Ketimpangan Gender Pada Kosakata & Ungkapan Bahasa Indonesia
Label:
Sastra
by D. Jupriono
20 Agustus 2009
Ambar Andayani 1
D. Jupriono 2
D. Jupriono 2
Beberapa kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia mencerminkan bahwa: wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan; perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan; jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan”; perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Dalam kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan. Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui.
Kata-kata kunci:
ketimpangan gender, kosakata, ungkapan, identitas, struktur gramatikal
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan; artinya, bahasa hanyalah bagian dari sekumpulan unsur dalam kebudayaan (kesenian, sistem religi, sistem ekonomi, sistem sosial, dll.). Sebagai unsur, ternyata bahasa juga mewadahi segala kekayaan kebudayaan; dengan kata lain, bahasa adalah cermin kebudayaan. Bagaimana watak kebudayaan suatu masyarakat tercermin dalam bahasa yang digunakan dalam masyarakatnya (Hudson, 1986). Nilai-nilai stratifikasi sosial yang mendominasi suatu masyarakat, misalnya, akan tampak dalam ragam bahasa yang digunakan masyarakat yang mencerminkan hubungan tidak sejajar antarkelompok dalam masyarakat (Spolsky, 2001).
Dalam Sosiolinguistik kita mengenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang terjadi pada ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan oleh Labov, Bailey, dan Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered irregularity or ‘free variation’ in linguistic behavior, can be found to show regular and predictable statistical patterns” (Saville-Troike, 1982). Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam masyarakat.
Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993). Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut pandang gender, realitas ragam bahasa ternyata tidak hanya itu. Beberapa penelitian terakhir, misalnya, menunjukkan adanya ragam bahasa kelompok homoseksual (gay dan lesbian) (Sari et al., 2003). Meskipun demikian, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan perempuan yang mengarah pada ketimpangan gender.
Fokus tulisan ini adalah ketimpangan gender yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Demi kerincian, fokus ini akan dijabarkan ke dalam bagian-bagian berikut: (1) kajian teoretis ketimpangan gender dalam bahasa dan (2) bentuk-bentuk ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia.
Kajian Teoretis Ketimpangan Gender dalam Bahasa
Penelitian Coates (1991) menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, bahasa yang digunakan oleh kelompok lelaki (selanjutnya disebut ragam bahasa lelaki) berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok perempuan (selanjutnya disebut ragam bahasa perempuan). Perbedaan tersebut ada dalam semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata, gramatika, dan fonologi, sampai-sampai soal penggunaan dan pemilihan partikel dalam kalimat.
Dalam berbahasa, kedua kelompok dipersepsi menampilkan cara berbahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut cenderung memojokkan kelompok perempuan dalam posisi inferior dan subordinat, sedang kelompok lelaki diangkat dalam posisi superior dan dominan. Kelompok perempuan diharapkan lebih lembut (lady like) dibandingkan dengan kelompok lelaki (Lakoff, 1979). Di samping itu, juga dipandang wajar bahwa kelompok perempuan di Inggris, USA, dan Belanda, lebih banyak berbicara (cerewet) dan bergunjing, berbicara lebih sopan, dan tidak mengumpat, lebih banyak menggunakan adjektiva (sebagai cermin lebih emosional ketimbang rasional), dan penguasaan kosakatanya tidak sebanyak lelaki (Coates, 1991). Bahkan, ragam bahasa perempuan sering distereotipekan sebagai naif, emosional, bodoh, pasif, kurang meyakinkan, terlalu boros kata-kata, dan remeh (Kramarae, 1982).
Dalam ragam bahasanya, kelompok perempuan distereotipekan lebih inferior (Spolsky, 2001). Karena kedudukannya inilah perempuan lebih merasa perlu berhati-hati dalam berbahasa. Kehati-hatian ini tampak dalam kebiasaannya yang lebih menaati norma-norma baku kebahasaan dan kecenderungan untuk selalu menggunakan bahasa yang berprestise (Trudgill, 1984), sedangkan pada lelaki tidak ada “keharusan” seperti ini. Akibatnya, perempuan dalam berbahasa lebih banyak melakukan hiperkoreksi. Realitasa ini, menurut (Coates, 1991), sebenarnya merefleksikan bahwa di bawah sadarnya perempuan menduduki posisi yang kurang mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok lelaki.
Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam bahasa. Perbedaan yang menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan ini tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis, dan gramatika.
Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih banyak menggunakan kata-kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja, irasional, dan berusaha mencapai norma standar dan standar ini dibuat kelompok lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada akhir kalimat dalam ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan kurang tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan ketegasan (Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak menggunakan kalimat majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan mana yang inti (induk) dan mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979). Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993), kelompok perempuan tidak banyak menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak menggunakan intonasi dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Oleh karena itu, bagaimanapun, ragam bahasa perempuan lebih sering membuat kesalahan dibandingkan dengan ragam bahasa lelaki. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa perempuan lebih banyak menggunakan tag questions sebagai cermin ketidaktegasannya bersikap.
