D. Jupriono
Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Kondisi objektif penelitian mahasiswa yang berperspektif kritik sastra marxis menunjukkan tiga kecenderungan. (1) Sedikit sekali jumlah penelitian yang mengaplikasikan rumpun teori sastra marxis. (2) Dari sekian banyak teori sastra marxis, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan dari Karl Marx. (3) Penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan. Prinsip dasar rumpun teori sastra marxis (Marx & Engels, Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, dan Trotsky) adalah bahwa: karya sastra harus berpihak kepada penderitaan golongan proletar; karya sastra harus memperlihatkan perlawanannya kepada golongan borjuis; pemihakan dan perlawanan tersebut harus direpresentasikan melalui karya realisme sosialis dengan bahasa lugas sehingga mampu membangkitkan kesadaran golongan tertindas.
Abstrak
Student application Ability of Marxist theory art show three tendency: (1) at least sum up the research of have clump to Marxist theory of art; (2) from so much theory, what most is dominant selected by a student is view of Karl Marx; (3) domination and application of theory of Marxist art in research a long way off its base principles. Elementary principle of clump of theory of Marxist art (Marx & Engels, Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, and Trotsky) is that: belleslettres have to stand up for the proletarian faction grief; belleslettres have to show the antigolongan bourgeois; the pemihakan resistance and have to represented through masterpiece of socialist realism with the bare Ianguage so that able to awaken the oppressed faction awareness.
Kata-kata kunci: penguasaan teori, aplikasi teori, realisme sosialis, kritik sastra marxis, konflik kelas
Pendahuluan
Meskipun bidang kesastraan tidak lebih penting daripada linguistik, dan juga kualitas penelitian kesastraan mahasiswa tidak lebih tinggi ketimbang kualitas penelitian linguistik, jika dibandingkan, jumlah skripsi mahasiswa yang mengangkat kesastraan lebih banyak daripada skripsi yang memilih linguistik. Dalam penelitian sastra di kalangan mahasiswa selama ini, yang mendominasi adalah kajian intrinsik (Strukturalisme, Formalisme, Pendekatan Objektif), sedang pendekatan ekstrinsik interdisipliner (psikologi, sosiologi, historis, filsafat, moral didaktis) sepi peminat. Meskipun demikian, mungkin dalam lima tahun terakhir, pendekatan ekstrinsik, terutama dari perspektif sosiologi, mulai mendapat tempat (Jupriono, 2003).
Kajian sosiologi sastra berperspektif sosiologi mempunyai banyak rumpun teori, misalnya sastra dan realitas, kritik sastra marxis, strukturalisme genetik, sastra dan politik, hegemoni, feminisme, dan resepsi sastra (Steen, & Schram, 2001). Terdapat kecenderungan bahwa rumpun teori (kritik) sastra marxis kurang mendapat peminat setidaknya dibandingkan dengan rumpun sastra dan realitas, strukturalisme genetik, dan resepsi sastra. Mempertimbangkan hal tersebut, masalah tulisan ini, difokuskan pada hal-hal berikut. (1) Bagaimanakah kondisi objektif penelitian mahasiswa yang mengaplikasikan kritik sastra marxis? (2) Bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip dasar rumpun kritik sastra marxis?
Kemampuan Mengaplikasikan Kritik Sastra Marxis dalam Penelitian
Secara singkat, kondisi objektif penelitian mahasiswa yang berperspektif kritik sastra marxis menunjukkan tiga kecenderungan kuat berikut. (1) Jumlah penelitian yang mengaplikasikan rumpun teori sastra marxis amat sedikit. (2) Dari sekian banyak teori sastra marxis yandg dipakai pada segelintir penelitian mahasiswa, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan dari Karl Marx. (3) Penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan.
Kecenderungan pertama, seperti sudah disebutkan, adalah teramat sedikitnya—mungkin malah langka—penelitian mahasiswa yang mengangkat kritik sastra marxis selama Orde Baru berkuasa (1966—1998), bahkan hingga sekarang ketika fobi ideologi tidak lagi populer. Ada beberapa kemungkinan dugaan mengapa demikian.
Pertama, hingga sekarang masih cukup kuat ketakutan mahasiswa dan juga dosen terhadap apa pun yang berlabel marxis. Sekadar membaca—apalagi mengaplikasikan—teori marxisme dalam penelitian saja sudah seperti dikejar hantu di malam Jumat Kliwon. Padahal, jangankan hanya membaca, sudah jelas-jelas total menerapkan perspektif marxis dalam penelitian pun sebenarnya tidak dapat langsung diidentikkan dengan mempercayai, menganut, atau pun membenarkan marxisme (Beidler, 1999). Sungguh runyam, memang, jika teori diidentikkan dan dikontaminasikan dengan ideologi. Dapat dimaklumi jika itu di zaman Orde Baru. Memang, saat rezim Orde Baru berkuasa, jangankan mengaplikasikan marxisme dalam penelitian, sekadar membaca buku-buku kiri saja, jika ketahuan tentara, dapat bernasib sial tujuh turunan. Akan tetapi, jika ketakutan yang sama masih juga menghantui di era Reformasi ini, jelas-jelas itu sebuah ketakutan imajiner.
