Citra Perempuan dalam Haiku-Haiku Sugita Hisajo: Kritik Sastra Feminisme Ideologis
Label:
Sastra
by D. Jupriono
27 Desember 2012
Retno Tri Haryati, alumni S-1 Sastra Jepang,
Fakultas Sastra, Untag Surabaya
Hj. Endang Poerbowati, Dra., M.Pd., dosen Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Untag Surabaya
D. Jupriono, Drs. M.Si., pegiat Pusat Penelitian Sastra & Strategi Kebudayaan
(PPSSK), LPPKM, Untag Surabaya
Abstrak. Fokus kajian penelitian ini adalah citra
perempuan di lingkungan domestik dan publik dalam masyarakat Jepang dalam haiku
karya Sugita Hisajo. Perempuan sebagai ibu dalam haiku Sugita Hisajo dicitrakan
sebagai manusia yang sabar, bersahabat dan mendidik, penuh kasih sayang dan
berharap akan kebahagiaan anak, rela berkorban, dan perhatian. Sedangkan
sebagai istri, perempuan Jepang dicitrakan sebagai manusia yang harus siap
mengalami kekecewaan, menderita, dan penurut, serta berani dan mandiri.
Perempuan di lingkungan publik dicitrakan peduli terhadap dinamika politik
bangsa serta mempunyai spirit perjuangan meraih kebebasan.
Kata kunci: citra perempuan,
feminisme ideologis, patriarki, lingkungan domestic, publik
Pendahuluan
Salah satu fokus kajian yang menarik dan
sedang menjadi trend saat ini adalah
citra perempuan dalam kesusastraan sebuah bangsa. Peran dan kedudukan perempuan
akan menjadi sentral pembahasan kajian ini. Akan ditelaah lebih dalam isi haiku
karya Sugita Hisajo sebagai cerminan citra perempuan Jepang pada masa Meiji,
Taisho, dan Showa. Lebih spesifik, akan ditelaah: (1) citra perempuan di
lingkungan domestik serta (2) citra perempuan di lingkungan publik, dalam
masyarakat Jepang seperti yang tercermin dalam haiku karya Sugita Hisajo.
Analisis haiku-haiku karya Sugita Hisajo
ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, khususnya kritik sastra feminisme
ideologis. Dengan metode deskriptif, data diambil dengan teknik dokumentasi
dari Sugita Hisajo Kugashu (Koike
Keiko, 1998, 94 halaman), kumpulan haiku karya Sugita Hisajo serta website www.worldhaikureview.org/1-3/womenpoets2.shtml. Dengan instrumen kreatif (human instrument) (Jupriono, 2003), data
dianalisis dengan teknik analisis isi (content
analysis).
Landasan Teori: Kritik
Sastra Feminisme
Kritik sastra feminisme memandang sastra dengan kesadaran khusus
akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan
kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan dalam sistem
kehidupan. Ada asumsi: wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki
dalam membaca sastra (Sugihastuti, 2001).
Sebagai gerakan sosial, feminisme muncul
dari ketidakpuasan terhadap sistem patriarki pada masyarakat (Millet dlm. Sofia
& Sugihastuti, 2003: 23) sebagai sebab penindasan terhadap perempuan. Ini
mengacu pada kondisi realitas sosial yang memosisikan bapak sebagai pemegang
kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang pendapatan,
dan pemegang keputusan (Jupriono & Andayani, 2009): lelaki mengontrol
perempuan. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan
inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam
berbagai gerakan (Sugihastuti, 2001).
Ada beberapa ragam kritik sastra
feminisme. Kritik Sastra Feminisme
Ideologis melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Pusat perhatian wanita pembaca adalah citra serta stereotipenya
dalam karya sastra. Kritik
ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab wanita sering
tidak diperhitungkan dalam kritik sastra. Kritik Sastra Feminisme Ginokritik
mengkaji penulis-penulis wanita, termasuk sejarah karya sastra wanita, gaya
penulisan, tema, genre, struktur tulisan, dan kreativitas wanita, asosiasi
profesi penulis wanita, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis
wanita. Kritik Sastra Feminisme
Sosialis/Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang konflik
kelas-kelas sosial. Kritik Sastra Feminisme Psikoanalitik memandang pembaca
wanita biasa mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh wanita, sedang tokoh
tersebut umumnya merupakan cermin penciptanya. Di samping itu, karya sastra
juga dianggap sebagai ekspresi bawah sadar pengarangnya (wanita). Kritik Sastra
Feminisme Lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh wanita. Tujuan utamanya
mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kritik Sastra Feminisme Ras/Etnik ingin
membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-etnik beserta karyanya dan
berusaha mendapat pengakuan dalam kajian wanita kanon sastra tradisional dan
sastra feminis (Djajanegara, 2000; Jupriono, 2004).
Analisis Data
Citra Perempuan di
Lingkungan Domestik
Citra Perempuan sebagai Ibu
1) Sabar
Sono naka ni hanetsuku wako no koesumeri (Sugita dalam Koike, 1998: 80)
Di sana, terdengar suara anak,
bermain badminton
Pada haiku ini digambarkan
suasana ketika anak-anak Hisajo bermain hanetsuki. Sono naka ni ‘di sana’ menunjukkan
tempat bermain (halaman rumah). Halaman luas dapat digunakan dengan leluasa
untuk memantulkan bola bulu. Karena hanetsuki merupakan permainan yang hanya
dilakukan oleh anak perempuan, maka pada baris pertama ini, tempat yang luas
ini menggambarkan kesempatan luas bagi perempuan untuk belajar mengembangkan
bakatnya. Pemain harus sabar mengikuti arah bola bulu; penonton harus sabar
melihat ke mana arah bola. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan harus aktif
dan bersemangat tinggi dalam mencapai cita-cita. Mereka harus lincah, bekerja
keras, dan sabar untuk dapat mengejar apa yang diinginkan walaupun masih banyak
aturan dalam masyarakat yang mengekang mereka.
Wako no koesumeri ‘terdengar
suara anak’, anak di sini adalah dua anak-anak Hisajo yang semuanya perempuan,
Masako dan Mitsuko. Hisajo berumur 22 tahun waktu kali pertama menjadi ibu.
