RESENSI BUKU: Merancang Politik Bahasa Nasional di Era Globalisasi
Label:
Sastra
by D. Jupriono
27 Desember 2012
(Pernah dimuat di Jurnal Medan Bahasa Vol. 5, No. 1, Desember 2011, hal. 129-132)
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas 17
Agustus 1945 (Untag) Surabaya; pengajar MPK Bahasa Indonesia pada semua fakultas; pos-el: djupriono.sastra@gmail.com; bahasakomunikasi@gmail.com
Judul buku: Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi
Penulis: Masnur Muslich & I Gusti Ngurah Oka
Penerbit: PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Tebal: 270 halaman
Lunturnya kesetiaan, rendahnya kebanggaan, pada bahasa nasional ini adalah sebuah realitas ironis sebab pada saat yang sama bahasa Indonesia menjadi bahan pembelajaran yang menyedot banyak peminat di banyak negara (Australia, Belanda, Jepang, USA, Inggris, RRC, dan Korea Selatan). Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia adalah: tata bahasanya sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit.
Hal
pertama yang digarap oleh negara-negara yang baru meraih kemerdekaan (dengan
perjuangan berdarah) atau dimerdekakan (oleh negara penjajah) adalah menentukan
atau memantapkan satu bahasa nasional sebagai sarana vital konsolidasi dan
penggalangan kekuatan seluruh elemen. Soal bahasa ini menjadi sangat niscaya
untuk negara-negara yang memiliki banyak bahasa, misalnya Republik Rakyat Cina,
India, Filipina (Moeliono, 1985), dan tentu saja Indonesia (Alisjahbana, 1976).
Tindakan ini harus merupakan
kebijakan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan yang
dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah bahasa. Inilah
yang lazim disebut sebagai politik bahasa nasional (Halim, 1976).
Ada beberapa latar
belakang politik bahasa nasional perlu melakukan perencanaan bahasa (language planning). Pertama, bahasa itu
dinamis. Kedua, para penutur bahasa pada dasarnya memiliki kepekaan alami untuk
menilai apakah suatu tuturan salah ataukah benar. Ketiga, salah satu dampak
penjajahan atau kebijakan penjajah adalah pemaksaan satu bahasa tertentu kepada
penduduk jajahan, sehingga menyisihkan bahasa-bahasa lain yang ada. (cf. Landweer, 2008)
Syarat-syarat Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa,
menurut Ferdinand de Saussure, hendaknya dilakukan secara berangsur-angsur dan
berkesinambungan karena beberapa alasan. Perubahan budaya masyarakat
mengakibatkan bahasanya pun berubah. Selain itu, perencanaan bahasa harus:
menjamin ruang daya cipta dan kreativitas individu, membantu corak kepemimpinan
suatu bangsa, menepis pengaruh negatif yang muncul, memupuk sentimen ideologi
nasional, dan dapat menampung konsep baru sejalan dengan proses
perkembangannya. Pengaruh negatif suatu perencanaan bahasa dapat berupa suasana
yang tidak kondusif, saling mencurigai, perasaan tidak mendapat perlakuan adil
dan egaliter antarsuku, yang berujung pada kerusuhan sosial, seperti yang
pernah terjadi di Srilanka dan India. (cf. Eastman, 2003)
Syarat-syarat apakah
yang harus dimiliki suatu bahasa yang akan dipilih sebagai bahasa nasional?
Masnur Muslich dan I Gusti Ngurah Oka (keduanya almarhum) dalam Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi
(2010) menunjukkan syarat tersebut, tepatnya pada bab I (”Dasar-dasar
Perencanaan Bahasa”) sebagai berikut. Bahasa itu hendaknya bahasa pribumi
(bahasa ibu), pernah menjadi lingua
franca, berpotensi secara kreatif
dan fleksibel untuk perkembangan pendidikan, agama, sastra, iptek, dan media
massa. Selain itu, bahasa itu juga harus memiliki kemantapan dan kesahihan
budaya dan sejarah serta bahan kajian dokumentasi dan pakar-pakar pendukungnya.
Yang tidak kalah penting adalah bahwa bahasa itu memiliki daya tarik, dihormati
dan dibanggakan pemakainya dan kelompok lain, sehingga mudah memupuk persatuan
bangsa.
Suatu perencanaan
bahasa nasional secara berturut-turut harus melalui tahap-tahap: perencanaan,
pelaksanaan, masyarakat, dan penilaian. Setelah bahasa direncanakan,
pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat sebagai komunitas pemakai.
Bagaimana komunitas menggunakan bahasa tersebut akan menjadi balikan bagi
perencana untuk melakukan penilaian: apakah segmen perencaaan sudah tercapai;
kalau belum, apa sebabnya; bagaimana upaya pemecahannya.