Perbedaan-perbedaan tersebut lebih menampakkan stratifikasi ketimbang diferensiasi yang berujung pada ketimpangan gender. Sebagai korban yang selalu dipersepsi lebih negatif, inferior, dan subordinat adalah perempuan, sedangkan lelaki dipersepsi secara kultural lebih positif, superior, dan dominan.
Ketimpangan Gender dalam Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia
Kosakata suatu bahasa mewadahi seluruh ketimpangan gender. Dalam kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia pun terjadi ketimpangan gender pada ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan. Contoh-contoh berikut diharapkan dapat memperjelas perbedaan kedua ragam tersebut.
Pertama, beberapa ungkapan mencerminkan keberadaan wanita sebagai pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki sebagai penguasa kehidupan (cf. Kweldju, 1993). Perempuan-istri selalu menjadi ibu rumah tangga, sedang lelaki-suami otomatis menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga, sebodoh apa pun lelaki itu—maaf, andai saja suami itu bodoh. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan bertanggung jawab atas segala pekerjaan di dalam rumah, misalnya memasak, mencuci, mengasuh dan mengajari anak, menjaga dan merawat rumah—yang serba membutuhkan kelembutan dan kesabaran. Semua jenis pekerjaan tak berupah tersebut memunculkan ungkapan pekerjaan perempuan. Pendidikan anak lebih dibebankan kepada perempuan-istri ketimbang suami, termasuk mengajari anak berbahasa, sehingga muncul istilah bahasa ibu (mother language). Istilah anak mama dan kasih sayang ibu, termasuk ungkapan alah Mak, aduh Mak—dan bukan *alah Pak, *aduh Pak—juga menunjukkan bahwa anak dipersepsi secara sosial sebagai urusan perempuan. Tanggung jawab istri sebagai perawat rumah memunculkan istilah nyonya rumah. Tetapi, penguasa tertinggi tetap lelaki-suami, sehingga acuan istilah kepala rumah tangga dan tuan rumah selalu kepada suami.
Kedua, beberapa ungkapan dan struktur gramatikal menunjukkan bahwa seakan-akan perempuan itu ditakdirkan pasif, sedang lelaki dikodratkan aktif. Kepasifan perempuan (istri) ini juga ditempuh sebagai upaya untuk selalu menyenangkan, menjaga perasaan, dan menghormati lelaki (suami) (Spender, 1985). Seorang perempuan boleh saja jatuh cinta, tetapi ia harus menjaga dan bertahan jangan sampai ia mendahului mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Ia mesti pasif menunggu. Maka, yang muncul dalam ungkapan gramatikal adalah Dina dipacari/ dilamar/ dipinang/ dinikahi/ diperistri Indra dan tentu bukan Dina *memacari/ *melamar/ *meminang/ *menikahi/ *mempersuami Indra. Seorang istri tidak dapat *menceraikan suami—sejahat apa pun suami itu—sebab kultur Indonesia hanya memberi kesempatan kepada istri untuk meminta cerai atau minta diceraikan.
Sebuah ungkapan populer juga mencerminkan ketimpangan gender bias lelaki: dapur, sumur, lulur, kasur. Ungkapan ini jelas-jelas memerahkan telinga kelompok feminis aliran apa pun. Sebagai bandingan, dalam bahasa Jawa pun, yang justru lebih kaya, ada ungkapan yang berkenaan dengan betapa rendahnya peranan perempuan. Misalnya perempuan itu hanya awan dadi theklek, bengi dadi lemek (siang jadi bakiak, malam jadi alas untuk ditindih), masak, macak, manak (memasak, merias diri, melahirkan) atau pun neng omah, olah-olah, mlumah, mbegagah ngablah-ablah (di rumah, memasak, tidur terbuka menelentang) (Sobary, 2000). Boleh saja, ungkapan ini dikatakan sebagai sekadar beraroma traditional gender-based ideology, tetapi bahwa hal tersebut jelas fakta empiris konkret, sungguh tidak perlu diragukan.
Ketiga, beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan kesalahannya. Perempuan yang menjual diri sering disebut wanita panggilan, tetapi entah mengapa lelaki yang membutuhkan tidak pernah disebut *pria pemanggil. Yang sering dipersoalkan dan diucapkan adalah keperawanan atau kegadisan seorang perempuan dan tidak pernah dipermasalahkan keperjakaan seorang lelaki. Dalam dunia prostitusi, misalnya, sesungguhnya baik lelaki sebagai “pembeli” maupun perempuan sebagai “penjual” sama-sama berbuat tidak susila (asusila), tetapi sebutan yang ada hanya wanita tuna susila (WTS) dan tidak pernah ada *pria tuna susila (PTS) (Jupriono, 2003).
