DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Wacana Humor Gus Dur Dalam Perspektif Tindak Tutur

D. Jupriono

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari Cak Noer (Noercholish Madjid) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri. GD terkenal sebagai tokoh yang humoris. Pembicaraan tentang humor verbal GD (HVGD) sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik .......



PENDAHULUAN

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari cendekiawan muslim moderat Cak Noer (H. Noercholish Madjid, Ph.D.) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri.

Langkah kebijakannya sebagai pemimpin pondok pesantren, ketua DKJ, ketua umum PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, Ketua Dewan Syura PKB, dan sebagai Presiden IV RI, berani, bandel, sulit ditebak, dan sering nyeleneh di mata banyak pihak, termasuk oleh orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya sendiri sekalipun. Sebagai ketua "rombongan ketoprak" NU -- meminjam istilah Cak Nun (1992) lagi -- misalnya, GD pernah melempar usul peng-gantian salam religius sakral universal Islam Assalamu'alaikum dengan ungkapan yang dianggap lebih sekular, yakni "Selamat Pagi" atau apa sajalah. Ketika hampir semua cendekiawan muslim berebut masuk ke dalam ICMI, yang menghijaukan politik Indonesia 1990an, GD malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Pasca-"Kuda Tuli" 27 Juli 1996, yang berdarah itu, GD tampak memihak Megawati Soekar¬noputri (sekarang Presiden RI), akan tetapi menjelang Pemilu 1997 GD malah runtang-runtung bersama Mbak Tutut (Siti Hardianti Roekmana), yang putri Presiden Soeharto itu, dari pesantren ke pesantren. Ketika Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan GD seba¬gai calon presiden (capres) pada Pemilu 1999, GD sebagai politi¬kus PKB malah mengusulkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai capres. Lebih nyeleneh lagi, GD juga mengharapkan agar Megawati mengusulkan Amien Rais sebagai capres. "Biar bunder," Katanya (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000).

Sosiolog strukturalis Arief Budiman, Ph.D., yang aktifis oposan abadi dan sahabat dekat GD di Fordem itu, pernah berkomentar agak lucu tentang GD sebagai presiden. "Gus Dur tak sempat mengurus negara," katanya, "karena sibuk mengumpulkan lelucon." (Basyaib & Hermawan, 2000). Dalam rimba "teater" perpolitikan formal Indone¬sia langkah GD adalah fenomena menyimpang. Lembaga politik yang serba resmi, formal, angker, eksklusif, didewakan, dan jauh dari nuansa kejelataan–yang lahir sejak Indonesia merdeka dan makin dikokohkan selama 32 tahun rezim Orde Baru (Orba)–di tangan Presiden GD menjadi santai, informal, ramah, inklusif, mentah, bagai pasar tradisional. Aksi dan terutama ucapannya selalu lucu dan terkesan seenaknya sendiri. Segala kebekuan formalitas lembaga politik, hukum, agama di Indonesia didekonstruksi bagai¬kan (bahkan mengalahkan!) panggung humor "Srimulat" dan "Ketoprak Humor".

Apa pun yang menyangkut GD–ucapan, tindakan, humor, kontrover¬si, berita, komentar dari dan tentang dia – menarik dan karena¬nya banyak dibicarakan, diseminarkan, diteliti, dan diberitakan media massa. Di samping itu, kolom, artikel, dan buku tulisan GD juga terus mengalir.
Puluhan buku serta ratusan artikel dan berita bersangkutan dengan kebijakan politis, dekonstruksi pemikiran, pluralitas budaya, inklusivisme dan universalitas keagamaan GD sudah banyak dibahas orang. Sebutlah beberapa contohnya: "Gus Dur: Sebuah Cermin Banyak Gambar" (Hamzah & Anam, 1989), Bunga Rampai: NU dan Gus Dur (Yusuf, 1994), Gus Dur-Pak Harto: Hikmah Salaman Geng¬gong (Choirie, 1996), "Gus Dur" (Rahardjo, 1996), Pemikiran Politik Gus Dur-Amien Rais tentang Negara (Al-Brebesy, 1999), Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Tim Incres, 2000), "Psikoterapi Abdurrahman Wahid" (Sutanto, 2000), dan "Islam Antikekerasan: Memahami Refleksi Gus Dur" (Alfian M., 2000).

GD juga sangat produktif menulis artikel, makalah, kolom, dan buku. Sebagian karyanya bisa disebut di sini: "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban" (Rachman, ed., 1994), "Islam, Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia" (Rachman, ed., 1994), "Konsep-konsep Keadilan" (Rachman, ed., 1994), Islam Tanpa Kekerasan (1998), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1998), Mengu¬rai Hubungan Agama dan Negara (1999), Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), Tuhan Tak Perlu Dibela (1999), Membangun Demokrasi (1999), Menggerakkan Tradisi: Esai Pesan-tren (2001), dll. Ada pula buku kumpulan tulisannya yang bernuansa humor politis, misalnya Melawan Melalui Lelucon (2000).

GD lebih dikenal karena kenyelenehan, kenyentrikan, dan humoris¬nya. Maka, sahabat-sahabat dekatnya pun mengumpulkan dan membuku¬kan humor tentang GD dan humor yang memang dilontarkan secara verbal oleh GD; keduanya disebut saja humor verbal GD (HVGD). Beberapa dari buku-buku tersebut – yang dianggap cukup represen¬tatif -- adalah Presiden Dur yang Gus Itu: Anehdot-anehdot K.H. Abdurrahman Wahid (Adnan, ed., 2000) dan Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran Gaya Gus Dur (Basyaib & Hermawan, ed., 2000).

Pembicaraan tentang HVGD memang sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik. Penelitian ini mengupas bagaimana aksi lisan atau tindak tutur (speech acts versi J.R. Searle) HVGD dari perspektif pragmatik. Berdasarkan maksim tutur H.P. Grice (Yule, 1996), prinsip kesantunan G.N. Leech (Crystal, 1997), parameter pragma¬tik Brown & Levinson (Levinson, 1995), dan ketaksaan makna (Raskin, 1985; Chiaro, 1992), masalah ini akan diidentifikasikan ke dalam pertanyaan berikut. (i) Apakah HVGD sudah memenuhi maksim tutur Grice? (ii) Apakah HVGD sudah memenuhi prinsip kesantunan Leech? (iii) Bagaimana kesesuaian HVGD dengan parame¬ter pragmatik Brown & Levinson?

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontri¬busi, baik teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini (a) memperkaya kajian dan memperluas cakrawala riset dalam pragmatik, analisis wacana, sosiolinguistik, dan humorologi. Secara praktis, penelitian ini memberikan tiga manfaat, yaitu: (b) membantu memahami fenomena sosial, politik, dan budaya GD secara lebih komprehensif, simpatik, dan empatik, sesuai dengan hal-hal yang dominan pada GD, sehingga mampu menukiki keutuhan personalitas seorang GD; (c) menunjukkan relasi sosial budaya, politik, dan kekuasaan dalam suatu era rezim, yang terkemas dalam humor verbal.


TELAAH PUSTAKA

Bahasa dan berbahasa adalah tindakan yang tidak pernah steril dari interaksi kepentingan, tidak pernah netral dari muatan nilai-nilai sosial. Keduanya adalah salah satu aksi sosial. Sebagai sebuah tindakan, menurut Searle, berbahasa adalah tindak tutur (speech acts) (Crystal, 1997). Ada tiga jenis tindakan pragmatis yang dapat diwujudkan melalu tindak tutur, yaitu tindak lokusioner (locutionary act, mengungkapkan sesuatu), tindak ilokusioner (illocutionary act, melakukan sesuatu), dan tindak perlokusioner (perlocutionary act, mempengaruhi lawan bicara). Berdasarkan tindak tutur ini, suatu tuturan mungkin meraih dua fungsi sekaligus. Tuturan humor, misalnya, di samping melakukan sesuatu (menghibur), juga mempengaruhi lawan bicara, dalam arti memberi kritik sosial terhadap segala ketimpangan di masyarakat (Wijana, 1996).

