DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Citra Perempuan dalam Haiku-Haiku Sugita Hisajo: Kritik Sastra Feminisme Ideologis



Retno Tri Haryati, alumni S-1 Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Untag Surabaya
Hj. Endang Poerbowati, Dra., M.Pd., dosen Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Untag Surabaya
D. Jupriono, Drs. M.Si., pegiat Pusat Penelitian Sastra & Strategi Kebudayaan (PPSSK), LPPKM, Untag Surabaya

Abstrak. Fokus kajian penelitian ini adalah citra perempuan di lingkungan domestik dan publik dalam masyarakat Jepang dalam haiku karya Sugita Hisajo. Perempuan sebagai ibu dalam haiku Sugita Hisajo dicitrakan sebagai manusia yang sabar, bersahabat dan mendidik, penuh kasih sayang dan berharap akan kebahagiaan anak, rela berkorban, dan perhatian. Sedangkan sebagai istri, perempuan Jepang dicitrakan sebagai manusia yang harus siap mengalami kekecewaan, menderita, dan penurut, serta berani dan mandiri. Perempuan di lingkungan publik dicitrakan peduli terhadap dinamika politik bangsa serta mempunyai spirit perjuangan meraih kebebasan. 
Kata kunci: citra perempuan, feminisme ideologis, patriarki, lingkungan domestic, publik

Pendahuluan 
Salah satu fokus kajian yang menarik dan sedang menjadi trend saat ini adalah citra perempuan dalam kesusastraan sebuah bangsa. Peran dan kedudukan perempuan akan menjadi sentral pembahasan kajian ini. Akan ditelaah lebih dalam isi haiku karya Sugita Hisajo sebagai cerminan citra perempuan Jepang pada masa Meiji, Taisho, dan Showa. Lebih spesifik, akan ditelaah: (1) citra perempuan di lingkungan domestik serta (2) citra perempuan di lingkungan publik, dalam masyarakat Jepang seperti yang tercermin dalam haiku karya Sugita Hisajo.
Analisis haiku-haiku karya Sugita Hisajo ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, khususnya kritik sastra feminisme ideologis. Dengan metode deskriptif, data diambil dengan teknik dokumentasi dari Sugita Hisajo Kugashu (Koike Keiko, 1998, 94 halaman), kumpulan haiku karya Sugita Hisajo serta website www.worldhaikureview.org/1-3/womenpoets2.shtml. Dengan instrumen kreatif (human instrument) (Jupriono, 2003), data dianalisis dengan teknik analisis isi (content analysis).

Landasan Teori: Kritik Sastra Feminisme
Kritik sastra feminisme memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan dalam sistem kehidupan. Ada asumsi: wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra (Sugihastuti, 2001).
Sebagai gerakan sosial, feminisme muncul dari ketidakpuasan terhadap sistem patriarki pada masyarakat (Millet dlm. Sofia & Sugihastuti, 2003: 23) sebagai sebab penindasan terhadap perempuan. Ini mengacu pada kondisi realitas sosial yang memosisikan bapak sebagai pemegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang pendapatan, dan pemegang keputusan (Jupriono & Andayani, 2009): lelaki mengontrol perempuan. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sugihastuti, 2001).
Ada beberapa ragam kritik sastra feminisme. Kritik Sastra Feminisme Ideologis melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Pusat perhatian wanita pembaca adalah citra serta stereotipenya dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab wanita sering tidak diperhitungkan dalam kritik sastra. Kritik Sastra Feminisme Ginokritik mengkaji penulis-penulis wanita, termasuk sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan, dan kreativitas wanita, asosiasi profesi penulis wanita, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita. Kritik Sastra Feminisme Sosialis/Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang konflik kelas-kelas sosial. Kritik Sastra Feminisme Psikoanalitik memandang pembaca wanita biasa mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh wanita, sedang tokoh tersebut umumnya merupakan cermin penciptanya. Di samping itu, karya sastra juga dianggap sebagai ekspresi bawah sadar pengarangnya (wanita). Kritik Sastra Feminisme Lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh wanita. Tujuan utamanya mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kritik Sastra Feminisme Ras/Etnik ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-etnik beserta karyanya dan berusaha mendapat pengakuan dalam kajian wanita kanon sastra tradisional dan sastra feminis (Djajanegara, 2000; Jupriono, 2004).

