DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Pelesetan Akronim Politis Dalam Perspektif Sosiolinguistik Kritis

D. Jupriono

Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menyemarakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll. Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis



Pendahuluan

Dalam kajian monumentalnya tentang resistensi terselubung orang-orang yang kalah dan terjepit nasib (kelompok subordinat) dalam Domination and Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1991), J.C. Scott menampilkan rupa-rupa kreativitas gerakan perlawanan terselubung para petani penggarap dan buruh tani terhadap ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan kebijakan petani kaya, petani pemilik tanah, atau tuan tanah, yang berkuasa (kelompok dominan). Bentuk perlawanannya bermacam-macam, misalnya perilaku fisik berupa pencurian kecil, pembakaran pinggir lahan, perusakan pematang, pembelokan jalur irigasi, dan kerja yang "ogah-ogahan", dan perilaku simbolis berupa pergunjingan, pemberian julukan (misalnya "Tuan Kikir" untuk majikan yang pelit). Dalam konteks semacam yang lain, pemberian kepanjangan KUD yang bukan Koperasi Unit Desa, melainkan "Ketua Untung Duluan", dari para petani anggota KUD untuk menyindir perilaku culas-curang pengurus KUD, misalnya, makin melengkapi tesis Scott. Resistensi tersembunyi dipilih karena, jika terang-terangan, mereka dapat bernasib sial mengingat ketergantungan seluruh hidupnya terhadap majikan berada dalam––menurut Scott (1991)––demarkasi etika subsistensial. Jika melawan terbuka, mereka bisa dipecat, tidak diberi pinjaman duit, tidak diberi "bonus" kecil panenan, dll.

Di negara yang sarat aroma represi birokratis-militerismenya, seperti masa Orde Baru (Orba) (1967-1998)––bahkan sisa-sisa hegemoninya masih terasa sampai 2005 sekarang––bukan buruh tani, petani kecil, dan anggota KUD saja yang tercengkeram dalam ketidakberdayaan untuk mengontrol jalannya kekuasaan (kelompok dominan militer-birokrat), melainkan juga buruh pabrik, anggota parlemen, dan juga mahasiswa. Seluru elemen anak negeri sebenarnya dalam situasi ketakutan, kepasrahan yang fatalistik.

Ketika di bawah cengkeraman republik bermodel otoriter-birokratis yang menampak-kan proses ketat beku overbureaucratization yang melembagakan teror dan kekerasan (structural violence) (Piliang, 2000), sebenarnya antara masyarakat awam dan mahasiswa sama-sama memiliki ke-sadaran kolektif (collective conscience). Meskipun demikian, di antara semua elemen, mahasiswa lebih memiliki kekuatan pe-nalaran (reasoning power) dan keberanian proporsional ketimbang masyarakat awam yang lebih merupakan massa yang diam (silent majority). Dengan kekuatan penalaran tersebut, mahasiswa lebih berpeluang men-cari, memanipulasi, bahkan menciptakan terobosan strategis kritik di bawah kekuasaan yang berkultur antikritik. Terobosan tersebut adalah resistensi bahasa berupa rekacipta akronim-singkatan pelesetan. Negara berkultur antikritik lazimnya memaksa dengan koersif agar pengkritik selalu memakai tata krama kritik (fatsoen) yang lebih menekan-kan bentuk ketimbang substansi.

Perlawanan bahasa sebagai resistensi diskursif tumbuh subur di bawah rezim penguasa Orba yang mengeksploitasi energi bahasa untuk konsolidasi kekuasaan. Rezim Orba banyak memproduksi dan men-distribusikan dua jenis sebutan yang satu sama lain menampakkan standar ganda (double standard). Sebutan stigmatis pertama secara sepihak mengambinghitamkan dan mematikan pihak lawan, atau orang-orang yang tidak disukai, misalnya PKI (Partai Komunis Indonesia), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), "anti-Pancasila", "kelompok subversif", "orang kiri", "antipembangunan", "perongrong stabilitas nasional" (Eriyanto, 1999; Mulyana, 1999). Sebutan kedua mem-berikan pembenaran (justifikasi) atas imple-mentasi kebijakan negara, misalnya "aparat kemanan", "aparatus negara", dan PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa). Dalam hal ini, sekalipun tentara bertindak melanggar hak asasi manusia (HAM) orang Irian dan Aceh selama DOM, misalnya, ia tetap dibenarkan; sebutan yang diberikan bukan GPK atau GPHAM (Gerakan Pengacau Hak Asasi Manusia), melainkan tetap PPRM atau "aparat keamanan". Di sini relasi bahasa dan kesewenangan kekuasaan tampak sangat nyata (Heryanto, 2000).