Dalam merencanakan
bahasa nasional, beberapa faktor perlu dimasukkan: memperkaya dan mengembangkan
bahasa nasional secara lebih intensif; menggalakkan penulisan buku-buku ilmiah
dan karya sastra dalam bahasa nasional; mencetak dan menerbitkan bahan-bahan
bahasa dan sastra dalam bahasa nasional; membantu penerbitkan jurnal, buku,
majalah, makalah tentang bahasa dan sastra dalam bahasa nasional; merencanakan
dan membukukan sistem ejaan, sistem ucapan, tata bahasa, istilah, kamus,
ensiklopedia, bahan pengajaran bahasa dalam bahasa nasional (cf. Oka, 1987).
Satu lagi yang tidak kalah penting adalah mendirikan institusi khusus yang
bertugas menjalankan politik bahasa nasional. Pandangan ini mengikuti Rubin
& Jernudd dalam Language Planning as
an Element in Modernization yang dikutip Muslich & Oka dalam buku ini.
Beberapa Model Perencanaan Bahasa
Kebijakan politik
bahasa di Indonesia – seperti disebut di muka – sesuai dengan pandangan Rubin
& Jernudd. Buktinya adalah terbitnya Pedoman
EYD dan Pembentukan Istilah (1972), Politik
Bahasa Nasional (1976), Lembar
Komunikasi (1986), Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (TBBI, 1988), Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988), Buku
Praktis Bahasa Indonesia (2003), serta ada satu lembaga khusus bahasa
nasional, yaitu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1975), lalu berubah
menjadi Pusat Bahasa (1998), yang didukung banyak Balai Bahasa yang tersebar di
provinsi-provinsi.
Buku ini memperkenalkan
empat model perencanaan bahasa. Model Haugen (1959) mengurutkan perencanaan
bahasa ke dalam empat tahap: pemilihan satu bahasa, penyandian (ejaan, istilah,
tata bahasa, dll.), pelaksanaan (lembaga, individu), dan perluasan (pembinaan,
pengembangan bahasa). Model Ferguson (1968) mengajukan tiga aktivitas
perencanaan: pengabjadan (ejaan), pembakuan (satu dialek/bahasa), dan
pemodernan (pemekaran kosakata, pembinaan wacana ilmiah). Model Karam (1974)
menyodorkan: perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Model Kloss (1969)
menyodorkan dua dimensi perencanaan bahasa: perencanaan status dan perencanaan
bahan – ditambah satu lagi yang cukup realistis: pembiayaan.
Dengan mengikuti
model Kloss (1969), Muslich & Oka membagi perencanaan bahasa ke dalam dua
aspek: perencanaan status dan perencanaan bahan. Pemberian status sebagai
bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa ilmu
pengetahuan, bahasa pendidikan, dan bahasa kebudayaan, kepada bahasa Indonesia
(bab 3), misalnya, adalah contoh konkret perencanaan status bahasa. Sementara
itu, perencanaan bahan berupa aktivitas penyusunan EYD, pembakuan ucapan (bab
10), pembentukan istilah (bab 9), penyusunan tata bahasa baku (TBBI) dan kamus
(KBBI). Kedua perencanaan ini dijalankan semuanya di Indonesia.
Kesetiaan dan Kebanggaan Berbahasa Indonesia
Pada era globalisasi
bahasa Indonesia menghadapi beragam tantangan berat, yang berdampak pada
lunturnya kemahiran dalam berbahasa Indonesia, kesetiaan dan kebanggaan bangsa
Indonesia kepada bahasa Indonesia; mereka lebih bangga dan menghargai bahasa
asing (bahasa Inggris). Kebanyakan orang Indonesia sekarang tidak memiliki
keprihatinan akan pelanggaran terhadap norma-norma bahasa Indonesia dan lebih
suka memilih prinsip ”pokoknya asal dipahami saja”. Mengapa orang Indonesia
semena-mena kepada bahasanya sendiri? Orang yang mahir berbahasa Indonesia
tidak dihargai setinggi orang menghargai orang yang mahir berbahasa asing
(Inggris, Mandarin, misalnya), baik dari segi status sosial maupun
meteri-finansial. Kata kuncinya adalah rasa setia kepada bahasa nasional – dan
kesetiaan itu sekarang telah luntur, bahkan hilang. Pembinaan bahasa Indonesia
hanya akan berhasil jika rasa setia bangsa Indonesia kepada bahasa nasionalnya
telah bersemi kembali. Bagaimana cara menumbuhkan kembali rasa setia bahasa
ini? Sayang sekali, jawaban
Muslich dan Oka diplomatis: ”Inilah yang perlu kita pikirkan bersama” (hal. 66).