Kedua, sebagai akibat dari kondisi pertama, sungguh amat langka penelitian dosen—yang umumnya diacu oleh penelitian mahasiswa—yang berperspektif kritik sastra marxis. Termasuk di dalamnya adalah dilarangnya terbitan dan publikasi yang mengangkat topik marxisme. Maka, novel-novel besar Pramoedya, misalnya, dibredel (GoGwlit, 1996). Ketika zaman sudah berubah, memasuki era Reformasi pun, pernah ada gerakan pembakaran dan sweeping buku-buku kiri—atau yang dianggap kiri. Akibatnya, mahasiswa pun mengalami kesulitan mencari bahan rujukan untuk penelitian sastra berperspektif marxis.
Ketiga, berkaitan dengan sebab pertama dan kedua, materi perkuliahan marxisme—termasuk kritrik sastra marxis—lenyap dari ruang-ruang kelas. Jika toh diberikan dosennya, porsinya sekadar “numpang lewat”. Selebihnya adalah risiko: diperingatkan atasan, dihambat kariernya, dipecat, atau dituduh subversi. Hal ketiga ini sekarang sudah tidak lagi populer.
Kecenderungan kedua adalah bahwa dari sekian banyak teori sastra marxis yang dipakai pada segelintir penelitian mahasiswa, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan Karl Marx, sementara versi tokoh lain sepi peminat. Seperti dapat dilacak dalam berbagai sumber, banyak sekali teori yang berpayung di bawah rumpun teori sastra marxis, misalnya (1) pandangan Marx & Engels tentang tendensi politis penulis, (2) pandangan Vladimir Lenin tentang dasar kritik sastra marxis, (3) pandangan Lukacs tentang teori realisme sosialis, (4) pandangan Brecht tentang keharusan sastrawan memperjuangkan kepentingan buruh, (5) pandangan Zima tentang karya sastra sebagai reaksi terhadap konteks sosial yang sanggup membangkitkan kesadaran masyarakat, (6) pandangan Plekanov tentang keterikatan karya sastra dengan kelas sosial (Luxemburg et al., 1986), (7) pandangan Marcuse tentang karya sastra sebagai jalan pembebasan (Marwoto, 2001), (8) pandangan Benjamin tentang dasar-dasar politik dalam karya sastra (Hakim, 2001), serta (9) pandangan Trotsky tentang akar dan fungsi sosial sastra (Trotsky, 2003).
Tentu ada kondisi historis yang melatarbelakangi ketimpangan ini. Ada beberapa dugaan mengapa pandangan Marx jauh lebih dominan dari tokoh marxisme lain. Pertama, dalam beberapa pustaka sosiologi sastra, pandangan Marx mendapat porsi bahasan lebih banyak dari tokoh-tokoh marxisme lainnya. Hal ini menyebabkan popularitas Marx jauh melampui tokoh lain. Buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas karya Sapardi Djoko Damono (1979), Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal karya Saraswati (2003), dan juga artikel “Marxist and Materialist Analysis” karya Donald E. Hall (2001), misalnya, membuktikan hal itu. Kedua, beberapa mata kuliah lain, bahkan juga di luar bidang kesastraan, lebih sering mengangkat pandangan Marx ketimbang Lenin, Zima, atau Plekanov, misalnya. Mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern (I, II) dan Pranata Masyarakat Indonesia (I, II) di fakultas sastra, Teori Politik dan Teori Negara di FISIP, dan Teori Pembangunan di fakultas ekonomi, misalnya, juga hanya menyinggung pandangan Marx dan tidak bagi tokoh marxisme lain.
Kecenderungan ketiga, penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan. Hal ini tampak dari beberapa indikator berikut.
Pertama, cukup kuat persepsi di kalangan mahasiswa peminat kritik sastra marxis—yang jumlahnya sedikit itu—bahwa setiap novel atau cerpen yang berisi konflik berdarah, perang, atau kerusuhan layak ditelaah dari perspektif sastra marxis. Sebetulnya, persepsi ini tidak sepenuhnya salah, hanya jelas merupakan penyederhanaan masalah berlebihan. Pada marxisme, konfliknya harus konflik kelas, atau yang dapat dikategorikan sebagai kelas sosial, yang berembrio pada konflik abadi golongan proletar vs. borjuis (Robbins, 1999; Hall, 2001a). Konflik personal Tokoh Kita dalam novel Ziarah (1969; 1999) dan konflik tokoh Dia dengan cuaca alam dalam Kering (1972; 2000) karya eksistensialis Iwan Simatupang—bagaimanapun tingginya mutu kedua novel—jelas tidak relevan untuk ditelaah dari perspektif kritik sastra marxis. Hal yang sama juga tidak dapat diberlakukan pada konflik yang berbuntut penderitaan psikis luar biasa antara Roger Chillingworth dengan Hester Prinne dan Arthur Dimmesdale dalam novel “puritanisme romantik” The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne (Lyn, 1997).
