Parikan Pada Jula-Juli Ludruk dalam Perspektif Marxian Zima


D. Jupriono*
Pendukung aktif tradisi sastra lisan parikan adalah penari remo, pelawak, tandak pravestri, dan pemain ludruk yang, dalam perspektif kritik sastra marxis Zima, tergolong kelas proletar. Kelompok sosial yang menjadi sasaran parikan adalah semua kalangan, baik masyarakat bawah (proletar) maupun pemimpin masyarakat/negara (borjuis). Fungsi sosial parikan adalah menggambarkan dan mengkritik perilaku anggota masyarakat, pemimpin negara, dan realitas sosial keadaan masyarakat, yang, dalam perspektif marxis Zima, diwujudkan dalam bentuk ironi, imitasi, dan terutama parodi.
Kata kunci: kritik sastra marxis, parikan, tradisi sastra lisan, fungsi sosial, parodi
Latar Belakang
Macan tutul mangan trasi
Kadung ucul, anake tangi
Teks ini bukan mantra pekasih, doa, atau pun iklan produk komersial. Ia bukan pula sebentuk puisi modern. Teks dua larik ini adalah transkripsi parikan. Parikan adalah pantun dalam tradisi lisan budaya Jawa. Dalam studi kesastraan, parikan tergolong dalam genre puisi.
Banyak orang khawatir bahwa sastra Jawa kesepian karena banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kekhawatiran ini ada benarnya, tetapi juga ada salahnya. Orang sering lupa bahwa yang disebut sastra—dalam hal ini sastra Jawa—mencakup baik sastra tulis maupun sastra lisan. Jika yang dimaksud ditinggalkan masyarakat itu adalah sastra tulis, kekhawatiran di atas sangat beralasan. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan juga mencakup sastra lisan—termasuk parikan di dalamnya—itu jelas tidak tepat.
Sastra lisan semacam parikan, dongeng, cangkriman, tembang, masih hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa (Endrasworo, 2005). Dari semua bentuk tersebut, parikan—bahasa Indonesianya: pantun—menempati urutan teratas dalam hal keluasan distribusi, frekuensi kemunculan, dan kebertahanan hidup di tengah pendukungnya. Sebagai tradisi lisan, parikan muncul lewat interaksi sosial konkret empiris sehari-hari. Parikan juga senantiasa hadir dalam pentas panggung ludruk, ketoprak, wayang kulit, kuda lumping, kelompok karawitan, bahkan juga deras mengalir dalam lagu-lagu langgam dan campursari.
Dalam drama rakyat ludruk, misalnya, parikan muncul dalam lantunan jula-juli penari remo, kidungan dagelan (lawak), dan para tandak (transvesti) (Supriyanto, 1992; 2004). Tentu saja, dalam jula-juli tersebut isinya tidak hanya parikan. Ada bentuk lain, misalnya syair.
Tulisan ini merupakan kajian sosiologi sastra yang sengaja mengangkat parikan dalam kesenian rakyat ludruk sebagai fokus kajian. Fokus tersebut dijabarkan ke dalam identifikasi masalah berikut: (1) Siapakah pendukung aktif sastra lisan parikan dalam pentas ludruk? (2) Kelompok sosial manakah yang menjadi sasaran dalam parikan ludruk berdasarkan pandangan kritik sastra Marxis versi Zima? (3) Apa saja fungsi sosial sastra lisan parikan ludruk menurut perspektif kritik sastra Marxis versi Zima?
Ludruk yang diamati adalah pentas ludruk di Surabaya, Mojokerto, TVRI, JTV, radio MW dan KotaFM, dan beberapa kaset rekaman Kartolo Cs dan Sidik Wibisono. Memang, sebagai ludruk, Kartolo Cs. termasuk kurang lengkap (tidak ada remo, misalnya). Akan tetapi, dari segi kebutuhan akan data parikan, ia cukup layak.