Untuk mematikan orang-orang yang tidak disukai dan untuk mencitrakannya sebagai "orang salah", bentuk bahasa macam GPK tersebut amat "efektif". Selama ini, pihak rakyat, yang diberi julukan sepihak itu tidak berdaya melakukan protes. Terhadap orang-orang yang tertuduh itu, penguasa mengeluarkan himbauan sepihak-subjektif agar semua pihak mencurigai, mewaspadai, mempersulit urusan administrasi orang-orang yang tertuduh itu walaupun belum pernah ada proses wajar pengadilan.

Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menye-marakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll.

Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis yang akan mengkaji beberapa topik yang teridentifikasikan berikut ini. (1) Bagaimana teknik rekayasa akronim-singkatan pelesetan yang dilakukan mahasiswa? (2) Fungsi-fungsi kritik sosial apa sajakah yang diemban akronim-singkatan pelesetan politis tersebut? (3) Pihak-pihak manakah yang menjadi objek kritik akronim-singkatan pelesetan politis itu? Ketiga masalah ini selalu bertautan dengan aspek semantis akronim-singkatan.

Temuan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi teoretis dan kontribusi praktis. Kontribusi teoretis dari temuan penelitian ini adalah memperkaya khazanah kajian sosiolinguistik kritis khususnya studi relasi bahasa dan kuasa antarkelompok. Kontribusi praktisnya adalah temuan ini dapat diposisikan sebagai informasi dan pertimbangan bagi para penguasa birokrat dan militer dalam pengambilan kebijakan politis dan publik.

Wacana Humor Gus Dur Dalam Perspektif Tindak Tutur

D. Jupriono

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari Cak Noer (Noercholish Madjid) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri. GD terkenal sebagai tokoh yang humoris. Pembicaraan tentang humor verbal GD (HVGD) sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik .......



PENDAHULUAN

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari cendekiawan muslim moderat Cak Noer (H. Noercholish Madjid, Ph.D.) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri.

Langkah kebijakannya sebagai pemimpin pondok pesantren, ketua DKJ, ketua umum PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, Ketua Dewan Syura PKB, dan sebagai Presiden IV RI, berani, bandel, sulit ditebak, dan sering nyeleneh di mata banyak pihak, termasuk oleh orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya sendiri sekalipun. Sebagai ketua "rombongan ketoprak" NU -- meminjam istilah Cak Nun (1992) lagi -- misalnya, GD pernah melempar usul peng-gantian salam religius sakral universal Islam Assalamu'alaikum dengan ungkapan yang dianggap lebih sekular, yakni "Selamat Pagi" atau apa sajalah. Ketika hampir semua cendekiawan muslim berebut masuk ke dalam ICMI, yang menghijaukan politik Indonesia 1990an, GD malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Pasca-"Kuda Tuli" 27 Juli 1996, yang berdarah itu, GD tampak memihak Megawati Soekar¬noputri (sekarang Presiden RI), akan tetapi menjelang Pemilu 1997 GD malah runtang-runtung bersama Mbak Tutut (Siti Hardianti Roekmana), yang putri Presiden Soeharto itu, dari pesantren ke pesantren. Ketika Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan GD seba¬gai calon presiden (capres) pada Pemilu 1999, GD sebagai politi¬kus PKB malah mengusulkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai capres. Lebih nyeleneh lagi, GD juga mengharapkan agar Megawati mengusulkan Amien Rais sebagai capres. "Biar bunder," Katanya (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000).

Sosiolog strukturalis Arief Budiman, Ph.D., yang aktifis oposan abadi dan sahabat dekat GD di Fordem itu, pernah berkomentar agak lucu tentang GD sebagai presiden. "Gus Dur tak sempat mengurus negara," katanya, "karena sibuk mengumpulkan lelucon." (Basyaib & Hermawan, 2000). Dalam rimba "teater" perpolitikan formal Indone¬sia langkah GD adalah fenomena menyimpang. Lembaga politik yang serba resmi, formal, angker, eksklusif, didewakan, dan jauh dari nuansa kejelataan–yang lahir sejak Indonesia merdeka dan makin dikokohkan selama 32 tahun rezim Orde Baru (Orba)–di tangan Presiden GD menjadi santai, informal, ramah, inklusif, mentah, bagai pasar tradisional. Aksi dan terutama ucapannya selalu lucu dan terkesan seenaknya sendiri. Segala kebekuan formalitas lembaga politik, hukum, agama di Indonesia didekonstruksi bagai¬kan (bahkan mengalahkan!) panggung humor "Srimulat" dan "Ketoprak Humor".

