DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Politik Pencitraan Presiden SBY Melalui Bentuk Kalimat: Kajian Linguistik Kritis

Naskah Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Tahun 2010, Hasil Penelitian Hibah Penelitian DP2M Ditjen Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional Untuk Berkala Nasional Terakreditasi, Hotel Equator Surabaya, 26—29 Agustus 2010

D. Jupriono
Pusat Penelitian Sastra & Strategi Kebudayaan (P2S2K), LPPKM, 
Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya


Fokus kajian penelitian adalah bentuk kalimat (aktif-pasif, pronomina persona, posisi proposisi, nominalisasi) pada pidato SBY selama 2004—2008 sebagai data riset. Dengan pendekatan linguistik kritis Fowler dan van Dijk, analisis data menghasilkan temuan berikut: (1) Kalimat aktif dipilih SBY untuk menyampaikan keberhasilan, sedang kalimat pasif dipakai untuk menyatakan kegagalan. (2) Proposisi klausa yang berisi keberhasilan ditonjolkan dengan diposisikan di depan, sedang yang berisi kegagalan disamarkan di belakang. (3) Kata ganti kita dipilih untuk menyampaikan hal negatif dan menghindari kritik; kata saya dan pemerintah untuk menyampaikan hal positif, kata ganti mereka, siapa pun, atau sebutan langsung suatu kolektif dipakai untuk memberi peringatan atau ancaman. (4) Nominalisasi dimanfaatkan SBY untuk menyembunyikan kegagalan menjalankan program pembangunan, sehingga citranya sebagai pemimpin yang sukses tidak ternodai. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa SBY memanfaatkan bentuk kalimat sebagai media politik pencitraan diri sebagai pemimpin yang sukses dan sebagai topeng untuk menutupi kegagalan dan menghindari kritik.


Kata kunci:  politik pencitraan, linguistik kritis, kalimat aktif-pasif, nominalisasi, proposisi


Abstract. Focus of the research study is sentence form (active-passive, personal pronoun, propositional position, nominalization) on SBY speech for 2004—2008 as the research data. By linguistic approach of Fowler and van Dijk critics, the data analysis achieves the following findings: (1) Active sentence is chosen by SBY to tell a success, while passive sentence is used to express a failure. (2) Clausal proposition which tells a success is expressed by positioning at the front, and one which expresses a failure is faded at behind. (3) Pronoun kita is chosen to explain the negative and to avoid critics; the words saya and pemerintah are used to tell the positive, the pronouns mereka, siapa pun, or direct reference of collective one are applied to give warning or threat. (4) Nominalization is used by SBY to hide failure of conducting development program, so his image as the successful leader is spotless. Generally, it can be concluded that SBY makes use of sentence form as media of politic of self image as a successful leader and as a mask to cover failure and to avoid critics.


Key words: imagology politic, critical linguistic, active-pasive senence, nominalization, proposition.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal sebagai Presiden Republik Indonesia yang amat menjaga citra dirinya (self-image). Hal itu, misalnya, tampak pada saat SBY berbicara di depan publik, berpidato, melontarkan pernyataan, serta saat diliput dan diwawancarai media. Banyak pihak menilai bahwa SBY lebih sukses menjaga citra dirinya ketimbang melakukan aksi konkret untuk mengatasi persoalan. Merupakan fakta bahwa tidak sedikit publik yang memilih SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009 hanya karena terkesan pada sosok penampilannya. Maka, SBY dianggap piawai menjalankan politik pencitraan (imagologi politic, the political of image), yang lebih mengedepankan penampilan dan kesan di mata publik ketimbang tindakan mengatasi masalah (Sulistiyo, 2008).

Penilaian semacam itu bisa benar, bisa pula salah. Meskipun hasilnya bisa saja kontraproduktif di mata publik, dalam batas-batas tertentu gaya bicara SBY memang rapi, terjaga, dan cenderung formal. Hal ini dapat dilihat pada bahasa yang digunakan SBY saat berpidato, misalnya bentuk kalimat. Menurut van Dijk (1998), seorang tokoh (politisi, presiden, menteri, ketua DPR, dll.) cenderung memilih kata dan kalimat tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemakaian kata, kalimat, gaya, intonasi tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berbahasa/berkomunikasi, tetapi, lebih dari itu, harus dipahami sebagai strategi politis untuk memengaruhi opini publik, menggalang dukungan, memeroleh legitimasi, dan menyingkirkan lawan/pesaing politis (Fowler, 1996; cf. Thurlow, 2007).

Seorang tokoh politik cenderung mengatakan sesuatu yang positif dan menguntungkan dirinya dan menyamarkan atau bahkan membunyikan segala yang negatif dan merugikan dirinya. Pada saat yang sama lazimnya ia lebih banyak—bahkan hanya—menyatakan sesuatu yang negatif mengenai lawan-lawan politisnya (Fowler, 1996). Justru karena itu, kajian bahasa tokoh politik bukan menelaah struktur gramatikalnya itu sendiri (Pick, 2009), melainkan lebih pada kajian terhadap “apa maksud di baliknya”, “mengapa mengatakan dengan cara seperti itu”, “siapa sesungguhnya yang dibidik”, dst. (van Dijk, 1998).

