Pernah dimuat dalam jurnal Parafrase 2008, jurnal ilmiah kebahasaan dan kesastraan Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
D. Jupriono
Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Abstract
Kata-kata dari bahasa Sanskerta diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara: (1) penyerapan langsung bentuk transkripsi ortografis dan makna leksikalnya; (2) penyerapan langsung bentuk transkripsi ortografis, tetapi maknanya berubah; (3) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis tanpa mengubah maknanya; (4) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis sekaligus makna kata-kata yang diserap. Ketidaktahuan penutur bahasa Indonesia terhadap bentuk asli, makna asal, serta bentuk-bentuk kata serapan yang secara ortografis mirip dengan bentuk lain mengakibatkan munculnya masalah dalam pemakaian berupa kesalahpahaman konsep dasar, kesalahan generalisasi, dan keanehan/pertentangan makna kosakata serapan dalam pemakaian.
Keywords: kata serapan/pinjaman, transkripsi ortografis, perubahan makna, peminjaman leksikal
Pendahuluan
Kontak multilateral Indonesia dengan bangsa-bangsa lain menyebabkan terserapnya kata-kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia . Maka, di samping diperkaya oleh kata-kata dari bahasa-bahasa daerah di Nusantara, dalam kosakata bahasa Indonesia diserap juga kata-kata dari berbagai bahasa asing (Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Cina, dll.) (Munandir & Hanafi, 2005). Malahan, yang terjadi sesungguhnya adalah saling pengaruh antarbahasa dari bangsa-bangsa tersebut. Bukan hanya bahasa Indonesia yang menyerap bahasa asing; bahasa asing pun, sebaliknya, juga menyerap kosakata dari bahasa Indonesia (Bawa, 1998; Yari, 2008). Jika bahasa Indonesia menyerap kata-kata macam adopsi, bos, fair, hobi, dan katering dari bahasa Inggris, misalnya, bahasa Inggris pun menyerap kata-kata seperti amok, agar-agar, orangutan, wayang, dari bahasa Indonesia (Melayu). Jika bahasa Indonesia menyerap buku dan sekolah dari bahasa Belanda, bahasa Belanda pun menyerap amuk dan nasi goreng dari bahasa Indonesia .
Banyak orang mengira, kata-kata seperti agama, durhaka, surga, neraka, pahala, dan dosa berasal dari bahasa Arab. Biarpun salah, hal ini tidak mengherankan. Lewat media massa maupun dakwah Islam, kata-kata tersebut telah cukup lama menjadi “kosa kata harian” dakwah Islam dan agama ini—kebetulan—memang berasal dari bangsa Arab. Tidak semua orang Indonesia menyadari bahwa sesungguhnya kata-kata tersebut diserap dari bahasa Sanskerta, yang memang lebih dulu masuk mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara (de Casparis, 1997). Memang, dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ini, kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta banyak dipakai untuk ranah penting, resmi, dan pada tataran atas: menyentuh dunia kekuasaan. Nama dasar negara Pancasila, semboyan integrasi nasional Bhineka Tunggal Ika, semboyan TNI Swabuana Paksa, Jala Sena Stri, Jalesveva Jayamahe, nama gedung Bina Graha, Graha Wiyata, Samapta Kridha Graha, nama penghargaan nasional dari negara seperti Parasamya Kertanugraha, Pataka Parasamya Purnakarya Nugraha, Anugerah Adipura, Satya Purnabhakti Kencana, diserap dari kata-kata bahasa Sanskerta.
Tulisan ini memaparkan contoh kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta dan permasalahan kebahasaan yang muncul darinya. Data tulisan ini bersumber pada pustaka utama Kamus Kata Serapan Bahasa Indonesia (Munandir & Hanafi, 2005) dan dilengkapi dengan pustaka Sanskrit in Indonesia (Gonda, 1952) serta ”Sanskrit Loan-Words in Indonesian” (de Casparis, 1997).
