DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Pelesetan Akronim Politis Dalam Perspektif Sosiolinguistik Kritis

D. Jupriono

Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menyemarakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll. Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis



Pendahuluan

Dalam kajian monumentalnya tentang resistensi terselubung orang-orang yang kalah dan terjepit nasib (kelompok subordinat) dalam Domination and Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1991), J.C. Scott menampilkan rupa-rupa kreativitas gerakan perlawanan terselubung para petani penggarap dan buruh tani terhadap ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan kebijakan petani kaya, petani pemilik tanah, atau tuan tanah, yang berkuasa (kelompok dominan). Bentuk perlawanannya bermacam-macam, misalnya perilaku fisik berupa pencurian kecil, pembakaran pinggir lahan, perusakan pematang, pembelokan jalur irigasi, dan kerja yang "ogah-ogahan", dan perilaku simbolis berupa pergunjingan, pemberian julukan (misalnya "Tuan Kikir" untuk majikan yang pelit). Dalam konteks semacam yang lain, pemberian kepanjangan KUD yang bukan Koperasi Unit Desa, melainkan "Ketua Untung Duluan", dari para petani anggota KUD untuk menyindir perilaku culas-curang pengurus KUD, misalnya, makin melengkapi tesis Scott. Resistensi tersembunyi dipilih karena, jika terang-terangan, mereka dapat bernasib sial mengingat ketergantungan seluruh hidupnya terhadap majikan berada dalam––menurut Scott (1991)––demarkasi etika subsistensial. Jika melawan terbuka, mereka bisa dipecat, tidak diberi pinjaman duit, tidak diberi "bonus" kecil panenan, dll.

Di negara yang sarat aroma represi birokratis-militerismenya, seperti masa Orde Baru (Orba) (1967-1998)––bahkan sisa-sisa hegemoninya masih terasa sampai 2005 sekarang––bukan buruh tani, petani kecil, dan anggota KUD saja yang tercengkeram dalam ketidakberdayaan untuk mengontrol jalannya kekuasaan (kelompok dominan militer-birokrat), melainkan juga buruh pabrik, anggota parlemen, dan juga mahasiswa. Seluru elemen anak negeri sebenarnya dalam situasi ketakutan, kepasrahan yang fatalistik.

Ketika di bawah cengkeraman republik bermodel otoriter-birokratis yang menampak-kan proses ketat beku overbureaucratization yang melembagakan teror dan kekerasan (structural violence) (Piliang, 2000), sebenarnya antara masyarakat awam dan mahasiswa sama-sama memiliki ke-sadaran kolektif (collective conscience). Meskipun demikian, di antara semua elemen, mahasiswa lebih memiliki kekuatan pe-nalaran (reasoning power) dan keberanian proporsional ketimbang masyarakat awam yang lebih merupakan massa yang diam (silent majority). Dengan kekuatan penalaran tersebut, mahasiswa lebih berpeluang men-cari, memanipulasi, bahkan menciptakan terobosan strategis kritik di bawah kekuasaan yang berkultur antikritik. Terobosan tersebut adalah resistensi bahasa berupa rekacipta akronim-singkatan pelesetan. Negara berkultur antikritik lazimnya memaksa dengan koersif agar pengkritik selalu memakai tata krama kritik (fatsoen) yang lebih menekan-kan bentuk ketimbang substansi.

