Pola Penalaran Mahasiswa: Kajian Relevansi dan Ambiguitas Karangan dalam Wacana Argumentasi
Label:
Sastra
by D. Jupriono
12 Januari 2012
D. Jupriono
Pusat Penelitian Sastra dan Strategi Kebudayaan (PPSSK), Lembaga Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPKM), Untag Surabaya
Ditemukan jenis kesalahan relevansi dan kesalahan ambiguitas dalam paragraf argumentasi pada karangan ilmiah (makalah) sebagai cerminan pola penalaran mahasiswa. Dengan pendekatan kualitatif dan metode preskriptif, data diambil dengan teknik dokumentasi dan mengikuti prinsip kejenuhan informasi, kemudian dianalisis dengan teknik analisis domain dan analisis taksonomi. Akhirnya ditemukan bahwa dalam mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk paragraf argumentasi makalah, mahasiswa melakukan 6 kesalahan relevansi dan 4 kesalahan ambiguitas. Keenam kesalahan relevansi itu adalah: fallacy of dramatic instance, fallacy of retrospective determinism, post hoc ergo propter hoc, fallacy of misplaced concretness, argumentum ad verecundian, dan fallacy of composition. Sementara, keempat kesalahan ambiguitas adalah: circular reasoning, gobbledygook, amphibole (grammatical construction), dan equivocation. Sedangkan, dari seluruh makalah yang diteliti, tidak ditemukan terjadinya jenis kesalahan akibat pemakaian makna kiasan.
Kata kunci: pattern of reasoning, argumentative writing, fallacies of relevance, fallacies of ambiguity
PENDAHULUAN
“Kemampuan berbahasa orang Indonesia sangat rendah,” kata Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur), Rektor Universitas Paramadina-Mulya, Jakarta (Kompas, 24/7/2000: 9). Rendahnya kemampuan tersebut, masih menurut Cak Nur, tampak pada kenyataan bahwa selama ini orang Indonesia tidak mengembangkan bahasa Indonesia dengan logika yang benar. Hal ini tampak dari kekacauan logika pada karangan pembelajar, baik siswa SD, SLTP. SMU, mahasiswa S1, bahkan sampai tesis S2 sekalipun, kata Prof. Toho Cholik M., Ph.D., Rektor Unesa (Kompas 11/9/2000: 9). Begitulah, jangankan bagi siswa, bagi sebagian besar mahasiswa pun, menulis—apalagi karya ilmiah—sungguh pengalaman belajar yang menyiksa. Begitulah, dibandingkan dengan kemampuan menyimak, berbicara, dan membaca, menulis merupakan kemampuan berbahasa tertinggi dan tersulit dikuasai.
Bagi sebagian besar mahasiswa, menulis karya ilmiah adalah aktivitas belajar yang amat tidak menyenangkan. Karya tulis mereka, baik laporan kegiatan, makalah, apalagi skripsi, membuktikman hal itu. Di dalamnya terdapat berbagai kekurangan, menurut Stolley (2003b), misalnya teks yang kurang relevan dengan judul, kurang memadainya data penunjang gagasan inti, terdapatnya kalimat sumbang dari kesatuan ide pokok paragraf, kesalahan piranti kohesi, paragraf yang tidak koheren, penerapan ejaan yang keliru, dan kesalahan penalaran dalam hubungan antarproposisi dalam paragraf.
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada kesalahan nalar dalam paragraf argumentasi karya ilmiah mahasiswa. Layak diingatkan di sini bahwa sifat argumentatif memang merupakan karakterisitik karya ilmiah (Stolley, 2003a).
Sesuai dengan pemilahan Stolley (2003) atas kesalahan penalaran ke dalam kesalahan relevansi dan kesalahan ambiguitas, masalah dalam tulisan ini diidentifikasikan sebagai berikut. (1) Apa sajakah jenis-jenis kesalahan relevansi yang terdapat pada paragraf argumentasi dalam makalah mahasiswa? (2) Apa sajakah jenis-jenis kesalahan ambiguitas yang terdapat pada paragraf argumentasi dalam makalah mahasiswa? Tujuannya adalah mendeskripsikan berbagai kesalahan penalaran jenis relevansi dan ambiguitas pada paragraf argumentasi dalam makalah mahasiswa. Unit analisisnya adalah paragraf sebagai objek kajian.
TELAAH PUSTAKA
Corbert & Burke (1991) memformulasikan sejumlah aktivitas menulis, yakni pengolahan gagasan, penataan kalimat, pengembangan paragraf, dan pengembangan karangan dalam jenis wacana tertentu. Kesalahan penalaran berkaitan dengan pengolahan gagasan, penataan kalimat, dan pengembangan paragraf. Kesalahan penalaran dapat dipilah ke dalam dua jenis, yaitu kesalahan relevansi (fallacies of relevance) dan kesalahan ketaksaaan makna (fallacies of ambiguity) (Stolley, 2003; Burnie, 2003).