Konsep Dasar Kata Serapan
Kata serapan atau kata pinjaman (loan word) adalah kata yang dipinjam dari bahasa lain (Hudson, 1986: 58) dan kemudian sedikit banyaknya disesuaikan dengan kaidah bahasa sendiri (Kridalaksana, 1993). Dalam proses penyerapan tersebut, penutur menggunakan kata-kata dari bahasa lain untuk mengacu benda, proses, cara berperilaku, berorganisasi, atau berpikir karena tidak adanya atau tidak memadainya kata-kata dalam bahasanya sendiri. Penyerapan juga terjadi karena relasi timpang akibat tekanan politik imperialisme. (Robins, 1989). Misalnya, banyak kata bahasa Prancis masuk ke dalam bahasa Inggris terjadi setelah penaklukan Inggris oleh bangsa Normandia (yang berbahasa Prancis); banyak sekali kata bahasa Inggris yang masuk ke dalam bahasa-bahasa di India ketika Inggris menjajah India .
Biasanya kata pinjaman disesuaikan dengan kelas bunyi fonetis dan pola fonologis bahasa peminjam. Konsonan dan vokal asli diganti dengan segmen semirip mungkin dengan yang terdapat dalam bahasa peminjam walaupun memang ada yang langsung diterima tanpa penyesuaian fonologis (Robins, 1989). Ketika bahasa Indonesia menyerap atom dan radio dari bahasa Belanda, proses itu berupa penyerapan apa adanya atau adopsi (adoption). Proses kedua adalah penyesuaian (adaptation), misalnya kata ghirah dan quwwat dari bahasa Arab, banco dan domingo dari bahasa Portugis yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia masing-masing menjadi gairah, kuat, bangku, dan minggu. Proses ketiga adalah penerjemahan (translation) (Hudson, 1986). Misalnya white house, grass root, frame of reference dalam bahasa Inggris, masing-masing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi gedung putih, akar rumput, kerangka acuan.
Peminjaman atau penyerapan tidak hanya terjadi pada antarbahasa, bisa juga antardialek dalam satu bahasa. Peminjaman juga tidak hanya pada unsur kata, tetapi bisa juga pada unsur fonologis dan unsur gramatikal. Dari sini dibedakan tiga jenis peminjaman, yaitu peminjaman dialektal, peminjaman gramatikal, dan peminjaman leksikal (Kridalaksana, 1993).
Peminjaman dialektal (dialect borrowing) terjadi ketika unsur suatu dialek diserap ke dalam dialek lain dalam satu bahasa. Contohnya adalah dialek-dialek bahasa Indonesia (dialek Ambon, dialek Minahasa, dialek Palembang, dialek Banjar, dialek Surabaya) menyerap kata-kata entar, ngapain, dicuekin, dianterin, gokil, dari bahasa Indonesia dialek Betawi.
Peminjaman gramatikal (grammatical borrowing) terjadi ketika unsur morfologis atau sintaksis dalam bahasa atau dialek diserap ke dalam bahasa atau dialek lain dalam satu bahasa. Sebagai unsur morfologis, morfem afiks –wan dari bahasa Sanskerta, misalnya, diserap ke dalam bahasa Indonesia, sehingga terbentuk kata setiawan, agamawan, dan budayawan.
Peminjaman leksikal (lexical borrowing) terjadi ketika kata-kata dari suatu bahasa masuk menjadi anggota kosakata bahasa lain (Hdson, 1986). (Konsep ketiga inilah yang dirujuk dalam tulisan ini). Misalnya, dari bahasa Belanda, bahasa Indonesia menyerap kata-kata seperti zus, barak, wol, bandit, wortel, abonemen, wastafel, versus, trauma, bludreg, tegel, tante, stempel, ronde, dll. (Munandir & Hanafi, 2005).
Kata Serapan dari Bahasa Sanskerta
Bahasa Sanskerta adalah bahasa sastra bagi pemeluk Hindu di India. Sebagai salah satu anggota rumpun bahasa Indo-Eropa, bahasa Sanskerta secara historis dibedakan atas bahasa Sanskerta Veda dan bahasa Sanskerta Klasik. Bahasa Sanskerta masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya Hindu sekitar abad IV (Cooper, 2004).
Berdasarkan berubah atau tidak berubahnya arti suatu kata, kosakata serapan dari bahasa Sanskerta dapat dibedakan ke dalam kelompok-kelompok berkut.