Perlawanan bahasa sebagai resistensi diskursif tumbuh subur di bawah rezim penguasa Orba yang mengeksploitasi energi bahasa untuk konsolidasi kekuasaan. Rezim Orba banyak memproduksi dan men-distribusikan dua jenis sebutan yang satu sama lain menampakkan standar ganda (double standard). Sebutan stigmatis pertama secara sepihak mengambinghitamkan dan mematikan pihak lawan, atau orang-orang yang tidak disukai, misalnya PKI (Partai Komunis Indonesia), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), "anti-Pancasila", "kelompok subversif", "orang kiri", "antipembangunan", "perongrong stabilitas nasional" (Eriyanto, 1999; Mulyana, 1999). Sebutan kedua mem-berikan pembenaran (justifikasi) atas imple-mentasi kebijakan negara, misalnya "aparat kemanan", "aparatus negara", dan PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa). Dalam hal ini, sekalipun tentara bertindak melanggar hak asasi manusia (HAM) orang Irian dan Aceh selama DOM, misalnya, ia tetap dibenarkan; sebutan yang diberikan bukan GPK atau GPHAM (Gerakan Pengacau Hak Asasi Manusia), melainkan tetap PPRM atau "aparat keamanan". Di sini relasi bahasa dan kesewenangan kekuasaan tampak sangat nyata (Heryanto, 2000).

Untuk mematikan orang-orang yang tidak disukai dan untuk mencitrakannya sebagai "orang salah", bentuk bahasa macam GPK tersebut amat "efektif". Selama ini, pihak rakyat, yang diberi julukan sepihak itu tidak berdaya melakukan protes. Terhadap orang-orang yang tertuduh itu, penguasa mengeluarkan himbauan sepihak-subjektif agar semua pihak mencurigai, mewaspadai, mempersulit urusan administrasi orang-orang yang tertuduh itu walaupun belum pernah ada proses wajar pengadilan.

Menghadapi negara otoriter-militeristik yang kerap menebarkan kebijakan koersif dan represif dan di tengah ketidakberdayaan masyarakat, mahasiswa sebagai pihak oposan yang "kreatif" tidak kurang akal. Ia pun mendayagunakan potensi energi bahasa untuk melancarkan perlawanan balik. Elemen masyarakat kampus ini diam-diam me-lancarkan kritik dan resistensi konkret lewat demonstrasi di ruang publik (Sudjatmiko, 2000; Supramudyo, 2000), yang meramaikan "wacana permukaan", serta resistensi verbal terselubung, yakni menggunakan sebutan, anekdot, akronim, lagu, yang menye-marakkan "wacana di bawah permukaan" (di kos-kosan, forum diskusi informal kampus, kantin kampus, dll.

Tulisan ini mengangkat strategi kritik sosial dan resistensi verbal kebahasaan mahasiswa yang terwujud dalam akronim-singkatan pelesetan. Adapun tepatnya, ia berada pada ranah sosiolinguistik kritis yang akan mengkaji beberapa topik yang teridentifikasikan berikut ini. (1) Bagaimana teknik rekayasa akronim-singkatan pelesetan yang dilakukan mahasiswa? (2) Fungsi-fungsi kritik sosial apa sajakah yang diemban akronim-singkatan pelesetan politis tersebut? (3) Pihak-pihak manakah yang menjadi objek kritik akronim-singkatan pelesetan politis itu? Ketiga masalah ini selalu bertautan dengan aspek semantis akronim-singkatan.

Temuan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi teoretis dan kontribusi praktis. Kontribusi teoretis dari temuan penelitian ini adalah memperkaya khazanah kajian sosiolinguistik kritis khususnya studi relasi bahasa dan kuasa antarkelompok. Kontribusi praktisnya adalah temuan ini dapat diposisikan sebagai informasi dan pertimbangan bagi para penguasa birokrat dan militer dalam pengambilan kebijakan politis dan publik.

Wacana Humor Gus Dur Dalam Perspektif Tindak Tutur

D. Jupriono

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari Cak Noer (Noercholish Madjid) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri. GD terkenal sebagai tokoh yang humoris. Pembicaraan tentang humor verbal GD (HVGD) sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik .......



PENDAHULUAN

Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari cendekiawan muslim moderat Cak Noer (H. Noercholish Madjid, Ph.D.) amat tepat. "Ada empat rahasia Tuhan," katanya, "yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan ... Gus Dur." (Adnan, 2000). Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) (1992), "Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur". Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri.

