DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Lelucon Etnis Madura dalam Perspektif Multikulturalisme

D. Jupriono

Ada tiga kelompok lelucon etnis Madura: positif, negatif, dan netral. Lelucon netral dan positif sarat dengan humor yang menghibur, sedang yang negatif umumnya merendahkan etnis ini. Lelucon negatif etnis Madura diduga kuat diciptakan oleh kalangan eksternal dengan berbasis etnosentrisme, stereotipe etnis, dan prasangka rasial. Dalam rangka membangun komunikasi antaretnis yang bersuasana multikultural, terhadap lelucon etnis tersebut, warga Madura hendaknya bersikap lebih positif dengan memperkecil ketersinggungan dan prasangka serta menyadari bahwa lelucon sebagai produk folklor diciptakan tidak berdasarkan fakta, tetapi prasangka dan stereotipe. Sementara, etnis lain pun hendaknya tidak mendasarkan penilaian berdasarkan stereotipe, prasangka, dan etnosentrisme, serta mengembangkan reinterpretasi terhadap lelucon etnis Madura dengan lebih mengapresiasi sisi positifnya. Akhirnya, semua pihak hendaknya menumbuhkan motivasi saling mengenal, saling belajar memahami dan menerima perbedaan, menghormati kemerdekaan berekspresi, serta mengupayakan kualitas kehidupan bersama yang tidak sekadar koeksistensi, tetapi lebih dari itu juga proeksistensi.

Kata-kata kunci: lelucon etnis, multikulturalisme, komunikasi lintas budaya, etnosentrisme, stereotipe


PENDAHULUAN


Kertas kerja ini dibuka dengan mengangkat salah satu lelucon etnis Madura, yang demi kelancaran diskusi dijuduli ”Orang Madura dan Tentara” (1), sebagai berikut.

1) Di dalam bis kota yang berjubel penumpang, seorang penumpang yang berdiri bertanya kepada penumpang yang berdesakan di depannya yang badannya kekar, tegap, dan berambut cepak, yang juga tidak kebagian tempat duduk.

“Maaf, Pak, apakah sampiyan tentara?” (dengan logat khas Bangkalan!)
“Bukan.”
“Sampiyan angkatan udara?”
“Bukan juga.”
“Marinir ya?”
“Ah bukan ... Ada apa to sebenarnya!” (dengan logat khas Jogja)
“O tahu saya, … sampiyan pasti polisi.”
“Polisi? Bukan!”
“Kalau begitu, ... jancuk sampiyan!”
“Lho lho lho ... kenapa marah?”
“Ini sampiyan ’nginjak kaki saya dari tadi.”

Tidak terlalu penting dipersoalkan di sini lelucon ini empiri faktual ataukah sekadar imajinasi fiksional. Lelucon etnis tersebut memang hidup dan menyebar di obrolan sehari-hari dan media massa, hingga sekarang. Sebagai produk budaya lisan, lelucon ini anonim; siapa penciptanya sulit diketahui (Brunvand, 1968) serta tampak tidak berharga. Akan tetapi, dari sudut pandang disiplin folklor, lelucon tersebut bukan soal sepele. Ia, misalnya, akan disorot sebagai sistem proyeksi (projective system) dan sebagai refleksi protes sosial suatu kolektif (Bascom & Wang dlm. Dananjaya, 1984). Dari perspektif komunikasi lintasbudaya, isi lelucon ini dan juga interpretasi terhadapnya sarat dengan etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka (cf. Rogers & Steinfatt, 1999).

Lelucon ini cukup menghibur—terutama bagi kolektif non-Madura. Bagaimana di mata kolektif Madura sendiri? Apakah semua lelucon yang menyangkut etnis Madura selalu dipersepsi sebagai humor di mata etnis ini? Suka atau tidak, lelucon-lelucon semacam ini akan terus mengalir. Bagaimanakah seyogianya menyikapi lelucon-lelucon tersebut dalam kerangka pengembangan komunikasi lintasetnis yang mengedepankan spirit toleransi, menghormati perbedaan, menenggang rasa satu sama lain? Di seputar persoalan-persoalan inilah pembahasan makalah ini dijabarkan.

Data lelucon dalam tulisan ini sebagain diambil dengan menjaringnya di lapangan dan sebagian lain dari sumber tertulis, yaitu Humor Madura untuk Penyegar Jiwa (Musa, 2006) dan Folklore Madura (Nadjib, 2009). Perlu diketahui bahwa lelucon atau humor Madura yang tertulis sesungguhnya merupakan reproduksi dari lelucon etnis Madura yang tersebar luas di masyarakat.

PEMBAHASAN

Tiga Jenis Lelucon Etnis Madura

Antropolog putra Madura tulen A. Latief Wiyata (2008) pernah melontarkan kegalauannya bahwa kebanyakan lelucon etnis Madura yang beredar di masyarakat bernada melecehkan harga diri orang Madura. Sementara itu, seorang politisi Wakil Ketua DPW PKB Jawa Timur yang konon juga putra Madura, M. Mas’ud Adnan (2006), menilai bahwa humor-humor Madura itu suatu bentuk penghargaan positif terhadap eksistensi etnis ini. Kedua tokoh ini berseberangan di titik ekstrem dalam merespon lelucon Madura. Berdasarkan kedua pandangan diametral tersebut—beruntung sekali!—penulis tinggal memungutnya dalam membuat klasifikasi lelucon etnis Madura sbb.: (a) lelucon positif, (b) lelucon negatif, dan sisanya (c) lelucon netral.

Lelucon Positif

Lelucon bernada positif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh kalangan internal Madura sendiri atau oleh orang non-Madura yang bersimpati-empati kepada Madura. Lelucon positif bernada menghargai serta menggali sisi-sisi positif tradisi dan karakter etnis Madura. Untuk memahami lelucon ini, dibutuhkan pemahaman kultural etnis Madura (cf. Bouvier, 2002). Perhatikan lelucon (2)!