Kedua, lemahnya penguasaan materi kritik sastra marxis oleh mahasiswa tampak pada sedikitnya, atau bahkan absennya sama sekali, ulasan teori sastra marxis dari bagian landasan teori, kajian pustaka, kerangka teori, pendekatan penelitian, analisis, dan kesimpulan serta saran. Sebuah kasus konkret layak diangkat di sini. Seorang mahasiswa meneliti perbandingan konflik dalam novel The Gilded Age (1948) karya Mark Twain dan The Jungle (1956) karya Upton Sinclair.
Pilihan ini tepat sebab novel-novel ini memang menggambarkan kekerasan sebagai dampak industrialisasi, merupakan dramatisasi kekerasan dari kondisi rumah-rumah produksi pembungkus daging dalam cengkeraman monopoli trust daging. Pada bagian metodologi disebutkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekstrinsik sosiologi sastra dengan perspektif konflik kelas Marx. Pada bagian kajian pustaka pun sudah dibahas tiga penelitian terdahulu mengenai kedua novel. Pada bagian landasan teori sudah pula dijelaskan beberapa konsep dasar tentang konflik dalam fiksi, jenis-jenis konflik, konflik kelas versi Marx dalam kajian sosiologi sastra. Sampai di sini lancar-lancar saja. Akan tetapi, dalam bagian analisis data, mahasiswa mendeskripsikan dan mengeksplanasikan konflik tanpa disangkutpautkan dengan perspektif konflik kelasnya Marx dalam sosiologi sastra. Mahasiswa serius ini hanya membedah konflik antartokoh mewakili kelas masing-masing berdasarkan data semata, seperti dalam kajian intrinsik. Dalam kesimpulan dan saran pun senada. Jika demikian, apa bedanya kajian ekstrinsik sosiologis dengan kajian intrinsik?
Ketiga, terjadi salah perspektif keilmuan pada mahasiswa karena menganggap bahwa kajian sosoiologi sastra marxis sama saja dengan kajian marxis dalam bidang sosiologi “murni”. Maka, laporan skripsinya lebih menampilkan sosok mahasiswa FISIP ketimbang mahasiswa fakultas sastra atau FKIP. Sebuah kasus konkret layak dihadirkan di sini. Untuk penelitian skripsinya seorang mahasiswa mengangkat konmflik dalam Iron Heel karya Jack London (1905). Pilihan ini tepat sebab Iron Heel memang berkisah tentang konflik akibat industrialisasi berwajah kekerasan gara-gara tokoh utama Ernest Everhart, seorang sosialis, mencoba menumbangkan para kapitalis. Lucunya, pada bagian kajian pustaka dan landasan teori, tidak disebut satu pun konsep dan teori sosiologi sastra. Yang dikupas panjang lebar komplet adalah konsep dasar murni sosiologi. Dalam menganalisis data pun demikian. Pada analisis (bab III) ada dua bagian: pertama, temuan tentang konflik sesuai dengan data dalam novel dan kedua, diskusi hasil temuan. Pada bagian pertama tidak ada persoalan. Tetapi pada bagian kedua, mahasiswa tersebut bagaikan juru kampanye pilpres, dengan cukup provokatif mengulas panjang lebar soal kekejaman golongan kapitalis dalam meraup modal, penderitaan golongan sosialis buruh, tanpa disangkutkan dengan data novel. Sebagai calon politikus atau pejabat di Indonesia, ia amat potensial berbakat, tetapi sebagai calon ilmuwan sastra, ia gagal.
Prinsip Dasar Rumpun Teori Sastra Marxis serta Contoh Aplikasi
Sebagai reaksi terhadap lemahnya penguasaan teori sastra marxis di kalangan mahasiswa, bagian berikut menyajikan prinsip-prinsip dasar pandangan setiap tokoh dengan teorinya masing-masing, di bawah rumpun teori sastra marxis.
Tendensi Politis Sastrawan (Marx & Engels)
Marx tidak berbicara khusus soal sastra. Akan tetapi, lewat penjelasan Engels, pandangan Marx tentang sastra dapat diketahui sebagai berikut. (1) Setiap karya sastra harus bertendensi politis, tetapi tendensi tersebut hendaknya tersirat saja. (2) Setiap sastrawan hendaknya menampilkan realisme baru tentang tokoh-tokoh yang representatif (Saraswati, 2003). (3) Setiap karya sastra hendaknya berkekuatan sebagai praksis sosial dalam berbagai kontradiksi perkembangan historis, dan tidak hanya semata-mata mencerminkan nilai estetis dan filosofis. (4) Pengkajian sastra hendaknya dapat membongkar unsur-unsur ideologis sebagai kesadaran palsu (Soetomo, 2001).
Misalnya, puisi penyair Wiji Thukul—yang hingga sekarang masih (di)hilang(kan) secara misterius—berjudul “Peringatan” yang ditulis pada 1986 (Thukul, 2000: 61): … Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/ Maka hanya ada kata: lawan! Baris terakhir dalam puisi ini jelas-jelas bernilai praksis yang dapat membongkar kesadaran palsu masyarakat tertindas untuk dibangkitnya nyalinya melawan kesewenang-wenangan penguasa. Sesuai dengan pandangan pertama Marx, Thukul tidak terang-terangan menyebut bahwa yang harus dilawan adalah “penguasa Orde Baru”, misalnya. Meskipun demikian, makna tersebut tersirat dalam bait itu.