Di tengah situasi masyarakat yang kacau, humor (termasuk humor verbal) menampakkan peran tidak kecil. Humor verbal dapat membe¬baskan manusia secara katarsis dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan ketertindasan. Dalam berbagai bentuk, humor verbal sebenarnya merupakan media untuk membangun situasi kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk lembaga politik ("a way of creating collective consciences by people without access of bureaucratic or other institutionalized forms of political muscle", cf. Anderson, 1990). Dalam hal demikian, amat relevan disinggung di sini teori bisosiasi yang meyakini humor sebagai berpadunya konvensi dan pelanggaran, tradisi dan modernitas, kewajaran dan keganjilan dalam suatu teks. Teori humor bernuansa psikologis sosial ini dapat mencakup ketiga teori baku humor, yaitu teori ketimpangan (incon¬gruity theory), teori konflik (conflict theory), dan teori pembe¬basan (relief theory) (Wijana, 1996).

Adalah menarik membandingkan tutur biasa dengan tutur humor (humor verbal). Jika dalam tutur biasa, penutur dan lawan tutur berharap, menyadari adanya, dan berusaha mematuhi norma-norma tutur percakapan (misalnya kejelasan, kesantunan) agar komunikasi mencapai efektivitas, sebaliknya dalam humor verbal yang terjadi justru penyimpangan norma-norma tutur itu (Wijana, 1996; Juprio¬no, 2000). Norma-norma tindak tutur mencakup (i) prinsip koopera¬tif (cooperative principle), (ii) prinsip kesantunan (politeness principle), dan (iii) parameter pragmatik (pragmatic parameter). Da-lam setiap interaksi yang menginginkan lahirnya komunikasi ideal, penutur dan lawan tutur harus sama-sama mematuhi keempat prinsip: harus wajar, jelas, sopan, akrab secara propor¬sional, dan bersama-sama membangun pengertian yang tunggal (tidak taksa).

Untuk memenuhi prinsip kerja sama dalam menciptakan kelancaran komunikasi sosial, H.P. Grice (Yule, 1996) mengemukakan bahwa "The speaker is commited to the truth and relevance of his text, the hearer is aware of this commitment and perceives the uttered text as true and relevant by virtue of his recognition of the speaker's commitment to its truth and relevance". Prinsip kerja sama kooperatif adalah niscaya dalam setiap komunikasi informasional atau pun transaksional (Brown & Yule, 1984; Samsuri, 1997). Untuk mencapai hal ini, Grice (Yule, 1996) memberikan saran: "Make your conver-sational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged".

Menurut Grice, penutur hendaknya mematuhi empat norma (maksim) tutur, yakni (a) maksim kuantitas (maxim of quantity), (b) maksim kualitas (maxim of quality), (c) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (d) maksim cara (maxim of manner). Maksim kualitas mewajibkan penutur memberikan kontribusi secukup¬nya, tidak berlebihan, hanya mengatakan sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur. Maksim kualitas meng-hendaki penutur mengatakan hal yang sebe-narnya dengan argumen bukti yang memadai. Maksim rele¬vansi menuntut penutur memberi kontribusi yang cocok (relevan) dengan topik tuturan. Maksim cara menuntut setiap penutur bertu¬tur dengan cara-cara yang wajar, jelas, tidak kabur, tidak taksa (ambiguous), serta disampaikan dengan cara yang runtut, sehingga tidak menyesatkan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi lawan tutur (Levinson, 1995; Yule, 1996). Ketaksaan makna tuturan dapat terjadi karena aspek fonologis, leksikal, gramatika, sinonim, eufemisme, dan hubungan analogi antarteks (Chiaro, 1992). Setiap tuturan dapat dilihat dari satu atau lebih maksim itu. Perhatikan contoh (1) berikut.

(1) "Apakah kekasihmu termasuk orang yang menghargai waktu?" tanya seorang ibu kepada anak gadisnya.
"Tentu saja," jawab anak, "karena dia seorang pedagang arloji." (Suara Indonesia, 13 April 2000: 13)

Dalam wacana (1) terjadi tiga penyimpangan sekaligus. Pertama, penyimpangan terhadap maksim kualitas karena sang ibu tidak mengajukan pertanyaannya secara lengkap. Kedua, pelanggaran terhadap maksim relevansi karena jawaban anak gadis itu tidak relevan dengan apa yang diharapkan oleh pertanyaan ibunya. Keti¬ga, pelanggaran terhadap maksim cara sebab kata menghargai waktu ternyata memicu ketaksaan makna bagi penafsiran pendengar.
Keempat maksim tutur Grice dilengkapi Leech dengan prinsip kesantunan sebab tuturan wajar tidak semata-mata besangkutan dengan aspek tekstual tuturan, tetapi harus pula memperhatikan sopan santun, sehingga efektivitas komunikasi tercapai (Crystal, 1997). Prinsip ini dijabarkan Leech (Crystal, 1997; Levin¬son, 1995) ke dalam enam maksim berikut. (a) Maksim kebaikhatian (tact maxim) menghendaki setiap penutur memaksimal¬kan keuntungan dan meminimalkan kerugian orang lain. (b) Maksim kemurahhatian (generosity maxim) mengharuskan setiap penutur memaksimalkan kerugian dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. (c) Maksim penerimaan (approbation maxim) mengharapkan penutur memaksimalkan penghormatan dan meminimalkan rasa tidak hormatnya kepada orang lain. (d) Maksim kerendahhatian (modesty maxim) mengharuskan setiap penutur memaksimalkan penghormatan dan memin¬imalkan rasa tidak hormatnya kepada diri sendiri. (e) Maksim kecocokan (agreement maxim) menghendaki penutur memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokannya kepada orang lain. (f) Maksim simpati (sympathy maxim) menyarankan setiap penutur memaksimalkan simpati dan meminimalkan antipatinya kepada orang lain. Keenam maksim dapat digunakan secara bersama-sama atau pun sebagian untuk melihat kadar kesantunan tuturan. Wacana (1) di muka, misalnya jelas bertentangan dengan maksim kecocokan karena penutur tidak memaksimalkan kecocokannya kepada orang lain. Contoh lainnya wacana (2) berikut.

(2) Seorang wanita pengantin baru diancam hukuman berat karena terbukti telah memotong "burung" suaminya yang tertidur, lalu menggorengnya. Di persidangan hakim bertanya, "Apa alasan Saudari memotong 'anu' suami Saudari dan menggorengnya?"
Santai, wanita muda itu menjawab, "Saya penasaran sih, Pak. Habis, mentahnya aja enaknya kayak gitu, apalagi ma-tangnya." (Suara Indonesia, 19 Maret 2000: 9)

Pada wacana (2) wanita pengantin baru tersebut melanggar tiga maksim kesantunan. Maksim yang dilanggar adalah maksim kebaikha¬tian dan kemurahhatian karena ia telah membuat orang lain kesaki¬tan demi mengejar kesenangannya akan "anu" suaminya. Ia juga menyimpang dari maksim simpati terhadap suaminya yang kesakitan akibat tindakan sadisnya memotong "burung" suami.

Prinsip kesantunan dalam kenyataan tidak mutlak dapat dilak¬sanakan sebab status, kedudukan, jarak sosial, dan kemendesakan yang ada antara penutur dan lawan tutur. Dalam praktik, dengan demikian, prinsip kesantunan berada dalam realitas alternatif. Dalam hal ini, Penelope Brown dan Stephen Levinson (Levinson, 1995) mengaitkan prinsip kesantunan dengan tiga parameter pragma¬tik, yaitu (a) jarak sosial (distance rating), (b) status sosial (power rating), dan (c) peringkat tindak tutur (rank rating). Parameter pertama, jarak sosial, dilihat dari keakraban penutur dengan lawan tutur, perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosial budaya (cf. Samsuri, 1997). Status sosial diukur dari hubungan asimetris kedudukan sosial antara penutur dan lawan tutur dalam konteks situasi pertuturan. Peringkat tindak tutur diketahui dari relativitas tingkat keburu-buruan (kemendesakan) dalam situasi pertuturan. Pelanggaran terhadap parameter jarak dan status sosial, misalnya, terjadi dalam dialog antara raja dan bawahannya, seperti pada wacana wayang humor pada Jawa Pos Minggu (Jupriono, 2000).

Contoh berikut, (3) dan (4), masing-masing menggambarkan hubungan asimetris (parameter status sosial) dan situasi kemendesakan (parameter peringkat tindak tutur).