Langkah kebijakannya sebagai pemimpin pondok pesantren, ketua DKJ, ketua umum PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, Ketua Dewan Syura PKB, dan sebagai Presiden IV RI, berani, bandel, sulit ditebak, dan sering nyeleneh di mata banyak pihak, termasuk oleh orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya sendiri sekalipun. Sebagai ketua "rombongan ketoprak" NU -- meminjam istilah Cak Nun (1992) lagi -- misalnya, GD pernah melempar usul peng-gantian salam religius sakral universal Islam Assalamu'alaikum dengan ungkapan yang dianggap lebih sekular, yakni "Selamat Pagi" atau apa sajalah. Ketika hampir semua cendekiawan muslim berebut masuk ke dalam ICMI, yang menghijaukan politik Indonesia 1990an, GD malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Pasca-"Kuda Tuli" 27 Juli 1996, yang berdarah itu, GD tampak memihak Megawati Soekar¬noputri (sekarang Presiden RI), akan tetapi menjelang Pemilu 1997 GD malah runtang-runtung bersama Mbak Tutut (Siti Hardianti Roekmana), yang putri Presiden Soeharto itu, dari pesantren ke pesantren. Ketika Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan GD seba¬gai calon presiden (capres) pada Pemilu 1999, GD sebagai politi¬kus PKB malah mengusulkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai capres. Lebih nyeleneh lagi, GD juga mengharapkan agar Megawati mengusulkan Amien Rais sebagai capres. "Biar bunder," Katanya (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000).

Sosiolog strukturalis Arief Budiman, Ph.D., yang aktifis oposan abadi dan sahabat dekat GD di Fordem itu, pernah berkomentar agak lucu tentang GD sebagai presiden. "Gus Dur tak sempat mengurus negara," katanya, "karena sibuk mengumpulkan lelucon." (Basyaib & Hermawan, 2000). Dalam rimba "teater" perpolitikan formal Indone¬sia langkah GD adalah fenomena menyimpang. Lembaga politik yang serba resmi, formal, angker, eksklusif, didewakan, dan jauh dari nuansa kejelataan–yang lahir sejak Indonesia merdeka dan makin dikokohkan selama 32 tahun rezim Orde Baru (Orba)–di tangan Presiden GD menjadi santai, informal, ramah, inklusif, mentah, bagai pasar tradisional. Aksi dan terutama ucapannya selalu lucu dan terkesan seenaknya sendiri. Segala kebekuan formalitas lembaga politik, hukum, agama di Indonesia didekonstruksi bagai¬kan (bahkan mengalahkan!) panggung humor "Srimulat" dan "Ketoprak Humor".

Apa pun yang menyangkut GD–ucapan, tindakan, humor, kontrover¬si, berita, komentar dari dan tentang dia – menarik dan karena¬nya banyak dibicarakan, diseminarkan, diteliti, dan diberitakan media massa. Di samping itu, kolom, artikel, dan buku tulisan GD juga terus mengalir.
Puluhan buku serta ratusan artikel dan berita bersangkutan dengan kebijakan politis, dekonstruksi pemikiran, pluralitas budaya, inklusivisme dan universalitas keagamaan GD sudah banyak dibahas orang. Sebutlah beberapa contohnya: "Gus Dur: Sebuah Cermin Banyak Gambar" (Hamzah & Anam, 1989), Bunga Rampai: NU dan Gus Dur (Yusuf, 1994), Gus Dur-Pak Harto: Hikmah Salaman Geng¬gong (Choirie, 1996), "Gus Dur" (Rahardjo, 1996), Pemikiran Politik Gus Dur-Amien Rais tentang Negara (Al-Brebesy, 1999), Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Tim Incres, 2000), "Psikoterapi Abdurrahman Wahid" (Sutanto, 2000), dan "Islam Antikekerasan: Memahami Refleksi Gus Dur" (Alfian M., 2000).