Pilihan kata, bentuk kalimat, intonasi, penekanan atas makna kata tertentu, pada pernyataan tokoh politik bukanlah suatu kebetulan dan alamiah, melainkan sesuatu yang sengaja dipilih dan direncanakan (Santoso, 2000). Bahasa seorang tokoh politik, dengan demikian, bukan sekadar sarana berinteraksi, bukan sesuatu yang netral; bahasa syarat dengan kepentingan ideologis dan nafsu kuasa (Wodak, 2008).

Meskipun relatif sedikit, penelitian tentang bahasa pemimpin politik, misalnya Presiden RI, sudah dilakukan orang. Bahasa revolusioner politik Soekarno diteliti oleh Saryono dan Syaukat (1993); bahasa otoriter kenegaraan Soeharto dikaji oleh Eriyanto (1999); strategi pengungkapan tema Presiden Habibie ditelaah oleh Muslich (2001); komunikasi nyeleneh dan pelanggaran prinsip bertutur Presiden Gus Dur ditelaah oleh Jupriono (2001); tema, makna, dan gaya pidato Megawati diteliti Jupriono (2004). Sementara, walaupun SBY banyak disorot media massa, penelitian tentang bahasa pidato kenegaraannya, misalnya, belum pernah ada. Beberapa pembahasan tentang SBY umumnya bersangkutan dengan perilaku fisik, sosial, kebijakan pembangunan, siasat berkoalisi, dan—sepengetahuan penulis—belum ada yang menyoroti SBY dari perilaku simbolis bahasanya. Kekosongan ini mendorong penulis untuk mengisinya dengan riset ini.

Sebagai penelitian linguistik, fokus yang relevan untuk dikaji adalah tujuan, maksud terselubung, atau citra yang dikehendaki oleh pembicara (SBY) dan bukan struktur gramatikal atau deskripsi konstruksi sintaktis kalimat-kalimat dalam pidato kenegaraannya. Yang dimasalahkan bukan “apa yang dinyatakan”, tetapi “bagaimana pesan disampaikan” dan “mengapa memilih cara itu” (Thurlow, 2007; Wodak, 2008).  Oleh karena itu, kajian ini berada dalam lingkup linguistik kritis (critical linguistics) dan bukan linguistik deskriptif  (descriptive linguistics) (Santoso, 2000).

Selanjutnya, berdasarkan bentuk kalimat yang meliputi keaktifan-kepasifan, posisi proposisi dalam kalimat, pemilihan kata ganti (van Dijk, 1998), dan nominalisasi fungsi kalimat (Flower, 1996), tujuan penelitian ini adalah (1) menjelaskan maksud pemakaian kalimat aktif/pasif, posisi proposisi, pilihan kata ganti, dan nominalisasi fungsi kalimat dalam teks pidato SBY dan (2) menginterpretasikan citra yang diinginkan SBY melalui bentuk-bentuk kalimatnya.

Metode Penelitian


Ancangan (approach) dalam penelitian ini adalah paradigma linguistik kritis (critical linguistics) yang memadukan pandangan van Dijk (1998) tentang keaktifan-kepasifan, posisi proposisi, dan pemakaian kata ganti, dengan pandangan Flower (1996) tentang nominalisasi (pengubahan peristiwa dari bentuk kata kerja ke kata benda) fungsi kalimat. Dengan ancangan linguistik kritis, kalimat-kalimat dalam pidato SBY tidak akan dikaji secara deskriptif dari aspek struktur gramatikalnya (Pick, 2009), tetapi dikaji secara kritis dengan menginterpretasikan apa tujuan berpidato, apa motif di baliknya, apa yang ditonjolkan, citra apa yang sedang dibangun, dst., sesuai dengan konteks sosial historis yang terjadi saat pidato tersebut disampaikan sepanjang 2004—2008. Metode kajian yang sesuai untuk tujuan seperti ini  adalah metode referensial dan metode pragmatis (Sudaryanto, 1993: 15).


Data dijaring melalui teknik dokumentasi dari teks pidato kenegaraan Presiden SBY selama kurun pemerintahan 2004—2008, yakni pidato kenegaraan di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 20 Oktober 2004,  16 Agustus 2005, 16 Agustus 2006, 16 Agustus 2007, dan 15 Agustus 2008. Analisis data dilakukan melalui fokus telaah, unit analisis, dan penjabaran satuan analisis sebagai berikut (lihat Tabel). 

Tabel Fokus Telaah, Ujnit Analisis, dan Penjabaran Analisis
FOKUS TELAAH
UNIT ANALISIS
PENJABARAN ANALISIS
Kalimat Aktif-Kalimat Pasif
Kalimat
- Siapa yang ditonjolkan?
- Siapa yang disamarkan/disembunyikan?
- Citra apa yang hendak dibangun SBY?
Posisi proposisi
Klausa
Kalimat
- Apa yang ditonjolkan?
- Apa saja yang disamarkan/disembunyikan?
- Citra apa yang hendak dibangun SBY?
Kata ganti
Kalimat
- Siapa/apa yang dicitrakan secara positif? 
- Siapa/apa yang dicitrakan secara negatif?
Nominalisasi
Klausa
Kalimat
- Apa yang disamarkan/disembunyikan?
- Citra apa yang hendak dibangun SBY?