2) Untuk menyambut kunjungan rombongan menteri, sebuah pesantren menggelar upacara resmi. Khusus kali ini ada tambahan acara: pembacaan Pancasila, lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, dan lagu wajib ”Satu Nusa Satu Bangsa”—tidak ketinggalan pembacaan ayat suci AlQur’an dan pidato.

Protokol: ”Pembacaan Pancasila.”
Petugas: ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Satu, Pancasila. Dua, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Empat, Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Enam, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Dan seterusnya ... sampai menyanyikan lagu wajib.)
Protokol: ”Menyanyikan lagu wajib.”
Petugas: ”Ambil suara .... Saaa .....
Peserta: ”Shaaa ......
Petugas: ”Satu ... dua ... tiga ...
Peserta: ”Shalatullah salamullah …”

Bahwa mungkin ada pihak yang menafsirkan lelucon (2) sebagai negatif—itu tidak disangkal. Akan tetapi, penulis mengapresiasi lelucon ini secara lain dengan pendekatan interpretif subjektif (Mulyana, 2001). Apresiasi penulis terhadap lelucon (2) berujung pada dua tafsir.
Pertama, mengawali pembacaan teks Pancasila dengan salam Islam (assalamu’alaikum ...) dan ”Satu nusa satu bangsa” yang terpeleset menjadi ”Shalatullah salamullah …” seyogianya dipahami sebagai realitas bahwa masyarakat Madura sangat religius islamis (Rifai, 2007). Madura identik Islam. Adalah terasa ganjil jika ada orang Madura nonmuslim. Identitas keislaman amat penting bagi orang Madura (Wiyata, 2007a). Biarpun kadang terdapat deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural, dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat ajaran Islam (Taufiqurrahman, 2006).

Kedua, jika harus dikomparasikan, loyalitas warga Madura kepada ulama (ustadz, kiai) lebih tinggi dibandingkan dengan loyalitasnya kepada umara (birokrat pemerintah). Hal ini merefleksikan kepatuhan hierarkis warga Madura kepada bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato (ayah, ibu, ulama/kiai, dan terakhir pemimpin formal birokrasi) (Wiyata, 2007a). Kepatuhan pada dua yang pertama bukan luar biasa—seperti itu jugalah etnis lain: Batak, Jawa, Minahasa, Tionghoa, dll. Akan tetapi, kepatuhan pada dua yang terakhir adalah khas Madura (Wiyata, 2008). Jelas di sini pemimpin agama dipandang lebih penting daripada pemimpin birokrasi (pemerintah); meskipun sama-sama dihormati, seorang kiai diberi penghormatan lebih tinggi ketimbang bupati, misalnya. Maka, dengan konteks lelucon (2), warga Madura lebih hafal ”Shalawat Badar”, sebagai cermin dari apa pun yang bersangkutan dengan agama, ketimbang lagu wajib ”Satu Nusa Satu Bangsa”, sebagai cermin dari apa pun yang menyangkut urusan negara, pemerintah, politik birokrasi.

Bagaimana dengan lelucon (1) tentang ”Orang Madura dan Tentara”—di bagian Pendahuluan? Lelucon ini pun lelucon positif—dengan pengertian tidak melecehkan harga diri orang Madura. Paling tidak, dalam hal ini, dapat dicatat dua interpretasi berikut:

Pertama, penumpang yang kebetulan berdarah Madura tersebut menampakkan dengan jelas kepatuhannya kepada kelompok rato. Dalam konteks ini tentara, marinir, angkatan udara, dan polisi harus dibaca sebagai aparat pemerintah (rato) (Wiyata, 2007a). Maka, nilai budaya kepatuhan hierarkis warga Madura kepada bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato kembali menampakkan sosoknya. Seandainya penumpang yang menginjak tersebut salah satu dari TNI/Polri, dapat dipastikan penumpang Madura tersebut tidak akan menyemprotkan umpatan supervulgar jancok.

Kedua, etnis Madura amat membela kehormatan harga diri dan mengekspresikannya. Intensitas semangatnya membela harga diri, di mata etnis non-Madura, berada dalam takaran berlebihan. Karena itu, orang Madura pantang dihina, direndahkan, atau dipermalukan, sejalan dengan pepatah klasik ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata, yang intinya kurang lebih ’lebih baik mati daripada menanggung malu’ (Rifa’i, 2007). Bila demikian, secara tersirat, selama diperlakukan dengan baik, orang Madura juga tidak akan mempermalukan orang lain (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’) (cf. de Jonge, 2002). Harga diri merupakan nilai sangat mendasar bagi etnis Madura. Dasar harga diri adalah sifat malo dan todus (rasa malu). Bagi orang Madura, mempermalukan seseorang di muka umum dianggap menghina harga diri dan martabatnya. Karena itu, lelaki yang tidak membalas penghinaan tersebut adalah lelaki yang tada' ajina (tidak ada harganya). Apalagi, jika rasa malu itu menyangkut kehormatan keluarga, ia wajib mempertaruhkan nyawa untuk membelanya. Dari sinilah tradisi sadis carok bermula (Wiyata, 2006). Lelaki Madura yang tidak berani membela kehormatan keluarganya akan diejek sebagai banci atau perempuan.

Orang Madura itu keras? Menurut Wiyata (2007), karakter orang Madura bukan keras, melainkan tegas memegang prinsip hidup—tegas dalam perangai, sikap, dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”—terutama di luar bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato.

Sebaga produk budaya folklor, lelucon (1) berfungsi sebagai sistem proyeksi (Bascom & Wang dlm. Dananjaya, 1984), yang memantulkan angan-angan suatu kolektif, baik bagi Madura maupun etnis lain. Bagi etnis lain, lelucon ini dapat menjadi media belajar mengenal karakter etnis Madura yang tegas, ekspresif, dan spontan, serta sangat menghormati aparat. Bagi etnis Madura sendiri, lelucon (1) menggemakan spirit keberanian menyuarakan hak.
Fungsi sebagai sistem proyeksi sekaligus protes sosial kembali ditunjukkan oleh lelucon (3) ”Pak Kades dan Pemilu” sebagai berikut.