(Bender & Yachimoto, 2002). Sebagai ibu, Hisajo dengan sabar menemani
anak-anaknya bermain, melihat dan mengikuti arah bola dan sekaligus mengetahui
kemampuan anak-anaknya. Terdengar suara anak, ditafsirkan sebagai pendapat dan
keinginan cita-cita anak-anak Hisajo. Hisajo tidak memaksa anak-anak untuk
mengikuti kehendaknya. Hisajo dengan sabar membimbing dan memberikan kebebasan
kepada anak-anaknya untuk menentukan apa yang menjadi cita-citanya—seperti
bermain hanetsuki—tanpa harus bergantung pada kultur sosial yang menghambat
kemajuan mereka. Sebagai ibu, Hisajo berpandangan bahwa perempuan mempunyai
hak-hak yang sama dengan laki-laki. Hisajo tidak ingin
anaknya setelah dewasa langsung menikah seperti tuntutan tradisional masyarakat
pada masa itu. Untuk itu,
Hisajo menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit (Bender & Yachimoto,
2002).
Karya sastra pun sering mencitrakan perempuan seperti
yang menjadi tuntutan masyarakat dan inilah yang hendak digugat pandangan ini.
Karya sastra, dengan demikian, harus membebaskan cara berfikir perempuan
(Djajanegara, 2000: 28). Dalam perspektif gerakan feminis, upaya Hisajo jelas
sangat kondusif. Gerakan
feminis menganjurkan kemandirian berfikir, agar perempuan diperhitungkan dan
mampu menempati kedudukan sejajar dengan laki-laki. Feminisme
radikal, misalnya, menganggap perkawinan atau domestisitas menghambat
perkembangan potensi perempuan (Fakih, 2001).
2) Bersahabat dan Mendidik
Harusame ya tatami no ue no kakurenbo (Sugita dalam Koike, 1998: 12)
Hujan di musim semi, bermain
petak umpet, diatas tatami
Pada musim semi, bunga-bunga bermekaran, cuaca
cerah, banyak orang berjalan-jalan di di taman. Tetapi, tiba-tiba turun hujan,
membuat orang malas keluar rumah. Hujan gerimis ini
disebut harusame. Jalanan basah dan taman-taman sepi. Hisajo berusaha
menghibur anak-anaknya yang tidak bisa bermain di luar rumah dengan memberi
kesempatan bermain petak umpet di atas tatami
di dalam rumah. Dalam kakurenbo,
dibutuhkan ketelitian agar dapat menemukan persembunyian teman dan kerja sama
yang baik agar permainan dapat berjalan menyenangkan. Diinterpretasikan bahwa
perempuan harus teliti dan hati-hati mencari celah dan peluang, seperti dalam
bermain petak umpet, diperlukan ketelitian dan kewaspadaan. Ia harus berani bertindak dan menerima
risiko. Untuk menghadapi rintangan, dibutuhkan kerja sama. Untuk memperkuat kerja sama, dibutuhkan
persahabatan, keakraban, saling mengenal, dan memahami satu sama lain. Tatami no ue ‘di atas tatami’
ditafsirkan bahwa sebagai seorang ibu, Hisajo berharap anak perempuannya
berhati-hati dalam bertindak dan berusaha. Ia berusaha menjaga keakraban dengan
anaknya untuk mengetahui dan memahami keinginan mereka. Seperti banyaknya anyaman jerami untuk tatami, di luar sana banyak
peluang yang tersedia dan bisa diraih, tetapi kalau tidak hati-hati, sekecil
apa pun rintangan yang menghadang, ia bisa terjatuh dan menderita. Bagaikan
berjalan di atas tatami, bila tidak hati-hati akan tergores.
Di bidang sosial, hak-hak perempuan sangat terbatas.
Tradisi menghendaki perempuan mengurus keluarga. Masyarakat tradisional masa itu beranggapan bahwa
seorang gadis sudahlah cukup jika bisa menulis, membaca, berhitung (Bender
& Yachimoto, 2002). Kalaupun dibolehkan sekolah tinggi, ilmu yang
diperolehnya hanya untuk menunjang perannya sebagai istri/ibu rumah tangga
(menjahit, masak-memasak, merawat bayi/orang sakit, dilengkapi dengan pelajaran
kesenian (memainkan alat musik, berdansa). Hisajo ingin anaknya bisa
mengabdikan ilmunya untuk mewujudkan keinginan mereka dan bebas menentukan
pilihan, sebebas berlarian di atas tatami. Dari perspektif feminisme, perempuan
harus mandiri, agar dapat keinginannya (Fakih, 2001). Perempuan
tidak harus bergantung pada laki-laki (Djajanegara, 2000: 6-7).
3) Kasih Sayang dan Berharap
untuk Kebahagiaan Anak
Hako o dete yorisofu hina no onchigiri (Sugita dalam Koike, 1998: 13)
Mengeluarkan kotak, menjajarkan
boneka, janji suci
Dalam haiku ini, Hisajo
melukiskan kesibukan seorang ibu mempersiapkan boneka untuk festival Hina Matsuri. Hako o dete ‘mengeluarkan kotak’. Menjelang festival, Hisajo mengeluarkan kotak
berisi boneka hina. Suaminya yang
bekerja di sektor publik tidak mempedulikan hal-hal semacam itu. Kotak ini bisa
juga ditafsirkan sebagai norma tradisi yang menempatkan perempuan ke dalam
“kotak” aturan norma yang masih memandang rendah perempuan (Yachimoto, 2002;
cf. Jupriono & Andayani, 2009). Mengeluarkan boneka dari dalam kotak dapat
ditafsirkan sebagai Hisajo yang
mengeluarkan anak-anaknya dari tekanan-tekanan norma yang membatasi peran
perempuan dalam masyarakat.
Dalam haiku ini, Hisajo mengangkat tradisi tua
masyarakat tiap 3 Maret: Festival Boneka (Hina
Matsuri). Hina Matsuri berasal dari masa Heian (794-1185), sekitar 1000
tahun lalu, sebagai perayaan mengusir bencana agar anak perempuan memperoleh
kebahagiaan, kesehatan. Pada festival Hina Matsuri, boneka-boneka Hina dipajang sekitar 10-20 hari
sebelumnya dan begitu berakhir pada 3 Maret segera disimpan kembali. Menurut
cerita, bila boneka terus dipajang setelah festival berakhir, konon anak-anak
putri dalam keluarga yang bersangkutan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi
pengantin (Kedutaan Besar Jepang, 2003: 14).