Hasil penelitian tentang strategi pencitraan Presiden SBY melalui bentuk kalimat dapat dideskripsikan sebagai berikut.
  1. Sesuatu yang tidak berisiko, yang positif, yang tidak berpotensi mengundang kritik, akan disampaikan SBY dengan kalimat aktif. Kalimat pasif pada pidato SBY 2004—2008 hampir selalu digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kurang positif, yang berpotensi memicu kritik lainnya, memungkinkan pelaku (agent) untuk bersembunyi.
  2. Sebagai strategi untuk menonjolkan kesuksesan SBY, dalam kalimat-kalimat pidatonya, proposisi yang di depan selalu mengandung sesuatu yang memberi kesan positif (menguntungkan SBY), sementara proposisi lain yang mengikuti di belakang umumnya berisi hal-hal yang merugikan pencitraan SBY.
  3. Untuk menciptakan perasaan dan suasana bersama antara presiden dan publik rakyat serta untuk mencegah serangan kritik, kata ganti orang (pronomina persona) inklusif kita banyak dipakai untuk menyampaikan hal-hal negatif (kegagalan, program pembangunan yang belum terbukti) yang berpotensi mengundang kecaman, sedangkan untuk menyampaikan hal-hal positif (keberhasilan), sehingga tidak berpotensi menuai kritik, atau suatu tindakan atau perjuangan konkret mengatasi masalah, pronomina persona yang dipakai adalah saya dan kata pemerintah. Sementara itu, untuk menyebut atau menyapa pihak-pihak yang dirasa perlu diberi peringatan atau ancaman halus, dipilih pronomina persona ketiga kolektif mereka, pronomina tanya siapa pun, atau sebutan langsung suatu kolektif. 
  4. Nominalisasi dimanfaakan SBY sebagai strategi untuk menutupi kegagalan serta menyembunyikan diri/pemerintah saat gagal menjalankan program pembangunan. 
Kalimat Aktif—Kalimat Pasif
Bentuk kalimat (aktif, pasif) bukan sekadar soal struktur gramatikal atau konstruksi sintaktis. Pada wacana tertentu suatu bantuk kalimat dapat dimanfaatkan pembicara atau penulis untuk menonjolkan diri, menyembunyikan sesuatu, bahkan ”menghilangkan” seseorang (van Dijk, 1998; Flower, 1996). SBY pun memanfaatkan bentuk kalimat sebagai upaya untuk membangun citra. Perhatikan  kutipan (1)—(5).

1)    a.     Pemerintah secara aktif akan melancarkan program pemberantasan korupsi.
b.     Segala persoalan bangsa yang rumit ini tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 100 hari (Pidato 20-10-2004)
2)    a.     Kepada Kapolri dan Jaksa Agung, saya telah menginstruksikan untuk menindak tegas bawahannya yang mempermainkan hukum untuk memperkaya diri sendiri
b.     Upaya pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat ditempuh dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan  (Pidato 16-08-2005)
3)    a.     Tahun 2006 ini, Pemerintah juga telah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar sembilan tahun.
b.     Program BLT Bersyarat ini akan dikaitkan dengan program pendidikan dan kesehatan yang diharapkan akan diluncurkan pada awal tahun 2007, dan diujicobakan di beberapa provinsi. (Pidato 16-08-2006)
4)    a.    Pemerintah juga secara konsisten telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK)
b.     Untuk sektor pertanian akan dibangun dan direhabilitasi jaringan irigasi, waduk dan rawa (Pidato 16-08-2007)
5)   a.      Saya telah menginstruksikan agar seluruh jajaran pemerintahan memberikan laporan tentang upaya penghematan energi di lingkungannya masing-masing setiap bulannya. 
b.     Penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah dilakukan tanpa pandang bulu (Pidato 15-08-2008)

Pada pidato 2004, saat memulai jabatannya sebagai kepala pemerintahan, SBY tanpa beban berani menegaskan bahwa Pemerintah secara aktif akan melancarkan program pemberantasan korupsi; di sini bentuk kalimat yang dipakai adalah aktif. Yang ditonjolkan dalam pernyataan ini adalah pemerintah. Dalam kalimat aktif (72), pemerintah adalah subjek pelaku. SBY tidak akan khawatir dikritik sebab baru menjabat satu bulan—apanya yang akan dikritik. Sesuatu yang tidak berisiko atau sesuatu yang positif, yang tidak berpotensi mengundang kritik, akan disampaikan SBY dengan kalimat aktif. Pada kutipan (1a), (2a), (3a), (4a), dan (5a), tampak bahwa pesan yang dikandung masing-masing tidak berisiko apa pun—aman-aman saja. Maka, pelaku bisa ditonjolkan sebagai subjek dalam kalimat aktif. Kalimat (74a), misalnya, memang sudah berisi pesan positif, yaitu Tahun 2006 ini, Pemerintah juga telah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar sembilan tahun. Respon yang mungkin timbul bukanlah kritik dan kecaman, melainkan pujian atau simpati. Dari struktur gramatikalnya, pada kalimat-kalimat aktif semacam ini subjek (S) sekaligus pelaku (agentif) (Chung, 1989; Alwi, 1993; Pick, 2009, dengan demikian S dan pelaku saya atau pemerintah dapat ditonjolkan secara eksplisit.