Kesalahan relevansi meliputi enam jenis. Keenam jenis kesalahan ini meliputi: (1) kesalahan instan dramatik (fallacy of dramatic instance), yakni perampatan berlebihan dan terlampau cepat, atau overgeneralisasi (over-generalisation); (2) kesalahan determinisme retrospektif (fallacy of retrospective determinism), yakni kesalahan nalar yang muncul akibat anggapan penulis bahwa keadaan (kejadian) sekarang sesungguhnya bukan masalah baru dan selalu muncul sepanjang zaman; (3) kesalahan penentuan sebab (post hoc ergo propter hoc, false cause), yang terjadi karena persepsi penulis tentang hukum kausalitas, yang terbelit oleh logika sekuensi kronologis, bahwa keadaan (kejadian) pertama adalah sebab dan keadaan (kejadian) kedua adalah akibatnya; (4) pengkonkretan sesuatu yang abstrak (fallacy of misplaced concretness); (5) kesalahan penggunaan otoritas (argumentum ad verecundian), yakni kesalahan nalar yang terjadi karena mengangkat sesuatu (seseorang) yang berotoritas sebagai pembenar dan penguat suatu pendapat, padahal mungkin tidak relevan dengan isi pendapat itu; dan (6) kesalahan komposisi (fallacy of composition), yakni kesalahan nalar akibat dugaan penulis bahwa apa yang cocok untuk suatu keadaan atau seseorang pastilah juga cocok untuk semua keadaan dan semua orang, apa yang gagal diterapkan pada sesuatu pastilah juga gagal untuk yang lainnya. (Burnie, 2003).
Kesalahan ambiguitas dapat dipilahkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis kesalahan mencakup: (1) penalaran berputar-putar (circular reasoning, begging the question), yang terjadi akibat penulis meletakkan kesimpulan ke dalam premisnya dan kemudian menggunakan premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya, sehingga kesimpulan dan premisnya sama, (2) pemberbelit-belitan ungkapan dan pengaburan maksud (gobbledygook), (3) kesalahan konstruksi gramatikal (amphibole), (4) kesesatan karena term ekuivok, yakni tumpang tindihnya pemakaian istilah yang bermakna ganda, dan (5) kesesatan karena arti kiasan (Stolley, 2003).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dua pertimbangan. Pertama, data penelitian berupa praktik penggunaan bahasa karangan, bukan frekuensi, jumlah, persentase, atau dimensi kuantitatif lainnya. Kedua, peneliti bertindak sebagai human instument, baik dalam penentuan kriteria, penjaringan, pengklasifikasian, maupun analisis data.
Metode dalam penelitian ini adalah metode preskriptif (cf. Sudaryanto, 1996). Metode ini dipilih karena penelitian ini, sejak penentuan kriteria data hingga analisis data, sudah membuat evaluasi apakah paragraf argumentasi tulisan mahasiswa masuk nalar, tepat penyimpulannya, relevan gagasan pendukungnya, tidak berlebihan, atau justru sebaliknya.
Data berupa kesalahan penalaran yang diambil dengan teknik dokumentasi pustaka dari 40 makalah mahasiswa fakultas sastra, 71 makalah mahasiswa fakultas psikologi, dan 57 makalah mahasiswa FISIP. Semua makalah merupakan tugas akhir ujian UTS tahun ajaran 2002—2003. Pengambilan data dilakukan dengan mengikuti prinsip kejenuhan informasi (Muhadjir, 2000). Analisis dilakukan dengan teknik analisis domain dan analisis taksonomis (Silverman, 1993; Bungin, 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data paragraf argumentasi makalah mahasiswa ditemukan 6 jenis kesalahan relevansi dan 4 jenis kesalahan ambiguitas. Keenam jenis kesalahan relevansi adalah (1) kesalahan instan dramatis, (2) kesalahan determinisme retrospektif, (3) kesalahan penentuan sebab, (4) pengkonkretan sesuatu yang abstrak, (5) kesalahan penggunaan otoritas, dan (6) kesalahan komposisi. Keempat jenis kesalahan ambiguitas adalah (1) penalaran berputar melingkar-lingkar, (2) gobbledygook, (3) kesalahan konstruksi gramatikal, dan (4) kesalahan term ekuivok. Sementara, kesalahan karena makna kiasan adalah satu-satunya jenis kesalahan yang tidak ditemukan dalam paragraf argumentasi makalah mahasiswa. Berikut ini dibentangkan contoh paragraf yang memuat kesalahan-kesalahan tersebut berikut pembahasannya.