Yorisofu hina no
‘menjajarkan boneka’ menggambarkan bahwa setelah boneka dikeluarkan dari kotak,
Hisajo menjajarkan boneka di hinadan
sesuai dengan urutannya. Kaisar dan permaisuri diletakkan di posisi paling
atas, kemudian menteri negara, para pembantu istana, pemain musik, serta
perkakas istana. Urutan ini harus benar dan rapi. Tetapi, bagi mereka yang
kurang mampu, yang dipajang cukup hanya boneka hina yang pokok saja, seperti
kaisar dan permaisuri. Dalam haiku ini pun Hisajo sebagai seorang ibu berharap
agar anak-anaknya memperoleh kebahagiaan, kesehatan, serta terhindar dari
bencana, seperti kebahagiaan yang dialami kaisar dan permaisuri di lingkungan
istana.
Onchigiri ‘janji suci’ antara kaisar dan permaisuri. Sepasang boneka merupakan
pasangan setia, selalu bersama. Ini harapan Hisajo yang ingin anak-anaknya
kelak bila menikah selalu memperoleh kebahagiaan abadi. Harapan ini menjadi
obsesi Hisajo justru karena ia sendiri gagal meraih kebahagiaan rumah tangga
(Bender & Yachimoto, 2002). Sikap Hisajo sesuai dengan pandangan kelompok
Feminis Moderat yang tidak menganjurkan perempuan melajang seumur hidup.
Feminisme Moderat menganjurkan perempuan mengembangkan diri agar mampu mandiri,
secara ekonomis maupun intelektual, karena kemampuan ini akan membuatnya
memiliki kedudukan sejajar dan tidak lagi bergantung pada laki-laki (Fakih,
2001). Sesuai dengan pandangan Feminisme Ideologis, tokoh yang ditampilkan atau
ide yang disampaikan, lazim merupakan gagasan sastrawannya (Djajanegara, 2000;
Sugihastuti, 2001).
4) Rela Berkorban
Haguki kayuku chikubikamuko ya hanagumori (Sugita dalam Koike, 1998: 12)
Gusi anak terasa gatal,
mengigit puting susu, kabut musim semi
Haguki kayuku ‘gusi anak terasa gatal’, pada waktu gigi mulai tumbuh, gusi akan
terasa gatal dan ini menandakan anak Hisajo yang mulai tumbuh besar. Kata gatal menunjukkan anak-anaknya yang
sudah mulai kreatif dan aktif melakukan banyak hal, menirukan segala kejadian,
selalu ingin mewujudkan keingintahuan mereka pada apa yang dilihatnya. Mereka
harus diberi bimbingan agar tidak menempuh jalan salah. Chikubikamuko ‘menggigit puting susu', karena merasa gatal pada waktu menyusu, anak akan
menggigit puting susu ibunya. Keunggulan air susu isep (ASI) tidak perlu
diragukan lagi. Menggigit puting susu menggambarkan pengorbanan Hisajo untuk
anaknya dengan menahan rasa sakit akibat gigitan anaknya demi masa depan anak
yang lebih baik. Karena keunggulan ASI yang sangat baik bagi anak, Hisajo ingin
anaknya tumbuh menjadi generasi unggul, sehingga sesakit apa pun
pengorbanannya, Hisajo rela melakukannya tanpa pamrih demi masa depan anak
(Yachimoto, 2002; Koike, 1998).
Hanagumori ‘kabut musim semi’ menggambarkan kesedihan mendalam. Musim semi
yang indah dengan banyaknya bunga yang bermekaran tiba-tiba berkabut. Musim
semi simbol kedamaian budaya Jepang, sedangkan kabut melambangkan pengaruh
asing. Sejak permulaan Restorasi Meiji, Jepang aktif “mengimpor” budaya Barat.
Lebih-lebih setelah kalah perang, mereka harus giat memasukkan unsur-unsur
budaya Eropa dan Amerika. Pengaruh berlebihan berdampak buruk bagi masyarakat,
terutama anak muda.
Perempuan sebagai ibu dalam haiku ini dicitrakan sebagai manusia
yang penuh pengorbanan dengan mendidik anak dan menjaganya agar terhindar dari
pengaruh negatif budaya asing. Hisajo berharap agar anaknya, walaupun hidup
modern, masih tetap bisa menjaga kelestarian budaya. Untuk itu, Hisajo berusaha
melindungi anaknya dari pengaruh budaya asing (Bender & Yachimoto, 2002).
Hisajo rela mengorbankan waktu di sela-sela kesibukannya agar selalu bisa
membimbing anak menghadapi masalah. Seperti pandangan Feminisme Ideologis,
seradikal apa pun, tokoh dalam karya sastra yang berposisi sebagai ibu senantiasa
dicitrakan bersikap berkorban dan melindungi anak-anaknya (Sugihastuti, 2001;
Jupriono, 2004).
5) Perhatian
Kana kaki umishi korani soramame o mukasekeri (Sugita dlm.
Yachimoto, 2002)
Bosan belajar kana, kubiarkan anak-anak, mengupas
kacang
Kana kaki umishi ‘bosan belajar kana’ menggambarkan keadaan anak-anak Hisajo yang
sudah mulai bersekolah. Karena keadaan pendidikan yang mulai maju, banyak
budaya asing mulai masuk ke Jepang, tak terkecuali bahasa. Dibandingkan dengan
Negara-negara Eropa dan Amerika, Jepang mulai belajar untuk berkembang. Hisajo
ingin anak-anaknya memperoleh pendidikan tinggi, sehingga menyekolahkan ke
sekolah favorit. Hisajo berharap anak-anaknya dapat belajar huruf kana,
terutama katakana, untuk menulis istilah asing (Wikipedia, 2005). Ketika Jepang
mengalami kemajuan pesat, dalam persaingan di segala bidang dibutuhkan
kemampuan berbahasa asing. Agar anak-anaknya mampu bersaing, Hisajo
mengharuskan anaknya mempelajarinya. Karena dituntut belajar dan menghafal
banyak huruf (hiragana, katakana), anak-anaknya mulai bosan. Belajar
katakana-hiragana memerlukan ketelitian, kesabaran. Korani ‘kubiarkan anak-anak’ menggambarkan sikap demokratis Hisajo.