3) Dalam sebuah Pemilu 1997 seorang kepala desa (kades) marah besar kepada rakyatnya lantaran di desanya Golkar kalah oleh PPP.

Pak Kades: Saudara-Saudara tidak jujur kepada saya. Katanya akan membantu saya dalam Pemilu. Ini kok Golkar malah kalah. Saya sangat kedcewa.
Tokoh Masyarakat: Pak Kades jangan rah-marah begitu. Dalam lima tahun, sepanjang 1.824 hari kami patuh membantu Bapak. ’Kan hanya 1 hari saja kami membantu Pak Kiai, ... masa nggak boleh. (1 tahun = 365 hari; 5 tahun = 5 x 365 = 1.825 hari. dj)

Lelucon (3) menggambarkan dengan jelas betapa masyarakat Madura sangat patuh pada kiai (ghuru) di atas kepatuhannya pada kepala desa (rato). Di samping itu, lelucon ini juga merefleksikan nyali perlawanan terselubung—menentang mobilisasi politis yang mengharuskan rakyat mencoblos Golkar di setiap pemilu di era Orde Baru.
Selain fungsi tersebut, lelucon etnis Madura dapat juga berfungsi sebagai alat pendidikan dan juga alat pemaksa agar norma dipatuhi (Dananjaya, 1984). Perhatikan lelucon (4).

4) Tole: Kata ayah, buyut dan kakek saya tidak mengalami pikun karena beliau perokok berat.
Brudin: Ah, yang bener, Le. Masak karena merokok bisa terhindar dari pikun.
Tole: Mana bisa pikun, wong sebelum lanjut usia sudah meninggal karena batuk dan paru-paru.

Alat pendidikan ini diperuntukkan bagi anak-anak, dan bukan orang dewasa. Sebab, seperti halnya pada etnis lain, orang dewasa yang telanjur sebagai perokok akan sangat sulit diingatkan dengan nasihat apa pun—termasuk dengan lelucon semacam (4). Akan tetapi, demi kelangsungan jiwa, dengan segala cara, nasihat itu harus ditingkatkan menjadi norma (jangan merokok, nanti cepat mati!). Tetap tidak bisa dijamin bahwa orang Madura dewasa ikhlas berhenti merokok setelah mendengar lelucon ini. Meskipun demikian, spirit lelucon ini jelas positif: merefleksikan nilai-nilai ideal kolektif (Dundes, 1965) dalam bidang kesehatan.

Lelucon Negatif

Lelucon negatif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh kalangan eksternal non-Madura yang kurang bersimpati-empati kepada Madura atau juga oleh orang Madura sendiri untuk kalangan internal eksklusif secara esoteris—setidaknya pada awalnya. Lelucon negatif bernada merendahkan, menganggap bodoh, dan bahkan melecehkan kehormatan kolektif Madura. Sebelumnya hendaknya dipahami, apa yang disebut sebagai melecehkan di sini dilihat dengan perspektif interpretif-subjektif (Mulyana, 2001). Perhatikan lelucon (5) ”Pedagang Telur”!

5) Seorang ibu PKL menjajakan telornya di Pelabuhan Kamal. Salah seorang turis domestik (dari Semarang) tertarik untuk beli oleh-oleh buat keluarga, maka ia mendekati penjual telor.

Penjual: ”Telor telor! Mari, Mas, telurnya sar-besar, teng-ganteng nih kayak yang beli.
Turis: ”Ini telur ayam ya, Bu?”
Penjual: ”Ya, telor ayam. Murah, sar-besar.”
(Turis domestik kelihatan memegang-megang semua telor. Belum ada tanda-tanda mau membeli. Penjual mulai tak sabar).
Turis: ”Segini kok besar to, Bu. Kecil-kecil gini lho. Kalau saya pingin telur ayam yang besar-besar, buat oleh-oleh”.
(Rayuannya nggak mempan dan dagangannya dikritik, kontan penjual balik ke sifat aslinya, lupa akan semangat enterpreneurship-nya).
Penjual: ”Sampiyan iku yok opo sih, Cak?! Ini kan sudah ukuran dari sananya! Lha nek nuruti sampeyan, dobol kabeh silite pitik. Ganteng-ganteng ... goblok!”.

Dengan berpayung pada perspektif interpretif-subjektif, yang mencoba berempati kepada etnis Madura, dapat dimengerti kekesalan ibu pedagang telor: sudah lama memilih-milih, tak segera menawar, mengkritik lagi! Akan tetapi, dalam dunia bisnis, pembeli harus diperlakukan layaknya seorang raja. Secerewet apa pun, senyinyir apa pun, calon pembeli mesti dihormati—itulah prinsip dasar berdagang, sebagai salah satu wujud semangat enterpreneurship.

Lelucon (5) adalah produk stereotipe yang dilekatkan oleh orang-orang non-Madura. Di sini pedagang beretnis Madura distereotipekan berkarakter tidak sabar, kasar, mau menangnya sendiri, dan temperamental (de Jonge, 1995; Bouvier, 2002). Sebagai stereotipe, tentu saja persepsi tentang karakter-karakter ini dilebih-lebihkan dan digeneralisasi, sehingga tidak selalu benar dan seringkali mendistorsi realitas (Rogers & Steinfatt, 1999: 228). Cukup banyak lelucon etnis Madura yang berbalut stereotipe, misalnya lagi lelucon (6) ”Pedagang Pisang” dan (7) ”Pedagang Jeruk”.

6) Penjual: ”Pisang tanduk, pisang tanduk, … panjang, besar, manis. Silakan pilih sendiri”.
Pembeli: ”Ah …, pisangnya kecil-kecil pendek-pendek begini lho....!”