GD juga sangat produktif menulis artikel, makalah, kolom, dan buku. Sebagian karyanya bisa disebut di sini: "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban" (Rachman, ed., 1994), "Islam, Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia" (Rachman, ed., 1994), "Konsep-konsep Keadilan" (Rachman, ed., 1994), Islam Tanpa Kekerasan (1998), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1998), Mengu¬rai Hubungan Agama dan Negara (1999), Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), Tuhan Tak Perlu Dibela (1999), Membangun Demokrasi (1999), Menggerakkan Tradisi: Esai Pesan-tren (2001), dll. Ada pula buku kumpulan tulisannya yang bernuansa humor politis, misalnya Melawan Melalui Lelucon (2000).

GD lebih dikenal karena kenyelenehan, kenyentrikan, dan humoris¬nya. Maka, sahabat-sahabat dekatnya pun mengumpulkan dan membuku¬kan humor tentang GD dan humor yang memang dilontarkan secara verbal oleh GD; keduanya disebut saja humor verbal GD (HVGD). Beberapa dari buku-buku tersebut – yang dianggap cukup represen¬tatif -- adalah Presiden Dur yang Gus Itu: Anehdot-anehdot K.H. Abdurrahman Wahid (Adnan, ed., 2000) dan Gitu Aja Kok Repot! Ger-geran Gaya Gus Dur (Basyaib & Hermawan, ed., 2000).

Pembicaraan tentang HVGD memang sudah banyak. Akan tetapi, peneli¬tian HVGD dari sudut pandang linguistik belum pernah dilakukan, hingga detik ini. Padahal, barangkali karena keterbatasan fisik¬nya, GD terlihat lebih menonjol dalam fenomena lisan ketimbang gerak fisik. Penelitian ini mengupas bagaimana aksi lisan atau tindak tutur (speech acts versi J.R. Searle) HVGD dari perspektif pragmatik. Berdasarkan maksim tutur H.P. Grice (Yule, 1996), prinsip kesantunan G.N. Leech (Crystal, 1997), parameter pragma¬tik Brown & Levinson (Levinson, 1995), dan ketaksaan makna (Raskin, 1985; Chiaro, 1992), masalah ini akan diidentifikasikan ke dalam pertanyaan berikut. (i) Apakah HVGD sudah memenuhi maksim tutur Grice? (ii) Apakah HVGD sudah memenuhi prinsip kesantunan Leech? (iii) Bagaimana kesesuaian HVGD dengan parame¬ter pragmatik Brown & Levinson?

Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontri¬busi, baik teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini (a) memperkaya kajian dan memperluas cakrawala riset dalam pragmatik, analisis wacana, sosiolinguistik, dan humorologi. Secara praktis, penelitian ini memberikan tiga manfaat, yaitu: (b) membantu memahami fenomena sosial, politik, dan budaya GD secara lebih komprehensif, simpatik, dan empatik, sesuai dengan hal-hal yang dominan pada GD, sehingga mampu menukiki keutuhan personalitas seorang GD; (c) menunjukkan relasi sosial budaya, politik, dan kekuasaan dalam suatu era rezim, yang terkemas dalam humor verbal.


Parikan Pada Jula-Juli Ludruk dalam Perspektif Marxian Zima

D. Jupriono*

Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak pravestri, dan pemain ludruk yang, dalam perspektif kritik sastra marxis Zima, tergolong kelas proletar. Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah (proletar) maupun pemimpin masyarakat/negara (borjuis). Fungsi sosial parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang, dalam perspektif marxis Zima, diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama parodi.



Kata kunci: kritik sastra marxis, parikan, tradisi sastra lisan, fungsi sosial, parodi

Latar Belakang

Macan tutul mangan trasi
Kadung ucul, anake tangi

Teks ini bukan mantra pekasih, doa, atau pun iklan produk komersial. Ia bukan pula sebentuk puisi modern. Teks dua larik ini adalah transkripsi parikan. Parikan adalah pantun dalam tradisi lisan budaya Jawa. Dalam studi kesastraan, parikan tergolong dalam genre puisi. 