Walaupun banyak aturan tradisional yang menghambat kemajuan perempuan dalam
berkarya, Hisajo tidak memaksa anak-anaknya mengikuti kehendaknya. Ia memberi
kebebasan anak-anaknya untuk memilih keinginan. Hal ini memang tidak sesuai
dengan pandangan masyarakat pada waktu itu, lagi pula semua anak Hisajo
perempuan.
Pada waktu masih muda, wanita Jepang meyiapkan diri
dengan belajar memasak, menjahit, merangkai bunga, dan tatacara upacara minum
teh (Pharr & Lo, 1994). Dalam hal pendidikan terdapat perbedaan mencolok
antara laki-laki dan perempuan. Sistem ganda dalam pendidikan di Jepang menimbulkan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan (Okumura, 1983; Yachimoto, 2002).
Tetapi, Hisajo tidak ingin anak-anaknya menjadi korban diskriminasi sistem
pendidikan. Hal ini diekspresikannya lewat haiku-haikunya. Dalam hal demikian,
tidak salah pandangan Feminisme Ideologis bahwa bagi seorang perempuan
sastrawan, karya-karyanya merupakan media ekspresi kebebasan berfikir, baik
yang berkaitan dengan anak, suami, keluarga, maupun persoalan masyarakat
(Djajanegara, 2000; Sugihastuti, 2001).
Soramame
mukasekeri ‘mengupas kacang’ simbol keinginan
Hisajo agar anaknya selektif dalam memilih jalan hidup. Bagaikan mengupas
kacang, harus hati-hati dan tidak salah memilih karena dari luar isinya tidak
terlihat. Walaupun dari luar kelihatan bagus, belum tentu isinya juga bagus.
Seperti kehidupan ini, yang penuh misteri, di luar sana banyak peluang yang
bisa diraih, tetapi di balik itu ada banyak hambatan, tantangan yang kadang
tidak tampak. Untuk itu, dibutuhkan perjuangan keras dan ketelitian menghadapi
tantangan. Agar mampu mandiri, pertama-tama perempuan harus memperoleh
pendidikan yang memungkinkan dia mengasah daya pikirnya. Dengan demikian, dia
sanggup mengembangkan diri untuk mencapai kemandirian ekonomis, yang pada
gilirannya akan memberinya kekuasaan (Djajanegara, 2000).
Upaya ini sesuai dengan pandangan semua aliran gerakan
feminisme. Seharusnya perempuan mempunyai cita-cita menjadi manusia yang
mandiri lahir batin. Kemandirian
mengangkat kedudukan harkatnya hingga sejajar dengan laki-laki, baik
dalam keluarga maupun masyarakat (Fakih, 2001). Hisajo ingin anaknya menjadi
perempuan mandiri dan mampu menghadapi kerasnya kehidupan. Untuk itu, Hisajo
mengajari anak-anaknya huruf-huruf kana.
Citra Perempuan sebagai Istri
1) Kekecewaan
Tabi
tsugu ya Nora tomonarazu kyoushi tsuma (Sugita dalam Koike, 1998: 79)
Menambal tabi, tidak seperti Nora, istri
guru
Tabi tsugu ya ‘menambal tabi’, tabi yang sering dipakai
akan berlubang dan menjadi kusam, kotor, bau, dan susah dibersihkan. Tabi
berlubang harus ditambal dan semua ini merupakan tugas istri. Sebagai ibu rumah
tangga, Hisajo harus bisa membereskan semua tetek-bengek rumah tangga, termasuk
kebutuhan suami dan anak, dari kebutuhan sulit sampai yang remeh semacam
menambal tabi tsb. Hisajo merasa kecewa karena pandangan orang yang meremehkan
pekerjaan itu. Padahal menambal tabi bukanlah hal mudah, dibutuhkan ketelitian
dan kesabaran agar jahitannya tidak mudah lepas.
Pada Nora
tomonarazu ‘tidak seperti Nora’, Hisajo membandingkan dirinya dengan Nora,
seorang istri dan pahlawan wanita dalam cerita A Doll House (Rumah Boneka) karya Henrik Ibsen. Nora, dalam cerita
itu, memutuskan meninggalkan suami dan anak-anak untuk meraih sesuatu yang
bermakna (Djajanegara, 2000). Hisajo mempunyai keinginan agar bisa seperti
Nora. Ia merasa kecewa dan tidak bahagia dengan perkawinannya. Ungkapan Nora tomonarasu ‘tidak seperti Nora’
dapat diinterpretasikan sebagai kekecewaan Hisajo sebagai istri yang
selalu di bawah kekuasaan suami, sekaligus mencerminkan keinginan bertindak
seperti tokoh Nora tersebut. Akhirnya, ia pergi ke Tokyo selama setahun, tinggal bersama
ibunya, meninggalkan suami dan anak-anaknya. Tetapi, akhirnya Hisajo kembali ke
keluarganya di Kokura dan berjanji tidak akan meninggalkan suami dan anak-anak.
Ia tidak bisa seperti Nora, yang tega dan berani menghadapi semua masalah
keluarga dan pandangan masyarakat walaupun seharusnya Hisajo mampu
menghadapinya karena ia memiliki pendidikan yang cukup. Meninggalkan anak
memang bukan tindakan baik. Tetapi fokus yang dilihat di sini adalah
“keberanian memutuskan apa yang baik bagi diri sendiri”. Dari sini, gerakan
feminisme mendukung keputusan Hisajo mengembangkan diri terlebih dahulu sebelum
menikah (Jupriono, 2004). Perempuan dianjurkan memperoleh ilmu setinggi mungkin
agar mampu mandiri tanpa harus menggantungkan hidupnya kepada orang lain dan
dia sanggup mencapai kedudukan setingkat dengan kedudukan laki-laki dalam
masyarakat (Sugihastuti, 2001).
Kyoushi tsuma ‘istri guru’ menggambarkan kehidupan Hisajo sebagai istri guru
karena suaminya, Unai, bekerja sebagai kepala sekolah, sebuah posisi yang
sangat dihormati di Jepang sebelum perang. Hisajo merasa kecewa pada suami.
