Karya tulis ilmiah
mahasiswa Program D3 Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Malang (1986) pernah
dimuat di Jurnal
Ilmiah Warta Scientia Th. XVI, No. 43, Maret 1987, hal. 34—43,
D. Jupriono
Program Studi D3 Bahasa dan Sastra Indonesia,
JPBSI, IKIPMalang (1987)
Permainan
bahasa dalam dunia lawak Jawa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara,
yaitu: (a) penggantian suku kata/fonem, (b) penambahan atau pengurangan fonem,
(c) penukaran tempat fonem dalam satu kata, (d) penggantian pemadu dalam idiom,
(e) penerjemahan kata, (f) pemanfaatan homonimi, (g) penggandengan
bentuk-bentuk mirip dalam kalimat, (h) pembentukan akronim, dan (i) penggantian
baris lagu. Semua cara dalam permainan bahasa lawak Jawa ditempuh dengan
sengaja menghadirkan bentuk-bentuk inkonvensional. Unsur-unsur kebahasaan yang
sangat berperanan adalah bunyi bahasa. Bagaimanapun “anehnya” cara yang dipakai
pelawak Jawa sangat bergantung pada pemaknaan (signifikansi) anggota masyarakat
bahasa di mana pelawak berdialog.
1.
Pendahuluan
Dengan tulisan yang
berjudul Mengenal Bahasa Lawak Jawa ini, penulis ingin mengajak pembaca
untuk mengenal, mengetahui, dan menguak bagaimana bahasa yang digunakan oleh
pelawak yang berbahasa Jawa. Di dalam masyarakat kita dapatkan beberapa
kelompok hiburan yang berlawak berbahasa Jawa, yaitu: ketoprak, wayang orang,
ludruk, ande-ande, dan kelompok lawak khusus.
Dari pengamatan penulis
terhadap pemakaian bahasa dalam dunia lawak Jawa—dalam hal ini yang penulis
amati adalah: (1) Ludruk Sidik Cs., (2) Ludruk Kartolo Cs., (3) Ludruk Duta
Bhirawa Tulungagung, (4) Ketoprak Gaya Baru Siswo Budoyo, (5) Ketoprak Mataram
Sapta Mandala, (6) Kelompok Lawak Junaedi Cs., dan (7) Kelompok Lawak Basiyo
Cs.—yang penulis jumpai di radio, tape recorder, TVRI, dan menonton langsung,
dapat penulis temukan “permainan bahasa” yang sangat menarik untuk
diperhatikan. Dengan bekal kemampuan pengamatan ini penulis
perikan hasil pengamatan ini, dan tanpa
daftar pustaka karena daftar pustaka tentang hal itu tidak penulis temukan.
2. Permainan
Bahasa dalam Lawak Jawa
Disadari atau
tidak pelawak tidak sembarangan “mengaduk-aduk” bahasa. Penggunaannya ternyata
mengikuti pola-pola tertentu. Pola-pola tersebut lebih banyak berkaitan dengan
perubahan dalam hal bentuk-bentuk kebahasaan yang menyangkut fon, morf, kata,
dan frase. Klasifikasi permainan bahasa dapat dilihat pada bagian di bawah ini.
2.1 Penggantian Suku Kata atau Penggantian Fonem
Penggantian
suku kata akan menyebabkan bentuk serta bunyi kata berubah. Perhatikan contoh
berikut!
(1) Ndoro putri,
dalem inggih kepingin tumut sekocal.
(2) Ngene rek,
bojoku kuru iku sebab kurang gusi, gak mergo susah mikir perang Irak
Iran.
(3) Ah, ngono
iku jenengne parno, Cak.
(4) Soale ndik
deso gak onok polisi, mulane udara bersih.
Fonem /c/ dan /l/ menggantikan /l/
dan /h/ pada contoh (1) yang seharusnya sekolah. Pada contoh (2) fonem
/u/ pada suku gu- seharusnya /i/, sehingga berbentuk gisi.
Demikianlah, seharusnya yang betul pada contoh (3) adalah porno, dan
contoh (4) polusi.