Penjual: ”Boo-aboo …, kalau seperti ini dibilang kecil-kecil, pendek-pendek, ya beli sajja belalainya gajah!”
7) Pembeli: “Jeruknya manis, Pak?”
Penjual: “Silakan dicoba, Mbak.”.
Pembeli: “Baiklah. Saya beli sekilo.”
(Sesampai di rumah, jeruk dimakan. Ternyata semuanya kecut. Maka, sambil marah didatangilah penjual jeruk itu)
Pembeli: ”Bapak ini bohong! Jeruk kecutnya kayak gitu kok dibilang manis”.
Penjual: ”Boo-abbo, sampiyan jangan marah dulu. Yang bilang manis ’kan sampiyan. Saya cuma bilang “silakan coba”, kan? Saya suruh nyoba, sampai langsung beli. Dan lagi, sampiyan jangan dit-medit. Cuma beli sekilo, sampiyan sudah marah. Lihat ..., saya yang terlanjur tiga karung … nang-tenang saja. Nggak rah-marah kayak sampiyan”.

Di samping berbalut stereotipe, lelucon negatif etnis Madura juga berbasis etnosentrisme. Dalam komunikasi yang bersuasana etnosentristik, suatu kolektif secara tidak sadar akan menganggap budaya sendiri superior dan budaya kolektif lain inferior (Rogers & Steinfatt, 1999: 50). Selanjutnya, ia akan memahami pesan budaya kolektif lain dengan parameter budaya sendiri. Tutur klasik ”jangan mengukur baju di badan sendiri” akan dianggap sepi. Etnosentrisme, pendeknya, merupakan arogansi kultural suatu kolektif. Perhatikan lelucon (8)!

8) Sebuah jeep yang dikendarai sepasang turis asing sedang mencari tempat parkir di stadion tempat berlangsungnya karapan sapi. Tiba-tiba mobil tersebut ditabrak dari belakang oleh sepeda motor yang dikendarai oleh Brudin, pemuda setempat.
Turis (fasih bahasa Indonesia): ”Saudara bersalah karena menabrak dari belakang. Saudara harus membayar biaya perbaikan mobil saya.”

Brudin: ”Enak saja. Saudara yang bersalah, harus membayar biaya perbaikan sepeda motor saya!”
Turis: ”Di mana salah saya?! Saya pelan cari tempat parkir, Saudara tabrak dari belakang.”
Brudin: ”Salah Saudara adalah datang di Pulau Madura. Coba kalau nggak datang ke sini, pasti tak terjadi tabrakan.”

Sebagai produk budaya lisan, lelucon (8) tentulah tidak benar-benar terjadi. Teks lelucon ini hendaknya dibaca dari dua sisi. Pertama, dari sisi substansi, tindakan dan pernyataan Brudin jelas menggambarkan etnosentrisme. Penilaian benar-salah, baik buruk, senantiasa didasarkan pada kepentingan subjektif kolektif etnisnya (cf. Rahardjo, 2005). Dalam hal ini, Brudin adalah pelaku, sedang turis asing korban. Kedua, dari sisi interpretasi, besar kemungkinan siapa pun akan membuat tafsir kurang lebih sama bahwa pemuda konyol tersebut adalah Madura. Lelucon ini sengaja diciptakan untuk mengkonstruksi pesan rasial-etnis bahwa Madura itu etnosentris. Pada yang kedua, Brudin sebagai representasi etnis Madura adalah korban rekayasa simbolis etnosentrisme, sedangkan pelakunya bisa pencipta lelucon ini, bisa pula penafsir/pembaca/ pendengar. Untuk melengkapi lelucon ini, silakan dibaca lelucon (9).

9) Brudin: ”Cong, siapa Gubernur Jawa Timur sekarang?”

Kacong: ”Bapak Mohammad Noer!”
Brudin: ”Lha, ... Pakde Karwo itu siapa?”
Kacong: ”Itu kan penerusnya.”
Brudin: ”Lho, mobil No Pol L-1 kok dipakai Pakde Karwo?”
Kacong: ”Ah ..., itu kan lungsurannya.”

Lelucon negatif tak selalu berbasis prasangka rasial stereotipe dan etnosentrisme; ia bisa juga tampil mengemuka untuk mempertontonkan kebodohan etnis ini. Meskipun, diciptakan untuk merendahkan etnis dimaksud. sampai batas tertentu, lelucon tersebut justru malah mengundang simpati iba sekaligus menggelikan. Perhatikan lelucon (10) ”Radio Transistor” dan lelucon (11) ”Surat Undangan”!

10) Saat ibadah haji, Brudin membeli sebuah radio transistor kecil di Jeddah. Setiap dihidupkan, yang terdengar selalu siaran dan lagu dalam bahasa Arab. Brudin mengira itu semua adalah orang mengaji Qu’ran dan musik qasidah.
Begitu kembali di kampung halaman, kepada semua tamu ia memamerkan bahwa radionya hanya mau menyiarkan pengajian dan lagu qasidah. Ketika kemudian disetel, yang terdengar ternyata adalah siaran dalam bahasa Indonesia, bahasa Madura, dan lagu-lagu dangdut.
”Aneh sekali radio ini,” kata Brudin. ”Waktu di Arab ia pandai mengaji tanpa henti. Tapi di sini, kok jadi bodoh. Aneh ...”

11) Brudin menghadiri undangan resepsi pernikahan bersama seorang nenek-nenek bungkuk yang jalannya perlu dibimbing. Penerima tamu heran.

”Pak Brudin, istri Bapak tidak ikut, Pak? Lalu, nenek ini siapa?” tanyanya.
”Lho, pada surat undangan yang sampiyan kirim kan menyebutkan bersama Ibu. Ya saya datang bersama ibu. Ini ibu saya sendiri. Istri saya tidak ikut, kan tidak sampiyan sebut,” jawabnya.
”Maksud kami, ... bersama Ny. Brudin, istri Bapak.” penerima tamu menjelaskan.
Dengan nada sedikit naik, Pak Brudin menjawab, ”Sampiyan jangan mempermainkan saya!”

Lelucon ini juga mengkonstruksi pesan tertentu yang lebih kurang menganggap bodoh etnis Madura. Ia pastilah lahir dari etnis lain yang motifnya merendahkan—ethnic slur. Adalah realitas bahwa sesungguhnya tidak hanya etnis Madura yang kompetensi berbahasa Indonesianya sebagai media komunikasi lintasetnis masih kurang memadai. Banyak juga etnis Jawa dan Sunda, misalnya, terutama di pedesaan, yang mungkin akan mempersepsinya sama seperti Pak Brudin dalam (11).