Puisi ini juga amat sesuai dengan pandangan Karl Marx bahwa setiap pemikiran (sastra, filsafat) hendaknya berkekuatan praksis—bukan sekadar teoretis, deskriptif, atau menghibur semata. Dengan “Peringatan”-nya Thukul2 mengajak bergerak melawan kesewenang-wenangan penguasa. Ini amat sesuai dengan spirit Marx yang hendak memindahkan filsafat “dari otak ke tangan”, dari sekadar wacana sporadis orang per orang menjadi praksis konkret gerakan sosial. Gerakan demikian diyakini Marx mampu mengobarkan revolusi sosial yang akan merobohkan struktur eksploitatif masyarakat kapitalistis yang tidak adil (Murfin, 1999; Marwoto, 2001). Dalam hal ini, puisi Thukul berperan sebagai pembangkit dan pemicu kesadaran golongan tertindas.
Kritik Sastra Marxis (Lenin)
Penggerak Revolusi Bolsyevic Rusia,Vladimir I. Lenin, dianggap sebagai peletak dasar kritik sastra marxis. Pandangan khas Lenin tentang itu dideskripsikan sebagai berikut. (1) Sastra terikat dengan kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat tertentu. (2) Karya sastra selalu mencerminkan realitas konflik kelas di masyarakat tertentu. (3) Setiap sastrawan bertugas menjadikan karyanya agar turut menggerakkan perubahan sosial dalam pembangunan masyarakatnya. (4) Setiap karya sastra harus memenuhi tiga syarat yang ditetapkan partai, yakni: a) berfungsi sosial, b) mengabdi kepentingan rakyat banyak, dan c) menjadi bagian dari aktivitas partai komunis. (5) Satu-satunya aliran sastra yang boleh diikuti pengarang adalah realisme sosialis yang berprinsip: a) karya sastra menyajikan tafsir tentang hubungan dialektis dalam masyarakat (realisme) dan b) karya sastra mendukung perjuangan partai komunis untuk membangun masyarakat baru yang lebih adil yang menerapkan ideologi sosialisme (Luxemburg et al., 1986).
Contohnya adalah topik cerita ludruk3 “Sarip Tambakyasa”. Tokoh utama, Sarip, adalah pemuda rakyat melarat yang—walau preman urakan—sayang akan ibu kandung dan orang-orang kecil, kontras dengan kakak kandungnya, Mualim, yang telah berkeluarga, sudah haji, kaya raya, tetapi pelit—bahkan kepada ibu kandungnya pun. Sarip pun harus bentrok dengan Paidi yang mengabdi orang kaya, serta terlibat konflik dengan lurah-lurah yang menjadi antek Kompeni Belanda (Ahmadi et al., 1987; Supriyanto, 1994). Dalam sudut pandang kritik sastra marxis Lenin, Sarip adalah pahlawan dari kalangan proletar yang menuntut keadilan dan melawan kezaliman penguasa, sedang Mualim, Paidi, dan para lurah serta Kompeni Belanda adalah pembela-pembela kepentingan borjuis yang harus dilawannya. Cerita teater rakyat ludruk ini dianggap mengabdi kepada kepentingan kelas proletar (Sarip yang miskin), sesuai dengan pandangan sastra Lenin. Dalam hal demikian, sebagai karya sastra, cerita legendaris “Sarip Tambakoso” dianggap memiliki keterlibatan sosial yang cukup terhadap persoalan masyarakat tertindas.
Teori Realisme Sosialis (Georg Lukacs)
Georg Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut. (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran (Syaifullah, 2001).
Contoh aplikasinya adalah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? Karya Seno Gumira Adjidarma (dalam Andalas, 2001). Naskah drama ini ditulis dan berkali-kali dipentaskan justru ketika negara terkesan membiarkan—bahkan mempeti-eskan—kasus penculikan terhadap para mahasiswa dan aktivis demokrasi. Diduga kuat penculikan ini sebagai bagian dari praktik busuk politik kekuasaan rezim otoriter. Kental sekali aroma politis naskah drama ini. Dialog-dialognya yang getir, berani, sekaligus cerdas, menohok langsung jantung kekuasaan militerisme yang mencengkeram kuat di tubuh pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam salah satu dialog, misalnya, tokoh Ayah dan Ibu bertanya, “Politik itu apa sih kok sampai menyembelih manusia segala?” (Andalas, 2001: 68). Dalam perspektif Lukacs, dramawan Seno Gumira Adjidarma secara konkret telah menunjukkan tanggung jawab dan keterlibatan sastra dan sastrawan—dalam hal ini, drma dan dramawan—di dalam masyarakat yang sedang dirundung duka, yakni penculikan beberapa aktivis dan mahasiswa oleh aparat negara. Dramawan Ajidarma dalam drama ini menunjukkan pemihakannya kepada keluarga si terculik justru ketika negara tidak menaruh simpati kepada penderitaan keluarga korban. Dalam perspektif Lukacs, pemihakan ini diwujudkan dalam bentuk drama yang merepresentasikan peristiwa sosial itu secara realistik.