(3) Guru : Dua hari yang lalu kamu tak masuk, alasanmu hujan deras. Kemarin kamu terlambat, lagi-lagi alasanmu hujan. Pagi ini terlambat lagi. Apa lagi alasanmu?
Murid: Hujan, Bu. Betul, saya nggak bohong, Bu. Sumpah, deh.
Guru : Lha, kalau tiap hari hujan, terus bagaimana?
Murid: Ibu ini bagaimana sih. Ya, banjir dong. (Musa, 1998)

(4) Cewek: Mas, Mas, tolong kejar, tas saya dijambret orang!
Cowok: E e e ..., belum saling kenal kok nyuruh-nyuruh. Kenalan dulu dong! (Wijana, 1996)

Dalam interaksi guru-murid pada wacana (3) yang terjadi adalah pelanggaran terhadap parameter jarak sosial dan status sosial. Secara sosial, hubungan guru-murid adalah berjarak: kedudukan, usia, mungkin juga jenis kelamin. Secara sosial pula, hubungan guru-murid tidak sejajar (asimetris). Maka, jawaban terakhir murid seperti (3) jelas melanggar kedua parameter. Pada wacana (4) parameter yang dilanggar adalah peringkat tindak tutur, dalam hal ini kadar kemendesakan (Levinson, 1995; cf. Samsuri, 1997). Sang cewek dalam posisi sangat tergesa dan mende¬sak butuh pertolongan karena tasnya dijambret orang, sementara sang cowok malah memprioritaskan prosesi berkenalan.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan wujud data dan teknik analisisnya, penelitian ini merupakan penelitian yang berancangan kualitatif (Hammersley, 1993; Bullock dkk., 1993; Mulyana, 2001). Dengan berparadigma konstruktivistik, kajian ini menerapkan strategi etnografi teks (Aminuddin, 1998). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode identitas referensial yang memanfaatkan referen bahasa sebagai instrumen penentunya (Sudaryanto, 1993).

Data penelitian ini adalah HVGD selama empat tahun (1998--2001) yang ber-sumber dari dokumen yang dapat dianggap cukup repre¬sentatif, yaitu Presiden Dur yang Gus Itu: Anehdot-anehdot K.H. Abdur-rahman Wahid suntingan M. Mas'ud Adnan (Risalah Gusti, Surabaya, 2000) dan Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran Gaya Gus Dur karya koleksi Hamid Basyaib & Fajar W. Hermawan (2000), dan tulisan GD sendiri, Melawan Melalui Lelucon (PDAT, 2000). Data-data lain diambil dari lontaran HVGD di media-media massa (Kom¬pas, Jawa Pos, Bangkit, TPI). Dengan demikian, penjaringan data dilakukan dengan teknik dokumentasi (Mulyana, 2001), rekaman, dan catatan lapangan, yang menempuh teknik seleksi dan klasifikasi berdasarkan relevansinya untuk diangkat sebagai data tindak tutur.

Teknik analisis dijalankan dengan merambah langkah-langkah beri¬kut. (1) Melakukan seleksi dan klasifikasi lebih lanjut berdasar¬kan kesesuaian dan ketidaksesuaian wacana HVGD dengan prinsip kooperatif maksim tutur Grice (kuantitas, kualitas, relevansi, cara). (2) Melakukan seleksi dan klasifikasi lebih lanjut berda¬sarkan kesesuaian dan ketidaksesuaian wacana HVGD dengan prinsip kesantunan Leech (kebaikhatian, kemurahhatian, penerimaan, keren¬dahhatian, kecocokan, dan simpati). (3) Melakukan seleksi dan klasifikasi lebih lanjut berdasarkan kesesuaian dan ketidaksesu¬aian wacana HVGD dengan parameter pragmatik Brown & Levinson (jarak sosial, status sosial, peringkat tindak tutur). (4) Mendaftar penyimpangan/pelanggaran yang terjadi dalam wacana HVGD pada masing-masing prinsip tindak tutur. (5) Mendeskripsikan ketaksaan makna leksikal, sintaktis, dan tekstual yang terdapat dalam HVGD. (6) Memberikan penjelasan holistis tentang ketaksaan tersebut berdasarkan latar belakang konvensi bahasa, konversa¬sional, dan sosialkonvensional.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HVGD dalam Perspektif Prinsip Kooperatif

Suatu tuturan hendaknya memenuhi keempat prinsip kooperatif Grice. Yang pertama adalah maksim kuantitas (Yule, 1996) yang menghendaki agar penutur memberikan informasi yang tidak berlebi¬han, hanya sebanyak yang diperlukan. HVGD (5) berikut menunjukkan bahwa penutur memberikan informasi yang belebihan.

(5) Karena saking asyiknya sendirian memancing, Pak Harto tidak sadar kalau banjir sedang meluap. Ia pun hanyut, tetapi jiwanya selamat berkat pertolongan seorang petani setempat.
"Kamu tahu nggak, saya ini siapa?" tanya Pak Harto.
"Tidak," jawab petani penolong.
"Saya ini Presiden Suharto. Karena telah menolong saya, kamu boleh minta apa saja. Pasti kuberi. Ayo, katakan saja!"
"Saya cuma minta satu hal saja, Bapak Presiden," katanya lirih dan malu-malu.
"Katakan saja, apa itu!" desak Pak Harto.
"Tolong jangan bilang pada siapa-siapa bahwa saya yang menolong Bapak," katanya sambil menunduk dan pergi. (Basyaib & Hermawan, 2000: 4)

Dalam wacana (5) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas, baik oleh penutur Pak Harto maupun petani. Dari perspektif maksim kuantitas, Pak Harto terlalu banyak mengobral desakan, sedang petani mengatakan sesuatu yang terlalu sedikit. Petani tersebut tidak menjelaskan alasan lengkap mengapa ia justru meminta agar Pak Harto tidak “mempublikasikan” jasanya. Justru keanehan pelangga¬ran maksim inilah yang membangun humor. Makna pesan yang terselip dalam HVGD ini adalah sikap suka sok (sombong) seorang penguasa yang berantitesis dengan ketulusan dan kesederhanan rakyat jelata. Di sini juga terdapat parodi satiris bahwa di zaman yang serba otoriter semasa Orba, menolong orang pun takut. Kemungkinan lainnya adalah kesadaran petani bahwa diam-diam banyak orang tidak suka pada Pak Harto. Maka, ia pun tidak mau dikabarkan telah menolong orang yang tidak disukai banyak orang itu.

Contoh lain pelanggaran terhadap maksim kualitas adalah penuturan GD tentang pidato sambutan seorang kiai desa kepada rombongan bupati yang berkunjung ke pondok pesantrennya (Adnan, 2000 4-5). "Bapak Bupati yang terhormat," katanya, "kami sudah membangun beberapa kamar mandi dan saudara-saudaranya." Pada kesempatan makan bersama, Pak Bupati berbisik menanyakan maksud kamar mandi dan saudara-saudaranya itu. Kiai menjawab, "Maksudnya beberapa WC, Pak. Tapi rasanya kok tidak enak kalau ngomong WC."

Di samping itu, “kegemaran” GD saat membuat pernyataan tentang siapa dalang kerusuhan dengan menyebut inisial nama orang dapat juga ditunjuk sebagai pangkal terjadinya pelanggaran maksim ini. Misalnya, ketika GD pernah menyatakan bahwa kerusuhan Ambon didalangi oleh provokator berinisial "Mayjen K". Kontan, Mayjen Kivlan Zein merasa terserempet dan marah. Ternyata, menurut GD, "Mayjen K" itu bukan Mayjen Kivlan, melainkan "Mayjen Kunyuk" (kera, Jawa) (Basyaib & Hermawan, 2000). Saat sebelumnya, GD pernah menuduh "ES" sebagai dalang kerusuhan dan pembunuhan massal di Banyuwangi. Kontan tokoh-tokoh yang merasa namanya berinisial ES, seperti Emil Salim, Edi Sudrajat, Eki Syahruddin, merasa tersodok, bahkan Eggi Sujana marah besar pada GD. Ternyata kemudian, menurut GD, ES itu "Eyang Suharto". Ketidaklengkapan informasi inilah pangkal pelanggaran maksim kuantitas. Jika orang merasa dituduh, ini tidak aneh sebab berdasarkan implikatur pertuturan dan implikatur konvensional (Samsuri, 1997) yang menjadi konteks pembicaraan, hal itu sangat dimungkinkan. Hal ini pulalah yang memicu HVGD.