Rendahnya penguasaan bahasa lain—termasuk artikulasi pronunciation—yang potensial melahirkan kesalahpahaman komunikasi lintasetnis (Mulyana, 2002; Jupriono, 2006), rupanya menjadi sumber yang tak pernah kering bagi penciptaan humor (Jupriono, 2009). Misalnya lelucon (12) ”Sateeede!” dan (13) ”Viagra 1”, perhatikan!

12) Seorang pemuda lulusan SMU ikut tes masuk akademi pariwisata di Surabaya. Tes I, tes II, ia lolos. Tetapi, pada tes akhir (tes bahasa Inggris) ia gagal dengan sebab sepele.

”Bahasa Inggrisnya hari Senin apa?”
”Monday” (dengan logat Maduranya yang kental)
”Kalau Selasa?”
”Tuesday.” Hal ini berlangsung terus sampai ...
”Nah, kalau hari Sabtu?”
”Sateeede!” (maksudnya Saturday) dengan logat khas layaknya penjual sate.

13) Dengan nasihat tetangga yang dinggap pintar untuk urusan memuaskan istri di ranjang, Brudin memutuskan mengkonsumsi ”obat kuat” Viagra. Tetangga itu juga berpesan, di samping manfaat, minum Viagra juga ada risiko efek samping, tetapi ringan.

Setelah minum, hasilnya memuaskan. Istrinya makin sayang dan Brudin kian percaya diri. Tetapi, ada hal kecil yang berkaitan dengan efek samping. Maka didatanginyi tetangganya tersebut keesokan harinya untuk berterima kasih dan menanyakan hal kecil tersebut.
”Sampiyan kan bilang ada efek samping. Ternyata ini sedikit beda. Yang saya alami, efeknya tidak ke samping, tapi ke depan ...,” katanya.

Lelucon (13) dapat digolongkan ke dalam lelucon seksual. Seks adalah pokok persoalan yang paling banyak diangkat ke dalam lelucon semua etnis. Memang, jika mengingat religiusitas etnis Madura, ini akan terasa ironis. Biarpun ironis, itu wajar-wajar saja dalam tradisi lisan. Humor agama yang mengangkat kehidupan pastor, suster biarawati, haji, dan kiai, misalnya, ternyata juga banyak yang berbasis seks (Dananjaya, 1984). Meskipun demikian, berbeda dengan lelucon seksual etnis lain pada masyarakat yang berkultur patriarkis, yang umumnya mengobjekkan perempuan (Rakow & Kranich, 1991: 10), pada lelucon seksual Madura, lelakilah—dengan segala kebegoan dan kekonyolannya—yang menjadi objek. Teks (13), misalnya, jelas mengangkat kekonyolan lelaki. Contoh lainnya dapat dibaca pada lelucon (14)”Viagra 2”.

14) Sukses seks rupanya disampaikan Brudin kepada temannya, Matali. Meski harganya mahal, viagra dibeli juga oleh Matali. Setelah berada di tangan, obat kuat itu dilihat-lihat, ditimang-timang. Ia heran, benda remeh seperti ini kok kashiatnya—kata Brudin—luar biasa! ”Sayang, harganya mahal,” gerutunya. Karena itu, ”Sayang sekali kalau langsung diminum habis,” katanya.

Maka, viagra itu hanya dijilat-jilati saja. Sepuluh menit kemudian, di luar dugaan, Matali merasakan ada bagian tubuhnya yang tegang mengeras. Tetapi, berbeda dari cerita Brudin, pada tubuh Matali yang tegang mengeras bukan penisnya, melainkan ... lidahnya!

Masih banyak lelucon etnis Madura berbasis kesalahpahaman bahasa dan kekonyolan. Sebagian diklasifikasikan ke dalam jenis lelucon netral, yang dibahas pada bagian berikut.

Lelucon Netral

Lelucon netral tentang etnis Madura mungkin diciptakan oleh kalangan internal, mungkin juga oleh eksternal etnis lain. Kata netral dalam klasifikasi ini hendaknya dipahami sebagai ’tidak merendahkan’ atau ’ada nada merendahkan, tetapi motif pujian kekagumannya lebih dominan’. Lazimnya juga, sebagai produk folklor, lelucon netral berfungsi tunggal sebagai hiburan pelentur ketegangan suasana. Lagi-lagi harus dikatakan, ini menurut perspektif interpretif-subjektif penulis (Mulyana, 2001: 32—37). Baiklah, berikut dipaparkan sekaligus dua lelucon, (15) ”Wortel Impor” dan (16) ”Susu”.

15) Sarip: ”Biarpun wortel banyak vitamin A-nya, kalau wortel impor yang de-gede itu justru bisa menyebabkan pendarahan di mata. Jadi kamu harus ti-hati, Di.”

Paidi: ”Ah, mosok sih. Nek saeruhku, wortel itu dalam negeri atau impor bagus untuk kesehatan mata kita....”
Sarip: ”Koen ojo’ ngeyel, Di. Mata ini bisa berdarah betul lho ...”
Paidi: ”Ah, gak mungkin!”
Sarip: ”Nek gak percoyo, wortel impor iku culekno ndik matamu, ... nanti pasti berdarah!”

16) Gozali: ”Susu itu tidak baik di mata.”

Marlena: ”Sampiyan itu yo’opo sih, ... dari dulu susu itu bagus untuk kesehatan kita.”
Gozali: ”Iya, aku ngerti, Mbak. Tapi tetap nggak baik di mata.”
Marlena: ”Kok bisa begitu, ... alasan sampiyan apa?”
Gozali: ”Susu memang nggak baik di mata. Baiknya di dada. Coba kalau nempel di mata, ’kan kayak tumor, malah nutupi, kita mana bisa melihat ta’iye.”