Banyak orang khawatir bahwa sastra Jawa kesepian karena banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kekhawatiran ini ada benarnya, tetapi juga ada salahnya. Orang sering lupa bahwa yang disebut sastra—dalam hal ini sastra Jawa—mencakup baik sastra tulis maupun sastra lisan. Jika yang dimaksud ditinggalkan masyarakat itu adalah sastra tulis, kekhawatiran di atas sangat beralasan. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan juga mencakup sastra lisan—termasuk parikan di dalamnya—itu jelas tidak tepat.

Sastra lisan semacam parikan, dongeng, cangkriman, tembang, masih hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa (Endrasworo, 2005). Dari semua bentuk tersebut, parikan—bahasa Indonesianya: pantun—menempati urutan teratas dalam hal keluasan distribusi, frekuensi kemunculan, dan kebertahanan hidup di tengah pendukungnya. Sebagai tradisi lisan, parikan muncul lewat interaksi sosial konkret empiris sehari-hari. Parikan juga senantiasa hadir dalam pentas panggung ludruk, ketoprak, wayang kulit, kuda lumping, kelompok karawitan, bahkan juga deras mengalir dalam lagu-lagu langgam dan campursari. 

Dalam drama rakyat ludruk, misalnya, parikan muncul dalam lantunan jula-juli penari remo, kidungan dagelan (lawak), dan para tandak (transvesti) (Supriyanto, 1992; 2004). Tentu saja, dalam jula-juli tersebut isinya tidak hanya parikan. Ada bentuk lain, misalnya syair. 

Tulisan ini merupakan kajian sosiologi sastra yang sengaja mengangkat parikan dalam kesenian rakyat ludruk sebagai fokus kajian. Fokus tersebut dijabarkan ke dalam identifikasi masalah berikut: (1) Siapakah pendukung aktif sastra lisan parikan dalam pentas ludruk? (2) Kelompok sosial manakah yang menjadi sasaran dalam parikan ludruk berdasarkan pandangan kritik sastra Marxis versi Zima? (3) Apa saja fungsi sosial sastra lisan parikan ludruk menurut perspektif kritik sastra Marxis versi Zima?

Ludruk yang diamati adalah pentas ludruk di Surabaya, Mojokerto, TVRI, JTV, radio MW dan KotaFM, dan beberapa kaset rekaman Kartolo Cs dan Sidik Wibisono. Memang, sebagai ludruk, Kartolo Cs. termasuk kurang lengkap (tidak ada remo, misalnya). Akan tetapi, dari segi kebutuhan akan data parikan, ia cukup layak.

Pemberdayaan TVRI di Tengah Kompetisi Pertelevisian

D. Jupriono & Arif Darmawan

TVRI ditinggalkan pemirsa karena tayangannya tidak menarik; tayangan tidak menarik karena para SDMnya berparadigma lama, menutup aliran lain dalam siaran agama, menolak menghadirkan tokoh kontroversial dalam dialog, dan menayangkan impian yang tak sesuai dengan realitas konkret masyarakat. Dana TVRI minim sekali karena di TVRI ada KKN, tak punya biro Litbang sebagai penyedia data sumber dana, kurang berani bikin terobosan, terlalu menunggu petunjuk, tidak agresif merebut pasar, dan kurang dapat memanfaatkan momentum otoda.

TVRI memiliki potensi internal cukup besar meliputi: kekuatan pemancar,
jangkauan siaran, stasiun pemancar, stasiun penyiaran, stasiun produksi, aset fisik, dan SDM yang professional.



Langkah konkret yang dapat diambil untuk memberdayakan TVRI adalah: berani membuat terobosan kebijakan, berani menghhadirkan acara, tokoh, tema kontroversial yang sedang ditunggu masyarakat luas; harus meberdayakan biro risert, biro pemasaran, pintar menjual dan menawarkan kemampuan dirinya sebagai media promosi, informasi, dan komunikasi kepada seluruh Pemda (tingkat I, II), universitas, LSM, perusahaan; menambahi materi tayangan berbasis agrobisnis serta menarik investor dan pengusah agrobisnis sebagai pemasang iklan.