Ada lagi
permainan bahasa yang terasa “nglamak” rasa keagamaan kita karena mengubah
idiom-idiom khusus agama. Contoh pengubahan:
(5) Assalamualaicium
Warokhmatullohi Mbakaro watu (seharusnya Assalamualaikum Warokhmatullohi
Wabarokaatuh)
(6) Innalillahi wal internasional (seharusnya Innalillahi
wainnailaihi raji’un)
2.2 Penambahan dan Pengurangan
Fonem atau Suku Kata
Dengan cara
menambah atau mengurangi fonem dan sukju kata, pelawak akan berhasil—dan memang
demikian kenyataannya—mengocok perut pendengar. Contohnya di bawah ini.
(7) Bangsa Indonipunsia
ing wekdal puniko sayek saeko kapti, ambangun nagari IR (i-er)
(8) Koen iku jok
gampang esmoi.
(9) A: Dadi
saiki si Ad iwis dadi tamtomo.
B: Iyo,
Kang.
A: Astaitomoete!
Bentuk Indonipunsia adalah
bentuk Indonesia yang
mendapat pengurangan fonem /e/ dan penambahan suku –ipun-, dan IR,
mengingatkan kita pada nama padi, sebetulnya RI (Republik Indonesia).
Pada contoh (8) terdapat pengurangan fonem /s/ terhadap bentuk emosi.
Terakhir, contoh (9) seharusnya Astaga!
2.3 Pertukaran Tempat Fonem dalam Suku Kata
Dalam
kenyataannya pelawak-pelawak sering mempertukarkan tempat bunyi (fonem) dalam
suatu kata, sehingga tak wajar kedengarannya. Inilah yang mengundang tawa pendengar,
seperti pernah penulis dengarkan. Contoh:
(10)
Aku nek mandang wajahmu terus tersepona
suwe.
(11) Dadi sing baku, minongko batur, ayo kita tingkatake partisisapi
dalam rangka emansisapi samarakat.
(12) Aku mari nontok pilem Asrama di Balik Jendela.
Pada contoh (10) fonem /s/ dan /p/
merupakan akibat pertukaran tempat fonem keduanya dalam posisi kata terpesona.
Pada contoh (11) fonem /p/ dan /s/ dari kata partisipasi dan emansipasi,
telah bertukaran tempat secara terbalik. Juga, fonem /m/ dan /s/ bertukaran
tempat secara terbalik dari kata masyarakat. Selanjutnya, pada contoh
(12) yang betul adalah Asmara, bukannya asrama; sebenarnya contoh
ini merupakan analogi dari judul sebuah film nasional Asmara di Balik Pintu.
2.4 Penggantian Pemadu dalam Idiom Masyarakat
Yang namanya
idiom pasti bukan merupakan bentuk asing bagi masyarakatnya. Mereka begitu
hafalnya terhadap bentuk-bentuk idiom, sehingga apabila terjadi pengubahan
bentuk idiom—baik yang berupa kata majemuk maupun kalimat—mereka akan cepat
mengetahuinya. Di
antara pengubah itu adalahd pelawak. Contoh:
(13)
Kok koyo ing ndonyo iki kurang prawan to Man,
ngertiyo ngrusak pager alas ngono iku gawat.
(14)
Asune nguber aku, aku
mlayu sipat alis (Mestinya mlayu sipat kuping)
(15)
Hla yen kowe sing
enom-enom ora gelem sambang-sinambangan sedulur, turunmu mbesok bakal kepaten
rokok lan kuwi bakal medotake kolor. (Semestinya kepaten obor dan medotake
paseduluran).
Makna yang dikandung ngrusak pager
ayu adalah ‘merusak keharmonisan suami istri’, mlayu sipat kuping
bermakna ‘berlari secepat-cepatnya’, kepaten obor bermakna ‘sudah tidak
tahu siapa saudara-saudaranya karena tidak ada orang yang memberi petunjuk’,
dan medot paseduluran ‘putusnya hubungan persaudaraan’.
Sebuah contoh
penggantian idiom kalimat adalah sebagai berikut:
(16)
Sebagai warga sing apik,
aweke dewe kudu melok-melok, awit wis ono paribasane pemuda harapan bangsa,
pemudi harapan pemuda; pemuda tiang bangsa, pemudi tiang estri.