Sebagai lelucon etnis yang berbasis kesalahpahaman bahasa, lelucon ini membangun efek humornya melalui perbedaan menafsirkan praanggapan tuturan (presupposition, Levinson, 1995) pada (15) dan ketaksaan semantis (ambiguity, Raskin, 1985) pada (16). Dialog Sarip Madura dan Paidi Jawa (15) akan ideal jika saja keduanya sama-sama membangun satu praanggapan berdasarkan implikasi konvensional berupa pengetahuan dunia bahwa wortel itu makanan yang kaya viamin A, karenanya cocok untuk kesehatan mata. Praanggapan tersebut malahan juga dapat dibangun berdasarkan implikasi konversasionalnya, misalnya saat Sarip menyebut wortel dan vitamin A., maka pastilah bersangkutan dengan aktivitas makan, bukan yang lain (diculekno). Demikian juga pada (16), kesalahpahaman itu tidak akan terjadi jika Gozali dan Marlena sama-sama membangun satu tafsir yang lazim bahwa susu yang dimaksud adalah ‘tetek, payudara’ dan bukan ‘minuman’. Tentu saja, disadari benar, dalam lelucon itu disengaja sebagai siasat untuk membangun efek humor.

Mereka yang mengenal budaya arek (Jawa Timur) (Sutarto, 2004) akan segera menangkap pesan rasial bahwa Sarip, Gozali, Marlena etnis Madura, sedang Paidi Jawa. Penggunaan nama-nama itu juga bukan kebetulan. Pada umumnya masyarakat mengetahui bahwa Sarip dan Paidi, misalnya, masing-masing adalah nama populer tokoh protagonis dan antagonis cerita ludruk ”Sarip Tambakoso” (Supriyanto, 1994; Poerbowati, 2007), sedang Marlena memang betul-betul nama artis pelawak terkenal, yang bicaranya berlogat medok Madura. Meskipun demikian, lelucon semacam ini beredar di masyarakat dalam banyak versi, termasuk etnis yang dirujuk: tidak hanya Madura, tapi juga Jawa, Sunda, Bali, dll. Keragaman ini merupakan konsekuensi logis dari karakteristik generik tradisi lisan yang anonim, yang selalu eksis dalam berbagai versi, sebagai akibat dari interpolasi (modifikasi, penambahan, pengurangan; Dananjaya, 1984; Brunvand, 1968).

Beberapa lelucon netral berikut (17, 18, 19) malahan menggambarkan “kekonyolan cerdas”, “tangkas berkelit saat terpojok”. Mungkin saja ada pandangan bahwa ketiga lelucon lebih baik masuk lelucon negatif, sebab memperolok etnis Madura. Penulis pribadi berpandangan bahwa ketiga lelucon tidak bermaksud merendahkan, tetapi justru diam-diam terselip simpati dan pengakuan betapa cerdas retorika etnis Madura. Perhatikan!

17) Guru: ”Dua hari yang lalu kamu terlambat, alasanmu hujan deras. Kemarin kamu juga terlambat.

Lagi-lagi alasanmu hujan. Pagi ini terlambat lagi. Apa lagi alasanmu?”
Murid: ”Hujjan, Bu. Betul, saya nggak bohong.”
Guru: ”Lha kalau tiap pagi hujan terus, lalu bagaimana?”
Murid: ”Ya, banjjir, Bu!”.

18) Polisi: “Hee … becak kamu salah jalan. Kamu langgar rambu-rambu jalan. Dasar goblog!”
Tukang Becak: “Saya memang goblog, Pak. Kalau saya pintar, pasti sudah jadi polisi!”

19) Saat hujan deras disertai angin dan petir, seorang pedagang sate buang air kecil dekat pos Satpam di Perak, Surabaya. Sambil kencing, ia kentut lumayan keras, hingga terdengar di telinga Pak Satpam.
Satpam: “Kamu itu nggak sopan. Sudah kencing, kentut lagi!”
Tukang sate: “Boo-aboo … mosok kencing nggak boleh kentut. Wong hujan juga ada petirnya.”

Reinterpretasi terhadap Lelucon Etnis Madura dalam Spirit Multikultural

Komunikasi antaretnis di Indonesia—termasuk antara Madura dan etnis lain—senantiasa berbalut etnosentrisme, stereotipe etnis, dan prangsaka rasial. Ketiganya menjadi kendala serius bagi terbentuknya komunikasi antaretnis yang mengembangkan toleransi, saling menghargai perbedaan, serta mengakui hak dan keberadaan satu sama lain (Budianta, 2005). Dengan kata lain, ketiganya akan menghambat terbentuknya masyarakat yang multikultural.

Semua elemen bangsa ini hendaknya menyadari bahwa untuk masyarakat Indonesia yang majemuk (plural agama, etnis/suku/ras, partai politik, golongan, adat daerahnya, dll.), pandangan multikulturalisme adalah keharusan, bukan lagi pilihan. Dalam hal demikian multikulturalisme hendaknya dibedakan dari pluralisme. Pluralisme sekadar memandang dan mengakui keberagaman, tetapi masih memungkinkan terjadinya dominasi hegemonis antarkolektif, sehingga tidak menjamin terciptanya ruang publik yang relatif sama untuk berekspresi di antara kolektif/etnis (Rozi, 2003). Karena itu, lenyap atau sekadar lunturnya etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka sulit diharapkan. Dalam suasana sosial seperti ini, yang ada adalah melulu saling curiga, sehingga, jangankan angkuh, “ramah pun dikonotasikan negatif” (Astro, 2006). Sementara, multikulturalisme memandang penting perbedaan dalam kesederajatan antaretnis, sehingga tidak terjadi relasi timpang dominasi-subordinasi hegemonis (Watson, 2000; Sparringa, 2005). Dalam masyarakat yang dipayungi oleh spirit multikulturalisme, toleransi antaretnis dikembangkan, perbedaan dalam suasana egaliter diakui, sehingga etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka otomatis meluntur.