Pendahuluan

Latar Belakang

Televisi Republik Indonesia (TVRI) sekarang sudah memasuki gelanggang kompetisi pasar bebas. Dalam persaingan itu, TVRI harus berhadapan dengan rival-rivalnya yang cukup kuat, baik modal, keberanian, infrastruktur, maupun dukungan para SDM-nya. Setidak-tidaknya, TVRI harus berani bersaing dengan lima belas TV swasta yang sudah go public terlebih dahulu. Tidaqk bias lagi sekarang TVRI monoton, memonopoli acara hiburan dan informasi resmi (atau yang diresmikan) dan baku (atau yang dibakukan) oleh pemerintah demi kepentingan kekuasaan suatui rezim.

Televisi swasta yang dimaksud berikut ini. (1) "Rajawali Citra Televisi Indonesia" (RCTI), berdiri pada 24 Agustus 1989, milik Bambang Trihatmojo. (2) "Surabaya Centra Televisi Indonesia", lalu berubah menjadi "Surya Citra Televisi" (SCTV), berdiri 24 pada Agustus 1990 yang sahamnya dipegang oleh Sudwikatmono. (3) "Cipta Televisi Pendidikan Indonesia" (TPI), berdiri pada 23 Januari 1991, dipimpin oleh Siti Hardjanti Rukmana (Mbak Tutut). (4) "PT Cakrawala Andalas Televisi" (ANteve), sejak 28 Februari 1993, merupakan kongsi patungan Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono. (5) "PT Indosiar Visual Mandiri" (Indosiar), sejak 11 Januari 1995, oleh Salim Group. (6) TV Kabel Indovision, sejak Maret 1998, dikelola PT Matahari Lintas Cakrawala di bawah Peter F. Gontha. (7) "PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV), sejak Oktober 1999, di bawah Ishadi S.K. (8) Metro TV, sejak Oktober 1999, dikendalikan oleh Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia. (9) "PT Global Informasi Bermutu" (Global TV), sejak Oktober 1999, didirikan oleh Timmy Habibie. (10) Pasaraya TV, sejak Oktober 1999, oleh Abdul Latief. (11) "Duta Visual Nusantara" (DVN TV), sejak Oktober 1999. (12) Metro TV, sejak 25 November 2000. (13) TV7, sejak 2001. (14) Lativi, sejak 2001. (15) "Jawa Post Television" (JTV) (cf. Nurdiana, 2002; Litbang Kompas, 24 Agustus 2001).

Di tengah suasana euforia mayoritas anggota masyarakat untuk melahirkan masyarakat informasi (information society). Masyarakat informasi senantiasa berada dalam persaingan bebas memasarkan segala ide (free marked of ideas). Dapat dimaklumi—tetapi tidak dibenarkan—bahwa TVRI akan mengalami kekikukan karena sebelumnya dimanjakan dan tidak diberi kesempatan untuk melakukan terobosan inovasi oleh rezim penguasa Orde Baru yang menguasai segala media informasi saat itu (Ida, 2001).

Dalam kompetisi memasarkan tayangan kepada masyarakat pemirsanya, tidak selalu suatu stasiun TV mampu bertahan. Kasus ANteve, misalnya. TV swasta milik Bakrie Brothers ini sekarang dalam keadaan sekarat karena terpuruk dalam persaingannya dengan TV-TV lain. Sekalipun sudah mendapat suntikan darah segar dari Singapura Manager Asia, ternyata diramalkan hanya mampu bertahan tiga bulan ke depan (Nurdiana, 2002: 6). Sebagai sebuah prediksi, tentu saja, ia bias meleset, tetapi bias juga tepat.