Kesalahan Relevansi
Jenis pertama kesalahan relevansi adalah kesalahan instan dramatis. Berikut ini contoh paragraf argumentasi yang mengandung kesalahan instan dramatik mengenai pengalaman mahasiswa dalam berurusan dengan polisi di jalan raya.
Di era reformasi ini perilaku polisi lalu lintas dalam menjalankan tugasnya benar-benar sudah berubah. Pendapat yang memojokkan polisi biasa menarik duit di jalan raya kepada pelanggar lalu lintas hanyalah pendapat yang dilandasi kebencian saja. Dalam hal ini penulis pernah melanggar lampu merah, yang sebelumnya di perempatan itu tidak ada traffict light-nya. Polisi yang berjaga langsung memberi tanda agar penulis minggir. Ternyata penulis hanya diperingatkan bahwa di perempatan itu baru diberi lampu lalu lintas. Penulis tidak dibentak, tidak ditarik duit.
Mahasiswa penulis paragraf ini telah melakukan kesalahan perampatan terlalu cepat dan berlebihan, atau overgeneralisasi (over-generalisation) (Poespoprodjo & Gilarso, 2000; Burnie, 2003). Sebagai penulis karangan, di sini mahasiswa menggunakan satu kasus khusus pribadi untuk mendukung sebuah argumen generik. Satu dua kasus tersebut lazimnya diangkat mahasiswa dari pengalaman pribadi ketika berurusan dengan polisi di jalan raya, atau pandangan subjektifnya sebagai individu (Rakhmat, 2000). Mahasiswa ini menyimpulkan bahwa pengalaman pribadinya pastilah juga dialami oleh pemakai jalan raya yang lain ketika berbuat kesalahan serupa. Dalam cara pandang Burnie (2003), mahasiswa telah mengangkat pengalaman pribadinya (individual’s personal experience) sebagai dasar untuk membuat generalisasi.
Alfred Korzybski (2003), pakar psikolinguistik dan semantik general, berpendapat bahwa generalisasi berlebihan terjadi karena umumnya individu tidak mampu menangkap perbedaan, perubahan, dan pergeseran feneomena material, individu, dan sosial. Umumnya, orang berpikir mapan, menikmati status quo (Lewis, 2002), sehingga tidak merasakan bahwa dalam perjalanan waktu, setiap orang dapat berubah.
Jenis kedua kesalahan relevansi adalah kesalahan determinisme retrospektif. Menurut Burnie (2003), kesalahan ini muncul karena penulis menganggap bahwa masalah yang sekarang terjadi merupakan masalah klasik, bukan masalah baru, setua usia manusia. Karena seakan masalahnya sudah ditentukan (determined), masalah tersebut tidak perlu dipermasalahkan secara berlebihan. Upaya menghapus masalah tersebut diyakini akan sia-sia saja. Contohnya paragraf berikut :
Pelacuran mempunyai sejarah yang sangat tua, sudah ada sejak manusia ada di bumi ini. Sejarah mencatat, di zaman Yunani Kuno pun pelacuran sudah menjadi fenomena sosial. Maka dari itu, sebagus apa pun pragram yang ingin menghapusnya, pastilah gagal diterapkan. Mengurangi bisa saja, tetapi menghapus jelas mustahil. Justru karena menyadari hal ini, akan lebih baik melokalisasikan pelacuran, mengontrol, dan menarik pajak tinggi. Hal ini lebih realistis.
Sekilas, paragraf ini logis dan realistis. dan masuk akal, kelihatannya. Akan tetapi, jika dicermati, timbul kesan bahwa pelacuran bukan masalah besar, harus dimaklumi, lebih baik dimanfaatkan, karena dari dulu sudah ada. Deret kalimat … sudah ada sejak manusia ada di bumi ini menegaskan persepsi penulisnya bahwa pelacuran sudah digariskan oleh alam (determined). Maka, baginya, pemberantasan pelacuran adalah tindakan sia-sia, bahkan melawan kodrat. Dalam hal ini Wiliams et al. (2003) berpendapat bahwa determinisme retrospektif mencerminkan psimisme dan cul-de-sac (kebuntuan jalan berpikir).
Jenis ketiga kesalahan relevansi adalah kesalahan penentuan sebab-akibat atau post hoc ergo propter hoc (“sesudahnya—maka—karenanya”; Poespoprodjo & Gilarso, 2000). Berikut ini contoh paragraf mahasiswa yang terjebak ke dalam kesalahan penentuan sebab-akibat.