Sesuai dengan pokok persoalan diskusi tentang etnis Madura, dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa kekhasan dan eksotika budaya dan karakter warga Madura harus diakui dan dihargai, tidak boleh diremehkan, direndahkan, apalagi dihina dan dilecehkan! Sebaliknya, warga Madura harus pula mengakui, menghargai, tidak meremehkan, merendahkan, menghina, dan melecehkan kekhasan dan eksotika budaya dan karakter warga etnis-etnis lain. Prinsip ini adalah harga mati—tidak ada tawar-menawar!

Berdasarkan prinsip multikultural ini, harus ada sikap baru, tafsir ulang (reinterpretasi) terhadap lelucon-lelucon etnis Madura, baik dari etnis lain maupun etnis Madura sendiri. Sebab, sekalipun hanya lelucon, ia tidak sekadar bisa menghibur, tetapi juga sanggup memicu ketersinggungan harga diri. Sikap baru dan reinterpretasi tersebut diharapkan dapat memperlemah prasangka, stereotipe, dan etnosentrisme antaretnis.

Untuk mencapai masyarakat plural yang multikultural (cf. Sutarto, 2004), pada warga etnis Madura hendaknya dibangun-kembangkan persepsi dan sikap lebih positif sbb. (a) Etnis Madura hendaknya memahami bahwa setiap etnis senantiasa menarik bagi etnis lain untuk mengangkatnya sebagai bahan lelucon. (b) Jika merasa bahwa porsi bagi etnisnya dalam lelucon lebih besar ketimbang etnis lain, warga Madura hendaknya bersyukur dan berpikir positif bahwa tradisi dan karakter etnis Madura memang lebih artistik, eksotik, dan menarik ketimbang etnis lain (cf. Najib, 2009), jadi justru harus bangga. Peniruan logat Madura yang mendominasi dunia pergaulan dan media massa, lelucon-lelucon etnis Madura yang dilontarkan tokoh-tokoh nasional, dengan demikian, seyogianya dipahami sebagai bentuk pengakuan dan kekaguman (cf. Adnan, 2006). (c) Warga etnis Madura hendaknya paham bahwa lelucon tersebut disusun dari prasangka dan stereotipe (cf. de Jonge, 1995), bukan fakta, sehingga pesan leluconnya lebih sebagai “tabiat fiktif” suatu kolektif (Dananjaya 1984: 118), karena itu tidak usah ditanggapi serius. (d) Orangtua di rumah, ustadz di pesantren, dan guru di sekolah hendaknya menanamkan saran (a), (b) dan (c) kepada anak, santri, dan muridnya.

Etnis lain pun hendaknya mengembangkan reinterpretasi dengan sikap berikut. (a) Tidak menggeneralisasi kejelekan satu dua individu yang kebetulan etnis Madura sebagai kejelekan seluruh anggota etnis. Untuk itu, stigma vulgar macam “Dasar Madura!” atau “Pancen wong Duro!” hendaknya tidak dilontarkan, sebab itu sudah streotipe rasial menyinggung kehormatan semua warga etnis (cf. Mendatu, 2009). (b) Tidak menyebut suatu kolektif dengan panggilan yang sesungguhnya tidak disukai oleh etnis tersebut. Etnis Cina di Indonesia, misalnya, tidak suka disebut “Cina”, mereka lebih suka disebut “Tionghoa”; ras Negro di USA tersinggung dipanggil “Negro”, mereka memilih disebut “Black”—biarpun kedua sebutan setali tiga uang. Untuk warga Madura, ternyata ada juga yang—entah kenapa—malu dikenali identitasnya sebagai Madura. Apa pun, ini harus dihargai. (Sebagai etnis non-Madura, penulis salut dan bangga pada Prof. Dr. H. Mahfud M.D., Prof. Dr. A. Latief Wiyata, dan Prof. Dr. Didik Rachbini, yang selalu tampil polos sebagai etnis Madura). (c) Membangun reinterpretasi atas substansi lelucon etnis Madura dengan lebih melihat sisi positifnya ketimbang negatifnya (jika ada).
Lelucon “Radio Transistor” (10), misalnya, hendaknya lebih dilihat sisi religius Brudin ketimbang kebodohannya. (d) Orang tua, guru, dan pemimpin formal/informal hendaknya menanamkan kepada anak/murid/masyarakat nilai-nilai penghormatan terhadap etnis Madura, mengajarkan sikap-sikap toleran, tidak berprasangka rasial, sebab anak-anak/murid/masyarakat yang tidak mudah berprasangka hanya mungkin lahir dari keluarga, sekolah, dan pemimpin yang juga tidak cepat berprasangka.

