlejohn 1996). Kesalahan ini bersumber kurangnya saling memahami antara pendeta dan kiai; pendeta tidak mengenal idiom Islam bismillah (‘Dengan Nama Allah’) dan kiai tidak memahami idiom Kristen haleluyah (‘Puji Tuhan’). Kesalahpahaman lazim muncul dari komunikasi yang melibatkan peserta tutur dari budaya (etnis, agama, misalnya) yang berbeda. Salam paham memang potensial memicu konflik, tetapi bisa juga membangun humor (Chiaro 2002; Jupriono 2006).

2.2    Prinsip Kesantunan
Norma kerja sama dilengkapi dengan norma kesantunan agar tuturan dalam interaksi sosial antar dan intraumat beragama mencapai efektivitas seperti yang diharapkan. Geoffrey Leech menjabarkan prinsip kesantunan tutur ke dalam enam maksim: maksim kebaikhatian (tact maxim), maksim kemurahhatian (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim  simpati (sympathy maxim) (Levinson 1995; Littlejohn 1996). Bagaimana wacana humor agama di Indonesia dilihat dari maksim-maksim kesantunan? Perhatikan wacana (7)

7)              ORGAN, A.C., DAN YESUS
Saat lewat di depan masjid NU sehabis adzan ashar, seorang pastor berhenti demi mendengar beberapa muslim melantunkan syair shalawat pujian. Kiai menghampiri.
“Pak Kiai,” sapa pastor, “nyanyian para santri ini akan makin bagus kalau diiringi sebuah organ, seperti di geraja kami.”
“Tak perlu,” jawab kiai, “organ tidak lazim dalam masjid, Pak Pastor.”
“Bukan itu,” sela pastor. “Aku tahu alasan sebenarnya. Begini: jangankan organ, wong sandal jepit saja dicuri kok. Betul ‘kan, Pak Kiai?” Kiai hanya bisa tersenyum kecut. Malu.
Besoknya kiai mencoba melintas di depan gereja, dan berhenti tepat di pintu gerbang. Pastor menghampiri, mengajak masuk. Dilihatnya dalam gereja tak ada AC, kiai nyeletuk, “Pak Pastor, mbok dipasang AC, masa hari gini belum AC.”
“Tak perlu,” tukas pastor, “bangunan gereja ini sudah didesain sedemikian rupa.”
“Bukan itu,” sela kiai. “Aku tahu alasan sesungguhnya. Kalau diberi AC, ... takut Yesus kedinginan ‘kan? Tuh lihat ... Yesus gak pake baju. Begitu ‘kan, Pak Pastor?”

Tentu saja, dialog wacana (7) imaginer belaka. Kedua pemuka umat diam-diam memendam beban “warisan sejarah yang terluka” dalam berkompetisi merebut dan merawat umat. Bahwa kedua umat di Indonesia saling merasa terancam -- sungguh bukan fantasi! Islam merasakan ancaman “kristenisasi”, sebaliknya Kristen merasakan ancaman “islamisasi”. Lelucon ini sedikit banyak merepresentasikan bagaimana kedua umat saling mempersepsi sekaligus memanifeskan bagaimana kegentingan laten hubungan kedua umat.
Lalu, bagaimana wacana (7) dilihat dari perspektif kesantunan Leech? Baik pastor maupun kiai dalam tutur humor agama ini sama-sama tidak memaksimalkan keuntungan dan tidak meminimalkan kerugian lawan tutur, sama-sama tidak memaksimalkan kerugian dan tidak meminimalkan keuntungan diri sendiri, sama-sama tidak memaksimalkan penghormatan dan tidak meminimalkan rasa tidak hormatnya kepada lawan tutur, sama-sama tidak meminimalkan penghormatan dan tidak memaksimalkan rasa tidak hormat kepada diri sendiri, sama-sama tidak memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan kepada lawan tutur, sama-sama tidak memaksimalkan simpati dan tidak meminimalkan antipatinya kepada lawan tutur. Satu sama lain lebih sibuk menunggu kesempatan dan, kalau perlu, menciptakan peluang, untuk memperolok, memojokkan, mempermalukan, lawan tutur. Dengan kata lain, wacana humor (7) melanggar semua prinsip kesantunan tutur. Pendeknya, kedua pemuka sama-sama tidak santun!
Ketidaksantunan dalam konteks ini memantik timbulnya humor. Dalam tuturan nyata sehari-hari, pelanggaran atas prinsip kesantunan tutur akan memicu ketidaknyamanan komunikasi, bahkan konflik. Dalam wilayah humor pelanggaran itu justru disengaja. Kelucuan akan lahir dari penyimpangan norma kesantunan itu.
Jika humor (7) merentang di dua umat, humor (8) berikut meresap di kalangan umat Islam saja, sekte mana pun (NU, Muhammadiyah, Sunni, Si’ah, Ahmadiyah, bermacam tarekat, dst.).

