Pelesetan Akronim Politis Dalam Perspektif Sosiolinguistik Kritis
Label:
Sastra
by D. Jupriono
28 September 2009
D. Jupriono
Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menyemarakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll. Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis
Pendahuluan
Dalam kajian monumentalnya tentang resistensi terselubung orang-orang yang kalah dan terjepit nasib (kelompok subordinat) dalam Domination and Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1991), J.C. Scott menampilkan rupa-rupa kreativitas gerakan perlawanan terselubung para petani penggarap dan buruh tani terhadap ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan kebijakan petani kaya, petani pemilik tanah, atau tuan tanah, yang berkuasa (kelompok dominan). Bentuk perlawanannya bermacam-macam, misalnya perilaku fisik berupa pencurian kecil, pembakaran pinggir lahan, perusakan pematang, pembelokan jalur irigasi, dan kerja yang "ogah-ogahan", dan perilaku simbolis berupa pergunjingan, pemberian julukan (misalnya "Tuan Kikir" untuk majikan yang pelit). Dalam konteks semacam yang lain, pemberian kepanjangan KUD yang bukan Koperasi Unit Desa, melainkan "Ketua Untung Duluan", dari para petani anggota KUD untuk menyindir perilaku culas-curang pengurus KUD, misalnya, makin melengkapi tesis Scott. Resistensi tersembunyi dipilih karena, jika terang-terangan, mereka dapat bernasib sial mengingat ketergantungan seluruh hidupnya terhadap majikan berada dalam––menurut Scott (1991)––demarkasi etika subsistensial. Jika melawan terbuka, mereka bisa dipecat, tidak diberi pinjaman duit, tidak diberi "bonus" kecil panenan, dll.
Di negara yang sarat aroma represi birokratis-militerismenya, seperti masa Orde Baru (Orba) (1967-1998)––bahkan sisa-sisa hegemoninya masih terasa sampai 2005 sekarang––bukan buruh tani, petani kecil, dan anggota KUD saja yang tercengkeram dalam ketidakberdayaan untuk mengontrol jalannya kekuasaan (kelompok dominan militer-birokrat), melainkan juga buruh pabrik, anggota parlemen, dan juga mahasiswa. Seluru elemen anak negeri sebenarnya dalam situasi ketakutan, kepasrahan yang fatalistik.
Ketika di bawah cengkeraman republik bermodel otoriter-birokratis yang menampak-kan proses ketat beku overbureaucratization yang melembagakan teror dan kekerasan (structural violence) (Piliang, 2000), sebenarnya antara masyarakat awam dan mahasiswa sama-sama memiliki ke-sadaran kolektif (collective conscience). Meskipun demikian, di antara semua elemen, mahasiswa lebih memiliki kekuatan pe-nalaran (reasoning power) dan keberanian proporsional ketimbang masyarakat awam yang lebih merupakan massa yang diam (silent majority). Dengan kekuatan penalaran tersebut, mahasiswa lebih berpeluang men-cari, memanipulasi, bahkan menciptakan terobosan strategis kritik di bawah kekuasaan yang berkultur antikritik. Terobosan tersebut adalah resistensi bahasa berupa rekacipta akronim-singkatan pelesetan. Negara berkultur antikritik lazimnya memaksa dengan koersif agar pengkritik selalu memakai tata krama kritik (fatsoen) yang lebih menekan-kan bentuk ketimbang substansi.
Perlawanan bahasa sebagai resistensi diskursif tumbuh subur di bawah rezim penguasa Orba yang mengeksploitasi energi bahasa untuk konsolidasi kekuasaan. Rezim Orba banyak memproduksi dan men-distribusikan dua jenis sebutan yang satu sama lain menampakkan standar ganda (double standard). Sebutan stigmatis pertama secara sepihak mengambinghitamkan dan mematikan pihak lawan, atau orang-orang yang tidak disukai, misalnya PKI (Partai Komunis Indonesia), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), "anti-Pancasila", "kelompok subversif", "orang kiri", "antipembangunan", "perongrong stabilitas nasional" (Eriyanto, 1999; Mulyana, 1999). Sebutan kedua mem-berikan pembenaran (justifikasi) atas imple-mentasi kebijakan negara, misalnya "aparat kemanan", "aparatus negara", dan PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa). Dalam hal ini, sekalipun tentara bertindak melanggar hak asasi manusia (HAM) orang Irian dan Aceh selama DOM, misalnya, ia tetap dibenarkan; sebutan yang diberikan bukan GPK atau GPHAM (Gerakan Pengacau Hak Asasi Manusia), melainkan tetap PPRM atau "aparat keamanan". Di sini relasi bahasa dan kesewenangan kekuasaan tampak sangat nyata (Heryanto, 2000).
Untuk mematikan orang-orang yang tidak disukai dan untuk mencitrakannya sebagai "orang salah", bentuk bahasa macam GPK tersebut amat "efektif". Selama ini, pihak rakyat, yang diberi julukan sepihak itu tidak berdaya melakukan protes. Terhadap orang-orang yang tertuduh itu, penguasa mengeluarkan himbauan sepihak-subjektif agar semua pihak mencurigai, mewaspadai, mempersulit urusan administrasi orang-orang yang tertuduh itu walaupun belum pernah ada proses wajar pengadilan.
Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menye-marakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll.
Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis yang akan mengkaji beberapa topik yang teridentifikasikan berikut ini. (1) Bagaimana teknik rekayasa akronim-singkatan pelesetan yang dilakukan mahasiswa? (2) Fungsi-fungsi kritik sosial apa sajakah yang diemban akronim-singkatan pelesetan politis tersebut? (3) Pihak-pihak manakah yang menjadi objek kritik akronim-singkatan pelesetan politis itu? Ketiga masalah ini selalu bertautan dengan aspek semantis akronim-singkatan.
Temuan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi teoretis dan kontribusi praktis. Kontribusi teoretis dari temuan penelitian ini adalah memperkaya khazanah kajian sosiolinguistik kritis khususnya studi relasi bahasa dan kuasa antarkelompok. Kontribusi praktisnya adalah temuan ini dapat diposisikan sebagai informasi dan pertimbangan bagi para penguasa birokrat dan militer dalam pengambilan kebijakan politis dan publik.