Analisis Data
Citra Perempuan di Lingkungan Domestik
Citra Perempuan sebagai Ibu
1) Sabar

Sono naka ni hanetsuku wako no koesumeri (Sugita dalam Koike, 1998: 80)
Di sana, terdengar suara anak, bermain badminton

Pada haiku ini digambarkan suasana ketika anak-anak Hisajo bermain hanetsuki. Sono naka ni ‘di sana’ menunjukkan tempat bermain (halaman rumah). Halaman luas dapat digunakan dengan leluasa untuk memantulkan bola bulu. Karena hanetsuki merupakan permainan yang hanya dilakukan oleh anak perempuan, maka pada baris pertama ini, tempat yang luas ini menggambarkan kesempatan luas bagi perempuan untuk belajar mengembangkan bakatnya. Pemain harus sabar mengikuti arah bola bulu; penonton harus sabar melihat ke mana arah bola. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan harus aktif dan bersemangat tinggi dalam mencapai cita-cita. Mereka harus lincah, bekerja keras, dan sabar untuk dapat mengejar apa yang diinginkan walaupun masih banyak aturan dalam masyarakat yang mengekang mereka.  
Wako no koesumeri ‘terdengar suara anak’, anak di sini adalah dua anak-anak Hisajo yang semuanya perempuan, Masako dan Mitsuko. Hisajo berumur 22 tahun waktu kali pertama menjadi ibu. (Bender & Yachimoto, 2002). Sebagai ibu, Hisajo dengan sabar menemani anak-anaknya bermain, melihat dan mengikuti arah bola dan sekaligus mengetahui kemampuan anak-anaknya. Terdengar suara anak, ditafsirkan sebagai pendapat dan keinginan cita-cita anak-anak Hisajo. Hisajo tidak memaksa anak-anak untuk mengikuti kehendaknya. Hisajo dengan sabar membimbing dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan apa yang menjadi cita-citanya—seperti bermain hanetsuki—tanpa harus bergantung pada kultur sosial yang menghambat kemajuan mereka. Sebagai ibu, Hisajo berpandangan bahwa perempuan mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki. Hisajo tidak ingin anaknya setelah dewasa langsung menikah seperti tuntutan tradisional masyarakat pada masa itu. Untuk itu, Hisajo menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit (Bender & Yachimoto, 2002).
Karya sastra pun sering mencitrakan perempuan seperti yang menjadi tuntutan masyarakat dan inilah yang hendak digugat pandangan ini. Karya sastra, dengan demikian, harus membebaskan cara berfikir perempuan (Djajanegara, 2000: 28). Dalam perspektif gerakan feminis, upaya Hisajo jelas sangat kondusif. Gerakan feminis menganjurkan kemandirian berfikir, agar perempuan diperhitungkan dan mampu menempati kedudukan sejajar dengan laki-laki. Feminisme radikal, misalnya, menganggap perkawinan atau domestisitas menghambat perkembangan potensi perempuan (Fakih, 2001). 