Yang menarik perhatian adalah pemudi
harapan pemuda dan pemudi tiang estri. Seharusnya, yang pertama
adalah pemudi harapan negeri, dan yang kedua pemudi tiang Ibu Pertiwi.
Khusus kata tiang akan segera diasosiasikan dengan tiyang. Kata tiyang
bermakna ‘orang’ dan estri ‘perempuan’. Jadi, sebenarnyalah ungkapan pemudi
tiang estri itu benar, tetapi tidak ada ungkapan demikian itu.
2.5 Penerjemahan Kata
Dari pengamatan
penulis cara yang satu ini pernah digunakan oleh semua kelompok lawak. Namun
demikian, tentu saja, tidak semuanya penulis contohkan di sini. Beberapa contoh:
(17)
A: Boso
Jowone pari kuwi opo, Le?
B:
Pantun.
A: Hla, nek midodari?
B: Ha yo midodantun.
A: Terus Le,
midodari nyang mburi kenekan eri, erine keri?
B: Midodantun dateng mbuntun kenging entun,
entunipun kentun.
(18)
C: Eyang,
boso Arabipun kursi puniko punopo?
D: Kursiiyun.
C: Menawi trima
kasih, Yang?
D: Matur nuwun.
C: Menawi makaten,
tatu wonten bokong lak udun.
(19)
R: Jajale, basa Inggrise jam itu opo?
S: E klok (maksudnya: a clock)
R: Nek jam amoh rusak?
S: Oklok-oklok.
(20)
V: Boso
Inggrise buku iku opo?
W: The book.
V: Buku ceblok?
W: Bug gedebug
V: Yen bosone kucing hitam?
W: Black cat.
V: Naa …, nek kucing hitam mati kecepit?
W: Blekedet ciiieeeet! (maksudnya: black cat
dead)
(21)
X: Boso
Indiane bapak iku opo?
Y: Babuci.
X: Nek ibu?
Y: Metaci.
X: Wadah sego?
Y: Panci.
X: Wong Inggris
iku nek ngarani asu opo?
Y: the dog.
X: Hla nek asune uakeeh banget?
Y: Ndrodogdogdog …
Kiranya, tak
perlu lagi contoh-contoh dipaparkan. Yang jelas, pelawak-pelawak tersebut hanya
menganalogikan bunyi-bunyi akhir suatu kata asing, lalu memindahkannya ke dalam
kata-kata lain dalam satu bahasa. Seperti contoh di atas, pada contoh (17)
bunyi akhir –ntun, contoh (18) bunyi –un, contoh (20) bunyi akhir
bug dan –et, contoh (19) bunyi akhir –klok, dan pada
contoh (21) bunyi akhir –ci dan –dog, yang dianalogikan dengan
bunyi-bunyi bahasa yang memang ”ngawur” sekali. Bentuk terjemahan pertama masih
benar, tetapi menginjak terjemahan berikutnya, mulailah permainan bahasa yang
seenaknya. Memang inilah yang sengaja diperbuat oleh pelawak agar menimbulkan
kelucuan.
2.6 Pemanfaatan Homonimi
Dalam bahasa Jawa
terdapat banyak homonimi, seperti halnya bahasa-bahasa lain. Dalam dialognya,
sering pelawak menghadirkan bentuk-bentuk homonim. Penonton atau pendengar pada
umumnya sudah bisa berpikir mengikuti dialog kehomonimian. Contoh:
(22) X: Ndisik, kowe janji Kang, yen ono turune sapi
oleh tak jaluk, hla
saiki bareng sapine wis turu, kok njur ora oleh tak jaluk ki kepriye to
Kowe ki.
Y: Karepku ki ora
ngono lo Le. Tegese turune sapi ki
yen wis sapi ki nduwe anak, anake oleh kok jaluk, ora kok yen sapine wis turu
njur kok jaluk.
(23) P: Soko Pasar Templek nganti Pendopo ki pirang
kilo to, Le?
Q: Wah, nggioh
mboten mesti, Mbah.
P: Lho lho, kok ora mesti ki priye to, Le?
Q: Nek usume rejo nggih saget angsal pinten-pinten
kilo, nanging menawi pas dong sepi, sekilo mawon dereng mesti angsal.
(24)
A: Kenek
opo wong mati kok didusi?
B: Soale gak iso adus dewe.