Bagaimana jika kalimatnya berbentuk pasif? Kalimat pasif pada pidato SBY 2004—2008 hampir selalu digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kurang positif, kegagalan menuntaskan masalah, janji-janji yang belum terealisasi, atau hal-hal lain yang berpotensi memicu kritik. Perhatikan kembali kutipan (1b), (2b), (3b), (4b), dan (5b). Pada (1b), misalnya, SBY mengatakan bahwa Segala persoalan bangsa yang rumit ini tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 100 hari. Dalam kalimat ini SBY bisa bersembunyi di balik bentuk kalimat sebab kalimat pasif memang memungkinkan pelaku (agent) untuk bersembunyi (Fowler, 1996)—dan secara gramatikal tidak salah. Dalam kalimat tersebut tidak harus ada kata-kata pemerintah atau SBY. Sama sekali bukan sebuah kebetulan linguistis jika yang dipakai adalah bentuk pasif. Mengapa? Jika dinyatakan dalam kalimat aktif, subjek-pelaku (subject-agentive) harus eksplisit disebut (van Dijk, 1998), sehingga kalimatnya menjadi Pemerintah/SBY tidak mungkin menyelesaikan segala persoalan bangsa yang rumit ini hanya dalam 100 hari.

Jangankan lewat bentuk kalimat aktif, bahkan, sudah diselubungkan lewat bentuk pasif pun, kritik tetap saja bermunculan. Menanggapi program 100 hari SBY (1b), misalnya, pakar politik Dr. Kristiadi (2005) melontarkan kritik bahwa Program 100 hari pemerintahan SBY—JK tidak efektif, hanya retorika politik. Mereka berdua, menurut Kristiadi, belum bisa mewujudkan janjinya dalam kampanye pilpres. Janji SBY untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi, misalnya, belum seperti yang diharapkan masyarakat. Barangkali benar bahwa program 100 hari pemerintahan SBY-JK tidak lebih hanya ingin menunjukkan kesan—bukan buktibahwa mereka adalah presiden dan wakil presiden yang berkemampuan menyelenggarakan pemerintahan yang efektif; kenyataannya sebaliknya. Bahkan penegakan hukum, khususnya dalam penyelesaian kasus-kasus pidana, sampai 2005, masih lamban dan bertele-tele.

Dr. Ikrar Nusa Bhakti (2005) melontarkan kritikan bahwa dengan program 100 harinya, SBY telah terjebak dalam jargonnya sendiri. Pakar politik LIPI ini mengingatkan bahwa orang pertama yang menggaungkan program 100 hari adalah SBY sendiri. Lebih lanjut, Bhakti (2005) menilai bahwa SBY ingin terlihat seperti Presiden Amerika Serikat, Franklin D Roosevelt yang pada 1932  untuk kali pertama memoulerkan istilah ”Program 100 Hari”. Bedanya, SBY—tidak seperti Roosevelt—kurang mendapat dukungan publik karena SBY gagal mengimplementasikannya ke dalam program jangka pendek dan menengah. Maka, SBY terperangkap ke dalam jargon-jargon yang dibuatnya sendiri. Maka, obsesi SBY agar tercitrakan sebagai pemimpin yang senantiasa berhasil terkendala justru oleh jargon politisnya sendiri.  Biarpun mungkin sudah matang direncanakan, politik pencitraan yang dijalankan justru kontraproduktif dengan hasil empirisnya di mata publik yang harus dihadapi.

Posisi Proposisi

Penutur/penulis biasa meletakkan proposisi yang mengandung hal yang dianggap penting, yang menguntungkan citra dirinya (self-image), di bagian awal, sedang proposisi yang mengandung hal yang dapat merugikan citra diletakkan di bagian belakang (van Dijk, 1998). SBY pun dalam pidatonya 2004—2008 memakai posisi proposisi sebagai sarana strategi untuk menonjolkan hal-hal yang dianggapnya lebih penting. Perhatikan kutipan (6)—(10)!

6)        Pikiran, tenaga dan waktu yang saya miliki, akan saya dedikasikan untuk memajukan dan melindungi setiap insan Indonesia.  (Pidato 20-10-2004)
7)        Berbagai kebijakan penanganan telah dicoba untuk dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.  (Pidato 16-08-2005)
8)        Meskipun kinerja ekonomi makro menunjukkan perbaikan yang signifikan, pemerintah sepenuhnya menyadari, bahwa upaya peningkatan kesejahteraan rakyat masih belum mencapai tingkat yang diharapkan (Pidato 16-08-2006)
9)        Sebagai anggota tidak tetap keamanan PBB, Indonesia akan tetap memainkan peran yang konstruktif, berdasarakan politik be-bas dan aktif. (Pidato 16-08-2007)
10)      Walaupun biaya sekolah telah diturunkan, masih ada keluarga Indonesia yang tidak mampu mengirimkan anaknya ke sekolah. (Pidato 15-08-2008)

