Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik
Label:
Sastra
by D. Jupriono
27 Desember 2012
Dipublikasikan kali pertama pada jurnal ilmiah
FSU in the Limelight Vol. 5, No. 1, Juli 1997; diunggah di web kali
pertama pada tahun 2000 di www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html
Sudarwati, dosen Fakultas Sastra, Untag Surabaya
D. Jupriono, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Untag Surabaya
D. Jupriono, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Untag Surabaya
… jika yang kita maksudkan adalah sosok yang
mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah
"Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita
berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal
pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan
kata perempuan, semisal
"peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak
perempuan pekerja". …
Pendahuluan: Marilah
Kita Dudukkan Masalahnya
Perbedaan makna kata betina
dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas
bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini
yang belum jelas!
Telaah ini memang
mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang harus menggunakannya sesuai
dengan kandungan semantisnya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian,
diharapkan segera bisa dijawab saat harus memilih manakah yang tepat:
"Darma Wanita" ataukah "Darma Perempuan",
"Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan Wanita",
misalnya.
Telaah dilakukan
berdasarkan arti kata leksikal dasarnya, menurut kamus (semantik leksikal) (cf.
Hurford dan Heasley, 1984). Lalu, penjelajahan arti akan dilengkapi dengan
memanfaatkan beberapa hasil penelitian yang ada, terutama tentang sejarah
perubahan makna kata (semantik historis) (Palmer, 1986: 8-11). Kajian ini juga
akan melihat bagaimana arti kata dalam pemakaian (pragmatik). Data dijaring
dengan teknik dokumentasi acak dari kamus dan teknik studi pustaka terhadap
tulisan yang relatif lama serta teknik rekaman tuturan keseharian. Dengan
metode deskriptif, data akan dianalisis dengan teknik eksplanatori-komparatif,
yang akan menjelasan perbandingan arti kata antarwaktu.
Apa Arti Betina?
Kata betina
diduga kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno)
("Kamus Jawa Kuno Indonesia", Mardiwarsito, 1986). Bahasa Kawi
sendiri kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi
fonis batina dengan betina beranalogi dengan relasi fonis mahardika-mardika-merdeka
'bebas'. Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut "Kamus
Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan antonim jantan.
Dalam pemakaiannya, betina cocok dilekatkan sebagai pemarkah jenis
(gender) binatang atau benda yang tidak hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia
(Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun
betina.
Tidak jauh berbeda
dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim, 1988: 111)
menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari
istri'. Ada dua hal yang dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama,
istilah "sanak keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda.
Sebagai yang lebih muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua.
Kedua, pernyataan "dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah,
yunior, itu karena istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga
menyiratkan muatan semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan
ditempatkan di bawah suami.
Sebagai nama jenis
kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak
ada muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia?
Ini baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat
manusia, artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi
ayam betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita
tak usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka';
dengan kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah
tantangan'. Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif
dalam pandangan lama.
Bisa dimengerti,
sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga
tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap
individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak
belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada
tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek,
bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam pemakaiannya
sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna
buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok
cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala.
Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
Dalam wacana (1),
kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil, mau tahu
urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar
betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga:
'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu
menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina
menemukan makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah
bebas dari stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993).
Maka, dalam kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan
demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan
Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau
pun "*Bukan Betina Biasa".
Singkat kata, kata betina
memuat makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus
seks', serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer
bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki
posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu
perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti
dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970:
1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan.
Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh
ini paradoksal. Sebab, jika wanita berupakan bentuk halus, mengapa ada
kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga
menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan),
bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan,
yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas
wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan
masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang
senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi,
mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari
nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak',
'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai
nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita",
sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada
lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu
mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen
memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007),
wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan
redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya)
sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita,
keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti
kata ini.
Berdasarkan "Old
Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita
berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan
dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang
diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa
dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan
mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi
nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki)
belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita
sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana
dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita,
dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis
kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa
Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental
ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa
(Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan
nilai positif.
Ada juga pandangan
lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita
bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari
proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut
gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina.
Urutan prosesnya demikian. Mula-mula kata betina menjadi batina;
kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata
banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari
[b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa
kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di
atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata
berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah,
organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering
dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e
Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya
Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau
"lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun,
dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948),
"Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita
Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara"
(Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam
tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam
bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan
serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu
wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita,
yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai.
"Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab
Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando 'tiaraaap ...',
ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan
realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus
kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah
inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah
gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi
rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita
dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya
'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan
gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini
wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan
"pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami),
"swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami
masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa
Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak
ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih
tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami
"jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa
Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi
kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia
"dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk
pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta,
senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru
benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah
memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan
senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi
(tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah
sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa
manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat
martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.
Dengan demikian, untuk
sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang
bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah
tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan
masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau
peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu
(Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian,
terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di
bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita,
pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam
pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha
perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam
pembangunan.
Dalam KD (1970: 853),
kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut
KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini
kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti
'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian
dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa
kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670)
memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit,
tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan
juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul
kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin.
Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga
diri'.
Dalam tinjauan
etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah,
tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!!
Ya. Jelasnya begini.
- Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
- Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
- Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Prof. Slametmuljana
(1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan,
ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan'
atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka,
ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak
aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu
semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti
setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita,
terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak
sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan
formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk
organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan
Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta),
Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat
Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati
Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan
Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk
dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah
"Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu,
jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian
Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah
pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan
kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan
tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama,
yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam
Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila
susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan
adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia"
(PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI,
BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak
historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan
"perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri,
melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah
lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai
persamaan derajat, seperti impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan,
seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah
(di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita
Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya
terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi
menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia
juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita
Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani,
PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta
Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).
Perempuan
Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang
bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi
mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu,
bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu
secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang
masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan
sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah
sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum
ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan
kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan
bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan
keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini
gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya
benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib
ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat
dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan
manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi
ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela,
sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung"
dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau
"*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung
itu lebih bernilai tinggi daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang
mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di
masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai
dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat
terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok,
keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai
"sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri
cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak
ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah
kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias
gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun
"garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya
pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur
dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan
porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah
dari barisan pria.
Tidak hanya persepsi
kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat.
Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini,
yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan
ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin
karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar
pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling
Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut
"Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996).
Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia,
Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali
bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi
pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat
tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi,
jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan,
soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain,
gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam
perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja".
Setuju?
Bisa dipastikan siapa
pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada
wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana
pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu
wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan"
itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya
sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok
tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong
makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa,
suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa
masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam
situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia,
terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan
1.
Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban
(Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu
pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah
tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai
anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan
sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini
yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami
tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki
nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa
di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah
tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal
Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu
dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu,
"Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an.
Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42.
2.
Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf,
bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal
menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya
kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film,
brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask
(Crystal, 1985: 194). -->-->-->-->-->
3.
Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di
Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah
perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu
(Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya
awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan.
4.
Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya
memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli
25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33
istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan
seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa
pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G.
Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa:
Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
5.
Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca:
D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight
edisi nomor ini juga.
6.
Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya,
dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan
RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya
pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an)
"perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi,
bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras"
perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
7.
Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu",
katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi,
yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih
nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya
kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak
tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.
Daftar Pustaka
Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. Mengenal
Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan
Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics: a Coursebook.
Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Jupriono, D. 1993. “Kamus Kecil Kajian
Perempuan”. (Untuk kalangan sendiri). Malang: Multimatra.
Kweldju, S. 1983. Penelitian seksisme bahasa
dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4(1),
7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa
Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu Qur'an, bukan Bapak
Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi Wanita di
Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di Wisma
Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics. Edisi II,
Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahayu, R.I. 1996. Politik gender Orde Baru:
tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma 15(5), Mei: 29-42.
Richards, J., J. Platt, dan H. Weber. 1987. Longman
Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow: Longman Group UK
Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa
Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suryochondro, S. 1996.
Perkembangan gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk.
(ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta:
Balai Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965. Linguistik:
Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982.
Old Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
14 Agustus 2014 pukul 14.59
Mestinya membandingkan yang lebih tua dengan yang tua, yang muda dengan yang lebih muda. Kenapa yang muda justru dengan lebih tua, juga yang tua dengan yang lebih muda? Sedihnya, para ahli dan kalangan awam sama-sama bertindak demikian. Saya merasa berjuang sendirian.