Sastra dan Perjuangan Buruh (Brecht)
Pandangan-pandangan khas Bertolt Brecht mengenai sastra dan perjuangan golongan proletariat buruh dideskripsikan sebagai berikut. (1) Seorang sastrawan harus memihak kepentingan dan perjuangan kelas buruh; ia tidak boleh bersikap netral. (2) Karya sastra hendaknya tidak sekadar mencerminkan realitas sosial, tetapi lebih penting dari itu adalah mengubah kondisi ketidakadilan sosial di masyarakat. (3) Dalam endensinya turut mengubah masyarakat, karya sastra yang baik harus mempu merangsang daya kritis pembaca, penonton, untuk aktif berkesadaran dan memikirkan asalah masyarakatnya.
Misalnya puisi W.S. Rendra berjudul “Sajak Anak Muda” (1996: 39) yang beberapa barisnya dikutip berikut: … Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja …/ Sementara hukum dikhianati berulang kali …/ Sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi …/ Kita memukul dan mencakar . Dalam puisi ini, Rendra jelas tidak sekadar mencerminkan realitas pembusukan hukum dan korupsi di negeri ini. Lebih dari itu, lewat sajaknya, Rendra mengajak seluruh rakyat untuk tidak tinggal diam; rakyat harus bertindak. Ajakan ini tampak pada baris puisi yang provokatif: Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja … Kita memukul dan mencakar. Dalam hal demikian, puisi “Peringatan” (2000) karya Wiji Thukul, yang telah dikutip pada bagian depan, dapat pula disejajarkan dengan puisi Rendra ini.
Sebagai karya puisi pamflet—apa pun konotasi yang diberikan pada istilah ini—sajak-sajak Rendra dan Thukul cenderung kelewat provokatif, realistik, dan lugas. Sebagai bahasa puitik, yang dipakai justru kata-kata yang tidak terlalu konotatif. Tentu saja, aktivitas interpretasi tetap dituntut meski tidak seberapa multitafsir. Taruhlah, kata kita, misalnya, hampir tidak mungkin ditafsirkan sebagai ‘penguasa’, melainkan ‘rakyat’; kata korupsi juga tidak mengandung tanda untuk diinterpretasikan lain kecuali sebagai ‘korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintahan’. Dalam hal ini, kentara betul kepada siapa kedua penyair ini menyatakan pemihakan dan perlawanannya. Ini khas pemihakan dan perlawanan menurut cara pandang Bertolt Brecht. Akan tetapi, kata memukul dan mencakar rasanya tidak mungkin ditafsirkan secara lugas sebagai ‘gerakan tangan memukul-mukul dan mencakar-cakar’.
Sastra sebagai Reaksi terhadap Konteks Sosial (Zima)
Zima memandang karya sastra apa pun sebagai berikut. (1) Karya sastra merupakan reaksi terhadap konteks sosial kemasyarakatan yang sanggup membangkitkan kesadaran masyarakat akan masalah sosial yang dihadapinya. (2) Reaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan). (3) Dalam mengekspreikan reaksi tersebut, karya sastra tidak boleh melenceng dari garis partai (Luxemburg, 1986; Saraswati, 2003).
Contohnya adalah puisi K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) “Kembalinya Makna Pancasila” (Pondasi, V/Januari 2004: 23) berikut: … Kepentingan-kepentingan sempit sesaat/ Telah terlalu jauh menyeret kalian/ Maka pancasila kalian pun selama ini adalah:/ Kesetanan yang Maha Perkasa/ Kebinatangan yang Degil dan Biadab/ Perseteruan Indonesia/ Kekuasaan yang Dipimpin oleh Nikmat Kepentingan dalam Kekerabatan/Perkawanan/ Kelaliman Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tentu, bukan karena karena kurang ajar kalau Gus Mus mempelesetkan sila-sila suci Pancasila yang dikeramatkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Gus Mus berbuat begitu karena didorong oleh keinginannya mereaksi keadaan sosial (penguasa dan masyarakat luas) yang tidak serius mengamalkan sila-sila Pancasila, yang siang malam digembar-gemborkan dengan berbusa-busa melalui mulut penguasa.
Dalam kaca mata sastra marxis Zima, puisi Gus Mus ini sebagai sebentuk reaksi terhadap konteks ketimpangan sosial yang diwujudkan dalam bentuk sindiran atau parodi. Sebagai penyair, kiai nyentrik perokok berat ini prihatin ketika menyaksikan betapa rendah moral serta demikian mencla-mencle-nya perilaku bangsanya, khususnya para pejabat. Keterlibatan sosial-nya sebagai penyair diwujudkan dalam sindiran—dan bukan pelukisan secara ironis, kritik keras, atau deskripsi apa adanya (imitasi).