Pertama, kata-kata yang relatif langsung diserap baik bentuk transkripsi ortografis maupun makna leksikalnya. Contoh:
Tabel 1 Penyerapan Transkripsi Ortografis dan Makna Leksikal
Bahasa
Sanskerta
|
Bahasa
|
Makna Leksikal
|
āgama
|
agama
|
bentuk kepercayaan kepada Tuhan, dewa, dengan ajaran peribadatan dan kewajiban lain
|
aneka
|
aneka
|
beragam-ragam, berjenis-jenis
|
ãntara
|
antara
|
jarak, selang di tengah dua benda
|
Brahma
|
Brahma
|
nama dewa pencipta alam semesta dalam kepercayaan Hindu
|
brahmana
|
brahmana
|
golongan kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu
|
citra
|
citra
|
gambaran pribadi seseorang, organisasi, perusahaan, dll.
|
dosa
|
dosa
|
perbuatan melanggar larangan Tuhan
|
dusta
|
dusta
|
perkataan bohong
|
garuda
|
garuda
|
sebangsa elang besar dan perkasa
|
guru
|
guru
|
orang yang pekerjaannya mengajar
|
Dalam pemakaian praktis di masyarakat Indonesia kontemporer, makna beberapa kata serapan dapat saja memiliki perbedaan. Hal itu terasa pada kata guru, agama, dan antara. Kata guru, misalnya, yang di samping berarti ‘pengajar’ juga merujuk ‘nama raja kerajaan dewa di kahyangan’—lengkapnya: Batara Guru. Kata agama secara generik dimaknai sebagai ‘bentuk kepercayaan kepada Tuhan’, tetapi khusus di Indonesia saat ini, kata kepercayaan itu sendiri dipisahtegaskan dari kata agama. Pendeknya, kepercayaan itu bukan agama. Kepercayaan mengacu ‘keyakinan kepada Tuhan di luar agama resmi yang diakui negara’. Untuk kepentingan kajian ilmiah, tentu saja arti generiknya yang lebih dirujuk dan bukan arti politis yang eksklusif seperti di Indonesia itu. Selanjutnya, kata antara di Indonesia , selain merupakan preposisi dan konjungsi, juga merujuk nama Kantor Berita Nasional Antara.
Kata-kata serapan yang masuk kelompok pertama ini masih sangat banyak. Contohnya adalah gulma, istri, jagat, jala, jaya, karya, kepala, laksana, mantra, mitra, nada, nadi, nama, paksa, putra, putri, raja, raksasa, saksi, sama, sari, tatkala, wacana, dll.
Kedua, kata-kata yang relatif langsung diserap bentuk transkripsi ortografisnya, tetapi maknanya berubah. Perhatikan Tabel 2:
Tabel 2 Perubahan Makna Kata Serapan
Bahasa Sanskerta
|
Bahasa Indonesia
| ||
Kata
|
Makna
|
Kata
|
Makna
|
alpa
|
tak berarti, tak penting
|
alpa
|
lupa, lalai, lengah
|
candi
|
nama lain Dewi Durga (istri Dewa Shiwa)
|
candi
|
bangunan kuno dari batu tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja dan pendeta
|
cintã
|
pikiran, perhatian
|
cinta
|
1 senang sekali; 2 terpikat (lelaki-perempuan)
|
dahaga
|
terbakar, panas
|
dahaga
|
haus, ingin minum
|
guna
|
pandai
|
guna
|
manfaat, faedah
|
keranda
|
keranjang/peti dari bambu
|
keranda
|
peti mati; usungan mayat
|
para
|
lain
|
para
|
kata yang menyatakan plural
|
rãga
|
nafsu, gairah, cinta
|
raga
|
tubuh, badan,
|
upacara
|
1 pelayanan; 2 cara berkata
|
upacara
|
1 peralatan menurut adat; 2 pelantikan, perayaan peristiwa penting
|
upaya
|
1 kedatangan; 2 siasat
|
upaya
|
usaha, ikhtiar
|
Jika dicermati lebih lanjut, perubahan makna itu juga berbeda-beda di antara kata-kata serapan tersebut. Makna kata serapan alpa, cinta, keranda, dan dahaga—biarpun mengalami perubahan—tetap berada dalam satu medan makna (semantic field), yakni bagian sistem semantis yang menggambarkan bagian bidang kehidupan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya masih berhubungan (Kridalaksana, 1993: 134). Antara ‘terbakar, panas’ dan ‘haus, ingin minum’ dari kata dahaga, misalnya, dapat saja dinalar sebagai relasi kausalitas: karena panas, ingin minum. Sementara, perubahan makna kata-kata seperti candi, guna, para, raga, upacara, dan upaya benar-benar sudah keluar memasuki medan makna lain. Tidak sulit merasakan perubahan amat jauh makna kata candi dari ‘nama lain Dewi Durga’ (Durga adalah çakti/istri Dewa Shiwa) menuju ke ‘bangunan kuno’.