8)              KHATIB TENTARA
Seorang tentara mengisi khotbah salat Jumat di masjid desa. Seperti lazimnya khatib, ia pun menghimbau, “Marilah kita bersama-sama senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan meninggalkan semua larangan-Nya!”
Mestinya ini sudah cukup, tetapi barangkali karena seorang tentara, ia menambahi himbauan lemah lembut ini dengan: “... Awas ya, kalau tidak!” (Jupriono 2009)

Dalam konteks peribadahan Islam, di hadapan Tuhan, atau di hadapan umat dalam suasana khusu’ ibadah, siapa pun yang menjadi khatib haruslah berbahasa santun. Sebagai tentara, “bahasa tentara”-nya tidak boleh digunakan. Jika toh menyampaikan ancaman, ia hanyalah “corong pengeras” firman Tuhan, yang kebetulan berisi ancaman (yang durhaka pada orangtua akan dimasukkan ke neraka, misalnya). Dalam wacana (8) ancaman (Awas ya, kalau tidak!) berasal dari pribadi khatib tentara itu. Dalam perspektif Leech (Levinson 1995; Littlejohn 1996), tentara tersebut harus menunjukkan rasa simpati kepada para jamaah salat Jumat agar transformasi pesan-pesan religiusitas menembus rasio dan meresap di dalam hati. Keenam maksim dalam prinsip kesantunan telah dilanggar. Akan tetapi, justru di sinilah pemicu humornya.

2.3    Parameter Pragmatik
Kesantunan dalam kenyataan tidak mutlak dapat diwujudkan sebab terkendala oleh status, kedudukan, jarak sosial, dan tingkat kemendesakan antarpenutur. Penelope Brown & Stephen Levinson menyodorkan tiga parameter pragmatik dalam setiap peristiwa tutur: jarak sosial (distance rating), status sosial (power rating), dan peringkat tindak tutur (rank rating) (Levinson 1995). Bagaimana wacana humor agama di Indonesia dilihat dari ketiga parameter, perhatikan wacana (9).

9)              ANTIMO, PISANG AMBON, DAN AYAT KURSI
Keharmonisan Ustadz Haji Akbar 60 tahun bersama ketiga istrinya yang cantik-cantik membuat penasaran mantan-mantan santrinya yang sudah pada kawin.
“Ustadz, rahasianya apa sih kok masih kuat melayani 3 istri?” tanya seorang santri. 
“Abah sudah 60, kok tak ejakulasi dini? Pasti obat kuat. Pasak bumi? Atau viagra ya ...?” berondong mantan santri-santri lainnya.
“Bukan. Bukan semua itu,” jawab Haji Akbar. “Viagra mahal. Abah punya resep murah, hasilnya woow... Catat: Antimo, pisang ambon, dan jangan lupa baca ayat Kursi.”
“Kok Antimo? Itu kan antimabuk kendaraan, Ustadz?” sergah mantan santrinya.
“Ikuti saja. Ini satu paket. Jangan ragu. Lakukan malam ini!” tegas ustadz.
Besoknya para mantan kembali menghadap. Semua melaporkan kegagalan. “Sama saja seperti sebelumnya. Ejakulasi dini.”
“Kok bisa? Jangan-jangan ketiga syarat belum kamu lakukan,” tanya ustadz.
“Sudah, Abah. Antimo kami minum. Pisang ambon juga sudah kami makan. Juga ...,”
“Nah ... di situ masalahnya. Siapa bilang pisang ambon dimakan!”
“Lho, lantas diapakan?”
“Dengerin, catat: sebelum naik ranjang, baca bismillah, lalu ayat Kursi, antimo diminum. Dan pisang ambon ... masukkan pelan-pelan ke lubang bawah. Haqul yakin, kamu bisa tahan berjam-jam,” tegas ustadz meyakinkan.

Sebagai proses komunikasi, antara Ustadz Haji Akbar dan mantan-mantan santrinya terentang jarak sosial dan status sosial yang sangat jelas. Di samping itu suasana pertuturan juga tidak menempatkan kedua pihak dalam posisi terdesak dan terburu-gesa. Maka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk melupakan jarak dan status sosial masing-masing (cf. Brown & Levinson dlm. Levinson 1995). Setidaknya, ini berlaku bagi sang mantan santri. Dari topik yang asyik dituturkan, diksi yang dipilih, hingga gaya retorik yang diekspresikan, semuanya tidak memperhitungkan parameter pragmatik tuturan. Maka, seperti juga terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, wacana humor agama ini juga melanggar parameter pragmatik.
Ada juga yang peserta tuturan yang sadar jarak dan status sosial. Akan tetapi, ia tidak tepat memperhitungkan peringkat tindak tutur (rank rating) (Levinson 1995; cf. Jupriono 2009). Dalam wacana humor, hal demikian memang disengaja, untuk memantik efek lucu. Perhatikan wacana humor Budha (10).