Maksim kedua yang harus dipenuhi seorang penutur adalah maksim kualitas. Di sini penutur harus menyampaikan informasi dengan alasan yang tidak salah dan bukti yang cukup serta benar. Bagaimana maksim ini diperlakukan dalam HVGD? Perhatikan wacana (6) berikut.

(6) Seorang kiai mengambil ayam santrinya, memotong, dan memakan¬nya bersama-sama para santri. Santri pemilik ayam datang mengadu, "Pak Kiai, ayam saya hilang." Kiai menjawab, "Oh, iya. Saya barusan telah memotong ayam. Tapi yang saya potong itu ayamnya Gusti Allah." Sang santri pun terdiam.
Besoknya, santri itu "mencuri" kambing milik kiai. Kambing itu dipotong, dimasak ramai-ramai. Tahu kambingnya lenyap, kiai melakukan penyelidikan. "Hayo, siapa yang mencuri kambing saya?"
Sang santri menjawab kalem, "Saya memang mencuri kambing, Kiai. Tetapi, kambing itu kambingnya Gusti Allah."
Sang Kiai menyahut loyo, "Sekalipun milik Allah, tetapi ya jangan yang besar-besar begitu ...!" (Adnan, 2000: 6)

Tidak penting apakah ini sungguh-sungguh terjadi ataukah hanya rekaan GD. Yang jelas, di sini kedua penutur sama-sama memberikan informasi yang tidak tepat dan tidak dapat menunjukkan bukti yang cukup wajar dalam konvensi tuturan sehari-hari, seperti yang dituntut Grice (Yule, 1996; Levinson, 1995). Bahkan, tuturan ini menunjukkan kebohongan yang disengaja. Kebohongan ini tampak wajar dan rasional, tetapi sebetulnya kewajaran yang diwajar-wajarkan dan kerasionalan yang dirasional-rasional-kan. Inilah yang memicu lahirnya HVGD. Bahwa GD mengangkat pesantren dan relasi kiai-santri yang memuliakan nilai kejujuran dan menjauhi kedustaan sebagai latar yang dipadu dengan kebohongan dalam wacana ini menunjukkan keberanian GD sekaligus sebagai upaya menghumanisasi¬kan kiai agar tidak dimitoskan seperti yang terjadi selama ini.

Contoh lain pelanggaran terhadap maksim kualitas adalah debat kusir antarpemuka agama tentang siapa yang paling dekat dengan Tuhan. Perhatikan wacana (7) berikut!

(7) "Kami yang paling dekat dengan Tuhan," kata pedanda Hindu.
"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya seorang kiai.
"Lha iya. Lihat saja, kami memanggil-Nya saja Om," jawab pedanda merujuk seruan religius Hindu Om shanti, shanti Om. Seorang pastor Katolik tak mau kalah, "Kalau alasannya itu sih, kami dong yang lebih dekat. Lihat saja, kami memanggil-Nya 'Bapa, Bapa kami yang ada di surga...'".
Sang kiai diam saja. Pedanda dan pas-tor penasaran, "Kalau Pak Kiai, sedekat apa hubungannya dengan Tuhan?"
"Duh, boro-boro dekat," jawabnya, "manggil-Nya saja dari menara ..." (mak-sudnya lewat adzan) (Basyaib & Hermawan, 2000: 22).

Keterangan ketiga pemuka agama dalam wacana HVGD (7), yang begitu yakin itu, tidak benar dan alasannya pun tidak tepat. Ini pun pelanggaran terhadap maksim kualitas (Grice dalam Crystal, 1997; Samsuri, 1997). Adalah sebuah arogansi ketika seseorang menya¬takan diri sebagai yang paling dekat, paling takwa, paling benar, kepada Tuhan yang Mahaesa. Hanya Tuhan yang tahu, sedangkan manusia hanya menjalani titah-Nya dengan penuh keyakinan dan pengharapan. Jadi, salah juga kalau kedekatan diu-kur dari bentuk sebutan panggilan (Om dari pedanda Hindu, Bapa pastor Katolik) atau tempat memanggil (menara, kiai Islam) kepada-Nya.
Maksim ketiga yang hendak dilihat dalam HVGD adalah maksim rele¬vansi. Maksim ini menyarankan agar penutur menyampaikan sesuatu yang sambung (relevan) dengan topik yang dibicarakan. HVGD (8) berikut dapat dibedah dari perspektif maksim relevansi.

(8) Dalam suatu sidang parlemen Inggris bertemulah dua tokoh besar politikus: Perdana Menteri Winston Churchill dan pemimpin oposisi Clemen Atlee, yang gigih memperjuangkan nasionalisasi perusahaan besar, korporasi besar, pabrik besar, industri besar, dan pusat-pusat belanja yang besar.
Usai sidang, kebetulan keduanya ke toilet untuk kencing. Sambil kencing, dengan wajah cemberut Churchill bilang pada Atlee yang sejak tadi menoleh kepadanya, "Jangan lihat-lihat, ya! Kamu 'kan sukanya menasionalisasi yang besar-besar ...." ("Jaya Suprana Show" TPI, 2000; Basyaib & Hermawan, 2000: 2)

Pada wacana HVGD (8) ini terjadi pelanggaran terhadap maksim relevansi. Dalam konteks historis-politis yang hendak dinasiona¬lisasikan oposan Clemen Atlee, yang juga tokoh besar sosialis dan buruh di Inggris, adalah yang bersangkutan dengan ekonomi, yaitu pabrik, perusahaan, pusat belanja, industri, yang besar-besar di seluruh pelosok negeri Inggris. Maka, sebesar (dan sepanjang) apa pun "burung" Pak Perdana Menteri tidak termasuk sasarannya. Dengan demikian, besar "burung" (milik siapa pun!) tidak mempunyai relevansi sedikit pun dengan perjuangan Atlee. Konteks keduanya berbeda. Inilah pelanggaran terhadap maksim relevansi (Yule, 1996; Crystal, 1997) itu.

Masih tetang maksim relevansi tutur dalam HVGD, pada suatu berita di Jawa Pos (April 1998?) pernah dimuat lelucon tentang arti sufiks pungutan dari bahasa Sanskrit {-wan} dalam wacana bahasa Indonesia. Akhiran {-wan}, kata GD, artinya 'mempunyai banyak ...'. Contohnya, ilmuwan artinya 'orang yang banyak ilmu¬nya', jutawan 'orang yang hartanya banyak berjuta-juta', hartawan 'orang yang banyak hartanya'. Kemudian, kalau Taiwan? Wan terak¬hir pastilah tidak memiliki relevansi sama sekali dengan ketiga {-wan} pertama. Akan tetapi, justru penyimpangan maksim inilah yang memicu lahirnya HVGD.

Kebiasaan GD membuat humor dalam situasi yang genting, krusial, dan urgen pun ternyata, dalam perspektif maksim relevansi, sering memicu humor justru karena tidak "nyambungnya" pernyataan GD dengan tuturan orang lain. Cermatilah wacana (9) berikut!

(9) Baru beberapa pekan menjabat presiden, GD didemonstrasi sekelompok orang. Para pendemo berhasil menerobos halaman istana dan dengan garang meneriakkan protes keras. "Presiden Gus Dur harus mundur sekarang juga! Gus Dur harus mundur! Mundur!"
"Mundur?" sahut GD santai. "Sampeyan ini bagaimana? Wong saya ini maju aja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur!" (Basyaib & Hermawan, 2000: 16)

Ketidakrelevanan reaksi lisan pada (9) tam-pak pada jawaban GD terhadap tuntu¬tan demonstran. Demonstran menuntut GD mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI, sedang GD menjawabnya dalam konteks mundur sebagai 'berjalan kaki secara fisik dengan mundur ke belakang'. Terang saja, hal ini tidak "nyambung" sama sekali. Tetapi, ini pun dapat ditafsirkan bahwa GD memandang sebelah mata terhadap kegarangan bahasa demonstran dengan jawaban santai, nakal, dan lucu. Siapa pun mestinya menginterpretasikan tuntutan mundur itu berdasarkan implikasi konversasional dan implikasi konvensional (Samsuri, 1997; Crystal, 1997) dalam realitas konteks situasi yang ada saat itu.