Keempat, beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan sebagai penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas (cf. Kuntjara, 2003). Seorang perempuan-istri bernama Linda Astuti, setelah diperistri seorang lelaki bernama Subandi, di lingkungan sekitarnya mendadak sontak dipanggil Ny. Subandi atau Bu Subandi oleh tetangganya dan ia hilang identitasnya sehingga jarang disapa sebagai Ny. Linda atau Bu Astuti. Sementara, suaminya tetap pada identitasnya semula sebagai Pak Subandi—dan tidak mungkin dipanggil *Pak Linda atau *Tuan Astuti. Ini sungguh-sungguh tidak ada kesejajaran. Seorang perempuan yang menjadi “istri tak sah” dilabeli sebutan piaraan, istri gelap, atau pun simpanan, tetapi lelaki yang menjadikannya begitu tidak mendapat sebutan apa pun, misalnya *pemiara, *suami gelap, atau pun *penyimpan. Seorang istri langsung mendapat nama baru begitu suaminya menjabat, dan jika istri menjabat, suami bebas atau tidak usah nama baru. Begitu suaminya terpilih sebagai kepala desa (kades), istri akan dipanggil Bu Kades, dan wajib mengikuti pembekalan bagi istri kepala desa di tingkat kabupaten. Tetapi, suami yang istrinya menjadi kades, tidak usah dipanggil *Pak Kades dan tidak ada program negara *pembekalan bagi suami kepala desa.
Kelima, kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar baik untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Julukan jago matematika, misalnya, berlaku baik untuk Rangga yang lelaki maupun Susi yang perempuan, kalau memang kedua memenuhi kualifikasi cerdas mengerjakan soal-soal matematika; tidak pernah ada *betina matematika sekalipun pemenang juaranya adalah Susi. Dengan kata lain, kata jago ini digunakan sebagai standar baik untuk lelaki maupun perempuan. Contoh lain: bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan. Belum pernah ada—atau mungkin tidak lazim—entah mengapa: *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan, misalnya.
Jika kosakata itu berbau perempuan, konotasi semantisnya cenderung negatif. Misalnya, Bejo yang perangainya kewanita-wanitaan disikapi sebagai negatif, disamakan dengan banci. Sebaliknya, perangai Eny yang tomboy, asal masih mau sedikit berdandan saja, akan diterima lebih positif—misalkan dianggap malah “modern”, “masa kini”, “gaul”—oleh sekitarnya.
Keenam, beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi oleh seorang lelaki, jika diisi oleh perempuan dianggap suatu “kelainan” atau kekecualian, dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. Sebutan profesor, kesebelasan, pesilat, wartawan cenderung menggiring orang untuk menafsirkan bahwa semua itu untuk lelaki. Jika dilekatkan kepada perempuan, biasanya menjadi profesor wanita, kesebelasan wanita, pesilat wanita, wartawan wanita—seakan-akan hal itu suatu keganjilan. Seorang lelaki tidak usah disebut *lelaki karier ketika sukses berkarier, tetapi seorang perempuan yang bekerja di sektor publik langsung harus disebut wanita karier.
Ketujuh, ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua, sehingga selalu disebut “setelah lelaki”. Yang lazim diungkapkan dalam pertemuan resmi, rapat, khotbah, ceramah, adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati…, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berbahagia, … dan pastilah bukan *Ibu-ibu, Bapak-bapak yang saya hormati, … *Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berbahagia, … Dalam surat undangan pun yang lazim tercetak adalah Kepada Yth.: Bpk/Ibu/Sdr. … dan tentu bukan *Kepada Yth.: Ibu/Bpk/Sdr. …
Kedelapan, dalam kebijakan institusional baik sektoral maupun nasional pun tergambar jelas betapa perempuan terus dan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan seperti lelaki. Karena gerak nasib perempuan dirasakan ketinggalan, peranannya perlu terus ditingkatkan melalui ungkapan menteri peranan perempuan, Hari Kartini, dan Hari Ibu. Sebaliknya, lelaki tidak menjadi masalah, sehingga tidak membutuhkan *menteri urusan lelaki, *Hari Kartini, dan *Hari Bapak. Sebagai bagian dari masalah, bahkan kedudukan perempuan disejajarkan dengan anak-anak, sehingga perlu dibangun Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), sedangkan kaum bapak tidak memerlukan karena dianggap sudah mandiri dan sudah dapat menolong diri sendiri. Bahkan, perempuan disamakan kedudukannya dengan benda mati, misalnya dalam ungkapan harta, tahta, wanita, atau peluru dan wanita. Hal ini menggambarkan fakta bahwa nasib perempuan tersubordinasi, bahkan sampai tingkat bahasa sekalipun.