Proposisi yang di depan selalu mengandung sesuatu yang memberi kesan positif dan menguntungkan citra SBY, sementara proposisi yang lain diletakkan di belakang sebab umumnya berisi hal-hal yang merugikan citranya. Begitulah, pikiran, tenaga dan waktu yang saya miliki (6), berbagai kebijakan penanganan telah dicoba untuk dilakukan (7), kinerja ekonomi makro menunjukkan perbaikan signifikan (8), Sebagai anggota tidak tetap keamanan PBB (9), dan biaya sekolah telah diturunkan (10), merupakan hal-hal yang menguntungkan citra diri SBY. Melalui pengedepanan proposisi ini, sebuah citra sosok pemimpin yang berkorban untuk rakyat, sukses memimpin negeri, peduli pada nasib rakyat, sedang diciptakan, sebagai wujud konkret politik pencitraan yang dilakukan. Maka, bukan kebetulan bahwa bagian-bagian proposisi tersebut didahulukan sebagai strategi pencitraan untuk menonjolkan hal-hal yang positif pada SBY.

Bagian-bagian selebihnya untuk setiap kalimat sengaja dikecilkan, disamarkan, tidak diberi arti sepenting proposisi bagian pertama. Maka, melindungi setiap insan Indonesia (6), hasilnya masih jauh dari memuaskan (7), peningkatan kesejahteraan rakyat masih belum mencapai tingkat yang diharapkan (8), peran yang konstruktif, berdasarakan politik bebas dan aktif (9), serta masih ada keluarga Indonesia yang tidak mampu mengirimkan anaknya ke sekolah (10) diberi nilai sekunder. Pada (10), misalnya, proposisi ”biaya sekolah telah diturunkan” jauh lebih penting untuk ditonjolkan ketimbang proposisi ”masih ada keluarga Indonesia yang tidak mampu mengirimkan anaknya ke sekolah”. Meskipun tidak sangat mencolok, jika publik menyadari hal demikian, citra SBY di mata publik bisa sebaliknya—setidaknya dapat mengikis kesan positif sebelumnya: yang penting adalah bahwa SBY telah menurunkana biaya sekolah, soal masih ada keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya, itu soal kedua di mata SBY, mungkin.

Segala yang bersangkutan dengan penguasa selalu (dibuat) lebih penting ketimbang segala hal yang bersangkutan dengan mereka yang tidak berkuasa (Wodak, 2008), termasuk mereka yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Tentu saja, penting—tidak penting, bernilai—tidak bernilai di sini harus dibaca dari perspektif kepentingan politik pencitraan SBY. Penguasa selalu berpeluang untuk menentukan sudut pandang penilaian. Mereka yang berkuasa berpeluang mendefinisikan segala hal dan hampir selalu hanya menguntungkan dirinya dan senantiasa merugikan mereka yang kurang berkuasa (cf. Fairclough, 2008).

Pronomina Persona

Dengan pronomina persona (kata ganti), seorang penutur/pembicara dihadapkan pada preferensi menempatkan diri di hadapan lawan bicara, mitra tutur, atau khalayak. (cf. Alwi et al., 1993). Ia, misalnya, bisa menggunakan kata kita, saya, mereka, atau menyebut kata pemerintah, dalam berkomunikasi dengan lawan bicara. Setiap pilihan bertujuan—bukan sekadar gaya berutur. SBY pun demikian dalam pidato kenegaraannya. Perhatikan kutipan (11)—(15)!

11) a.      Kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, saya dan Wakil Presiden Yusuf Kalla bertekad, akan bekerja-sama dengan saudara-saudara untuk kepentingan nasional
b.     Pemerintah secara aktif akan melancarkan program pemberantasan korupsi, yang akan saya pimpin sendiri. (Pidato 20-10-2004)

12) a.  Saya berharap para hakim bersungguh-sungguh dalam menangani perkara-perkara korupsi.
      b.  Saya minta kepada mantan aktivis GAM untuk juga mentaati kesepakatan itu                  
      c.  Pemerintah telah melakukan peningkatan pelayanan perizinan dalam upaya pemberantasan illegal fishing, 
           pemberdayaan masyarakat pesisir
     d.   Di bidang kehutanan, kita melakukan pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal. 
           (Pidato  16-08-2005)

13)   Kita telah melaksanakan Subsidi Bantuan Tunai satu tahun kepada 19,2 juta rumah tangga miskin. 
        (Pidato 16-08-2006)

14)   Namun, sekali lagi, negara akan tetap tegas, bahwa tidak ada ruang bagi siapapun untuk melakukan gerakan 
        separatisme yang mengancam kedaulatan dan keutuhan negara. (Pidato 16-08-2007)

15)  a.  Dalam kaitan dengan upaya penghematan subsidi listrik, saya sangat menghargai pengertian masyarakat dan dunia 
            usaha, terkait dengan kebijakan pergeseran jam kerja sektor industri untuk mengurangi beban puncak 
            pemakaian listrik    
      b.  Apakah kita bisa melampaui tahun pemilu dengan baik dan damai? kita sepakat untuk menjawabnya: 
           Bisa! Kita Bisa! 
     c.    Sejarahlah yang kelak akan membedakan antara mereka yang hanya bisa meratapi nasib, dan mereka yang tak 
           pernah menyerah mencari solusi. (Pidato 15-08-2008)
 
