Revitalisasi Tradisi Lisan Parikan Dalam Era Kelisanan Sekunder
Label:
Sastra
by D. Jupriono
20 Oktober 2010
D. Jupriono
Makalah The 2nd International Symposiumon Urban Studies: Arts, Culture and History, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.
23 Januari 2010
23 Januari 2010
Parikan terpinggirkan karena serbuan tayangan genre baru media massa, tergusurnya ranah pakai komunikasi tradisional (seni pentas, budaya pasemon, lokalisasi WTS, dan penjual obat/jamu keliling). Meskipun demikian, karena mengalami regenerasi dan revitalisasi performansi, parikan masih tersisa di media produk teknologi massa, birokrasi (aparat kepolisian, partai politik), dan komunikasi publik (masyarakat desa/kampung, komunitas urban di kota). Hal ini menandai berakhirnya era kelisanan primer dan bangkitnya era kelisanan sekunder.
Kata kunci: tradisi lisan, revitalisasi, tradisi lisan, kelisanan primer, kelisanan sekunder
Pendahuluan
Di dalam masyarakat di Jawa, misalnya, hidup berdampingan sastra modern Indonesia, sastra (tulis) mutakhir Jawa, dan sastra lisan Jawa. Sastra lisan Jawa hidup subur berabad-abad di samping tradisi lisan lain, seperti mantra, teka-teki, tembang, parikan, dongeng, nyanyian dolanan anak-anak, dll. (Hutomo, 1991). Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, sastra Jawa ditinggalkan penikmatnya; sastra Jawa di ambang kepunahan (Quinn, 1983; Prawoto, 1993). Kecemasan para pakar sastra Jawa ini ada benarnya sejauh menyangkut sastra tulis (Sudikan, 1996).
Bagaimanakah dengan pantun Jawa parikan? Apakah ia juga terkikis dan ditinggalkan komunitasnya? Jika jawabnya "Ya", faktor apa sajakah yang mendorong terjadinya pergeseran itu? Jika masih ada yang tersisa, di mana sajakah parikan dapat ditemukan? Golongan manakah yang masih mengekspresikan parikan dan apakah fungsinya? Apakah terjadi pergeseran komunitas penikmat? Bagaimana perkembangan mutakhir parikan?