Ditinjau dari sudut mana pun, goyang ngebor Inul Daratista sangat tidak sesuai dengan ajaran agama, norma masyarakat Indonesia, dan adat ketimuran. Yang lebih berbahaya lagi, goyang Inul ternyata telah menyebabkan seorang pelajar SMU di Sidoarjo belum lama ini telah mencabuli adik kelasnya sendiri. Dalam interograsi di kantor polisi, siswa SMU ini mengaku sebelum mencabuli adik kelasnya, ia terangsang hebat saat menonton VCD Inul.
Di sini tidak dipersoalkan perspektif agama dan norma masyarakat. Yang layak dipertanyakan adalah benarkah menonton VCD Inul mengakibatkan pencabulan. Mahasiswa penulis paragraf ini terjebak pada penalaran bahwa karena sebelum mencabuli adik kelas, siswa SMU ini menonton VCD Inul, maka menonton VCD Inul adalah sebab dan pencabulan adalah akibat-nya. Mestinya, mahasiswa juga berpikir mustahilkah bahwa pengakuan (menonton VCD Inul) hanyalah cara pelaku untuk berkelit agar ringan hukumannya, setidaknya dimaklumi kesalahannya. Jika boleh diekstremkan, seandainya setelah menonton VCD Inul, siswa SMU ini terus-menerus kentut, barangkali mahasiswa penulis akan menyimpulkan bahwa menonton goyang ngebor Inul menyebabkan dubur kentut terus-menerus hanya karena kentut nonstop itu terjadi setelah menonton goyang ngebor Inul.
Jenis kempat kesalahan relevansi adalah pengkonkretan sesuatu yang abstrak (fallacy of misplaced concretness). Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat yang suka mengkonkretakan sesuatu yang sesungguhnya jelas-jelas abstrak. Masyarakat Indonesia puluhan tahun pernah dikonstruksi dan terhegemoni untuk hal-hal yang sesungguhnya abstrak. Sayang, kebiasaan kontraproduktif ini juga berdampak pada pola pikir mahasiswa. Misalnya “pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila alias P4”, “stabilitas nasional”, “ketahanan nasional”, “sistem perburuhan Pancasila”, “nasionalisme”, “organisasi tanpa bentuk (OTB)”—sesungguhnya semua ini abstrak, tidak mempunyai titik sentuhnya di bumi masyarakat Indonesia, tetapi lalu didewakan, diideologiskan, sehingga seakan-akan konkret. Contoh berikut membuktikan bahwa mahasiswa pun tidak berpikir kritis, seperti para pemimpinnya.
Dari zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, sampai Megawati, korupsi terus-menerus terjadi. Tidak semakin kecil, malahan semakin besar dan merata di seluruh departemen dari menteri hingga ketua RT. Mengapa? Semua korupsi terjadi karena para pemimpin telah melupakan nilai luhur, kepribadian bangsa, dan falsafah Pancasila. Seandainya Pancasila dijalankan, korupsi pastilah sirna dari bumi Indonesia.
Pembaca mungkin penasaran seperti apa sih modelnya mahasiswa yang menulis paragraf ini. Seperti apa pun modelnya, mahasiswa penulis paragraf ini telah terhegemoni dan terkooptasi ke dalam pola pikir mengkonkretkan sesuatu yang jelas-jelas abstrak (nilai, kepribadian, falsafah). Sebagai intelektual harapan masyarakat, mestinya mahasiswa berpikir konkret: korupsi subur di negeri ini lantaran hakim bisa disuap, pejabat atasan melindungi pelaku, kontrol lembaga dan kontrol sosial macet, vonis hukuman bagi koruptor terlalu ringan—ini baru konkret.
Semua yang abstrak-abstrak—tetapi dianggap konkret itu—pada dasarnya adalah apa yang sering disebut orang sebagai pemberhalaan (reification) yang jelas-jelas juga me-real-kan yang abstrak (Rakhmat, 2000). Memang, pengkonkretan sesuatu yang abstrak paling mudah dilakukan dengan mengucapkannya (Barnes, 1996). Maka, selama ini penguasa kelewat sering mengucapkan frase “pembangunan manusia seutuhnya”, misalnya, akan tetapi sudahkah mereka melaksanakan pembangunan itu secara konkret—ini soal lain. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gampang bahagia: ketika sudah mengucapkan langsung merasa sudah melaksanakan.
Jenis kelima kesalahan relevansi adalah ketidaktepatan penggunaan otoritas. Petuah kuno “jangan pandang siapa orangnya, tetapi perhatikan apa yang dikatakan” sungguh tepat dibekalkan kepada siapa pun agar tidak terlena dalam salah nalar argumentum ad verecundian. Demi memperkuat alasannya, agar pendapatnya berterima, mahasiswa sering kali “mengikutsertakan” Tuhan, Nabi, kitab suci, dasar negara, UU, tokoh terkenal, pemimpin, atau pun pakar—sesuatu yang mempunyai otoritas atau berpotensi diotoritaskan orang (Burnie, 2003). Sering dilupakan bahwa pernyataan mahasiswa penulis yang mencatut nama Tuhan, kitab suci, atau dasar negara itu, sesungguhnya tidak relevan alias tidak “nyambung” sama sekali, tetapi dicocok-cocokan. Malahan, terkadang penulis maupun pembaca juga tidak menyadari bahwa yang dikutip itu sesungguhnya tidak lebih dari interpretasi subjektif penulis atas ayat kitab suci dan bukan isi kitab suci an sich. Paragraf tulisan mahasiswa berikut dapat memperjelas hal ini.