Keterikatan Karya Sastra dengan Kelas Sosial (Plekanov)
Plekanov mempunyai pandangan khas tentang keterikatan sastra dengan kelas sosial sebagai berikut. (1) Karya sastra mencerminkan kehidupan kelas sosial masyarakatnya. (2) Di samping sebagai cermin, karya sastra juga mengandung unsur yang sama sekali non-sosial dan tidak terikat dengan kelas sosial tertentu. (3) Seni sastra yang besar tidak dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuistik (Luxemburg et al., 1986).
Dalam cara pandang marxis Plekanov, sebagai contoh, bukan fenomena biasa bahwa ternyata sedikit sekali puisi dan novel besar yang menyuarakan ketidakadilan sosial, selama rezim Orde Baru—yang didominasi oleh militer dan kapitalis (pemilik modal, dalam bahasa marxis biasa disebut golongan borjuis). Ada apa ini? Mengapa demikian? Kenyataan ini membuktikan bahwa pada masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis-kapitalistik seperti Indonesia sulit lahir novel-novel besar yang mengangkat tema-tema ketidakadilan sosial di masyarakatnya. Tentu saja, tetap layak dipersoalkan, mengapa kehidupan yang timpang tidak juga menggugah para sastrawannya untuk berkarya. Memang, ada juga karya bagus yang menyuarakan ketimpangan sosial, khususnys ihwal bias gender, misalnya saja Dadaisme Dewi Sartika dan Geni Jora Abidah El Khalieqy, pemenang Sayembara Novel 2003.
Puisi dan novel yang dominan selama Orde Baru adalah karya yang individualistis, absurd, surrealistik, hedonistik, misalnya karya-karya Abdul Hadi, Budi Darma, Korrie Layun Rampan, beberapa karya Motinggo Busye, serta juga sebagian puisi karyas Afrizal Malna. Dari sudut pandang aliran humanisme universal, karya mereka tergolong berkualitas, tetapi dari sudut pandang Plekanov, karya-karya tersebut kurang berspirit kiri dan kurang menyuarakan perjuangan melawan ketidakadilan. Sekalipun para sastrawan humanisme universal tidak berniat dan tidak merasa memihak golongan kapitalis, tindakan mereka, dalam perspektif Plekanov, dinilai amat menguntungkan dan memuluskan praktik ganas golongan kapitalis yang cuma tahu satu kepentingan: menumpuk modal. Maka, ia bukan hanya perlu disikapi, tetapi harus juga dibuat perhitungan konkret.
Karya Sastra sebagai Jalan Pembebasan (Marcuse)
Tokoh neo-marxis Herbert Marcus berkeyakinan bahwa pandangan-pandangan ortodoks marxis tentang keradikalan kelas proletar saat ini kurang sesuai. Maka, menurut Marcus, dibutuhkan paradigma baru sosiologi marxis, juga dalam bidang kesenian, termasuk sastra (Marwoto, 2001: 34). Adapun pandangan khasnya mengenai karya sastra dan jalan pembebasan masyarakat sebagai berikut. (1) Karya seni (sastra) yang dapat diberdayakan sebagai media pembebasan sebab karya sastra klasik belum terkontaminasi oleh teknologi modern kapitalisme. (2) Karya seni klasik mempunyai dua karakter, yakni a) kekuatan afirmatif-konservatif dan b) kekuatan negasi-progresif, yang menyajikan citra kebudayaan tandingan (counter culture) terhadap realitas dominan sehari-hari. (3) Karya sastra tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang pada akhirnya sanggup mengubah dunia (Marwoto, 2001).
Sebagai contoh aplikasinya adalah cerita klasik wayang purwa bertitel “Semar Ambangun Kahyangan” yang dibawakan dalang Ki Anom Suroto. Cerita klasik ini seakan menggambarkan semangat kebebasan dan keberanian orang kecil (Semar, yang hanya abdi) dalam menghadapi arogansi para penguasa atasannya. Cerita ini berkekuatan afirmatif-konservatif, seperti pandangan neo-marxis Marcuse. Entah Ki Anom, entah panitia yang meminta Ki Dalang melakonkan itu, sesungguhnya terdorong oleh suatu obsesi ingin meng-reestablish-kan tatanan politik keraton yang telah porak poranda ke jalur prosedur yang semestinya. Pandangan negasi-progresif juga tampak sebab Semar yang biasanya diam, sebagai rakyat kecil, berani mengkoreksi dan memprotes kesewenang-wenangan penguasa tertinggi, yakni para dewa di kahyangan. Cerita ini, menurut perspektif Marcus, diharapkan mampu menggugah kesadaran penonton, yakni rakyat jelata, yang terlalu lama dininabobokan oleh kekuasaan yang menindas secara hegemonis.