Hisajo berharap Unai, sebagai guru, mampu berfikir modern, sehingga tercipta
keakraban dan kebahagiaan dalam keluarga; Unai diharapkan mampu mendorong istri
agar bisa menjadi perempuan maju. Tetapi, kenyataannya, walaupun mempunyai
pendidikan tinggi dan keahlian banyak serta sebagai istri guru, Hisajo masih
merasa tidak bahagia dan merdeka. Hisajo merasa, tidak ada perbedaan menjadi
istri guru atau istri orang biasa. Konstruksi sosial budaya menghendaki istri
tinggal berkutat di rumah mengurusi keluarga karena dinilainya tugas mulia.
Feminisme Liberal dan Sosialis, misalnya, tidak
menganggap remeh rumah tangga atau pekerjaan rumah tangga (Fakih, 2001).
Bahkan, kenyataannya, kerja utama kaum perempuan adalah memiliki pemahaman
(kembali) dan penghargaan akan pekerjaan rumah, sehingga perempuan yang hanya
melakukan pekerjaan ini justru dibenarkan, dipahami, dan dihargai. Jika
pekerjaan rumah mendapat pengakuan, kaum pria pun mungkin tidak hanya
menghargainya saja, namun mungkin pula turut melakukannya. Dengan demikian,
pekerjaan istri di sektor domestik (Budiman, 1982) pun harus dihargai seperti
menghargai pekerjaan suami di sektor publik. Maka, kekecewaan Hisajo terhadap
sikap suaminya terasa mendapat justifikasi ideologis dari Feminisme Ideologis
(Djajanegara, 2000).
2) Menderita
baibaru o yomu sabishisa yo hana
no ame (Sugita dalam
Koike, 1998: 6)
Sunyi, membaca injil, bagaikan
hujan di musim bunga
Sabishisa ‘sunyi’ menggambarkan
keadaan sepi dan tidak berisik. Kondisi inilah yang dialami Hisajo, yang
kesepian. Tidak ada komunikasi suami istri yang menyenangkan selama
perkawinannya dengan Unai. Untuk mencari ketenangan dalam hidupnya, Hisajo
memeluk Kristen. Hisajo sendirian menghadapi segala macam rintangan untuk
menuju cita-citanya, terutama cara pandang masyarakat, termasuk suaminya
sendiri, yang masih tradisional pada masa itu yang mengharuskan wanita menjaga
kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus
rumah tangga (Bender & Yachimoto, 2002). Baiboru o yomu ‘membaca injil’ simbol
Hisajo yang masuk Kristen. Memang, ia dibabtis pada usia 30 tahun. Dengan
membaca injil, Hisajo berharap
akan mendapat ketenangan dan bisa mencari solusi agar bisa memperbaiki
hubungannya dengan suaminya. Ia ingin keluarganya bahagia dan suaminya mau
menghormati dan mendengarkan pendapat-pendapatnya.
Sejak Restorasi Meiji, Jepang berusaha memodernisasikan diri dan,
bagi mereka, modernisasi berarti Eropanisasi dan Eropanisasi tidak lepas dari
Nasrani. Hisajo jarang ke gereja walaupun ia Kristen. Dengan masuk Kristen,
Hisajo berharap mendapat penghargaan, penghormatan, dan kebebasan yang sama
dengan laki-laki. Tetapi, ketika membaca injil, Hisajo merasa ada sesuatu yang
tidak sesuai dengan harapannya (Uda, 1998). Dalam ajaran Kristen, kedudukan
wanita subordinat-inferior. Seperti dalam agama mana pun, dalam Protestan dan
Katolik perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah di bawah laki-laki.
Gereja Katolik menganggap wanita sebagai makhluk kotor dan wakil iblis. Dalam
kitab injil dikutip ucapan Santo Paulus: “and
the head of every women is man. Let your women be silent in the churches, for
it not permitted unto them to speak”.
Selanjutnya, Injil juga mengutip ucapan Santo Petrus: “ye wives, be in subjection to your own husbands” (para istri
hendaknya tunduk kepada para suami) (Djajanegara, 2000). Kedudukan perempuan
yang inferior sangat bertentangan dengan tujuan gerakan feminisme karena
menghambat perkembangan wanita untuk menjadi manusia seutuhnya.
Pada hana no ame ‘bagaikan
hujan di musim bunga’, pada waktu musim bunga banyak bunga bermekaran, bau
harum merebak di mana-mana. Tiba-tiba turun hujan, sehingga suasana menjadi
tidak menyenangkan. Bunga banyak dipakai sebagai simbol perempuan serta
sifat-sifatnya. Misalnya, perempuan Jepang dicitrakan sebagai bunga Yamato (Yamato Nadeshiko), yang rajin, lembut,
patuh (Fahri, 2002: 4). Hujan ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran agama yang
harus ditaati pemeluknya. Dalam agama mana pun ajaran-ajarannya diharapkan
dapat memperkokoh iman dan bisa mendapatkan ketenangan. Tetapi, adanya tafsir
agama yang membuat kedudukan inferior perempuan malah membuat perempuan menjadi
menderita. Karena kuatnya hujan yang menerpanya, bunga-bunga berguguran. Salah
satu yang gugur itu
adalah Hisajo, yang mulai maju dan mengembangkan bakatnya, tetapi karena adanya
tafsir agama yang harus dipatuhinya, menjadi ciut nyali dan merasa tidak bebas
menyuarakan keinginan. Keadaan ini membuatnya menderita karena tafsir agama ini
secara tidak langsung mengidentifikasikan perempuan sebagai kelas tertindas dan
kaum laki-laki sebagai kelas borjuis atau penindas (Budiman, 1982).
3) Berani dan Mandiri
Haritohosu
onna no iji ya ai yukata
(Sugita dalam Koike, 1998: 47)
Semangat yang gigih, wanita, Yukata nila
Semangat gigih menggambarkan keberanian Hisajo mengambil sikap dan
tindakan tegas dalam melawan aturan tradisional yang mengekang kebebasan
perempuan. Pada zaman Taisho, wanita yang suci hidup dalam bayang-bayang
suaminya, melayaninya, menjaga rumah tangga dan anak-anaknya. Tetapi, Hisajo
berpandangan modern, pintar, berani, sehingga mampu mengatasi pandangan
tradisional tentang status istri (Bender & Yachimoto, 2002). Walaupun untuk
keuangan keluarga Unai masih bertanggung jawab, Hisajo merasa mampu
menghasilkan uang, menambah perekonomian keluarga. Ia menjahit dan menulis
haiku. Ia melakukannya karena rasa sayang pada anak-anak. Hisajo ingin anaknya
bersekolah di sekolah favorit.