Ketiga, kata-kata serapan yang bentuk transkripsi ortografisnya berubah, tetapi maknanya tetap bertahan. Perhatikan Tabel 3:
Tabel 3 Perubahan Transkripsi Ortografis Kata Serapan
Bahasa Sanskerta
|
Bahasa Indonesia
|
Makna
|
ãkãça
|
angkasa
|
langit, awang-awang
|
smara
|
cinta, kasih sayang
| |
bhãgya
|
bahagia
|
keadaan senang, beruntung, tenteram
|
vãyu
|
bayu
|
angin
|
vinãça
|
binasa
|
hancur lebur, musnah, rusak sama seklai
|
gopala
|
gembala
|
pemelihara binatang ternak
|
virama
|
irama
|
naik turunnya lagu secara teratur; ritme
|
manusya
|
manusia
|
orang, insan
|
naraka
|
neraka
|
alam akhirat tempat manusia berdosa dihukum
|
niyata
|
nyata
|
jelas sekali, terang, terbukti
|
prastawa
|
peristiwa
|
kejadian, perkara, hal
|
viçastavan
|
wisatawan
|
orang yang bertamasya, turis
|
vavi
|
babi
|
binatang babi
|
Perubahan bentuk ortografis ini beragam. Ada yang berubah dengan pola ç à s, misalnya pada ãkãça à angkasa, viçastavan à wisatawan, dan vinãça à binasa. Pola perubahan adaptatif v à b ditunjukkan pada vãyu à bayu, vinãça à binasa, dan vavi à babi. Ada juga pola y à i, misalnya manusya à manusia, bhãgya à bahagia. Pola lain adalah a à e pada kata-kata yang bersilabis tiga dan secara linear berkonsruksi vokal a-a-a menjadi e-a-a; misalnya pada naraka à neraka, juga pada karana à karena, rancana à rencana, pataka à petaka, panjara à penjara, dll.
Keempat, kata-kata serapan yang bentuk transkripsi ortografis sekaligus maknanya berubah. Perhatikan Tabel 4:
Tabel 4 Perubahan Transkripsi Ortografis dan Makna Kata Serapan
Bahasa Sanskerta
|
Bahasa Indonesia
| ||
Kata
|
Makna
|
Kata
|
Makna
|
vacas
|
percakapan, suara, kata
|
baca
|
membaca, mengeja, melafalkan tulisan
|
vaidŭrya
|
yang utama di antara sejenisnya
|
baiduri
|
permata berwarna dan beragam
|
churikã
|
pisau
|
curiga
|
prasangka, sangsi, syak
|
mantrin
|
penasihat raja
|
mantri
|
1 jabatan untuk keahlian khusus; 2 juru rawat kepala, pembantu dokter
|
maharddhika
|
1 berbudi bijaksana; 2 orang suci
|
merdeka
|
1 bebas; 2 lepas dari tuntutan; 3 tidak terikat
|
samgama
|
kebersamaan, pertemuan
|
sanggama
|
bersetubuh
|
sajjana
|
orang baik dan jujur
|
sarjana
|
1 gelar lulusan S1; 2 ahli ilmu pengetahuan
|
çastra
|
1 pengetahuan; 2 buku teks
|
sastra
|
karya tulis imajinatif berbentuk puisi, prosa liris, prosa, drama
|
tapas
|
panas
|
tapa
|
penyempurnaan jiwa untuk memperoleh kesucian, kesaktian dengan jalan mengasingkan diri
|
vanita
|
yang dihasrati
|
wanita
|
perempuan dewasa
|
Setelah masuk dalam kosakata bahasa Indonesia , perubahan makna yang terjadi berupa penyempitan (specialisation of meaning), yakni proses pembatasan konteks pemakaian unsur bahasa, sehingga maknanya menjadi lebih terbatas (Kridalaksana, 1993). Misalnya makna kata-kata vaidŭrya à baiduri, samgama à sanggama, sajjana à sarjana, çastra à sastra, dan vanita à wanita. Dalam bahasa Sanskerta kata samgama, misalnya, bermakna ‘kebersamaan’ atau ‘pertemuan’, lalu maknanya setelah masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia disempitkan menjadi ‘bersetubuh’. (cf. Mcdonell, 1954).