SBY menggunakan pronomina pertama (saya, kita, pemerintah,), pronomina persona kedua (saudara), pronomina persona ketiga (mereka), dan langsung menyebut kelompok (anggota Dewan Perwakilan Rakyat, para hakim, mantan aktivis GAM). Yang paling banyak digunakan SBY adalah kita. Tentu, ini bukan tanpa alasan. Pronomina kita menciptakan perasaan dan suasana bersama antara presiden dan publik rakyat. Maka, sikap dan pandangan SBY seolah-olah sudah dengan sendirinya sama seiring dengan sikap dan pandangan publik—padahal belum tentu. Dengan pronomina persona inklusif kita (12d, 13, 15b), seakan-akan SBY tahu persis apa isi hati dan isi pikiran rakyat.  

Yang lebih penting dari itu, pronomina kita dapat menghindari kritik (Fowler, 1996; cf. Thurlow, 2007). Mengapa? Logikanya adalah: jika sikap presiden (SBY) adalah juga sikap rakyat, mengapa SBY masih juga dikritik? Bukankah itu berarti mengkritik kita juga?  Pada (13), misalnya, pelaksana program Subsidi Bantuan Tunai adalah kita, maka jika ada ketidakberesan di lapangan (dan memang itulah realitas empirisnya!), itu tanggung jawab kita bersama—bukan hanya pemerintah. Pada gilirannya, dengan demikian, kata kita juga dapat dipakai sebagai tempat melarikan diri dari tuntutan pertanggungjawaban atas kegagalan atau hal negatif yang menjadi kewajibannya (van Dijk, 1998). Jika implementasi program Subsidi Bantuan Tunai gagal, misalnya, publik tidak usah menuntut pertanggungjawaban kepada pemerintah/ SBY, sebab itu adalah tanggung jawab kita, bukan hanya SBY/pemerintah.

Pada pidato SBY, pronomina saya dipakai jika masalahnya sudah jelas baik, jelas berhasil, jelas aman, jelas-jelas tidak bakal menuai kritik dari siapa pun. Soal penghematan subsidi listrik pada (15a), misalnya, SBY langsung tanpa ragu memilih kata saya. Ini tidak mengherankan; ini biasa saja sebenarnya. Urusan menghargai pengertian masyarakat dan dunia usaha yang telah menerima dan menjalankan kebijakan pergeseran jam kerja sektor industri untuk mengurangi beban puncak pemakaian listrik, jelas soal sepele, tidak mengandung risiko apa pun—sebab memang rasional dan merupakan tuntutan keadaan. Tidak ada kemungkinan muatan konflik, politis, atau motif-motif tersembunyi lain. Maka, sama halnya dengan itu, SBY juga menggunakan pronomina saya—dan bukan kita—saat meminta kepada mantan aktivis GAM agar menaati kesepakatan MoU dalam rangka menciptakan perdamaian di Aceh. Permintaan itu sangat wajar, siapa pun akan begitu. Untuk sesuatu yang tanpa risiko seperti ini (sekadar meminta GAM menaati MoU), yang mustahil menuai kritik seperti itu, SBY tentulah berani memilih saya. Dengan kata saya seperti ini SBY akan tercitrakan sebagai pemimpin yang tegas tanpa harus bercorak militeristik.

Halnya menjadi lain ketika urusannya berisiko, berpotensi memancing kritik dan konflik, serta menuntut pertanggungjawaban. Dalam hal seperti itu, SBY menggunakan kata kita (12d, 13, 15b). Dalam hal pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal (12d), misalnya, SBY memilih pronomina kita. Sebab, itu masalah besar, berat, penuh risiko, berpotensi mengundang kritik, menjadi sorotan banyak kalangan, dan rakyat pasti menuntut pertanggungjawaban. SBY cukup tahu bahwa sepanjang RI berdiri di bawah enam presiden berturut-urut, hingga sekarang, pencurian kayu di hutan negara, pembalakan liar, serta perdagangan gelapnya belum pernah berhasil diberantas tuntas. Sebab, banyak oknum aparat ikut bermain. Maka, SBY merasa lebih aman menggunakan pronomina kita sebab dapat menghindari tudingan kritik serta dapat dimanfaatkan sebagai persembunyian dari kegagalannya menuntaskan masalah (cf. van Dijk, 1998).

Sementara itu, untuk menyebut atau menyapa pihak-pihak yang dirasa perlu diberi peringatan atau ancaman halus, pilihan SBY jatuh pada mereka (15c), pronomina persona ketiga kolektif, pronomina tanya siapapun (14), atau sebutan langsung suatu kolektif (para hakim, 12a; mantan aktivis GAM, 12b). Pada (15c) perlu diberi catatan sebab ada dua mereka, yaitu mereka positif (mereka yang tak pernah menyerah mencari solusi) dan mereka negatif (mereka yang hanya bisa meratapi nasib). SBY sengaja mendahulukan mereka negatif, jadi mendapat tekanan lebih besar. Meski ada dua mereka, dengan perspektif posisi proposisi (van Dijk, 1998) dapat ditentukan bahwa mereka negatif diberi perhatian lebih besar, sehingga dikedepankan. Maka, pihak yang menjadi sasaran pada kalimat (15c) adalah mereka negatif.  