A: Kok ngono. Kenek opo?
B: Sebab wong mati
cik resik.
A: Salah, gak ngono, wong mati didusi kuwi kenek
banyu, mosok arepe kenek watu.
Bentuk-bentuk turune
sapi, pirang kilo, dan kenek opo, memang bisa menimbulkan
kebingungan penangkapan makna, walaupun contoh-contoh di atas jelas tak wajar. Bentuk turune
sapi (22) bisa bermakna 1) ‘anaknya sapi’ dan 2) ‘tidurnya sapi’. Bentuk pirang
kilo (23) di atas bagi si P memang bermaksud sebagai ’berapa kilometer’,
sedang bagi si Q (dalam wacana ini si Q bekerja sebagai tukang pungut puntung
rokok di jalan) pirang kilo dimaknai sebagai ’berapa kilo gram puntung
rokok’. Begitu halnya dengan kenek opo (24). Yang pertama berarti
’terkena apa’ dan kenek opo yang kedua berarti ’apa sebab’.
2.7 Penggandengan
Bentuk-bentuk Mirip dalam Kalimat
Penulis ke
tengahkan lebih dulu contoh-contoh yang penulis jumpai dalam adegan dialog lawak
sebagai berikut.
(25) G: Aku mari teko Kaliurang, terus nang Kalidawir.
H: Trus nang
ngendi?
G: Mari teko
Kalidawir, aku trus nang Kalifornia.
(26) K: Opo Cak pileme?
L: Ken Arok Ken
Dedes.
K: Musuhe sopo Cak?
L: Musuhe Ken Arok jenenge Ken Northon, la nek
sampeyan ajenge nonton sampeyan ken mbayar.
(27)
S: Opo
bisnis iku?
R: Bisnis iku kancane bis kota, dulure lanang bis kucing.
S: Ah, mustahil wak mustahal bin mus mulyadi.
Bila diperhatikan, suku
pertama, bahkan kedua, selalu diulang kembali pada bentuk-bentuk yang baru,
yang sama sekali lain. Seperti pada contoh, dari kata Kaliurang (sebuah
nama daerah di Kodya Malang) dihubungkan dengan Kalidawir
(nama sebuah kota kecamatan di Tulungagung),
lalu tiba-tiba … California.
Bukan main! Bukan main! Tetapi, memang inilah yang membuat sesuatu menjadi
sesakan-akan aneh, tak wajar, dan selanjutnya menimbulkan ketertawaan. Ken
Arok Ken Dedes dihubungkan dengan Ken Norton seorang petinju yang
pernah bermusuhan dengan Muhammad Ali, lalu dengan tiba-tiba : ken mbyar
(Jw) ‘disuruh membayar’. Begitu juga dengan bisnis ‘perdagangan’ secara
sembarangan digandengkan dengan bis kota ‘jenis kendaraan’, selanjutnya bis
kucing ‘nama tumbuhan’. Yang terakhir, mustahil ‘tidak mungkin’—mustahal
(bentuk ini tak terdapat dalam kenyataan berbahasa sehari-hari)—mus mulyadi
(mengingatkan kita kepada seorang penyanyi senior). Begitulah, suku-suku
kali-, ken-, bis, mus/mul- digandeng-gandengkan secara sembarangan.
2.8 Pembentukan Akronim
Bentuk akronim pada umumnya
musti dikenal masyarakat pemakainya. Bila suatu akronim terasa asing di mata
masyarakat, maka akan menimbulkan kebingungan, dalam dunia alwak akan
menimbulkan kelucuan. Contoh-contoh:
(28) S: Nek kene gak oleh PCCL. (pe-ce-ce-el)
T: Apa PCCL?
S: Pecicilan.
(29) A: Dadi kowe ki arepe melok MTQ
B: Lo kok ora
percoyo, cobak rungokno: sodimo lodiran nungsitu bahsiras kosiiiton.
A: Opo artine?
B: Liso dadi tumo,
belo dadi jaran, gunung isi watu, gabah isi beras, nongko isi beton.
(30) X: Koen saiki nyambut gawe ndik endi?
Y Aku dadi pentil
kecakot semut
X: Opo iku?
Y: Penjaga tilpun
Kecamatan kota
Semarang Utara.