Beberapa kata serapan lain dapat dicontohkan di sini: viçuddha ‘bersih, murni’ à wisuda ‘pelantikan jabatan’ atau ‘peresmian pemberian gelar kelulusan’; viças ‘memberi banyak arah’ à wisata ‘tamasya, piknik’; vrtta ‘tingkah laku’ à warta ‘kabar berita’; tyaga ‘meninggalkan’ à tega ‘sampai hati’.
Beberapa Masalah Kebahasaan yang Timbul
Bukan tanpa masalah perubahan bentuk transkripsi ortografis dan makna kata-kata serapan bahasa Sanskerta dalam bahasa Indonesia ini. Tidak jarang terjadi kesalahpahaman. Misalnya kata graha, wanita, pelbagai, dan pria.
Kata graha, misalnya, diberi makna ‘gedung perkantoran/lembaga’. Umumnya orang—bahkan yang menyedihkan para guru/dosen sekalipun—tidak tahu bahwa dalam hal ini bahasa Sanskerta memiliki kosakata yang hampir sama, yaitu graha dan grha. Beberapa orang mengira “Ah, cuma salah tulis!”. Padahal, ini memang merupakan dua kata yang berlainan; grha bermakna ‘gedung/bangunan besar’, sedang graha ‘culas, korup, maling’. Ini jelas kesalahan fatal. (cf. McDonell, 1954; Gonda, 1973; Hanafi, 1986).
Kata wanita disalahpahami yang disamakan begitu saja dengan kata perempuan. Kata wanita menyimpan makna pasif sebagai objek ‘yang diinginkan/dihasrati (oleh lelaki)’, sedang kata perempuan mendukung makna aktif sebagai subjek ‘pemimpin, perintis, yang terhormat’. Selama puluhan tahun kata wanita mengalami ameliorasi, sedang kata perempuan menderita peyorasi. Lalu, sejak Orde Baru tumbang beralih ke Orde Reformasi (1998) terjadi hal yang sebaliknya: wanita peyorasi, sedang perempuan ameliorasi. Jadi, sejak itu arti wanita dalam bahasa Indonesia sama dengan dalam bahasa Sanskerta.
Meskipun demikian, masalah baru pun muncul dengan menggeneralisasi secara salah bahwa setiap kata wanita disalahkan dan diusulkan diganti perempuan. Tentu saja ini aneh dan salah. (Jupriono, 2002). Kata wanita pada frase wanita pembantu rumah tangga atau wanita tuna susila, misalnya, tidak salah dan tidak perlu di-perempuan-kan, sebab pada kedua frase ini wanita benar-benar hanya sebagai objek, tidak bisa bertindak sebagai subjek. Akan tetapi, kata wanita pada wanita pejuang, wanita pergerakan, wanita aktivis, misalnya, seyogianya diganti perempuan sebab di sini cukup dominan makna aktif sebagai subjek—bukan pasif sebagai objek (Sudarwati & Jupriono, 1997; cf. Hanafi, 1986).
Kata pelbagai umumnya dianggap metatesis dari berbagai. Kebetulan arti kedua kata ini sama-sama ‘plural’. Akan tetapi, berbicara soal asal-usul kata, soalnya menjadi lain. Kata pelbagai sama sekali tidak memiliki relasi historis dengan kata berbagai. Pelbagai berasal dari bahasa Sanskerta pāla-bhagai ‘bermacam ragam’, sedang berbagai asli bahasa Melayu dari prefiks ber- dan bagai. (cf. Gonda, 1973; Hanafi, 1986)
Yang paling aneh adalah kata pria. Dalam bahasa Hindi terdapat kata pria ‘perempuan’ dan priaa ([priặ] dilafalkan lebih panjang) ‘lelaki’. Kedua kata juga diserap dari bahasa Sanskerta. Yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah kata pria yang a pendek, tetapi dengan makna yang a panjang.