Onna ’wanita’
yang dimaksud adalah Hisajo sebagai ibu rumah tangga. Sebagai perempuan hebat,
Hisajo menulis haiku. Dalam menulis haiku, ia tidak pasif menggunakan tema alam
saja (Bender & Yachimoto, 2002). Haiku yang dihasilkan merupakan refleksi
keinginan, gagasan, yang kadang kontras dengan norma adat sosial (Yachimoto,
2002). Haiku-haiku yang dibuatnya mengangkat kondisi alam, keluarga dan
kehidupan rumah tangga, serta pandangan masa depan (Bender & Yachimoto, 2002).
Ai yukata’ yukata nila’ menggambarkan kesederhanaan wanita pada masa itu.
Biasanya yukata dicetak warna biru,
tetapi saat ini banyak jenis dan warna. Disain yukata dengan lengan lebar seperti sayap menggambarkan bahwa
sebenarnya wanita mempunyai kesempatan luas mengembangkan potensi, tetapi tidak
bisa tercapai secara utuh karena adanya aturan tradisional seperti obi yang mengikat yukata dengan kuatnya agar tidak terlepas. Walaupun kelihatan indah
dan anggun dengan obi berwarna-warni
melilitnya, sebenarnya itu membuat sesak. Bermacam-macam bentuk ikatan obi yang indah mampu menutupi
penderitaan itu. (Wikipedia, 2005).
Hisajo perempuan mandiri, memiliki potensi, dan berhasil
tanpa tergantung pada suaminya. Hisajo akhirnya sadar bahwa dia mempunyai hak
dan kewajiban yang sama untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman
seluas-luasnya dalam bermasyarakat agar sanggup meraih kedudukan sederajat
dengan laki-laki. Walaupun banyak aturan masyarakat mengekang kebebasannya
seperti lilitan obi, Hisajo tidak manyerah. Upaya ini sesuai dengan gerakan
feminisme yang senantiasa menghimbau perempuan untuk memperjuangkan kepentingan
mereka sebelum memperhatikan kepentingan masyarakat (cf. Budiman, 1982).
Haiku-haiku Hisajo pun, menurut perspektif Feminisme Iideologis, sarat dengan
gagasan-gagasan untuk berani mewujudkan kepentingan tersebut (Djajanegara,
2000; Sugihastuti, 2001).
4) Penurut
Gikyoku yomu ya toya no shokki tsukeshimama (Sugita dalam Koike, 1998: 79)
Membaca scenario, peralatan
makan musim dingin, direndam
Gikyoku yomu ‘membaca skenario’ menggambarkan bahwa Hisajo sangat senang membaca
cerita drama, tak terkecuali drama terjemahan dari luar negeri (Bender &
Yachimoto, 2002). Pada masa Meiji, kesusastraan Barat melanda Jepang bagaikan
gelombang besar, sehingga memperkaya kesusastraan Jepang. Karya-karya sastra
Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang secara besar-besaran (Mangandaralam,
1993: 26). Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan Hisajo, termasuk
keprihatinannya akan keterbelakangan perempuan Jepang yang masih terikat oleh adat tradisi yang menghambat kemajuan
mereka (Okamura, 1983).
Toya no shokki ‘peralatan makan musim dingin’ menggambarkan pekerjaan
Hisajo sebagai istri yang tidak jauh dari rumah tangga, termasuk mengurusi
peralatan makan musim dingin di dapur. Dalam keluarga, secara umum sebelum
perang, perempuan bangun duluan pada pagi hari dan makan setelah semua selesai
(Pharr & Lo, 1994: 1704). Musim dingin membuat orang jadi malas, lebih
nikmat kalau duduk di dekat perapian, menghangatkan diri. Tetapi, sebagai
seorang istri, Hisajo harus selalu menyiapkan segala urusan suaminya dalam
kondisi apa pun. Walaupun mandiri dan sukses meraih keinginannya, dalam
sikapnya sehari-hari, Hisajo masih tetap penurut dan mendahulukan kepentingan
suaminya. Hal ini terlihat dari anggapannya bahwa pria memegang dominasi dan
perempuan tersubordinasi. Dalam cara pandang Feminisme Ideologis, sikap Hisajo
dianggap sesuai sebab kebebasan yang diutamakan adalah kebebasan berpikir—dan
bukan kebebasan bertindak radikal (Sugihastuti, 2001).
Pada tsukeshimama ‘direndam’,
ditunjukkan bahwa karena Hisajo gemar sekali membaca, setelah selesai makan,
paralatan makan malam direndam. Hisajo tidak langsung mencucinya, seharusnya
Hisajo sudah membereskan semua urusan rumah tangga. Hisajo mengambil kesempatan
pada malam hari setelah suaminya beristirahat, dengan membaca cerita drama
kesukaannya. Direndam juga dapat ditafsifkan sebagai ‘mengubur dalam-dalam
keinginan Hisajo untuk bisa bebas mengembangkan diri’. Tindakan ini di sisi
satu bertentangan dengan feminisme karena merendahkan derajat perempuan dengan
bertindak sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi suami, tetapi, disisi lain,
tindakan ini juga simbol kecerdikan dan konsistensi melancarkan resistensi
dalam kondisi seterikat apa pun oleh norma sosial yang memerangkap perempuan
(Fakih, 2001; Jupriono & Andayani, 2009).
Citra Perempuan
di Lingkungan Publik
Kepedulian terhadap Dinamika Politik Bangsa
Yugao ya hirakikakarite hidafukaku (Sugita dalam Koike, 1998: 32)
Bunga bulan, mekar setengah,
sangat kusut
Bunga bulan melambangkan Kaisar Hirohito yang memimpin
Jepang pada 1926 di Masa Showa. Di bawah
Hirohito, perindustrian Jepang berkembang pesat. Pemerintahan pada
mulanya bercorak parlementer. Ekonomi dunia saat itu dilanda depresi dan
resesi. Daerah pasaran hasil industri direbut Amerika, Inggris, dan Prancis.
Ini menghalangi Jepang untuk mengembangkan industrinya (Mangandaralam, 1993).