Nominalisasi

Dengan nominalisasi, pembicara/penulis membungkus aktivitas/atau realitas, lazimnya negatif, ke dalam kata benda (nomina, noun), sehingga sesuatu yang negatif, tidak menyenangkan, tidak diharapkan dapat disembunyikan—setidaknya disamarkan (Fowler, 1996). Maka, nominalisasi yang dipakai SBY, misalnya, bukanlah kebetulan atau sekadar soal gramatika (Alwi et al., 1993; Pick, 2009). Nominalisasi adalah sarana strategi pencitraan untuk menutupi kegagalan Perhatikan kutipan (16)—(19)!

16)   Pemecahan masalah ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh oleh semua pihak, baik keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun pelaku ekonomi  (Pidato 16-08-2005)
17)   Penanggulangan kemiskinan tidak hanya memerlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga kualitas pertumbuhan yang menyentuh langsung perbaikan nasib rakyat miskin. (Pidato        16-08-2006)
18)      Peningkatan akses dan perluasan pemerataan pendidikan juga dilakukan dengan penyediaan sarana dan prasarana terutama untuk wilayah pedesaan dan terpencil. (Pidato 16-08-2007)
19)      Penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, telah dilakukan tanpa pandang bulu. (Pidato 15-08-2008)

Untuk memahami kalimat (16) perlu diketahui bahwa konteksnya adalah masalah busung lapar dan gizi buruk balita pada masyarakat miskin, yang merebak sepanjang 2004—2005. Dalam hal demikian, tanggung jawab tertinggi—setidaknya secara moral—ada pada pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus berdiri di barisan paling depan sebagai penanggung jawab dan pelaku penanggulangan masalah. Akan tetapi, pada kalimat tersebut digunakan nominalisasi pemecahan (masalah), maka subjek-pelaku (pemerintah) dapat bersembunyi di balik kata itu. Mengapa harus bersembunyi? Seperti diberitakan semua media massa, pemerintah belum juga berhasil mengatasi busung lapar dan gizi buruk masyarakat miskin. Begitu juga pada (17), tidak jelas siapa yang akan melakukan aktivitas penanggulangan? Siapa yang bertanggung jawab jika gagal? Secara sintaktis, subjek-pelaku tidak bisa dilacak sebab dalam kalimat bernominalisasi seperti itu subjek-pelaku (pemerintah) dapat bersembunyi di baliknya (Fowler, 1996; Wodak, 2008).

Pada (18) penanggung jawab untuk peningkatan akses dan perluasan pemerataan pendidikan serta penyediaan sarana dan prasarana di pedesaan dan terpencil adalah pemerintah. Meskipun demikian, kata pemerintah atau frase menteri pendidikan nasional (Mendiknas) sengaja tidak dimunculkan karena justru SBY amat menyadari bahwa semua aktivitas itu masih belum berhasil, belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, pada (19) meskipun kaya dengan aparat lembaga pemberantas korupsi (Polri, Kejaksaan, Kehakiman, KPK), toh SBY tidak cukup percaya diri untuk secara eksplisit menyebut kata saya, pemerintah, aparat penegak hukum, dll., dalam menyatakan ihwal pemberantasan korupsi justru karena ia menyadari bahwa masih cukup banyak kasus-kasus megakorupsi yang belum berhasil diungkap dan dituntaskan secarfa hukum. Maka, di balik nominalisasi ”penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi”, sesungguhnya SBY menyembunyikan dirinya. Ini dilakukan agar citranya sebagai pemimpin yang bersih dan tanpa pandang bulu menghabisi korupsi tetap terjaga. Setidaknya, citra itulah yang diharapkan SBY sebab publik bisa saja memandangnya berlainan.

Dengan nominalisasi, citra pemerintah diuntungkan sebab tidak harus disebut; disebut atau tidak, kalimat (17) tetap berterima sebagai kalimat yang gramatikal. Syarat kegramatikalan struktur kalimat sudah terpenuhi (ada subjek, predikat, keserasian relasi antarklausa) (Alwi et al., 1993;  Pick, 2009). Begitulah, dalam hal ini, nominalisasi dimanfaakan SBY sebagai strategi untuk menyembunyikan dirinya dan dari perspektif publik rakyat, bahkan dapat dikatakan bahwa SBYl lari dari tanggung jawab saat gagal menjalankan program pembangunan. Maka, nominalisasi dimanfaatkan untuk menutupi kegagalan. Dengan demikian, citranya sebagai orang yang selalu berhasil tidak ternodai. Sebagai salah satu unsur bentuk kalimat, strategi nominalisasi diberdayakan oleh SBY sebagai media politik pencitraan. (cf. Sulistiyo, 2008)