Di atas semua itu, semua pihak (semua kolektif etnis) juga diharapkan memiliki sikap dan tindakan berikut. (a) Hendaknya menumbuhkan motivasi saling mengenal, saling belajar memahami dan menerima perbedaan, toleransi, menghormati kemerdekaan berekspresi. (b) Mengupayakan kualitas kehidupan bersama yang tidak sekadar berdampingan secara damai (co-existence), tetapi lebih dari itu harus membangun kesadaran dan turut terlibat langsung dalam memecahkan masalah yang dihadapi kelompok lain (pro-existence) (cf. Sparringa, 2005). Dalam konteks lelucon ini, ketersinggungan warga Madura atas isi lelucon hendaknya diterima secara empatis sebagai ketersinggungan semua etnis.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di muka, dapat ditarik beberapa kata simpul berikut. Lelucon etnis Madura dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok: positif, negatif, dan netral. Lelucon netral dan positif sarat dengan humor yang menghibur, sedang yang negatif umumnya merendahkan etnis ini. Lelucon negatif etnis Madura diduga kuat diciptakan oleh kalangan eksternal dengan berbasis etnosentrisme, stereotipe etnis, dan prasangka rasial. Dalam rangka membangun komunikasi antaretnis yang bersuasana multikultural, terhadap lelucon etnis tersebut, warga Madura hendaknya bersikap lebih positif dengan memperkecil ketersinggungan dan prasangka serta menyadari bahwa lelucon sebagai produk folklor diciptakan tidak berdasarkan fakta, tetapi prasangka dan stereotipe. Sementara, etnis lain hendaknya tidak mendasarkan penilaian berdasarkan stereotipe, prasangka, dan etnosentrisme, serta mengembangkan reinterpretasi terhadap lelucon etnis Madura dengan lebih mengapresiasi sisi positifnya. Akhirnya, semua pihak hendaknya menumbuhkan motivasi saling mengenal, saling belajar memahami dan menerima perbedaan, menghormati kemerdekaan berekspresi, serta mengupayakan kualitas kehidupan bersama yang tidak sekadar koeksistensi, tetapi lebih dari itu juga proeksistensi.
Temuan kajian ini hendaknya disempurnakan dalam tiga hal. Pertama, jangkauan data kajian ini terbatas, maka hendaknya diperluas; obrolan tentang yang lucu-lucu dari enis Madura di radio, misalnya, belum diangkat dalam makalah ini. Kedua, jika kajian hendak dilanjutkan, perspektif analisisnya hendaknya diperluas, misalnya dari perspektif interaksionisme simbolis, semiotik, pragmatik, psikologi-bisosiatif, dst. Ketiga, temuan kajian ini hendaknya dilengkapi dengan kajian lain tentang bagaimana lelucon etnis non-Madura yang secara esoteris (Dananjaya, 1984) diciptakan dan beredar di kalangan etnis Madura.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. Mas’ud. 2006. ”Memaknai Popularitas Anekdot Bahasa Madura”. http://eastjava.com/news/ 2006/ 09/ 12/

Astro, Masuki M. 2006. “Orang Madura, Peramah yang Sering Dikonotasikan Negatif“. http:// indonesiancommunity.multiply.com/notes/item/270

Bouvier, Helene. 2002. “Who Practices Which Madurese Culture? An Anthropological Approach To Madurese Traditional Arts”. www.pmb.lipi.go.id/vdetail.asp?tgr

Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of American Folklore: An Introduction. New York: W.W. Norton.

Budianta, Melani. 2005. ”Nasionalisme dan Multikulturalisme”. Makalah Seminar Nasional Bahasa, Budaya, dan Sastra dalam Perspektif Multikulturalisme, Bangsal Pancasila, Fakultas Bahasa dan Sains, Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, 20 Januari 2005.

Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT Grafiti Pers.

de Jonge, Huub. 1995 “Stereotypes of the Madurese” hal. 7—24 dlm. K. Van Dijk, H. De Jonge, H., E. Touwn-Bouwsma (eds.), Across Madura Straits: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Press.

de Jonge, Huub. 2002. “Rather White Bones than White Eyes: Violent Self-Help among the Madurese”, hal. 142-156 dlm.Frans Hisken & Huub de Jonge (ed.), Violence and vengeance: Discontent and conflict in New Order Indonesia. Nijmegen Studies in Development and Cultural Change 37, Saarbrcken: Verlag foor Entwicklungspolitik Saarbrcken.

Dundes, Alan (ed.). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.

Jupriono, D. 2006. “Kesalahpahaman dalam Komunikasi Lintas Budaya”. Dinamika Administrator 14(17) Juni 2006.

Jupriono, D. 2009. “Wacana Humor Gus Dur dalam Perspektif Tindak Tutur”. http://sastra-bahasa. blogspot.com

Levinson, Stephen C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.

Mendatu, A. 2009. ”Manifestasi Prasangka Etnik”. http://psikologi-online.com

Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy. 2002. Komunikasi Jenaka. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Musa, H. 2006. Humor Madura untuk Penyegar Jiwa. Jakarta: PT Prestasi Insan Indonesia.

Nadjib, Emha A. 2009. Folklore Madura. Yogyakarta: Progress.

Poerbowati, Endang. 2007. ”Sarip Tambakasa: Sebuah Analisis Fungsi Folklor”. Parafrase 7(1) Februari 2007: 66—77.

Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rakow, Lana & Kimberlie Kranich. 1991. ”Woman as Sign in Television News”. Journal of Communication 41(1): 8—23.

Raskin, V. 1985. Semantic Mechanism of Humor. Dordrecht: D. Reidel Pub. Co.

Rifa’i, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya Yogyakarta: Pilar Media.

Rogers, Everett M. & Thomas M. Steinfatt. 1999. Intercultural Communication. Illinois: Waveland Press Inc.

Rozi, Syafuan. 2003. ”Mendorong Laju Gerakan Multikultural di Indonesia”. Masyarakat Indonesia XXIX/1: 91—107.

Sparringa, Daniel T. 2005. “Multikulturalisme dalam Multiperspektif di Indonesia”, hal. 15—21 dlm. Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Forum Rektor Simpul Jawa Timur.
Supriyanto, Henri. 1994. ”Sandiwara Ludruk Jawa Timur”. Seni Pertunjukan Indonesia Th. V: 73—104.

Sutarto, Ayu. 2004. ”Peranan Kebudayaan Daerah dalam Multikulturalisme”, hal. 193—205 dlm. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia:Percikan Pemikiran Budaya. Jember: Kompyawisda.

Taufiqurrahman. 2006. “Islam dan Budaya Madura” www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/ makalah/Makalah%20Taufiqurrahman

Watson, C.W. 2000. Multiculturalism. Backingham-Philadelphia: Open University Press.

Wiyata, A. Latief. 2006. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

Wiyata, A. Latief. 2007. ”Benarkah Orang Madura Keras?”. Kongres Kebudayaan Madura, Sumenep, 9—11 Maret 2007.

Wiyata, A. Latief. 2007a. ”Manusia Madura: Pandangan Hidup, Perilaku, Etos Kerja”. Makalah Semiloka Penguatan Identitas Budaya Lokal, Pemprov Jawa Timur, Pasuruan, 5—6 September 2007.

Wiyata, A. Latief. 2008. ”Madura yang Patuh dan Fenomena Bupati-Kiai”. http://wiyatablog.blogspot.com/ 2008/11/madura-yang-patuh-dan-fenomena-bupati.html

Posting Komentar