Maksim selanjutnya adalah maksim cara, yang mengajarkan bahwa dalam bertutur sebaiknya tidak mengundang ketaksaan penafsiran dan jelas maksudnya, tidak kabur, dan harus runtut. Perhatikan wacana HVGD (10) berdasarkan pengalaman GD berikut!

(10) Istrinya mendapat pembagian kredit sepeda motor, Kiai Wahab Sulang mencoba belajar mengendarainya. Hasil¬nya: menubruk tembok, sepeda motor rusak, dan Kiai Wahab luka-luka. "Habis, saya pakai rem kaki."
"Lho, rem kaki 'kan memang harus dipakai dalam hal begini, Kiai?"
"Ya ..., tetapi maksud saya bukan begitu. Saya mengerem hanya pakai kaki saja. Karena belum tahu bagaimana dan di mana remnya." (Wahid, 2000; Basyaib & Hermawan, 2000). 

Pada wacana (10) terdapat kegandaan arti frase rem kaki dalam tutur Kiai Wahab. Pada sepeda motor, seperti diketahui, memang terdapat dua rem, yaitu rem tangan dan rem kaki. Yang dimaksud rem kaki, tentu saja, bukan 'mengerem/menahan laju sepeda motor dengan kaki dijejakkan di tanah', melainkan tinggal 'menginjak rem dengan kaki'. Dengan demikian, di sini rem kaki Kiai Wahab Sulang menyalahi maksim cara, khususnya bahwa tuturan hendaknya tidak mengandung ketaksaan interpretasi (Crystal, 1997) agar prinsip kooperatif penutur dengan lawan tutur dapat terjalin.

Pada kesempatan lain, dalam acara halal bilhalal di Bina Graha, Jakarta, 13 januari 2000, GD pernah juga melontar HVGD yang mengundang ketaksaan tafsir mengenai pendapat seorang kiai bahwa kalau masyarakat sekarang suka berantem dan saling caci maki, itu akibat keputusan pemerintah membangun masyarakat madani (civil society). Menurut para kiai tersebut, kata madani, dalam bahasa Jawa, berarti 'saling mencaci maki' ("Nama dan Peristiwa", Kompas, 14 Januari 2000: 12). Pelanggaran maksim ini justru melahirkan situasi humor, yakni HVGD.
Masih dalam kerangka maksim cara ini, pernah suatu ketika GD ditanya wartawan apakah GD mau menjadi mak comblang pernikahan Menaker M. Latif (waktu itu) dan artis Dessy Ratnasari. Jawaban GD cukup lucu justru karena bahasa yang dikatakannya, seperti pada kutipan (11), berikut.

(11) Wartawan bertanya, "Apakah Anda ikut menjadi mak comblang pernikahan Pak Latif dan Dessy Ratnasari, Gus?"
"Ah, nggak! Daripada jadi makelar begituan, lebih enak jadi makelar sepeda motor," jawab GD.
"Apakah untungnya lebih besar kalau jadi makelar sepeda motor, Gus?" kejar wartawan.
"Bukan begitu," jawab GD. "Kalau ma-kelar sepeda motor 'kan kita bisa ngelapi, nyobain, lalu numpaki. Coba, mana bisa begitu kalau jadi makelar kawinan? Jangankan numpaki, mencet 'klaksonnya' saja dilarang." (Adnan, 2000: 28)

Ketika Grice (Levinson, 1995; Yule, 1996) menyarankan agar penu¬tur hendaknya senantiasa mengatakan sesuatu yang jelas, menghind¬ari ketaksaan, justru dalam wacana (11) GD menyimpangkannya. Dari sisi bahasa, kata-kata ngelapi, nyobain, numpaki, mencet dapat berarti bermacam-macam. Walaupun demikian, dapat saja justru kata-kata tersebut dalam konteks tuturan (11) sudah jelas acuannya. Hal demikian tentu saja amat disadari oleh GD. Kesengajaan pelanggaran maksim cara ini memicu lahirnya HVGD.

Aspek lain dalam maksim cara adalah bahwa informasi hendaknya disampaikan dengan cara yang runtut (Grice dalam Yule, 1996; Samsuri, 1997). Dalam wacana HVGD, keruntutan itu sengaja dilang¬garnya sebab justru dengan pelanggaran inilah efek lucu suatu tuturan dapat terjadi. Perhatikan wacana (12) ketika GD memberi¬kan pengarahan di depan peserta Muktamar I PKB di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada Rabu, 26 Juli 2000, berikut!

(12) Ada dua loket di surga. Satu loket yang bertuliskan "suami takut istri" ramai dipe-nuhi orang antre. Loket satunya bertulisan "suami tidak takut istri". Yang antre hanya satu orang, kecil lagi. Seorang lelaki per-kasa dari antrean panjang itu penasaran dan tidak tahan untuk tidak berkomentar, "Pak, sudah benar sampeyan di loket ini? Jangan-jangan keliru."
(13) "Sudah. Memang di sini loket saya," jawab lelaki sendirian itu mantap. "Berarti sampeyan benar-benar lelaki yang tidak di bawah kekuasaan istri," komentar lelaki perkasa.
(14) "Bukan begitu. Saya disuruh istri saya di loket sini," jawabnya melemah. (Rekaman, AHS, 26 Juli 2000). 

Humor ini memang sengaja membuat ke-cohan, sehingga pendengar/pembaca akan terkecah kecele. Seandainya sejak awal lelaki kecil sendirian itu mengatakan dengan runtut bagian saya disuruh istri dipaparkan terlebih dahulu di muka, baru kemudian mengatakan memang di sini loket saya, orang tidak salah menger¬ti. Dengan demikian, kesadaran yang sama-sama dibangun mengenai "ikatan suami takut istri" (ISTI) menemui titik temunya. Akan tetapi, keruntutan yang dilanggar ini memang sengaja dilakukan untuk membangun efek humor. Jika keruntutan dipatuhi, seperti saran Grice (Crystal, 1997), yang terjadi bukan wacana humor verbal, melainkan wacana tuturan biasa.

HVGD dalam Perspektif Prinsip Kesantunan

Proinsip kesantunan mencakup maksim kebaikhatian, kemurahhatian, penerimaan, kerendahhatian, kecocokan, dan simpati. Setiap tuturan dapat menerapkan satu maksim, dapat juga lebih dari satu (Aitchison, 1995; Levinson, 1995). Bagaimana maksim ini diperlakukan dalam HVGD? Contohnya kutipan tentang kiai dan santri yang mencuri ayam dan “kambing Gusti Allah” di bagian muka. Yang lain, perhatikan wacana (13) berikut.

(13) Suatu ketika berkumpullah para pen-jaga gereja, wihara, kuil, pura, klenteng, masjid, dan tempat ibadah lainnya untuk membagi secara adil melimpahnya uang sumbangan umat akhir-akhir ini: berapa yang harus diambil mereka dan berapa yang harus disetor untuk Tuhan. Penjaga gereja dan pura usul, "Sebaiknya, 50% untuk kita, 50% untuk Tuhan." Penjaga wihara dan klenteng menyela, "Tuhan tak perlu banyak-banyak. Dia 'kan mahakaya. Menurut saya, semuanya untuk tempat ibadah. Kalau ada sisanya, baru kita serah¬kan kepada-Nya." "Tidak bisa begitu," kata penjaga kuil, "kita ambil saja secu-kupnya, sisanya kita serahkan ke Tuhan." Tampaknya sulit dicapai kata sepakat.
"Saya punya usul begini saja," kata penjaga tempat ibadah keper¬cayaan. "Kita bikin lingkaran berdiameter 100cm di tanah. Seluruh uang sumbangan kita tabur-kan ke atas. Yang jatuh di dalam lingka¬ran milik Tuhan, yang di luarnya milik kita. Bagaimana?" Separo mendukung, separo menentang. Tiba-tiba, penjaga masjid ber-seru, "Stop. Begitu saja kok repot. Sekarang begini saja. Tak usah pakai lingkaran. Seluruh uang kita taburkan ke atas. Yang jatuh ke tanah, itu milik kita. Lha, yang tidak jatuh berarti sudah diambil Tuhan. Setuju?" Ternyata, tak satu pun penjaga tempat ibadah yang menolak. (Adnan, 2000: 24-25)