Simpulan
Berdasarkan uraian di muka, dapat ditarik dua simpulan berikut.
Pertama, kata-kata dari bahasa Sanskerta diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara: (1) penyerapan langsung bentuk transkripsi ortografis maupun makna leksikalnya; (2) penyerapan langsung bentuk transkripsi ortografis, tetapi maknanya berubah; (3) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis tanpa mengubah maknanya; (4) penyerapan dengan perubahan bentuk transkripsi ortografis sekaligus makna kata-kata yang diserap.
Kedua, ketidaktahuan penutur bahasa Indonesia terhadap bentuk asli, makna asal, serta bentuk-bentuk kata serapan yang secara ortografis mirip dengan bentuk lain mengakibatkan munculnya masalah dalam pemakaian berupa kesalahpahaman konsep dasar, kesalahan generalisasi, dan keanehan/pertentangan makna kosakata serapan dalam pemakaian.
Menyerap kata asing adalah fenomena wajar kebahasaan (Bowo, 1998). Oleh karena itu, mengkhawatirkan—apalagi menolaknya—adalah tindakan yang tidak realistis (Yari, 2008). Meskipun demikian, penyerapan hendaknya tetap memperhatikan kaidah fonologis, morfologis, dan sintaksis, serta leksikal bahasa Indonesia agar tidak menimbulkan kesalahan konsep dalam pemakaian (cf. Poedjasoedarmo, 2002). Untuk itu, pengkajian lebih lanjut mengenai kosa kata serapan dalam bahasa Indonesia perlu dilakukan. Kajian lanjut—jika dilakukan—hendaknya memperluas data-data dari bahasa asing lain (Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Turki , Persia , Italia, Jepang, Cina, dll.). Sebagai saran, buku semacam Kamus Kata Serapan Bahasa Indonesia karya Dr. H. Munandir dan Drs. H. Imam Hanafi (2005) akan sangat membantu dalam penyediaan data.
Daftar Pustaka
Bawa, I.W. 1998. “Perkembangan Kosa Kata Bahasa Indonesia”. Makalah Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora V, Fakultas Sastra, UGM Yogyakarta, 8—9 Desember 1998: 466—475.
Cooper, D. 2004. “Sanskrit Loan Words in Indonesian/Malaysian”. http://seasrc.th.net/indic/inbyskt.htm
de Casparis, J.G. 1997.”Sanskrit Loan-Words in Indonesian: An Annotated Check-List of Words from Sanskrit in Indonesian and Traditional Malay”. http://seasrc.th.net/indic/inbyskt.htm
Gonda, J. 1973. Sanskrit in Indonesia. New Delhi : International Academy of Indian Culture.
Hanafi, I. 1986. Peminjaman Kata-kata dari Bahasa Sanskerta di dalam Kosakata Bahasa Indonesia . Untuk kalangan sendiri. Malang : JPBSI, FPBS, IKIP Malang .
Hudson, R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge : Cambridge University Press.
Jupriono, D. 2002. “Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki? Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia”. http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/gender.html
Jupriono, D. 2009. ”Ketimpangan Gender pada Kosakata dan Ungkapan dalam Bahasa Indonesia”. www.sastra-bahasa.blogspot.com
Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Edisi III.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
McDonell, A.A. 1954. A Practical Sanskrit Dictionary. London : Oxford University Press.
Munandir & I. Hanafi. 2005. Kamus Kata Serapan Bahasa Indonesia . Malang : UM Press.
Poedjosoedarmo, S. 2002. “Perkembangan Bahasa-bahasa di Indonesia ”. Litraya, Jurnal Linguistik, Sastra, dan Budaya I/1, Oktober 2002: 40—49.
Robins, R.H. 1989. General Linguistics. London & New York : Longman.
Sudarwati & D. Jupriono. 1997. “Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik”. FSU in the Limelight 5(1) Juli 1997.
Yari N.K. 2008. “Ketika Bahasa
14 Agustus 2014 pukul 14.36
Khusus makna kata sanggama, saya mengacu pada analisis pemulung kata yang pernah dimuat pada koran Tokoh, sekira tahun 2008. Saya tidak mau mengacu pada bahasa Indonesia sekarang. Meskipun demikian, saya cinta bahasa Indonesia, bukan cuma sekali setahun pada saat peringatan hari bahasa.