Kesimpulan dan Saran 

Berdasarkan analisis data, dapat ditarik beberapa simpulan berikut. (1) Bentuk kalimat aktif dipilih SBY untuk menyampaikan keberhasilan, sedang bentuk kalimat pasif dipakai untuk menyatakan kegagalan. (2) Proposisi klausa yang berisi keberhasilan ditonjolkan dengan diposisikan di depan, sedang proposisi yang berisi kegagalan disamarkan dengan diposisikan di belakang. (3) Kata ganti kita dipilih untuk menciptakan perasaan bersama, untuk menyampaikan hal-hal negatif dan menghindari kritik; untuk menyampaikan hal-hal positif, kata ganti yang dipakai adalah saya dan pemerintah; untuk menyebut pihak-pihak yang dirasa perlu diberi peringatan atau ancaman halus, dipilih kata ganti mereka, siapa pun, atau sebutan langsung suatu kolektif. (4) Nominalisasi dimanfaakan SBY untuk menyembunyikan kegagalan menjalankan program pembangunan, sehingga citranya sebagai pemimpin yang sukses tidak ternodai. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa SBY memanfaatkan bentuk kalimat sebagai media politik pencitraan diri sebagai pemimpin yang sukses dan sebagai topeng untuk menutupi kegagalan dan menghindari kritik.

Jika ada pihak yang berminat melanjutkan penelitian ini, dua saran konstruktif diajukan demi proses dan hasil yang lebih utuh dan andal.

Pertama, data kajian ini hanya mengambil teks pidato kenegaraan Presiden SBY selama kurun 2004—2008. Maka, riset berikutnya hendaknya memperluas data penelitian ke wacana pidato Presiden SBY pada kurun-kurun berikutnya (2009—2010) dan juga pernyataan SBY di media massa cetak (koran, majalah) dan media elektronik (TV, radio).

Kedua, untuk penelitian berikutnya, perspektif analisis hendaknya dikembangkan ke analisis wacana kritis (critical discourse analysis) (Fairclough, 1995; van Dijk, 1998) secara lebih total-komprehensif sehingga temuan yang dihasilkan makin melengkapi hasil riset saat ini. Dengan penerapan analisis wacana kritis secara lebih total, misalnya dapat ditelaah bagaimana tema/pokok persoalan yang diangkat, skema pidato, gaya retoris  SBY, dst.

Daftar Rujukan 

Alwi, H., S. Dardjowidjojo, H. Lapoliwa, A.M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ed. II. Jakarta: Depdikbud.
Chung, S. 1989. Ihwal dua konstruksi pasif di dalam bahasa Indonesia. Dlm. B. Kaswanti-Purwo (ed.), Serpih-serpih Telaah Pasif Bahasa Indonesia. Seri ILDEP. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 3—83
Eriyanto. 1999. Otoriterisme Orde Baru: Studi atas pidato-pidato Soeharto. Wacana 1(2), hlm: 209—235.
Fairclough, N. 2008. Critical linguistics. International encyclopedia of linguistics.  www.mywire.com/ a/Intl-Enc-Linguistics/Critical-Linguistics/9460312/ 
Fowler, R. 1996. On critical linguistics. Dlm. C.R. Caldas-Coulthard & M. Coulthard (ed.), Text and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis. London-New York: Routledge, hlm. 1—14.
Jupriono, D. 2001. Wacana humor verbal Gus Dur dalam perspektif tindak tutur. Humanika 5(2) Desember, hlm. 1—16.
Jupriono, D. 2004. Analisis wacana kritis pidato kenegaraan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam perspektif komunikasi politik. Tesis S2 Prodi Magister Ilmu Komunikasi, PPS Unitomo Surabaya.
Jupriono, D., Sudarwati, A.C. Rahayu, A. Andayani. 2009. Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perspektif analisis wacana kritis. Laporan Penelitian Dosen Muda. Dana DP2M Ditjen Dikti, Depdiknas, Tahun Anggaran 2009.
Muslich, M. 2001. Strategi politik pengungkapan tema dalam wacana politik pemerintahan B.J. Habibie. Humanika 5(2) Desember: 17—30.
Pick, A.C. 2009. Discourse and function: A framework of sentence structure. www.discourseandfunction. com/chapters/ discourse_and_function.pdf 
Santoso, A. 2000. Paradigma kritis dalam kajian kebahasaan. Bahasa dan Seni 28(2), Agustus, hlm.127—146.
Saryono, D. & H. Syaukat. 1993. Bahasa Indonesia sebagai cermin dinamika kekuasaan Orde Baru. Basis 42(2) Februari.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sulistiyo, H. 2008. Waspadai politik pencitraan. www.inilah.com/berita/2008/05/26/30030/ waspadai-politik-pencitraan/ 
Thurlow, C. 2007. Critical linguistics: The power of language in everyday life. http://faculty. washington. edu/thurlow/guestlectures/osher1.pdf
van Dijk, T.A. 1998. What is political discourse analysis?. www.hum.uva.nl/teun
Wodak, R. 2008. The contribution of critical linguistics to the analysis of discriminatory prejudices and stereotypes in the language of politics. Dlm. Handbook of Communication in the Public Sphere, R. Wodak & V. Koller (ed.). New York- Berlin: Mouton de Gruyter, hlm. 291–316.

SUMBER DATA
Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010.

Posting Komentar