Sebagai negara Islam terbesar, Indonesia sudah membuat kesalahan syariat ketika MPR mengangkat Megawati Soekarnopoetri sebagai presiden. Atas pelanggaran ini, Allah Swt. memberi hukuman kepada bangsa Indonesia berupa berbagai kerusuhan sosial dan gerakan separatisme misalnya di Aceh dan Irian Jaya. Dalam Kitab Suci Al Qur’an ditegaskan bahwa pria adalah pemimpin bagi wanita. Maka, jelaslah sudah bahwa MPR yang sebagian besar adalah muslim sudah melanggar kitab suci. Dan kitab suci tidak pernah salah.
Bahwa Allah berfirman mengenai kepemimpinan lelaki atas kaum perempuan—itu tidak disangkal dan dalam konteks religiusitas umat mesti meyakini dan mengimaninya. Memang begitulah bunyi teks dalam kitab suci ini. Akan tetapi, ada dua hal yang layak dikritisi dalam pencatutan ayat ini. Pertama, siapakah yang dimaksud pemimpin di sini? Apakah pemimpin agama, pemimpin rumah tangga, presiden, ketua partai, ketua organisasi massa, atau entah siapa lagi? Jelaslah bahwa apa yang diutarakan mahasiswa penulis dalam paragrafnya tidak lebih dari penafsiran subjektifnya terhadap substansi ayat. Kedua, benarkah kerusuhan dan separatisme itu hukuman Allah atas pelanggaran anggotra MPR yang telah memilih Megawati sebagai presiden? Bagaimana membuktikannya? Hal ini adalah soal keyakinan; artinya, ini pun interpretasi personal mahasiswa penulisnya dan bukan maksud ayat itu sendiri.
Dalam konteks kompetisi kekuasaan politik, tidak sulit diduga bahwa ayat ini sengaja dimunculkan untuk dipakai sebagai acuan otoritas agar pendapatnya—yang menolak Megawati sebagai presiden—diterima, diamini, dan diharapkan juga diikuti dengan gerakan massa umat Islam agar menjegal Megawati sebagai presiden. Di sini terjadi pemeralatan dan manipulasi ayat suci untuk kepentingan politik. Dalam konteks kesalahan relevansi, hal ini merupakan ketidaktepatan penggunaan otoritas.
Jenis keenam kesalahan relevansi adalah kesalahan komposisi. Kesalahan komposisi terjadi ketika mahasiswa penulis memastikan bahwa apa yang cocok untuk suatu keadaan atau seseorang pastilah juga cocok untuk semua keadaan dan semua orang; apa yang gagal diterapkan pada sesuatu pastilah juga gagal untuk yang lainnya (Burnie, 2003). Dalam pemahaman ini juga diyakini bahwa sesuatu yang sudah cocok (baik) hendaknya segera disosialisaikan di tengah masyarakat. Contoh berikut terjadi pada makalah mahasiswa.
Tulungagung sebelum 1982 terkenal sebagai wilayah miskin. Secara fisik, hal ini tampak dari sedikitnya kepemilikan sepeda motor penduduk, bentuk rumah di bawah standar (berlantai tanah, berdinding anyaman bamboo (gedheg), sedikitnya anak-anak yang kuliah. Akan tetapi, setelah 1982, banyak pemuda mengadu nasib ke Malaysia sebagai TKI. Sebagian besar sukses, yang gagal jauh lebih sedikit. Maka, tingkat penghidupan naik. Bagunan rumah bagus-bagus, punya kendaraan sepeda motor, yang kuliah bertambah banyak. Bahkan, jumlah kiriman TKI lebih banyak ketimbang APBD. Maka, suksesnya TKI Tulungagung yang mampu menghentaskan kemiskinan dapat ditiru penduduk kabupaten lain.
Tersirat dalam paragraf ini pendapat mahasiswa penulis bahwa jika TKI dari Tulungagung sukses, maka TKI dari daerah lain pun pasti sukses dan, kerena itu, sebaiknya penduduk di luar Tulungung berbondong-bondong menjadi TKI ke Malaysia. Ada beberapa titik kesalahan komposisi dalam pandangan ini. Pertama, penduduk Tulungagung mempunyai latar belakang mata pencaharian asal, tingkat pendidikan dan kekayaan, kultur, minat, dan etos kerja yang khas, yang berbeda dengan penduduk daerah lain yang hendak di-TKI-kan ke Malaysia. Kedua, adalah fakta bahwa penerimaan warga Malaysia terhadap TKI Tulungagung berbeda dengan penerimaannya terhadap TKI dari daerah lain (Madura, Flores, Lampung). Ketiga, kalau pun seluruh TKI dari mana pun asalnya sukses, daerah pedesaan Indonesia yang ditinggalkan akan mengalami bahaya nasional: krisis penduduk lelaki, krisis SDM pembangunan.
Kesalahan Ambiguitas
Jenis pertama kesalahan ambiguitas adalah penalaran berputar melingkar-lingkar atau melingkar berputar-putar yang terjadi karena mahasiswa penulis makalah meletakkan kesimpulan ke dalam premisnya dan kemudian menggunakan premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya (Burnie, 2003). Contoh berikut berisi kesalahan penalaran mahasiswa mengenai rendahnya kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa fakultas sastra.
Kalau kita amati, maka kemampuan berbahasa Inggris dari para mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra masih rendah. Rendahnya kemampuan berbahasa Inggris ini disebabkan karena mahasiswa merasa malu berbahasa Inggris. Maka, justru di lingkungan mahasiswa bahasa Inggris yang terdengar tetap obrolan dalam bahasa Jawa Timuran. Rasa malu ini sebagai refleksi dari tidak percaya diri (PD) yang dimiliki mahasiswa. Mengapa tidak pede? Karena, kemampuan berbahasa Inggris secara lisan banyak yang salah grammar, salah pronounciation, salah tenses, dan tidak lancar.
Pada kalimat pertama paragraf ini disebutkan kemampuan berbahasa Inggris dari para mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra masih rendah, singkatnya “rendahnya kemampuan berbahasa Inggris”. Pada kalimat terakhir disebutkan kemampuan berbahasa Inggris secara lisan banyak yang salah grammar, salah pronounciation, salah tenses, dan tidak lancar, singkatnya juga “rendahnya kemampuan berbahasa Inggris”. Dengan demikian, kalau diskemakan, sekuen argumentasi mahasiswa penulis ini akan tampak berputar melingkar-lingkar, mbulet, seperti berikut: “rendahnya kemampuan berbahasa Inggris” ß “malu berbahasa Inggris” ß “tidak percaya diri” ß “rendahnya kemampuan berbahasa Inggris”. Di sini akibat menjadi sebab dan sebab juga menjadi akibat. Maka, terjadilah kesimpulan dan premisnya sama (begging the question) (Poespoprodjo & Gilarso, 2000; Rakhmat, 2000).
Jenis kedua kesalahan ambiguitas adalah salah nalar berupa pemberbelit-belitan penjelasan (gobbledygook) (Stolley, 2003). Kesalahan ini terjadi karena mahasiswa penulis tidak cerdas, dapat pula terjadi karena ingin menutupi kelemahan diri. Stuart Chase (1998: 50) menjelaskan gobbledygook sebagai “using two, or three, or ten words in the place of one, or using a five syllable word where a single syllable would suffice”. Dengan gaya penalaran semacam ini kata-kata diacak-acak seenaknya, ide-ide beragam ditumpangtindahkan, atau pesan dikemas dengan muatan berlebihan, bermakna ganda, sehingga mengaburkan substansi (Stolley, 2003; Barnes, 1996). Ternyata, mahasiswa pun dalam paragraf argumentasinya juga membuat kesalahan ambiguitas jenis gobbledygook ini. Apalagi, kesalahan ini diperparah oleh rendahnya kemampuannya mengaplikasikan tata ejaan dan tanda baca dalam karangannya. Misalnya contoh berikut ini,
Kita bersama sepenuhnya menyadari bahwa berbagai masalah KKN, kolusi, main hakim sendiri, karena hakimnya mengkomersialisaikan keadilan, sehingga supremasi hukum ternoda, siapakah yang bisa dipercaya untuk menegakkan nilai daripada kebenaran dan rasa keadilan, maka meski salah, tetapi dapat dimengerti mengapa di jalanan banyak orang main hakim sendiri, banyak pencopet dibakar. Sedangkan koruptor bebas, sebab hakimnya disuap, berarti reformasi baru sebatas menggulingkan Soeharto, tetapi sesungguhnya orang-orang sekarang masih banyak yang berotak Soeharto. Yang menyebabkan reformasi berjalan ditempat, jadi untuk menjadi koruptor tak harus Suharto, cukup yang bermental Soeharto.
Dengan tingkat IQ, EQ, dan SQ berapa pun, pembacanya akan merasakan betapa berbelit-belitnya beragam topik pembicaraan serta berulang-ulang pengertian yang sama, yang dikemas tumpang tindih, apalagi masih diperparah oleh kacaunya aplikasi ejaan dan tanda baca. Kuat dugaan bahwa penalaran mahasiswa semacam ini terjadi karena banyaknya pokok pikiran yang akan diekspresikan, sementara kemampuan mengungkapkannya dalam tulisan amat kurang, dan—semoga saja—hal ini bukan karena motivasi kamuflastik mahasiswa untuk menyembunyikan kebodohannya. Meskipun demikian, jika gobbledygook mewarnai teks bahasa penguasa, pejabat birokrasi dan militer, Johanessen (1998) menyingkapkan hal ini sebagai rekayasa yang direncanakan untuk menutup-nutupi kegagalan, keburukan, dan keotoriteran, kediktatoran yang terlanjur dilakukan.
Jenis ketiga kesalahan ambiguitas adalah kesalahan konstruksi gramatikal atau amfibolia (amphibole). Kesalahan amfibolia berpangkal pada ketidaktegasan hubungan logis proposisi antarkalimat dan intrakalimat. Pada contoh berikut kesalahan amfibolia berpangkal pada yang pertama.
Sebagai menteri yang diangkat tanpa persetujuan partainya (PKB), Mathori Abdul Jalil memerintahkan pengiriman pasukan keamanan di wilayah basis GAM Aceh yang bergolak Keputusan Menteri Pertahanan yang kontroversial ini mendapat protes dari berbagai LSM dalam dan luar negeri. Tetapi, masalahnya selesai ketika Megawati mendukungnya.
Pada paragraf ini terdapat frase berklausa Keputusan Menteri Pertahanan yang kontroversial ini. Makna frase ini tidak tegas; yang kontroversial keputusan ataukah menteri pertahanan? Orang boleh saja memecahkan masalah ini dengan cara merujuk konteks sebelumnya. Konteks paragraf ini pun mendukung dua-duanya: fakta bahwa Mathori diangkat sebagai menteri pertahanan merupakan kontroversi pertama (karena ia orang sipil, karena ia dinilai mengkhianati, sehingga ditolak PKB), sementara keputusannya untuk mengirim pasukan keamanan ke Aceh juga memicu kontroversi. Jika yang dimaksud kontroversial itu keputusannya, misalnya, mestinya dikatakan Keputusan kontroversial Menteri Pertahanan ini. Pada contoh ini terbukti bahwa konstruksi urutan kata dalam frase dapat memicu terjadinya kesalahan ambiguitas (Stolley, 2003).
Jenis keempat kesalahan ambiguitas pada paragraf argumentasi makalah mahasiswa adalah kesesatan karena term ekuivok, yakni tumpang tindihnya pemakaian istilah yang bermakna ganda (Poespoprodjo & Gilarso, 2000; cf. Stolley, 2003). Pangkal kesalahan ini bisa bersumber dari pemakaian istilah atau bentuk kata tertentu, seperti contoh berikut.
Program mesin pengolah singkong menjadi tepung ini sekaligus sebagai upaya pengentasan kemiskinan dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Trenggalek. Oleh karena itu, program ini akan didukung oleh para petani, buruh tani di Trenggalek. Hal ini mengingat tanah di kawasan kabupaten tidak produktif untuk ditanami selain singkong.
Paragraf ini menyimpan dua kesalahan sehubungan dengan pemakaian term ekuivok. Pertama, frase pengentasan kemiskinan dapat bermakna ganda, yakni (1) ‘upaya menolong orang-orang miskin menjadi tidak miskin’ atau pun ‘upaya memberantas kemiskinan’, seperti yang sering dipakai dan dimaksudkan oleh pejabat birokrasi dan awam selama ini, dan (2) secara semantis leksikal juga bermakna ‘upaya memperbanyak jumlah orang miskin’ atau ‘upaya mempermiskin orang-orang yang sudah miskin’. Kedua, pemakaian konjungsi oleh karena itu, yang menghubungkan kalimat pertama dan kalimat kedua, dapat disikapi dengan dua maksud, yakni (1) bahwa program mesin pengolah singkong menjadi tepung ini pasti mendapat dukungan dan (2) program ini secara logis mestinya didukung, dari para petani singkong dan buruh tani di Trenggalek. Dengan demikian, paragraf ini pun kurang menyajikan kejelasan maksud penulisnya.