Bagaimana TVRI? Meski tidak sama-sama berada di pinggir jurang, sebenarnya kelangsungan nasib TVRI pun sedang berada dalam ancaman. Tulisan ini membahas khusus soal masalah-masalah yang dihadapi TVRI dan selanjutnya mencoba memberikan kontribusi saran bagaimana mengatasinya. Semuanya akan dianalisis dari sudut pandang komunikasi massa serta komunikasi organisasi dan manajemen. 
Identifikasi Masalah 

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diidentifikasikan sebagai berikut. Pertama, apa saja masalah-masalah yang mendesak yang dihadapi TVRI sebagai TV publik? Kedua, mengapa masalah-masalah TVRI sebagai TV publik muncul dominan? Ketiga, apa saja potensi internal yang dimiliki TVRI yang dapat dijadikan sebagai modal untuk memberdayakan diri? Keempat, apa saja peluang eksternal yang dapat dimasuki oleh TVRI di tengah kompetisi pasar bebas dengan TV-TV swasta? Kelima, bagaimana langkah-langkah konkret memecahkan masalah yang timbul berdasarkan potensi yang dimiliki dan peluang yang ada? 

Retorika Perlawanan Terselubung dalam Wacana Bahasa Indonesia

D. Jupriono

Wacana Permukaan dan Bawah Permukaan


Dua tahun terakhir--tepatnya sejak lengsernya Haji Muhammad Suharto dari singgasana kepresidenan RI, Mei 1998-¬unjuk rasa marak di mana-mana. Yel, teriakan, tuntutan berwajah hujatan deras mengalir. Kalimat-kalimat tulis-lisan ba¬ru macam "Adili Suharto! ", "Seret Su¬harto dan kroni-kroninya!", "Bersihkan kabinet reformasi dari sisa-sisa Orde Ba¬ru!", dan tuntutan-tuntutan seram lain¬nya, terns-menerus direproduksi oleh de¬monstran dan menjadi konsumsi sehari¬hari setiap kuping orang Indonesia. Bah¬kan, media massa pun mengemas dan mem-blow-up hal ini secara besar-besaran ke dalam bentuk berita, gambar, foto, debat publik terbuka, laporan langsung, dll.



Masa-masa sebelumnya, tuntutan-¬tuntutan tersebut tak terbayangkan dapat muncul ke permukaan. Seluruh elemen kekuatan bangsa ini tercengkeram keta¬kutan luar biasa ketika harus berhadapan dengan personifikasi kekuasaan negara Orde Baru yang birokratis militeristik: keluarga besar Cendana, ABRI (sekarang TNI), Golkar, Pemuda Pancasila (cf. Jupriono, 1998). Dunia pers pun merangkak ketakutan sembari terus-menerus melakukan sensor diri (self-censor) ke¬tika harus mengangkat fakta-fakta apa pun yang berhubungan dengan ABRI dan keluarga Cendana (Eriyanto, 1999). Jika berani nekat, terlalu besar risiko kese¬lamatan yang harus ditanggung.

Dari latar tersebut, wacana bahasa Indonesia, menurut Prof Dr. H. Suparno, cenderung berkembang paradoksal dari eufemisme ke sarkasme (Kompas, 10-11¬2000: 9, 21-11-2000: 19). Kelihatannya, masa Orba memang dicorakwarnai domi¬nasi eufemisme, terutama pada retorika pidato pejabat, dan media massa ber¬tekuk lutut tanpa daya di bawah kontrol opresif Berani berbahasa terus terang, ia harus siap dibredel. Eufemisme an sich menyimpan paradoks: ketenangan seka¬ligus ketakutan, pasrah sekaligus mu¬nafik (Subroto, 1998).

Akan tetapi, tahukah kita bahwa sesungguhnya, dommasi eufemisme ha¬nya terjadi pada "sektor permukaan" wa¬cana. Pada "sektor di bawah permukaan" wacana lewat diskusi gelap, bisik-bisik, dan debat kusir kampus, pondokan, poskamling, warung kopi, eufemisme lenyap total, dan digantikan retorika nakal, bebas, dinamis, sebagai wujud praksis mekanisme pertahanan dan per¬lawanan diri (Saryono dan Syaukat, 1993). Retorika ini senantiasa menjadi¬kan pihak dominan (penguasa) menjadi bahan bulan-bulanan. Dinamikanya luar biasa. Inilah strategi pertawanan terse¬lubung kelompok masyarakat bawah (awam dan kampus) ketika tidak berdaya menghadapi penindasan fisik dari rezim birokratis-militeristik di tataran permuka¬an (cf. Scott, 1991; Chaidar, 2000).