Dasar-Dasar Politik dalam Karya Sastra (Benjamin)
Kekhasan pandangan Walter Benjamin sebagai pejuang neo-marxis terhadap sastra dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) Karya seni sastra adalah ruang yang masih tersedia bagi suatu usaha pembebasan manusia ketika masyarakat dikuasai oleh reifikasi (pemberhalaan, pembendaan) total masyarakat kapitalistik. (2) Dalam dunia kapitalistik sastra telah kehilangan aura kultis-ritual karena didesak oleh reproduksi mekanis karya seni, termasuk sastra, tetapi justru karena itu sastra harus dikeluarkan dari dunia esoterisnya untuk dibawa ke ruang eksoteris, yakni publik masyarakat, sehingga menjadi lebih demokratis. (3) Karya sastra dengan bahasa eksoteris dapat menjadi media komunikasi politik di tengah-tengah masyarakat yang dikuasi oleh modernisme kapitalistik (Hakim, 2001).
Sekali lagi, yang dihadirkan sebagai contoh adalah puisi karya penyair PRD Wiji Thukul. Judulnya “Catatan” yang ditulis penyairnya sekitar 1987-1988 (Thukul, 2000: 7): … Uang sepuluh ribu di sakuku/ Di sini hanya dapat 2 buku/ Untuk keluargaku cukup buat/ Makan seminggu/ Gemerlap toko-toko di kota/ Dan kumuh kampungku/ Dua dunia yang tak pernah bertemu. Jika dilihat dari perspektif Benjamin, puisi Thukul ini jelas puisi yang memenuhi syarat sebagai karya sastra yang dapat dipakai untuk menyuarakan penderitaan dan membebaskan manusia dari sergapan nilai kapitalisme yang mereifikasi, “memberhalakan” segala bidang kehidupan (harga buku yang mahal, kota yang gemerlap). Kata-kata yang dipilih Thukul pun tidak esoteris, yang sulit dimengerti orang luar, tetapi justru kata-kata lugas dan eksoteris, dapat ditangkap dengan jelas oleh siapa pun publiknya—tukang becak dan buruh pabrik sekalipun. Oleh karena itu, puisi ini dapat diberdayakan sebagai media komunikasi politik: menyuarakan ketimpangan sosial, yang berarti mengingatkan kepada sesama orang kecil akan kegagalan penguasa memakmurkan rakyatnya.
Akar dan Fungsi Sosial Sastra (Trotsky)
Mengenai akar dan fungsi sosial sastra, pandangan Trotsky dideskripsikan sbb. (1) Setiap karya sastra hendaknya menyuarakan penderitaan dan harapan golongan yang paling lemah-tertindas. (2) Dalam mengekspresikan penderitaan tersebut, bahasa sastra hendaknya menggunakan bahasa paling spontan dan langsung. (3) Terstimulasi oleh faktor ekonomi, kelas proletar harus memiliki ekspresi yang berasal dari cara pandang baru mereka sendiri dan sastrawan harus membantunya dengan memberi wadah (Trotsky, 2003).
Sebagai contoh aplikasi Trotsky ini adalah novel-novel berbobot dari tangan tua Pramoedya Ananta Toer di tengah-tengah masyarakat di bawah kuasa rezim Orde Baru—yang didominasi oleh militer dan pengusaha/pemilik modal. Dalam situasi konspiratif antara penguasa dan pengusaha, lahirlah novel-novel besar dan kecil Anak Semua Bangsa, Arok Dedes, Perburuan, Subuh, Percikan Revolusi, Mereka yang Dilumpuhkan, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, Cerita dari Blora, Midah Si Manis Bergigi Emas, Korupsi, Sekali Peristiwa di Banten Selatan, Cerita Calon Arang, Gulat dari Jakarta, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Bumi Manusia, Jejak Langkah, Hikayat Siti Mariah, Keluarga Gerilya, yang biarpun dinyatakan dilarang negara melalui Departemen Kehakiman dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetap diburu dan menuai pujian banyak orang (Kurniawan, 1999; Amalik, 2000).
Mengapa banyak diburu dan sering diberitakan media massa—kiranya merupakan bukti bahwa novel-novel “kiri” Pram menyajikan sesuatu yang luar biasa: menyuarakan ketertindasan, penderitaan, ketidakadilan yang dialami golongan yang tidak berkuasa. Bahasa Pram juga lugas, spontan, dan langsung, sehingga mudah dimengerti pembaca. Dengan seluruh karyanya, Pram berhasil melakukan pemahaman ulang terhadap sejarah kemerdekaan manusia Indonesia (GoGwilt, 1996: 157).
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan berikut. Pertama, kondisi objektif penelitian mahasiswa yang berperspektif kritik sastra marxis menunjukkan tiga kecenderungan: (1) sedikitnya jumlah penelitian yang mengaplikasikan rumpun teori sastra marxis; (2) Dari sekian banyak teori sastra marxis, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan dari Karl Marx. (3) Penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan. Kedua, prinsip dasar rumpun teori sastra marxis (Marx & Engels, Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, dan Trotsky) adalah bahwa: (1) karya sastra harus berpihak kepada penderitaan golongan proletar; (2) karya sastra harus memperlihatkan perlawanannya kepada golongan borjuis; (3) pemihakan dan perlawanan tersebut harus direpresentasikan melalui karya realisme sosialis dengan bahasa lugas sehingga mampu membangkitkan kesadaran golongan tertindas.