10)          KOKI SHAOLIN & UTUSAN KAISAR
Seorang utusan Kaisar mendatangi Biara Shaolin untuk mengorek rahasia koki. Koki ini terkenal piawai menciptakan menu vegetarian, tetapi bisa membuat tubuh para murid Shaolin sehat kuat prima. Untuk itu,  ia mewawancarai Koki sambil menyaksikan murid-murid Shaolin berlatih kungfu.
Utusan:     Makanan apa yang membuat murid-murid Shaolin sehat dan kuat walau mereka semua vegetaris?
Koki:         Maksud Anda murid-murid yang berseragam hitam atau putih?
Utusan:     Ooo... kalau yang berseragam hitam?
Koki:         Yang hitam, makanannya sayur-mayur dari hasil bercocok tanam sendiri.
Utusan:     Luar biasa! Nah..., kalau yang berseragam putih?
Koki:         Kalau yang putih, yaa sayur-mayur hasil bercocok tanam sendiri juga
Utusan:     Ooo ya ya... Dalam sehari, mereka boleh makan berapa kali?
Koki:         Yang mana maksud Anda, yang seragam hitam atau putih?
Utusan:     Oh... ada perbedaan ya? Kalau yang hitam?
Koki:         Tiga kali sehari.
Utusan:     Kalau yang berseragam putih?
Koki:         Yang seragam putih, yaah sama juga tiga kali sehari.
(Utusan Kaisar sudah mulai tidak sabar dan geregetan)
Utusan:     Dari tadi Anda kalau saya tanya selalu menanyakan yang berseragam hitam atau yang putih, tetapi jawaban Anda selalu sama, saya jadi mulai bingung dengan penjelasan Anda seperti itu!
Koki:         Ooohh... Anda jangan salah paham dulu, Tuan. Begini: kalau yang berseragam putih itu adalah asli murid-murid Biara Shaolin di sini.
Utusan Kaisar sudah tidak sabar lagi:  Jadi, maksud Anda yang berseragam hitam itu bukan asli murid-murid Biara Shaolin di sini, begitu kan?
Koki:         Yah... yang berseragam hitam adalah murid-murid asli Biara Shaolin di sini juga sih...
Utusan mulai senewen dan sewot:  Waduuuhh..., kalau begitu tidak perlu dibedakan seragam hitam dan putih dong, ah ...!!
Koki:         Beda dong, Tuan. Kalau yang seragam hitam ‘kan tempat makannya pakai mangkok ...
Utusan:     Huhhh..., ‘kan sama aja, yang putih tempat makannya pakai mangkok juga, ya kan?!
Koki:         Yaiyalaah, Tuan... Tetapi ‘kan seragamnya tidak hitam.
Utusan                      @#$%*&!@?#%#&!! (sambil menutup muka dengan kedua tangannya) ia ngedumel sendiri: Karma apa yang pernah kulakukan di masa lalu ... kok aku bisa dipertemukan dengan koki model begini... aaarrrgghhh...
Koki:         Sekarang sudah jelas perbedaannya ‘kan, Tuan?
Utusan (sambil menahan nafas, geram): Boleh saya minta obat untuk sakit kepala?
Koki :        Ohh... kenapa, Tuan? Anda sakit kepala ya? Baik akan saya ambilkan. Tapi, tunggu sebentar..., mmm... di sini ada dua macam bentuk obat, bentuk kapsul dan cair. Tuan mau yang mana?
Utusan:     Baiklah... saya mau yang cair saja...
Koki:         Kalau yang cair, khusus untuk sakit kepala yang sangat berat, Tuan.
Utusan:     Kalau yang kapsul?
Koki:         Yah... sama juga sih..!
Utusan:     @#&*$+=%@!... Buddha, help me please...!!