Pada masa ini banyak kelompok aktivis perempuan bekerja sama untuk menggunakan hak-haknya;
yang dikepalai oleh Fusen Kakutoku Domei. Di bawah kabinet Hamaguchi Osachi,
ada perubahan pendapat tentang wanita dan pemerintah pun mendukung pernyataan
hak-hak wanita sipil melalui Majelis Rendah di Diet. Walaupun tidak ikut aktif,
Hisajo tetap peduli dengan keadaan negara. Hal itu ia tuangkan dengan menulis
haiku yang mencerminkan realitas sosial. Haiku Hisajo tidak melulu berisi
perubahan musim (Yutsuya, 2001), tetapi sebagai media ekspresi-representasi
realitas sosial dan refleksi gagasannya tentang pembebasan hak-hak perempuan.
Hal ini amat sesuai dengan pandangan Feminisme Ideologis (Jupriono, 2004;
Djajanegara, 2000).
Hirakikakarite ‘mekar setengah’, bunga bulan tidak sanggup mekar sempurna. Ia
berusaha melawan, tetapi tidak mampu; ia putus asa. Hal ini menggambarkan nasib
Kaisar Hirohito yang tidak bisa mengontrol perekonomian, ibarat bunga baru
mekar setengah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya menjadi lambang
saja; pemerintahan dikuasai militer. Keinginannya menjadikan Jepang sebagai
negara maju di Asia tinggal impian. Tingkat kehidupan rakyat sudah barang tentu
mempengaruhi nasib kaum ibu. Bila suatu keluarga menderita kekurangan, umumnya
kaum ibulah yang paling banyak menderita. (Uchida, 1997). Sebagai ibu rumah tangga, Hisajo juga
merasakan penderitaan akibat dnamika politik bangsa yang tidak terkendali, yang
mempengaruhi perekonomian masyarakat. Pemerintah hanya memikirkan perebutan
kekuasaan saja, tanpa memikirkan nasib rakyatnya yang menderita.
Hidafukaku ‘sangat kusut’, bunga bulan, bila terkena sinar matahari, akan
layu, kusut. Saat itu matahari belum muncul dan malam belum berakhir, bunga
bulan yang baru mekar setengah sudah kelihatan layu. Sepanjang malam ia tidak
bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa dipercaya lagi dan membuat kecewa
bunga-bunga lain. Hal ini merefleksikan kelemahan pemerintah, yang
partai-partai politiknya tidak dipercayai rakyat; mereka dianggap gagal mengatasi kesulitan ekonomi. Keadaan buruk
ini ditunggangi para pemimpin militer ekstrem dengan menghidupkan kembali
semangat Bushido, dan akhirnya
memegang tumpuk pemerintahan, sedang kaisar hanya lambang belaka
(Mangandaralam, 1993).
Walaupun tidak langsung terjun ke dunia politik, Hisajo
dapat merasakan penderitaan Kaisar Hirohito. Sebagai wujud dukungannya terhadap
kaisar, Hisajo menulis haiku-haiku yang berupa sindiran terhadap militer.
Hisajo berharap militer mengembalikan kekuasaan pada kaisar agar negara menjadi
makmur. Bila keadaan politik stabil, perekonomian pun akan stabil., Dampak ini
sangat berarti bagi Hisajo sebagai ibu rumah tangga. Mereka kesulitan
menghadapi partai oposisi yang berat dari walikota, bahkan gerakan subversif
yang lemah pun gagal memasuki Majelis Tinggi (House of Peers). Akhirnya,
gerakan wanita sayap kanan bersama-sama partai oposisi lain berusaha
mengurangi tuntutan. Dalam hal ini, sebagai perempuan feminis, Hisajo juga
berharap mampu mencapai kesetaraan derajat dengan laki-laki, sehingga tidak
diremehkan. Tetapi, keadaan negara yang tidak kondusif membuat kelompok feminis
terpuruk bagaikan bunga bulan yang kusut. Hisajo hanya bisa memberi dorongan
lewat ide-ide pembebasannya melalui haiku-haikunya.
Spirit Perjuangan Meraih Kebebasan
Maiagaru habataki tsuyoshi tazuru hyakuba (Sugita dalam Koike, 1997: 91)
Menuju ke angkasa, mengepakkan
sayapnya, kekuatan 100 burung bangau
Dalam haiku ini menuju
ke angkasa dari konteks sosiobudaya berarti proses perjuangan panjang
menuju kesetaraan, kebebasan, keadilan perempuan. Angkasa merupakan tempat yang
tinggi, luas, susah dicapai. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan kekuatan besar
dan kemauan kuat. Pada haiku ini angkasa
yang dimaksud adalah kebebasan perempuan memperoleh hak-haknya dalam berbagai
bidang dan luasnya kesempatan bila ingin mencapainya. Hisajo juga ingin
mendapatkan kebebasan untuk mencapai semua keinginan dan mengembangkan
bakat-bakatnya. Hisajo ingin menuju ke tempat ia dihargai, diperlakukan adil,
dan didengarkan pendapat-pendapatnya. Burung bangau yang dimaksud adalah
kelompok feminis di Jepang yang mulai unjuk gigi. Kelompok feminis pertama, Seitosha (Kelompok Kaos Kaki Biru), didirikan oleh Hiratsuka Reicho; setelah itu,
Shin Fujin Kyoukai (Perkumpulan
Wanita-Wanita Baru) yang dikelola oleh Raicho, Oku Mumeo, dan Ichikawa Fusae;
kemudian Fusen Kakutoku Domei (Persatuan Hak Pilih Wanita). Walaupun
mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, mereka tetap tidak putus asa.
Dinamika kelompok feminis ini bagaikan bangau, yang dari luar kelihatan cantik
anggun, tetapi di balik itu menyimpan kekuatan luar biasa. Ini simbol
perjuangan kelompok feminis Jepang yang berjumlah amat kecil, tetapi ketahanan
resistensinya tidak surut sepanjang waktu. Ketika terbang, bangau membentuk
segitiga, tua di depan dan muda di tengah (Wikipedia, 2005). Hal ini, dalam
perspektif feminisme, menunjukkan bahwa strategi perjuangan itu direncanakan
dan terorganisasi, bukan gerakan liar, barbar, dan alami.
Habataki ‘mengepakkan sayapnya’ dapat ditafsirkan bahwa para feminis dalam
berjuang senantiasa mencari dukungan dari berbagai pihak. Mereka tidak hanya
merangkul golongan terpelajar, tetapi juga buruh pabrik dan warga sipil.