Lunturnya kesetiaan,
rendahnya kebanggaan, pada bahasa nasional ini adalah sebuah realitas ironis
sebab pada saat yang sama bahasa Indonesia menjadi bahan pembelajaran yang
menyedot banyak peminat di banyak negara (Australia, Belanda, Jepang, USA,
Inggris, RRC, dan Korea Selatan). Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat
mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bangsa Indonesia
harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui
jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia adalah: tata bahasanya sederhana,
mudah dipelajari, dan tidak rumit. Akan tetapi, kesederhanaan ini tidak
mengurangi kedudukan dan fungsinya dalam pergaulan antarbangsa.
Buku Perencanaan Bahasa ini, pada bagian
akhir, memuat lengkap keputusan delapan kali Kongres Bahasa Indonesia di
sepanjang sejarah (kongres I 1938, II 1954, III 1978, IV 1983, V 1988, VI 1993,
VII 1998, dan VIII 2003). Ini menunjukkan bahwa perencanaan bahasa dalam
kerangka kebijakan politik bahasa nasional memiliki jejak historis yang amat
lama. Keputusan Kongres VIII Bahasa Indonesia (2003), misalnya, mengamanatkan
bahwa kemampuan berbahasa Indonesia para guru semua bidang studi, para pejabat,
dan tokoh masyarakat perlu ditingkatkan agar ”dapat memberikan suri teladan
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada masyarakat”, serta penguasaan
bahasa Indonesia perlu dipertimbangkan sebagai ”... salah satu syarat
penerimaan dan penaikan pangkat pegawai, eselonisasi, pengangkatan anggota
dewan, dan penerimaan pekerja asing yang bekerja di Indonesia” (hal. 259).
Dua amanat kongres
ini menggiring kita untuk bertanya-tanya. Apakah bahasa Indonesia para pejabat,
pemimpin, penceramah agama, politisi, presiden, menteri, sudah memberikan
contoh positif? Bagaimana
kira-kira realisasi bahasa Indonesia sebagai salah satu syarat pengangkatan
anggota DPR/DPRD, misalnya? Barangkali Muslich dan Oka berpraduga positif bahwa
para pembaca sudah mengetahui jawabannya. Maka, hal-hal seperti ini tetap
menjadi PR para pembaca/masyarakat penurut bahasa Indonesia.
Perlu Ditambahkan: UU No. 24/2009 dan Indeks
Harus diakui bahwa
buku ini penting dan tergolong langka. Setelah Politik Bahasa Nasional (Amran Halim, 1976), Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Anton M. Moeliono, 1985), barangkali
baru inilah pustaka ketiganya (Muslich & Oka, 2010). Meski begitu,
sepenting dan sejeli apa pun, buku ini tetap menyimpan kekurangan, baik
substantif maupun yang teknis.
Kekurangan
substantifnya, buku ini sudah menyebut pasal 36 UUD 1945 sebagai dasar hukum
bagi politik bahasa nasional, tetapi belum menyebut -- apalagi membahas -- keberadaan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Publik Indonesia umumnya
hanya pernah mendengar adanya undang-undang ini, tetapi belum pernah membuka,
membaca, dan menganalisisnya. Jika mengalami cetak ulang, sebaiknya kekurangan
ini ditambahkan, sehingga nilai buku ini akan makin informatif-komprehensif.
Sementara,
kekurangan teknisnya, jika
harus disebut, adalah tidak adanya halaman indeks, pada bagian akhir buku ini.
Padahal, jika ada, indeks akan sangat membantu pembaca dalam melacak seluruh konsep
dasar perencanaan bahasa pada halaman-halaman yang mencantumkannya dalam buku
ini.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, St. T. 1976. ”Politik
Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, hal. 37-54 dlm. Amran Halim
(ed.), Politik Bahasa Nasional 1.
Jakarta: P3B, Depdikbud.
Eastman, C.M. 2003. Language Planning: An Introduction. San
Francisco: Chandler & Sharp.
Halim, Amran. 1976. ”Fungsi dan
Kedudukan Bahasa Indonesia”, hal. 17-26 dlm. Amran Halim (ed.), Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: P3B,
Depdikbud.
Landweer, M.L. 2008. “Indicators
of Ethnolinguistics Vitality”. SIL International. www.sil.org
Moeliono, A.M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan
Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Seri Ildep. Jakarta: Djambatan.
Muslich, M. & Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Pembinaan dan
Pengembangannya. Bandung: Jemmars.
Oka, I G.N. 1987. “Politik Bahasa
Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, hal. 164-175 dlm. I G.N. Oka (ed.), Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya. Malang: JPBSI, FPBS, IKIP Malang.