Mengambil sudut pandang emik-Budhisme, wacana humor (10) bukan teks aneh. Pengajaran Budhisme dicoraki oleh prinsip “dunia materi sebagai kepalsuan”, “tujuan utama hidup adalah nirvana (kekosongan)”, “keinginan sebagai sumber penderitaan”, “menghindari keekstreman dan kemewahan”, “kebenaran Budha disampaikan dengan kesunyiheningan tanpa kata” (Shastri 2005). Pertanyaan bermotif nafsu ingin tahu Utusan Kaisar bertentangan dengan prinsip hidup Budha. Ada dua tafsir dalam hal ini. Pertama, wacana humor ini terbangun untuk mengkritik ajaran Budha yang sulit dipahami awam. Kedua, sebaliknya, wacana humor ini diperkenalkan untuk menunjukkan keunggulan eksklusif-khas Budhisme kepada awam.
Bagaimana dalam perspektif parameter pragmatik? Wacana humor (10) memperlihatkan betapa salah satu peserta tutur (koki biara shaolin) sangat memperhitungkan jarak sosial dan status sosial (cf. Levinson 1995). Dia menghormati dan menempatkan lawan tutur (Utusan Kaisar) sebagaimana seharusnya. Sang koki cukup perhatian dan hormat. Akan tetapi, peringkat tindak tutur diabaikan sang koki saolin. Ini terlihat dari berputar-putarnya jawaban: ia selalu memisahkan penjelasan tentang murid shaolin berseragam putih dengan yang hitam, padahal isi jawabannya sama. Jawaban ini membuat Utusan Kaisar kesal, geregetan, gemas, dan ... pusing tujuh keliling! Jadi, wacana humor Budhisme ini pun melanggar parameter pragmatik.

SIMPULAN
Dari bahasan di muka diapat ditarik simpulan-simpulan berikut. Corak dan dinamika hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak hanya memantik lahirnya berbagai perbedaan dan konflik, tetapi juga menyuburkan tumbuhnya wacana humor agama dalam interaksi sosial, baik humor eksklusif-esoteris maupun humor inklusif-eksoteris; humor eksklusif-esoteris didominasi oleh persepsi suatu umat tentang keanehan dan kedangkalan kyakinan, ritual ibadah, dan praksis sosial umat lain, sedang humor inklusif-eksoteris lazim berupa paradoks perilaku sosial pemimpin suatu umat beragama. Wacana humor agama di Indonesia dibangun dengan cara sama-sama melanggar norma-norma tindak tutur, baik prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, maupun parameter pragmatik, yang beroperasi dalam komunikasi umat beragama dalam interaksi sosial sehari-hari.
Sebagai kajian awal terhadap wacana humor agama, tentu ditemukan banyak kekurangan dan catatan agenda untuk para peneliti berikutnya. Pertama, kajian wacana humor agama ke depan hendaknya melebarkan perspektifnya, misalnya dari sudut pandang polisemi dan homonimi (cf. Jupriono 2006), analisis wacana tafsir teks, dan analisis semiotik (Bungin 2011). Kedua, jangkauan data hendaknya diperluas dengan merambah data-data wacana humor agama (lisan atau tulis) di lingkungan pesantren, biara, keluarga, majalah-majalah agama, radio siaran agama tertentu, dll. Ketiga, fokus kajian ke depan hendaknya dikerucutkan ke wacan humor yang muncul di dalam relasi-relasi antarumat (Haryatmoko 2010) yang lebih spesifik, misalnya apa bagaimana persepsi orang Muhammadiyah terhadap ibadah dan kehidupan komunitas NU, persepsi orang Katolik terhadap Protestan, persepsi orang Budha atas ibadah dan kehidupan orang Hindu, persepsi ormas FPI, Hitsbut Tahir Indonesia terhadap kelompok Ahmadiyah, Sunny di mata Syiah, dll.

DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Bowo, M. 2012. “Cerita tentang Kiai Sabar”. http://sufisbook.blogspot.com/2012/02/anekdot-sufi-jawa-cerita-tentang-kiai.html (akses 29 Mei 2013)
Bungin, B. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kdebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada MediaGroup.
Chiaro, D. 2002. The Language of Jokes. London: Routledge.
Dananjaya, J. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Cet. V. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Dennet, D.C. 2007. Breaking The Spell:Religion as a Natural Phenomenon. London: Penguin.
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Jupriono, D. 2006. “Kesalahpahaman dalam Komunikasi Lintas Budaya”. Dinamika Administrator 14(17) Juni 2006.
Jupriono, D. 2009. “Wacana Humor Gus Dur dalam Perspektif Tindak Tutur”. http://sastra-bahasa.blogspot.com (akses 29 Mei 2013)
Jupriono, D. 2010. “Lelucon Etnis Madura dalam Perspektif Multikulturalisme”. Dlm. Prosiding Seminar Nasional 2 Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Multikultural, R. Inayati & S. Hanifa (ed.) (hal. 29-44). Surabaya: Lima-Lima Jaya & Prodi Sastra Inggris, FISIB, Unijoyo, Bangkalan.
Levinson, S.C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Littlejohn, S.W. 1996. Theories of Human Communication. Belmont: Wardsworth Publ. Co.
Mulyana, D. 2006. Komunikasi Jenaka: Parade Anekdot, Humor, dan Pengalaman Konyol. Cet III. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yule, G. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.