Wacana (13) menggambarkan dua hal pelanggaran prinsip kesantunan: pertama, antarpenjaga tempat ibadah dan kedua, ketidaksantunan antara para penjaga rumah ibadah dan Tuhan. Sulitnya pencapaian kata sepakat tentang perbandingan berapa untuk Tuhan dan berapa buat tempat ibadah terjadi karena: (a) semua penjaga rumah ibadah tidak mencoba memaksimalkan keuntungan sekaligus meminimalkan kerugian untuk pihak lain (pelanggaran maksim kebaikhatian); (b) semua penjaga rumah ibadah tidak mencoba memaksimalkan kerugian sekaligus meminimalkan keuntungan untuk diri mereka sendiri (pelanggaran maksim kemurahhatian). Sulitnya kesepakatan tentang bagaimana menentukan teknik pembagian uang terjadi karena: (c) masing-masing penjaga rumah ibadah tidak mencoba memaksimalkan penghormatan dan sekaligus meminimalkan ketidakhormatan untuk penjaga lain (pelanggaran maksim penerimaan); (d) masing-masing penjaga rumah ibadah tidak mencoba memaksimalkan ketidak-hormatan sekaligus meminimalkan kehormatan untuk diri penjaga sendiri (pelanggaran maksim kerendahhatian); dan (e) setiap penjaga rumah ibadah tidak mencoba memaksimalkan kecocokan sekaligus meminimal¬kan ketidakcocokan pendapatnya dengan pendapat penjaga lain (pelanggaran maksim kecocokan).

Dengan wacana HVGD (13) ini tampaknya GD ingin menyentil keruku¬nan antarumat dan antarpemuka agama yang akhir-akhir ini terkoyak menyedihkan. Sulitnya kesepakatan antarpenjaga tempat ibadah pada kutipan (13) tampaknya juga mencerminkan eksklusivitas, arogansi, dan klaim monopoli kebenaran keyakinan agamanya sendiri-sendiri (Wahid, 1998; 1999). Tampaknya, GD juga ingin memberikan parodi satiris bahwa materialistis ("mata duitan") yang pro-fan sekularistik pun sudah merambah ke lembaga formal keagamaan yang sakral. Kepada Tuhan pun, banyak umat menyembah-Nya dengan prinsip transaksi dagang. Maka, ini perlu disentil. Jika disentil langsung, banyak pihak yang tersinggung. Hasilnya justru kontraproduktif (Wahid, 2000). Semuanya cukup dilawan dengan lelucon.

Pada konteks tertentu, antarpenutur dapat juga berusaha keras mencapai kecocokan secara kompromistik (Leech dalam Crystal, 1997; cf. Wodak, 1996), sehingga pertukaran makna dalam komunikasi dapat tercapai dengan mulus. Akan tetapi, wujud kompromi dalam HVGD tetap menampakkan kekhasan, jadi tidak benar-benar kecocokan antarpenutur. Perhatikan contoh (14) berikut!

(14) Clinton: Astronot USA sudah bisa mendaratkan pesawatnya tepat di tengah danau di bulan sana.
Gus Dur: Tepat di tengah danau itukah?
Clinton: (Berpikir sejenak) Yah ... di sekitar situlah.
Gus Dur: Kalau cuma begitu, dokter Indonesia sudah berhasil meno-long orang melahirkan lewat dubur.
Clinton: (Seperti tak percaya) Tepat di duburnya itukah?
Gus Dur: Yah ... di sekitar situlah. (Bangkit, 17-23 April 2000)

Maksim simpati, sebagai komponen prinsip kesantunan, juga sering dijungkirbalikkan dalam HVGD. Perhatikan wacana (15) tentang seorang tentara yang menjadi khatib salat Jumat di suatu masjid, berikut ini.

(15) Suatu ketika seorang tentara danramil (komandan rayon mili¬ter) memberikan khotbah Jumat. Setiap khotbah Jumat, seo-rang khotib selalu mengajak jamaah ber-takwa. Lazimnya, khotib mengata¬kan, "Marilah kita bertakwa kepada Allah Swt.!"
Tetapi, karena khotib kali ini seorang tentara, "bahasa tentara"-nya pun keluar. Sehabis mengajak takwa, ada tambahan, "... Awas ya, kalau tidak!" (Adnan, 2000: 7-8)

Dalam konteks beribadah di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa bahasa yang digunakan hendaklah tindak tutur yang santun. Kesantunan itu diwujudkan dalam ungkapan yang sejuk dan simpatik, bukan teriakan keras, garang, dan mengancam. Dalam perspektif Leech (Crystal, 1997; Levinson, 1995), menunjukkan rasa simpati kepada pihak lain akan membangun suasana inte-raktif-komunikatif, sehingga transformasi pesan-pesan keagamaan dapat efektif sampai tujuan (Wahid, 1999; 2000). Tentu saja, wacana (15) memang diekstremkan. Setegas-tegas seorang tentara, jika berdiri sebagai khotib di hadapan jamaah di "rumah tempat bersujud pada Tuhan", pastilah ia bertindak tutur dengan sejuk dan simpatik. Selain itu, ajakan santun persuasif semacam "Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt!" memang sudah menjadi idiom standar formal ritus peribadatan salat Jumat di belahan masyarakat muslim mana pun!

Akan tetapi, justru di sinilah situasi humor terletak. Penjung¬kirbalikan kesejukan situasi ibadah dicampurbaur dengan kevulga¬ran aroma militer melahirkan situasi humor. Inilah sudut pandang Teori Bisosiasi (Jupriono, 2000). Tampaknya humor ini merupakan sindiran tajam dan parodi satiris yang cukup kena yang ditujukan kepada sekelompok orang yang selama ini memposisikan diri dan akhirnya diposisikan masyarakat sebagai pihak yang ditakuti. Sebagai kelompok yang sehari-hari akrab dengan bahasa kekerasan dalam paradigma pendekatan keamanan (security approach), yang menyelusup mewarnai seluruh segi kehidupan sepanjang rezim Orde Baru, mereka sering dihujani kritik yang makin hari makin tajam. HVGD juga tidak ketinggalan, hanya bentuknya khas GD: lelucon HVGD.

HVGD dalam Perspektif Parameter Pragmatik 

Ada tiga paramater pragmatik, menurut Brown dan Levinson (Levin¬son, 1995; Wijana, 1996), yang dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dan kepatutan tindak tutur seseorang, yaitu (a) jarak sosial, (b) status sosial, dan (c) peringkat tindak tutur. Param¬eter jarak sosial dilihat dari keakraban antara penutur dan lawan tutur dengan mempertimbangkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosial budaya (cf. Wodak, 1996; Samsuri, 1997). Cermatilah wacana (16) berikut.

(16) Ketika pidato pertama kali seuasi dilantik MPR, Gus Dur mengemukakan beberapa hal penting. Misalnya tentang pemulihan ekonomi, pemulihan citra Indo-nesia di mata internasional, penega¬kan ke-daulatan hukum, pemberantasan KKN, dll., dengan serius, seperti lazimnya pejabat tinggi negara berpidato.
Akan tetapi, setelah lima belas menit, Gus Dur mengakhiri pida¬tonya dengan pe-nutup aneh, "Saya harus segera mengakhiri pembica¬raan ini sebab makin banyak saya bicara, makin banyak yang nanti harus saya pertanggungjawabkan." (Basyaib & Hermawan, 2000: 50)

Pidato GD bukan sembarang pidato. Dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik MPR RI, mestinya GD sadar saat itu dia sedang berada di forum resmi, di hadapan anggota pejabat-pejabat penting MPR, lembaga paling tinggi kedudukannya di Indonesia, diliput seluruh saluran RRI, TV domestik dan mancanegara. Mestinya, paling tidak GD menam¬pilkan sikap, tuturan, dan gaya yang "terhormat", "tidak nyele¬neh"; mestinya GD harus membedakan bahwa dia saat itu tidak sedang berbicara di hadapan para santri atau atau dengan para kiai di pesantren yang lazimnya memang penuh canda, atau juga di tengah sahabat-sahabatanya di Fordem, LSM, apa saja yang lain. Dalam cara pandang Brown dan Levinson (Levinson, 1995), GD telah menyalahi paradigma jarak sosial justru ketika GD harus menempat¬kan diri dalam suasana formal, resmi, standar, dan konvensional.