Pada hamparan tingkat realitas empiris, rakyat, mahasiswa, dan kelom¬pok korban lainnya memang kalah. Tetapi, pada atmosfer realitas simbolis kultural, mereka bebas membalas, meng¬ejek, mempermainkan penguasa, tanpa dapat dikontrol aparat intel. Ini adalah pertawanan tersembunyi orang-orang kalah--menurut perspektif Scott (1991)-¬-untuk menggapai kemenangan katarsis.

Di bawah payung eufemisme selama Orba, mahasiswa tidak pernah ditangkap, hanya "diamankan". Kita juga masih ingat, kurun 1989-1998 DOM di Aceh berlangsung praktik kekejaman di luar batas kemanusiaan. Tetapi, saat pencabutan DOM, Jenderal Wiranto lewat me¬dia massa saat itu hanya menyatakan permintaan maaf atas kekeliruan para prajurit yang telah bertindak "di luar batas kepatutan". Samakah kemanusiaan dengan kepatutan? Di sini telah terjadi dwifungsi ABRI dalam bidang bahasa (Jupriono, 1999; 1999a; 2000) atau lebih tepatnya militerisasi kosakata (Eriyanto, 1999).

Lalu, tiga tahun terakhir wacana bahasa Indonesia cenderung kasar (ber¬gaya sarkasme). Memang benar. Setelah masyarakat Indonesia selama Orba terle¬na sekaligus ketakutan dalam ayunan eufemisme (Subroto, 1998), sekarang di era pasca-Orba, semua orang berani menghujat-hujat, menyumpahserapahi, mencaci maki kelewat batas.

Ketimpangan Gender Pada Kosakata & Ungkapan Bahasa Indonesia

Ambar Andayani 1
D. Jupriono 2

Beberapa kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia mencerminkan bahwa: wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan; perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan; jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan”; perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Dalam kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan. Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui.



Kata-kata kunci: 
ketimpangan gender, kosakata, ungkapan, identitas, struktur gramatikal

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan; artinya, bahasa hanyalah bagian dari sekumpulan unsur dalam kebudayaan (kesenian, sistem religi, sistem ekonomi, sistem sosial, dll.). Sebagai unsur, ternyata bahasa juga mewadahi segala kekayaan kebudayaan; dengan kata lain, bahasa adalah cermin kebudayaan. Bagaimana watak kebudayaan suatu masyarakat tercermin dalam bahasa yang digunakan dalam masyarakatnya (Hudson, 1986). Nilai-nilai stratifikasi sosial yang mendominasi suatu masyarakat, misalnya, akan tampak dalam ragam bahasa yang digunakan masyarakat yang mencerminkan hubungan tidak sejajar antarkelompok dalam masyarakat (Spolsky, 2001).

Dalam Sosiolinguistik kita mengenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang terjadi pada ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan oleh Labov, Bailey, dan Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered irregularity or ‘free variation’ in linguistic behavior, can be found to show regular and predictable statistical patterns” (Saville-Troike, 1982). Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam masyarakat. 

Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993). Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut pandang gender, realitas ragam bahasa ternyata tidak hanya itu. Beberapa penelitian terakhir, misalnya, menunjukkan adanya ragam bahasa kelompok homoseksual (gay dan lesbian) (Sari et al., 2003). Meskipun demikian, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan perempuan yang mengarah pada ketimpangan gender.

Fokus tulisan ini adalah ketimpangan gender yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Demi kerincian, fokus ini akan dijabarkan ke dalam bagian-bagian berikut: (1) kajian teoretis ketimpangan gender dalam bahasa dan (2) bentuk-bentuk ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia.