DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Sudah Tepatkah 20 Mei sebagai Harkitnas?

D. Jupriono
Pusat Penelitian Sastra dan Strategi Kebudayaan (PPSSK), LPPKM, Untag Surabaya


Jika bukan BO, lalu organisasi nasional apa yang lebih pantas ditetapkan sebagai organisasi yang bangkit kali pertama? Yang lebih tepat bukan Sarekat Islam (SI), bukan pula Indische Partij (IP), melainkan Perhimpunan Indonesia (PI) yang berdiri pada 15 November 1908 di negeri Belanda. Sebagai perhimpunan politis mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, PI berjuang untuk “kemerdekaan Indonesia”. Kali pertama berdiri pada 1908, PI semula bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) dengan ketua Sutan Casyangan Saripada. Pada 1922 saat diketuai Hermen Kartawisastra namanya berubah menjadi Indonesische Vereeniging yang bersaing dengan terjemahannya, Perhimpunan Indonesia.  Sejak 1925 saat diketuai Sukiman lalu diteruskan Moh Hatta hanya nama Perhimpunan Indonesia-lah yang dipakai.

Setiap 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Penetapan 20 Mei ini tentu didasarkan pada tanggal berdirinya Boedi Oetomo (BO), 20 Mei 1908. Tulisan ini akan menyorot hal-hal berikut. Sudah tepatkah BO dipilih sebagai organisasi nasional yang pertama bangkit? Jika dianggap sudah tepat, selanjutnya, apakah tanggal berdirinya—dan bukan tanggal-tanggal perkembangannya—sudah tepat untuk ditetapkan sebagai Harkitnas? Jika BO dianggap tidak tepat, lalu organisasi apa yang lebih layak disebut sebagai organisasi pergerakan yang bangkit kali pertama?

Hampir semua orang ingat, BO didirikan oleh dr Soetomo (mahasiswa STOVIA, yang lahir di Nganjuk, 30 Juli 1888) atas dorongan dr Wahidin Soedirohusodo (1857—1917). Akan tetapi, yang sering dilupakan orang adalah fakta bahwa sejak berdirinya, BO merupakan organisasi elitis etnis-sosial. BO hanya beranggotakan etnis Jawa. Malahan, tidak semua lapisan etnis Jawa bisa masuk: BO hanya untuk golongan priyayi (bangsawan). Dari fakta ini, tanggal berdirinya BO lebih tepat ditetapkan sebagai “Harkitja” (Hari Kebangkitan Jawa), bahkan lebih tepat lagi “Harkitprija” (Hari Kebangkitan Priyayi Jawa), ketimbang sebagai Harkitnas.

Sebagai organisasi priyayi Jawa, BO didominasi oleh golongan tua. Ini tampak pada orang-orang yang duduk di jajaran pengurus. Ada Tirtokoesoemo, Dwidjosewojo, Sosrosugondo, Gondoatmodjo, Surjodiputro, Djojosubroto, Tjipto Mangoenkoesoemo, dll. Latar belakang elitis priyayi inilah yang mungkin mencoraki BO sebagai organisasi yang moderat, lembut, kalem, tidak progresif—apalagi radikal. Nama Boedi Utomo sendiri sebenarnya juga cermin dari orientasi organisasi yang menjauhi perilaku progresif-radikal. Dalam pernyataan dr Sutomo, saat menanggapi prakarsa dr Wahidin dan disaksikan M. Soeradji, pada 1907, dikatakan bahwa punika satunggaling pedamelan sae sarto nelakaken budi utami (ini sebuah tindakan mulia serta menunjukkan perilaku luhur). Terasa sekali nuansa Jawa pada BO dalam dinamika organisasinya. Yang terasa memang Jawa, bukan aroma nasional Indonesia, seperti ditulis Ensiklopedi Nasional Indonesia (jilid 3, 1989).