Akan tetapi, GD justru keluar dari kebakuan wacana (Wodak, 1996). Ia melakukan penjungkirbalikan norma tuturan konvensional politik kenegaraan selaku orang nomor satu di Republik Indonesia. Contoh lainnya dari paradigma jarak sosial adalah lelucon GD ketika menjadi narasumber pada acara "Partai-Partai" di TPI, 1999, dipandu oleh moderator kritis Haris Jauhari (HJ) yang cerdas itu. Perhatikan cuplikan rekaman wacana (17) berikut.

(17) HJ : Sebagai ketua PBNU, bagaimana pendapat Anda mengenai banyaknya partai selain PKB yang juga beridentitas NU. Misalnya PKU, PNU, PPP? Apa bedanya?
GD: Ya jelas beda dong. Ngapain bin-gung. Dari dulu orang-orang itu ya begitu itu. PKB, PKU, PNU, dan PPP dapat saya gambarkan begini. Ayam, yang keluar dari dubur ayam itu 'kan tidak cuma telor, tapi juga tahi ayam, kotoran.
HJ : Maksudnya gimana, Gus?
GD: Maksudnya PKB itu telornya, selebihnya untuk selain PKB (sambil tertawa ngakak, sementara HJ ge-leng-geleng) ("Partai-Partai", TPI, 1999)

Pada (17) GD agak kelewat batas. Kata-kata tahi ayam, kotoran jelas tidak tepat dimunculkan untuk membuat tamsil bagi partai-partai orang NU selain PKB, yakni PPP, PKU, PNU. Dalam konteks tuturan resmi yang ditayangkan di TPI tersebut GD tidak dapat menjaga jarak. Bagaimanapun kecintaan GD kepada PKB yang memang dibidaninya, secara jarak sosial, ketika di hadapan moderator, mahasis¬wa peserta acara itu, di hadapan penelepon dan pemirsa seluruh negeri, GD mesti membuat jarak, GD seharusnya tampil tenang, netral, dan jika memihak pun harus dengan bahasa yang tidak seenaknya seperti itu. Akan tetapi, GD bukanlah Brown & Levinson (Levinson, 1995) yang menyarankan bahwa kesantunan berkomunikasi dalam membangun kebersamaan wacana harus mendasarkan diri pada tingkat keakraban yang tetap memperhatikan usia, situasi, latar sosial budaya (cf. Wodak, 1997; Samsuri, 1997). Di sini dilihat dari usia, situasi, dan budaya masyarakat Indonesia semodern apa pun, kata-kata tahi ayam masih tetap sebuah pelanggaran prinsip parameter pragmatik jarak sosial.

Parameter selanjutnya adalah status sosial. Status sosial antar¬penutur harus diperhatikan agar komunikasi dalam tindak tutur berjalan efektif. Dalam hal ini contoh yang akan diketengahkan adalah relasi santri sebagai murid dan kiai sebagai guru dan panutan di lingkungan pondok pesantren. Perhatikan wacana (18) berikut.

(18) Di Pondok Pesantren Tambak Beras asuhan Kiai Fattah berlaku aturan: santri ketahuan merokok, dihukum. Suatu malam listrik padam. Kiai Fattah duduk merokok di luar balai. Seorang santri bandel lewat. Melihat ada orang merokok, santri ini mendekati, "Sa' sedotan, Kang!" katanya. Maksudnya minta barang satu isap saja, sebagaimana kebiasaan umum para santri. Kiai Fattah pun mengulurkan rokoknya.
Saat rokok dihisap santri, nyala rokok menerangi wajah Kiai. Begitu mengenali wajah si empunya rokok, seketika santri lari tunggang langgang sambil membawa rokok kiai. "Hei, rokokku aja digawa (jangan dibawa)!" teriak Kiai Fattah. (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000)

Dalam peristiwa tindak tutur (18) terjadi pelanggaran parameter status sosial, dalam hal ini antara kiai dan santrinya. Humor ini tercipta justru karena pelanggaran itu pula. Apalagi, dalam HVGD ini "kecelakaan" itu terjadi karena ketidaktahuan di mata santri tentang siapa pemilik rokok itu. Santri bandel itu mengira pemilik rokok adalah kawan sesama santri di pondok itu. Dengan demikian, tanpa takut dan sungkan, ia pun meminta rokok, merokoknya, dan memanggil sebutan Kang kepada kiainya yang dalam situasi terang normal hal itu mustahil dilakukannya. Karena ketidaktahuan ini¬lah, parameter status sosial Brown dan Levinson (Levinson, 1995) terlanggar.

Contoh lain pelanggaran parameter status sosial adalah pertuturan GD ketika mengadakan open house di kediamannya, Ciganjur, Jakarta (1999). Berbagai kalangan dari beraneka suku, partai, ideologi, etnis, adat, dengan beragam tingkat pendidikan, niat, motivasi, kepentingan, dan gaya turut mengokohkan predikat GD sebagai manusia multidimensional, tokoh inklusif, akomodator, pluralis. Perhatikan wacana (19) berikut!

(19) Salah seorang pengunjung GD adalah masyarakat awam yang menyenangi hal-hal klenik mistis. Tamu tersebut dengan berbisik mengatakan niatnya ingin ditolong GD agar dapat bertemu Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan (Samudra Indonesia) itu. GD mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apa sampeyan benar-benar ingin ketemu Nyi Roro Kidul?"
"Iya, Gus."
"Coba sampeyan mendekat." Orang itu langsung mendekat, berbinar membayangkan impiannya terkabul. GD berbisik ringan. "Apakah sampeyan belum pernah melihat Nyi Roro Kidul?"
"Belum, Gus."
"Sampeyan betul-betul ingin ketemu?"
"Betul, Gus."
"Sampeyan tahu ..."
"Ada apa, Gus?" Si tamu makin penasaran.
"Begini-begini, ... saya juga kepingin ketemu," kata GD ringan. Orang-orang di ruangan itu tergelak, sementara tamu klenik itu tersipu. (Adnan, 2000: 66)

Menurut cara pandang Brown dan Levinson (Levinson, 1995; Samsuri, 1997), dalam kapasitasnya sebagai kiai–bahkan tidak sedikit yang menganggapnya seorang wali–GD dituntut secara sosiokultural agar senantiasa menjaga statusnya, baik dalam tindakan maupun (teruta¬ma) dalam tuturan. Justru dalam tuturan lisan inilah "kelemahan" GD. Sebagai seorang kiai, GD dituntut bersikap tegas hanya percaya kepada Tuhan dan tidak perlu ikut-ikutan terseret arus masyarakat awam yang tergila-gila urusan klenik macam kein¬ginan bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Tentu saja, meski mengatakan Begini-begini, saya juga kepingin ketemu, pastilah GD hanya berkelakar. Kalau itu kiai lain, pernyataan yang keluar mungkin kalimat ma-rah emosional sambil diselipkan ayat-ayat suci yang mengharamkan klenik. Tetapi, GD adalah GD, bukan kiai biasa.

Parameter terakhir adalah peringkat tindak tutur yang diketahui dari relativitas tingkat keburu-buruan (kemendesakan) dalam situasi pertuturan. Contoh berikut menggambarkan betapa mestinya seseorang harus bertindak buru-buru dalam situasi mendesak daru¬rat, malah melakukan tindakan lain yang kontraproduktif. Perhat¬ikan wacana (20) berikut.