KESIMPULAN
Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di muka sebagai berikut. Kesalahan penalaran yang terjadi dalam paragraf argumentasi pada makalah mahasiswa dapat dikelompokkan ke dalam kesalahan relevansi dan kesalahan ambiguitas. Kesalahan relevansi yang terdapat dalam paragraf argumentasi pada makalah mahasiswa meliputi enam jenis, yaitu (1) kesalahan instan dramatis, (2) kesalahan determinisme retrospektif, (3) kesalahan penentuan sebab, (4) pengkonkretan sesuatu yang abstrak, (5) kesalahan penggunaan otoritas, dan (6) kesalahan komposisi. Sementara, kesalahan ambiguitas yang diperbuat mahasiswa dalam menulis paragraf argumentasi pada makalah meliputi: (1) penalaran berputar melingkar-lingkar, (2) gobbledygook, (3) kesalahan konstruksi gramatikal, dan (4) kesalahan term ekuivok. Sedangkan, dari seluruh makalah yang diteliti, tidak ditemukan terjadinya jenis kesalahan akibat pemakaian makna kiasan.
Kajian ini memang membatasi diri hanya pada salah nalar relevansi dan salah nalar ambiguitas yang membayang dalam deret kalimat sebagai wacana dalam makalah tulisan mahasiswa. Tentu saja, kajian masih dapat diluaslengkapkan dengan menggunakan perspektif salah nalar yang lain, misalnya saja fallacy of personal attack, fallacy of appeal prejudice, fallacy of non sequitur, deduksi cacat, pemikiran simplistik, argumen ad hominem, argumen ad populum (Poespoprodjo & Gilarso, 2000), mitos devian, dan mitos sosial (Rakhmat, 2000). Pengkajian juga dapat dikembangkan lagi pada fokus kajian yang bersangkut paut dengan efektivitas kalimat, ketepatan struktur gramatikal, ketegasan arti, kohesi dan koherensi paragraph (Ngadiman, 1999), dll. Dari segi bentuk wacana pun, penelitian kesalahan ini dapat juga dikenakan pada jenis wacana selain argumentasi, yakni deskripsi, eksposisi, narasi, dan persuasi.
Berbagai temuan riset yang memanfaatkan aneka perspektif, obejk kajian, dan fokus kajian tersebut bukan saja memperkaya kajian mengenai kesalahan nalar dalam karangan ilmiah, akan tetapi juga membantu siapa pun yang meminati totalitas kemampuan menulis karangan ilmiah mahasiswa secara holistik. Dalam kepentingan yang lebih mikro, temuan itu juga berimplikasi pada dunia pengajaran, misalnya pemilihan materi dan metode pengajaran keterampilan menulis laporan penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Barnes, H.A. 1996. The language of bureaucracy, in N. Postman et al (ed.), Language in America. New York: Pegasus.
Bungin, B. 2003. Teknik-teknik analisis kualitatif dalam penelitian sosial. Hal. 83—105 dalam B. Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Burnie, B. 2003. Key terms and phrases.http://www.thompsonbooks.com/foundations/
keyterms.html
Chase, S. 1998. Gobbledygook, in G. Goshgarian (ed.), Exploring Language. Boston: Little, Brown & Co.
Corbert, A. & V.M. Burke. 1991. The New Composition—Rhetoric. New York: Meredith Corporation.
Johanessen, R.L. 1998. Highspeech, secretary of state high and communication ethics, in R.L. Savage et al (ed.), The Orwellian Moment. University of Arkansas Press.
Kompas, 19 Juli 2000. Kemampuan berbahasa orang Indonesia rendah. Hal. 9.
Kompas, 11 September 2000. Pelajaran Mengarang harus fungsional. Hal. 9.
Korzybski, A. 2003. Historical note on the structural differential. http://www.general-semantics. org/Basics/AK_sdnote.shtml
Lewis, S. 2002. A general semantics perspective on “critical thinking”. http://www. kcmetro. cc.mo.us/pennvalley/biology/lewis/critikink.htm
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Ngadiman, A. 1999. Coherence in Javanese expository writing. Magister Science 7, Februari—Juli: 34—43.
Poespoprodjo, W. & T. Gilarso. 2000. Logika: Ilmu Menalar. Bandung: Remadja Karya.
Rakhmat, J. 2000. Rekayasa Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data. London: Sage Publication.
Stolley, K. 2003. Argumentative writing: Fallacies. http:owl.English.purdue.edu/ handouts general/gl_fallacies.html
Stolley, K. 2003a. Argumentative writing: Logical vocabulary. http:owl.English.purdue.edu/ handouts/general/gl_ logic.html
Stolley, K. 2003b. Argumentative writing: Reaching logical conclusions. http:owl.English. purdue.edu/handouts/ general/gl_logicon. html
Sudaryanto. 1996. Metode Linguistik Bagian Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Williams, R.H. et al. 2003. On the intellectual versatility. Human Nature Review Vol . 3, Mey: 296—301.