Sebagai implikasi dari temuan ini, berikut direkomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses perkuliahan sastra, pembimbingan penelitian sastra, dan pengembangan wawasan sastra sebagai perspektif penelitian lebih lanjut.
Pertama, dalam proses perkuliahan, hendaknya setiap teori dalam rumpun teori sasatra marxis, mendapat porsi penjelasan dan contoh aplikasi yang seimbang, dan tidak hanya menekankan pandangan Karl Marx saja. Memang dari sini terbayang kesulitan mencari pustaka yang relevan untuk materi di luar pandangan kesastraan Marx. Sebagai alternatif, dapat dicoba dipelajari artikel Donald E. Hall, “Marxist and Materialist Analysis” (2001a), artikel Robbins, “A Marxist Perspective: ’They Don’t Much Count, Do They?’ (1999), dan artikel Soetomo, “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme” (2001).
Kedua, dalam pembimbingan penelitian sastra yang berrumpun teori sastra marxis, para dosen diharapkan tidak berkeberatan terus memotivasi mahasiswa agar berani mengambil risiko memulai penelitian dengan mengaplikasikan teori di luar pandangan Marx, yakni Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, dan Trotsky. Bagi dosen yang terlalu “cinta” terhadap pandangan estetis Karl Marx—apalagi yang kelewat “fanatik” terhadap kajian intrinsik—saran ini dikhawatirkan menambah kesibukan. Akan tetapi, dengan asumsi bahwa bagaimanapun dosen lebih banyak “makan asam garam” kesastraan dan penelitian sastra, kekhawatiran ini akan segera berlalu. Apalagi, kepustakaan tentang itu cukup banyak di perpustakaan dan toko.
Ketiga, demi pengembangan wawasan sastra sebagai perspektif penelitian lebih lanjut, para dosen dan mahasiswa pembaca budiman tulisan ini diharapkan mencari sendiri berbagai teori sastra marxis lain yang belum terangkum dalam tulisan ini, misalnya pandangan neo-marxis hegemoni dari Antonio Gramsci. Sangat bagus jika dosen dan mahasiswa membaca tulisan Amalik, “Ideologi Koran Sastra dan Pramoedya” (2000), Fauzie, “Fiksi dan Sejarah dalam Karya Pramoedya” (2002), Marwoto, “Estetika Kiri: Seni dan Subversi” (2001), dan Murfin, “Marxist Criticism and The Turn of the Screw” (1999).
Daftar Pustaka Acuan
Abraham, J. 2001. “Seni dan Subversi”. http://filsafatkita.f2g.net/seni1.htm
Amalik, M.J. 2000. “Ideologi Koran Sastra dan Pramoedya”. http://www.geocities.com/ kurniawaneka2/ pram.htm
Andalas, M. 2001. “Cahaya Redup di tengah Kegelapan: Catatan atas Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 65—68.
Beidler, P.G. (ed.). 1999. Case Studies in Contemporary Criticism The Turn of The Screw Henry James. Boston: Bedford Books of St. Martin’s Press.
Damono, S.D. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.
GoGwlit, C. 1996. “Pramoedya’s Fiction and History: An Interview with Indonesian Novelist Pramoedya Ananta Toer”. The Yale Journal of Criticism 9(1).
Hall, Donald E. 2001. “Literature and cultural theory”. http://users.ipfw.edu/waldschg/ LiterCu.htm
Hall, Donald E. 2001a. “Marxist and materialist analysis”. http://users.ipfw.edu/ waldschg/ LiterCu. Htm
Jupriono, D. 2003. “Metode Penelitian Sastra: Beberapa Catatan Kritis”. Parafrase 03/01
Luxemburg, J. van, M. Bal, W.G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.
Marwoto, Y. 2001. “Estetika Kiri: Seni dan Subversi”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 32—37.
Murfin, R.C. 1999. “Marxist Criticism and The Turn of the Screw”. Dalam Beidler (ed.). Case Studies in Contemporary Criticism The Turn of The Screw Henry James. Boston: Bedford Books of St. Martin’s Press.
Robbins, B. 1999. “A Marxist Perspective: ’They don’t much count, do they?’: The Unfinished History of The Turn of The Screw”. Dalam Beidler (ed.).
Soemardjo, J. 1994. “Konteks Sosial Setting Novel Indonesia”. Basis XLIII/2: 69—75.
Soetomo, G. 2001. “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme: Perasaan Putus Asa Para Intelektual Kiri?”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 26—31.
Steen, Gerald J. & Dick Schram. 2001. “The empirical study of literature: Psychology, sociology, and other disciplines”. Hal. 1—16 dalam Dick Schram & Gerald J. Steen (ed.), The Psychology and Sociology of Literature. John Benjamins Publioshing Company
Syaifullah, C. 2001. “Estetika Kiri: Seni dan Realisme Sosialis Georg Lukacs”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 38—43.
Thukul, W. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera.
Trotsky, L. 2003. “Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra”. Terjemahan Dewey Setawan. http:// www. marxists.org/indonesia/archive/trotsky/ tr232004.htm
5 Januari 2012 pukul 15.59