X: Nek semut
Semarang Utara, la nek Jakarta
utara?
Y: Jakut.
X: Nek Jember
Utara?
Y: Yo, anu … Jem
…jem …jemberut.
Pelawak-pelawak
tersebut ternyata pandai juga membuat singkatan, dan singkatannya pun
bersistem, mengikuti pola-pola tertentu. Sebagai contohnya, taruhlah contoh (28)
dengan mengambil fonem pertama setiap suku, (29) dengan mengambil suku terakhir
setiap kata, dan pada contoh (30)-lah yang agak menyimpang; mengapa bukan kekot,
dan mengapa pula bukan jembut. Hal ini dikarenakan oleh adanya keinginan pelawak untuk kemudahan pengucapan
dan menjaga tabu bahasa. Masih ada contoh lain, misalnya berjut-jut (maksudnya
berjuta-juta), jampit setengah wol (maksudnya jam pitu setengah wolu).
2.9 Penggantian Baris Lagu
Penulis amati bahwa pelawak
sering bernyanyi secara salah karerna mengganti baris lagu dengan sengaja.
Akibat dari penggantian ini—umumnya masyarakat/pendengar sudah hafal tentang
lagu tersebut—masyarakat tertawa. Kiranya akan semakin jelas bila pembaca
dicontohi berikut.
(31) JEMBATAN
MERAH
Jembatan
merah
Sebab
merah
Karma
dicat dengan merah
…
(32) CUBIT-CUBITAN
Cubit-cubitan
ooo cubit-cubitan
Genit-genit gadis sekarang
Kalau
disenggol langsung minta bayaran
…
(33) ULAN
ANDUNG-ANDUNG
Ulan
andung-andung
Ono prawan
mlebu sarung …
Ala emak …
(34) APUSE
KOKANDAO
Apuse ko
kandao
Suwale pak
dhe tak ngge logo
…
Rata-rata mulai
baris kedua lagu akan diganti dengan baris yang sama sekali lai. Pada lagu (31)
Jembatan Merah ciptaan Gesang, baris
kedua semestinya berbunyi sungguh gagah berpegar gedung indah, pada lagu (32)
Cubit-cubitan (Elvi Sukaesih) baris kedua semestinya berbunyi sebagai kalau
disenggol katanya cinta, pada lagu (33) Ulan Andung-andung (klasik Banyuwangi) baris kedua semestinya berbunyi
ono padhang ono mendhung ala emak, dan pada lagu (34) Apuse Kokandao (lagu dari
Papua) pada baris kedua semestinya pula berbunyi ya rabee dst.
Ada baiknya dialog berikut diikuti:
(35) K: Kowe iso nyanyi Barat, Le?
L: Iso, Pak. Coba
mirengno. Why … why … why …
K: Kok wai wai
thok??
L: Wai … waiting
klopo jawoto ing ngarco podo.
Semula memang
tidak disangka kalau dia (pelawak) tersebut akan menyenandungkan lagu/gending Witing
Klopo, karena mula-mula dia menyebut why ‘mengapa’, seakan-akan hendak
m,enyanyikan lagu Barat sungguh-sungguh.
3. Kesimpulan
Dari bahasan yang penuh
dengan contoh di atas, dapatlah ditarik kesimpulan, yaitu:
(1) permainan bahasa dalam dunia lawak Jawa dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa cara, yaitu: (a) penggantian suku kata/fonem,
(b) penambahan atau pengurangan fonem, (c) penukaran tempat fonem dalam satu
kata, (d) penggantian pemadu dalam idiom, (e) penerjemahan kata, (f)
pemanfaatan homonimi, (g) penggandengan bentuk-bentuk mirip dalam kalimat, (h)
pembentukan akronim, dan (i) penggantian baris lagu;
(2) semua cara dalam permainan bahasa lawak Jawa
ditempuh dengan sengaja menghadirkan bentuk-bentuk inkonvensional;
(3) unsur-unsur kebahasaan yang sangat berperanan
adalah bunyi bahasa; dan
(4) bagaimanapun “anehnya” cara yang dipakai
pelawak Jawa sangat bergantung pada pemaknaan (signifikansi) anggota masyarakat
bahasa di mana pelawak berdialog.