Kesembilan, beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/ berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui, atau kalau diakui, dengan malu-malu. Misalnya seorang istri yang berdagang, yang penghasilannya benar-benar jauh di atas suami—sehingga sesungguhnya merupakan tumpuan kebutuhan material keluarga—dengan rendah hati akan mengatakan: hanya membantu suami, untuk tambah-tambah saja, hanya kerja sambilan, atau bahkan yah …ketimbang menganggurlah. Dia akan mendapat cap buruk, penilaian negatif, dari sekeliling jika saja mengatakan *Saya yang menanggung kebutuhan keluarga, penghasilan suami cuma berapa.
Secara psikologis kultural, terdapat ketakutan “menyaingi” atau “mengalahkan” suami pada seorang istri. Dalam dunia psikologi ada istilah syndrome of success fear.—suatu fenomena seorang istri takut kelihatan lebih sukses ketimbang suaminya, takut suaminya tampak lebih bodoh (Sudarwati, 2003). Dalam hal demikian, seorang istri juga mengalami “kematian subjek”: menjadi diri sendiri pun tidak berani.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dapat ditarik di sini sehubungan dengan ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut. (1) Beberapa ungkapan mencerminkan wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan. (2) Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. (3) Beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan. (4) Beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. (5) Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. (6) Beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan” dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. (7) Ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua. (8) Dalam kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan (9) Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui.
Tulisan ini menyimpan beberapa kekurangan. Pertama, data yang disajikan amat terbatas. Pemakaian bahasa dalam iklan—yang diduga kuat mengandung ketimpangan gender—belum tercakup dis ini. Maka, jika kajian ini dilanjutkan, selayaknya diadakan pengayaan data. Kedua, kajian ketimpangan gender sesungguhnya dapat diperdalam ke arah relasi gender dan kekuasaan di antara penutur lelaki dan penutur perempuan. Tulisan ini terlalu umum untuk diarahkan ke situ walaupun gagasan tentang relasi kekuasaan tersebut sudah dicakup. Sekadar, menyodorkan saran, buku Esther Koentjara (2003), Gender, bahasa, dan Kekuasaan, dapat dimanfaatkan dalam hal ini. Ketiga, sebagai kajian sosiolinguistik, sesungguhnya kajian ini hanya menerapkan salah satu pendekatan (sosiokultural), padahal ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan, misalnya pendekatan psikodinamis, kognitif, dan sosiokultural (Kweldju, 1993).
Daftar Pustaka Acuan
Budiman, K. 1992. “Subordinasi Perempuan dalam Bahasa Indonesia”. Dalam B. Santoso et al. (ed.), Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Studi Realino.
Coates, J. 1991. Women, Men, and Language: A Sociolinguistics Account of Sex Differences in Language. London: Longman.
Hudson, R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Jupriono, D. 1997. “Bahasa Indonesia, Bahasa Lelaki?”. FSU in the Limelight 5(2) Juli.
Jupriono, D. 2003. “Ideologi Patriarki pada Singkatan WTS: Konstruksi Simbolis Ketidakadilan Gender”. Parafrase 3(1), Februari.
Kramarae, C. 1981. Women and Men Speaking: Frameworks for Analysis. London: Newbury House Pub., Inc.
Kuntjara, E. 2003. “Gender, Bahasa, dan Kekuasaan”. Surabaya: Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra.
Kweldju, S. 1993. “Penelitian Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian Stereotipi Seks”. Warta Studi Perempuan 4(1).
Lakoff, R. 1979. “Talking Like a Lady”. Dalam B.J. Wishart & L.C. Reichman (ed.), Modern Sociolinguistics Issues. New York: MacMillan Pub. Co. Inc.
Sari, N.I., A. Kuntarti, A.C. Rahayu. 2003. “Diksi dalam Ragam Bahasa Prokem di Kalangan Gay di Surabaya Pusat”. Parafrase 4(1) Februari.
Saville-Troike, M. 1982. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
Sobary, M. 2000. “Wanodya” (Hal. 149—151) dalam Kang Sejo Melihat Tuhan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Spender, D. 1985. Man Made Language. London: Routledge & Kegan Paul.
Spolsky, B. 2001. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Sudarwati M. 2003. “Pola Kepemimpinan Partisipatif, Dukungan Sosial Suami, dan Fear Succes dengan Motivasi Kerja pada Wanita Karier di Surabaya”. (Tesis tidak dipublikasikan). Program Studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Untag Surabaya
Trudgill, P. 1984. Sociolinguistics. Harmonsworth: Penguin Books.