Apa pun yang menyangkut GD–ucapan, tindakan, humor, kontrover¬si, berita, komentar dari dan tentang dia – menarik dan karena¬nya banyak dibicarakan, diseminarkan, diteliti, dan diberitakan media massa. Di samping itu, kolom, artikel, dan buku tulisan GD juga terus mengalir.
Puluhan buku serta ratusan artikel dan berita bersangkutan dengan kebijakan politis, dekonstruksi pemikiran, pluralitas budaya, inklusivisme dan universalitas keagamaan GD sudah banyak dibahas orang. Sebutlah beberapa contohnya: "Gus Dur: Sebuah Cermin Banyak Gambar" (Hamzah & Anam, 1989), Bunga Rampai: NU dan Gus Dur (Yusuf, 1994), Gus Dur-Pak Harto: Hikmah Salaman Geng¬gong (Choirie, 1996), "Gus Dur" (Rahardjo, 1996), Pemikiran Politik Gus Dur-Amien Rais tentang Negara (Al-Brebesy, 1999), Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Tim Incres, 2000), "Psikoterapi Abdurrahman Wahid" (Sutanto, 2000), dan "Islam Antikekerasan: Memahami Refleksi Gus Dur" (Alfian M., 2000).

GD juga sangat produktif menulis artikel, makalah, kolom, dan buku. Sebagian karyanya bisa disebut di sini: "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban" (Rachman, ed., 1994), "Islam, Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia" (Rachman, ed., 1994), "Konsep-konsep Keadilan" (Rachman, ed., 1994), Islam Tanpa Kekerasan (1998), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1998), Mengu¬rai Hubungan Agama dan Negara (1999), Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), Tuhan Tak Perlu Dibela (1999), Membangun Demokrasi (1999), Menggerakkan Tradisi: Esai Pesan-tren (2001), dll. Ada pula buku kumpulan tulisannya yang bernuansa humor politis, misalnya Melawan Melalui Lelucon (2000).

GD lebih dikenal karena kenyelenehan, kenyentrikan, dan humoris¬nya. Maka, sahabat-sahabat dekatnya pun mengumpulkan dan membuku¬kan humor tentang GD dan humor yang memang dilontarkan secara verbal oleh GD; keduanya disebut saja humor verbal GD (HVGD). Beberapa dari buku-buku tersebut – yang dianggap cukup represen¬tatif -- adalah Presiden Dur yang Gus Itu: Anehdot-anehdot K.H. Abdurrahman Wahid (Adnan, ed., 2000) dan Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran Gaya Gus Dur (Basyaib & Hermawan, ed., 2000).

Pembicaraan tentang HVGD memang sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik. Penelitian ini mengupas bagaimana aksi lisan atau tindak tutur (speech acts versi J.R. Searle) HVGD dari perspektif pragmatik. Berdasarkan maksim tutur H.P. Grice (Yule, 1996), prinsip kesantunan G.N. Leech (Crystal, 1997), parameter pragma¬tik Brown & Levinson (Levinson, 1995), dan ketaksaan makna (Raskin, 1985; Chiaro, 1992), masalah ini akan diidentifikasikan ke dalam pertanyaan berikut. (i) Apakah HVGD sudah memenuhi maksim tutur Grice? (ii) Apakah HVGD sudah memenuhi prinsip kesantunan Leech? (iii) Bagaimana kesesuaian HVGD dengan parame¬ter pragmatik Brown & Levinson?

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontri¬busi, baik teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini (a) memperkaya kajian dan memperluas cakrawala riset dalam pragmatik, analisis wacana, sosiolinguistik, dan humorologi. Secara praktis, penelitian ini memberikan tiga manfaat, yaitu: (b) membantu memahami fenomena sosial, politik, dan budaya GD secara lebih komprehensif, simpatik, dan empatik, sesuai dengan hal-hal yang dominan pada GD, sehingga mampu menukiki keutuhan personalitas seorang GD; (c) menunjukkan relasi sosial budaya, politik, dan kekuasaan dalam suatu era rezim, yang terkemas dalam humor verbal.