Hal ini tidak berarti bahwa BO tidak berperan dalam sejarah pergerakan nasional. Adalah fakta yang tak terbantah bahwa biarpun sejak awal berdirinya bersikap nonpolitis dan kooperatif dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, pada Desember 1932 dalam sebuah kongresnya di Solo BO berubah ke politis dan nonkooperatif dengan tegas menetapkan cita-cita “mencapai Indonesia merdeka”. Fakta sejarah juga bahwa BO berperan vital bagi munculnya organisasi Pergerakan Bangsa Indonesia (PBI) dan Partai Indonesia Raya (Parindra) di Surabaya, 1935. Layak juga kita syukuri bahwa akhirnya gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Sutomo pada 1961 dan Wahidin pada 1973.

Jika bukan BO, lalu organisasi nasional apa yang lebih pantas ditetapkan sebagai organisasi yang bangkit kali pertama? Yang lebih tepat bukan Sarekat Islam (SI), bukan pula Indische Partij (IP), melainkan Perhimpunan Indonesia (PI) yang berdiri pada 15 November 1908 di negeri Belanda. Sebagai perhimpunan politis mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, PI berjuang untuk “kemerdekaan Indonesia”. Kali pertama berdiri pada 1908, PI semula bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) dengan ketua Sutan Casyangan Saripada. Pada 1922 saat diketuai Hermen Kartawisastra namanya berubah menjadi Indonesische Vereeniging yang bersaing dengan terjemahannya, Perhimpunan Indonesia.  Sejak 1925 saat diketuai Sukiman lalu diteruskan Moh Hatta hanya nama Perhimpunan Indonesia-lah yang dipakai.

Ada dua hal yang bertolak belakang antara BO dan PI. Pertama, keanggotaan BO didominasi Jawa,  sedang PI lebih “nasional” dengan menerima semua etnis. Kedua, watak perjuangan BO moderat-kooperatif, sedang corak perjuangan PI lebih progresif-nonkooperatif. Jika makna bangkit lebih dimaksudkan sebagai keberanian bertindak tegas, tentu yang bercorak progresif-nonkooperatiflah yang lebih layak dipilih sebagai oraganisasi yang lebih memenuhi indikator kebangkitan. Selanjutnya, jika nasional dimaksudkan lebih mengacu ‘seluruh etnis/golongan’, tentu yang bisa membuka pintu lebar bagi semua etnislah yang dipilih.

Dalam hal ini, PI “lebih bangkit” dan “lebih nasional” ketimbang BO. Jika hal ini bisa diterima, implikasi  terapannya adalah bahwa Harkitnas lebih tepat diperingati pada 15 November—tanggal berdirinya PI. Lintas etnisnya keanggotaan PI tampak dalam nama-nama aktivisnya. Di dalamnya ada Iwa Kusumasumantri, Nazir Datuk Pamuntjak, Ahmad Soebardjo, AA Maramis, Noto Suroto, Arnold Mononutu, Moh. Hatta, Poerbatjaraka, Sitanala, dll. Peran vital PI diakui oleh sejarawan Prof Sartono Kartodirdjo, dalam Sejarah Pergerakan Nasional (1993, hal. 150). PI, kata Prof Sartono, berada di “barisan depan  pergerakan nasional” dan merupakan organisasi yang “di atas organisasi-organisasi lainnya”.

PI juga berusaha mengokohkan identitasnya sebagai organisasi yang nasional dan berspirit egaliter. Bahasa pertemuan, misalnya, ditetapkan menggunakan bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia). Hal-hal yang bercorak feodal-konservatif dikikis. PI menghimbau tegas anggotanya untuk menghapus gelar bangsawan. Arnold Isaac Zacharias Mononutu, misalnya, menjadi Arnold Mononutu; RM Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewangtara) juga menghapus RM-nya. Hal lain lagi adalah menetapkan peci (kopiah) sebagai identitas nasional yang wajib pakai setiap pertemuan. Ini juga sebagai sebuah resistensi simbolis terang-terangan para pelajar Indonesia, yang berhimpun di PI, yang sedang berada di negeri penjajahnya, Belanda. 

Posting Komentar