Seperti bangau tua terbang, para feminis ini berada di depan untuk
memperjuangkan hak-hak semua perempuan. Mereka melindungi para perempuan bawah,
seperti bangau tua melindungi bangau muda.
Hisajo tidak terjun langsung dalam organisasi kelompok
feminis. Ia mendukung gerakan feminis melalui haikunya. Dalam perspektif
Feminisme Ideologis, tindakan kultural Hisajo ini justru amat tepat sebab
sebuah perjuangan pertama-tama harus dilandasi oleh kebebasan berpikir.
Kebebasan itu diwujudkan dalam karya sastra, termasuk haiku (Djajanegara,
2000). Kekuatan 100 burung bangau, dapat diinterpretasikan sbb.
Walaupun jumlah aktivis feminisme sedikit, kemauan mereka cukup keras. Spirit perjuangan
mereka untuk kebebasan tidak pernah surut. Banyaknya rintangan dari berbagai
pihak, terutama justru dari pemerintah, tidak menyurutkan spirit mereka.
Perjuangan ini akan dilakukan sepanjang masa, bak bangau yang angka
reproduksinya rendah, tetapi berumur panjang. Hisajo termasuk salah satu dari
“seratus burung bangau” itu. Hisajo tidak berhenti menyuarakan keinginan, visi,
serta misi perempuan Jepang pada masa itu sampai ia sakit dan akhirnya
meninggal.
Kesimpulan
Dari 11 haiku karya Sugita Hisajo, dapat ditarik butir-butir
simpulan sbb. (1) Citra perempuan di lingkungan domestik dalam masyarakat
Jepang dimanifestasikan ke dalam citranya
sebagai ibu dan istri. Sebagai ibu, perempuan dicitrakan sabar, bersahabat
dan mendidik, siap berkorban, penuh kasih dan berharap akan kebahagiaan anak.
Sebagai istri, perempuan dicitrakan siap kecewa, menderita, patuh, di samping
berani dan mandiri. (2) Perempuan di publik masyarakat Jepang dalam haiku karya
Sugita Hisajo dicitrakan sebagai manusia yang peduli dinamika politik bangsa
serta berspirit perjuangan meraih kebebasan.
Berdasarkan hasil penelitian, seperti tampak dalam kesimpulan,
berikut ini diajukan beberapa saran. Pertama, karena keterbatasaan peneliti
dalam membahas penelitian ini, diharapkan penelitian selanjutnya dapat
memanfaatkan teori-teori kritik sastra feminis ragam yang lain di luar
feminisme ideologis. Kedua, karena keterbatasan data yang diperoleh peneliti,
para peneliti berikutnya diharapkan dapat menjaring data dari sumber lain.
Ketiga, penelitian berpendekatan kritik sastra feminis ini hanya memfokuskan
penelitian tentang citra perempuan. Maka, diharapkan peneliti selanjutnya dapat
membahas pokok persoalan feminisme yang lain, misalnya ketimpangan gender,
kekerasan perempuan, pembagian kerja secara seksual, dominasi dan subordinasi,
emansipasi, dan sebagainya. Diharapkan pengembangan kajian penelitian ini dapat
menggugah kesadaran semua pihak serta mengangkat harkat dan martabat
perempuan
Daftar Pustaka
Bender, D.W. dan E.
Yachimoto. 2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan: Echoes Over Hills: The Haiku of Sugita Hisajo”. www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets.shtml
Budiman, A. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta:
PT Gramedia.
Djajanegara, S.. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fakih, M. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Furuta, S. 1994. “Haiku: An
Art for All Seasons”. Japan an Illustrated Encyclopedia. Hal
1704-1707. Tokyo: Kodansha Ltd.
Jupriono, D. 2004. “Teori-teori
Sastra Marxis: Prinsip Dasar dan Aplikasi”. Parafrase 04(02) Agustus: 142-152.
Jupriono,
D. & A. Andayani. 2009. “Ketimpangan Gender dalam Kosakata dan Ungkapan
Bahasa Indonesia”. www.sastra-bahasa.blogspot.com/2009
Pharr, S.J.
& J.P.C. Lo. 1994. “A Woman
Place”. Japan an Illustrated Encyclopedia. Hal 486-489. Tokyo:
Kodansha Ltd.
Kedutaan Besar Jepang. 2000a. “Haiku”. Aneka Jepang. No. 283-284. Hal. 19.
Koike, K. 1998. Sugita Hisajo no Shugaku. Tokyo: Koike
Keiko.
Mangandaralam, S. 1993. Mengenal Jepang Negara Matahari Terbit.
Bandung: PT Remaja Rasdakarya.
Okamura, M. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rosidi, A. 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang.
Jakarta: Erlangga.
Semi, A. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sugihastuti. 2001. “Cerita
sebagai Wacana: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Hal. 225-256 dalam Sumijati
As. (ed.), Manusia dan Dinamika Budaya.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM dan Bigraf Publishing.
Uchida, R. 1997. Ijime no Nekko, Sumber Pelecehan.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Uda, K. 2002. NHK Ningenkouza. Joseihaijin no Keifu.
Tokyo: Nihon Houzousuppankyoukai.
Watanabe, M.
2003. “Hujan Bagi Orang Jepang”. Aneka
Jepang. 30: 12-13.
Wikipedia. 2005. “Taisho
Period” “Kana” “Grus” “Yukata” “Tabi” “Tatami” “Hanetsuki”. http://en.wikipedia.org/wiki/
Yachimoto, E.
2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan. Haiku of Sugita Hisajo”. www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets2.shtml
Yutsuya, R. 2001.
“History of Haiku”. www.big.or.jp.loupe /links/ehisto/
ehisajo.shtml
25 Mei 2015 pukul 16.53
salam hormat bapakJupriono,
saya wiru , seorang mahasiswa sastra jepang. apakah bapak bisa membantu saya untuk memberikan sedikit analisa tentang perempuan jepang pada sebuah puisi yg sedang saya coba analisis saat ini? jika bapak berkenan membantu saya berharap bisa sharing beberapa puisi untuk bapak bisa bantu memberikan sedikit saja analisis agar bisa memberikan bukaan pemikiran dalam analisa saya. terimakasih.