(20) Seorang pemuda terluka tertindih sepeda motornya dalam suatu kecelakaan di sekitar warga PKB. "Tolong ... tolong-lah saya ...!" rintihnya kesakitan. Beberapa orang mengerumumi, tidak langsung me-nolong, tetapi bertanya, "Kamu Islam atau bukan?" "Saya Islam. Air, tolong ... minta air ...," jawab korban sambil minta air. Tetapi, orang-orang tak peduli. Malahan bertanya lagi, "Kamu Islam? Syukurlah. Tapi, NU atau Muhammadiyah?"
"Saya NU. Saya haus ... mana ... air?" Jawabnya. Tetapi, orang lebih tertarik untuk bertanya lagi, "Oke, kamu NU. Tapi, partaimu apa? PKU, PNU, PPP, atau PKB?"
"Saya P ...," belum selesai menjawab, langsung pingsan. (Jawa Pos, 1999)

HVGD pada (20) menggambarkan dengan ekstrem dilanggarnya parame¬ter kemendesakan sebuah tindakan yang mestinya segera diambil, mengingat yang dihadapi adalah korban kecelakaan yang butuh pertolongan cepat. Dalam cara pandang Brown dan Levinson (Levinson, 1995), yang diprio-ritaskan adalah menyelamatkan jiwa si sakit; soal partai, agama, sekte, aliran, nomor sekian belas sebab menyelamatkan jiwa demikian pentingnya. Jika toh ada kepen¬tingan untuk mengajukan pertanyaan, pertanyaan itu haruslah bersangkutan dengan terapi penyelamatan jiwa pemuda korban kece¬lakaan itu. Itu pun kalau keadaan memungkinkan di-tanya. Dalam wacana (20), maksud korban mengatakan kalimat terakhir "Saya P ..." mungkin, seandainya tidak keburu pingsan, adalah PKB, tetapi mungkin juga PPP, PNU, atau pun PKU. Pembaca pun terpancing untuk menyusun interpretasi lebih lanjut, seandainya P-nya selain PKB, boleh jadi korban itu ditinggalkan begitu saja.

Akan tetapi, sasaran GD melontarkan HVGD adalah masyarakat Indo¬nesia yang masih tercengkeram oleh nilai-nilai sekta-rianisme keagamaan, primordialisme kedaerahan, kepartaian, keidologian, aliran, dll. (Wahid, 1998; 1999). Jika orang terhegemoni oleh pikiran sektarian, jiwa manu¬sia pun mudah dinomorduakan (Wahid, 2000). Kemanusiaan, plurali¬tas, dan inklusivitas adalah obsesi GD. Maka, menghadapi sekelom¬pok kaum yang masih eksklusif dan sektarianistik seperti ini, GD pun mengkritiknya, bukan dengan bahasa emosional, tetapi dengan lelucon khasnya: HVGD.

KESIMPULAN

Dari pembahasan panjang lebar di muka, dapat ditarik beberapa simpulan berikut. (i) HVGD tidak memenuhi maksim tutur Grice, baik maksim kuantitas, kualitas, relevansi, maupun maksim cara; keempat mak-sim dilanggarnya. (ii) HVGD tidak memenuhi prinsip kesantunan Leech, baik maksim kebaikhatian, kemurahatian, peneri¬maan, kerendahhatian, kecocokan, dan maksim simpati; dengan demikian, tidak satu pun maksim kesantunan yang tidak dilanggar. (iii) HVGD tidak sesuai dengan parameter pragmatik Brown & Levin¬son, baik parameter jarak sosial, status sosial, maupun peringkat tindak tutur; ketiga-tiganya dilanggar. Dengan kata lain, dalam wacana HVGD ter-jadi pelanggaran terhadap tiga belas rambu-rambu tindak tutur.

Penelitian ini merupakan upaya awal untuk memahami lelucon GD dari perspektif pragmatik kewacanaan, terutama dari tindak tutur, untuk mengimbangi kajian-kajian retoris presiden RI sebelum GD, yang sudah ada, misalnya retorika Bung Karno (Hooker, 1996), retorika Suharto (Eriyanto, 2000), dan retorika Habibie (Muslich, 2001). Tentu saja beberapa kelemahan tersembunyi di dalam-nya. Berdasarkan kelemahan itu, beberapa saran diajukan di sini.
(1) Materi humor verbal handaknya dikomprehensifkan dari berbagai sumber, mengingat lelucon tentang dan dari GD tersebar di mana-mana.
(2) Perspektif analisis yang digunakan hendaknya dilanjut¬kan aspek-aspek lain analisis wacana, misalnya saja implikatur percakapan, pre-suposisi, keterpaduan dan keruntutan, serta prin¬sip interpretasi lokal dan analogi, dan juga kemungkinan keka¬cauan-kekacauan wacana (disorders of discourse) dalam analisis wacana kritis versi R. Wodak (1996).
(3) Paradigma dan strategi penelitian dapat saja dikembangkan ke yang lain, misalnya inter¬aksionisme simbolik, posmodernisme, biso-siasi, intertekstualitas, atau grounded research (Aminuddin, 1998; Mulyana, 2001). Dengan demikian, akan diperoleh hasil pemahaman kapasitas dan kualitas manusia GD yang semakin utuh, komprehensif, dan bulat (seperti orangnya).

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M.M. (ed.). 2000. Presiden Dur yang Gus Itu: Anehdot-anehdot K.H. Abdur-rahman Wahid. Surabaya: Risalah Gusti.
Aitchison, J. 1995. Linguistics. London: Hodder and Stoughton.
Aminuddin. 1998. Mengenal Keragaman Para-digma dan Strategi Pene¬litian Kualitatif dalam Bidang Bahasa Sastra. Bahasa dan Seni 26(1) Februari: 118--139.
Anderson, B.R.O'G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures of Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Basyaib, H. & F.W. Hermawan. (ed.), 2000. Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran gaya Gus Dur. Jakarta: Alvabet.
Bullock, R. dkk. 1993. The Relationships bet-ween Qualitative and Quantitative Approach. Hal 81--100 dalam J. Brannen (ed.), Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Aldershot: Ave¬bury.
Chiaro, D. 1992. The Language of Jokes. London: Routledge.
Crystal, D. 1997. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cam¬bridge: Cambridge University Press.
Eriyanto. 1999. Otoriterisme Orde Baru: Studi Pidato Suharto. Wacana 2(1).
Hammersley, M. 1993. Deconstructing the Qualitative-Quantitative Divide. Hal. 39–56 da-lam J. Brannen (ed.), Mixing Methods: Quali¬tative and Quantitative Research. Aldershot: Avebury.
Hooker, V.M. 1996. Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia. Hal. 56–76 dalam Latif & Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
Jupriono, D. 2000. Wacana Cerita Wayang Humor Jawa Pos dalam Perspektif Bisosiasi. Humanika 4(1) Juli: 13--21.
Levinson, S.C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mulyana, D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Re-maja Rosdakarya.
Musa, H. 1998. Humor Madura Penyegar Jiwa. Jakarta: PT Prestasi Insan Ind.
Muslich, M. 2001. Produksi Wacana Politik Pemerintahan B.J. Habibie. Tidak dipublikasikan. Surabaya: PPS Unair.
Nadjib, E.A. 2000. Slilit Sang Kiai. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Raskin, V. 1985. Semantic Mechanism of Humor. Dordrecht: D. Reidel Pub. Co.
Samsuri. 1997. Analisis Wacana. Surabaya: Fakultas Sastra, Untag Surabaya.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogya¬karta: Duta Wa-cana University Press.
Suprana, J. 1996. Humor di Tengah Masyarakat: Tinjauan Kelirumo¬logis. Prisma 1, Januari: 93--99.
Tim Incres. 2000. Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemiki¬ran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wahid, A. 1998. Islam Tanpa Kekerasan. Yog-yakarta: LKiS.
Wahid, A. 1998a. Kiai Nyentrik Membela Peme-rintah. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, A. 1999. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, A. 1999a. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Grasindo.
Wahid, A. 1999b. Tuhan Tak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, A. 2000. Melawan dengan Lelucon. Jakarta: Pusat Data Analisis Tempo.
Wahid, A. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Wijana, I D.P. 1996. Wacana Kartun Bahasa Indonesia. Prisma 1, Januari: 1-16.
Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London: Longman.
Yule, G. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
  • Assalamu'alaikum wr.wb.
    Dus Dur sendiri lebih susah memahami bangsa ini yang gak pernah memahami kebersamaan dan kedamaian dalam kehidupan...sehingga Gus Dus sendiri menggunakan trik-trik yang membuat rakyatnya lebih cerdas berfikir, kritis, cermat dan teliti, maklum deh Beliau kan alumni Fakultas Satra di Iraq...

Posting Komentar