2) Bersahabat dan Mendidik

Harusame ya tatami no ue no kakurenbo (Sugita dalam Koike, 1998: 12)
Hujan di musim semi, bermain petak umpet, diatas tatami

 Pada musim semi, bunga-bunga bermekaran, cuaca cerah, banyak orang berjalan-jalan di di taman. Tetapi, tiba-tiba turun hujan, membuat orang malas keluar rumah. Hujan gerimis ini disebut harusame. Jalanan basah dan taman-taman sepi. Hisajo berusaha menghibur anak-anaknya yang tidak bisa bermain di luar rumah dengan memberi kesempatan bermain petak umpet di atas tatami di dalam rumah. Dalam kakurenbo, dibutuhkan ketelitian agar dapat menemukan persembunyian teman dan kerja sama yang baik agar permainan dapat berjalan menyenangkan. Diinterpretasikan bahwa perempuan harus teliti dan hati-hati mencari celah dan peluang, seperti dalam bermain petak umpet, diperlukan ketelitian dan kewaspadaan. Ia harus berani bertindak dan menerima risiko. Untuk menghadapi rintangan, dibutuhkan kerja sama. Untuk memperkuat kerja sama, dibutuhkan persahabatan, keakraban, saling mengenal, dan memahami satu sama lain. Tatami no ue ‘di atas tatami’ ditafsirkan bahwa sebagai seorang ibu, Hisajo berharap anak perempuannya berhati-hati dalam bertindak dan berusaha. Ia berusaha menjaga keakraban dengan anaknya untuk mengetahui dan memahami keinginan mereka. Seperti banyaknya anyaman jerami untuk tatami, di luar sana banyak peluang yang tersedia dan bisa diraih, tetapi kalau tidak hati-hati, sekecil apa pun rintangan yang menghadang, ia bisa terjatuh dan menderita. Bagaikan berjalan di atas tatami, bila tidak hati-hati akan tergores.
Di bidang sosial, hak-hak perempuan sangat terbatas. Tradisi menghendaki perempuan mengurus keluarga. Masyarakat tradisional masa itu beranggapan bahwa seorang gadis sudahlah cukup jika bisa menulis, membaca, berhitung (Bender & Yachimoto, 2002). Kalaupun dibolehkan sekolah tinggi, ilmu yang diperolehnya hanya untuk menunjang perannya sebagai istri/ibu rumah tangga (menjahit, masak-memasak, merawat bayi/orang sakit, dilengkapi dengan pelajaran kesenian (memainkan alat musik, berdansa). Hisajo ingin anaknya bisa mengabdikan ilmunya untuk mewujudkan keinginan mereka dan bebas menentukan pilihan, sebebas berlarian di atas tatami. Dari perspektif feminisme, perempuan harus mandiri, agar dapat keinginannya (Fakih, 2001). Perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki (Djajanegara, 2000: 6-7).

3) Kasih Sayang dan Berharap untuk Kebahagiaan Anak 

Hako o dete yorisofu hina no onchigiri (Sugita dalam Koike, 1998: 13) 
Mengeluarkan kotak, menjajarkan boneka, janji suci

Dalam haiku ini, Hisajo melukiskan kesibukan seorang ibu mempersiapkan boneka untuk festival Hina Matsuri. Hako o dete ‘mengeluarkan kotak’. Menjelang festival, Hisajo mengeluarkan kotak berisi boneka hina. Suaminya yang bekerja di sektor publik tidak mempedulikan hal-hal semacam itu. Kotak ini bisa juga ditafsirkan sebagai norma tradisi yang menempatkan perempuan ke dalam “kotak” aturan norma yang masih memandang rendah perempuan (Yachimoto, 2002; cf. Jupriono & Andayani, 2009). Mengeluarkan boneka dari dalam kotak dapat ditafsirkan sebagai  Hisajo yang mengeluarkan anak-anaknya dari tekanan-tekanan norma yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat.
Dalam haiku ini, Hisajo mengangkat tradisi tua masyarakat tiap 3 Maret: Festival Boneka (Hina Matsuri). Hina Matsuri berasal dari masa Heian (794-1185), sekitar 1000 tahun lalu, sebagai perayaan mengusir bencana agar anak perempuan memperoleh kebahagiaan, kesehatan. Pada festival Hina Matsuri, boneka-boneka Hina dipajang sekitar 10-20 hari sebelumnya dan begitu berakhir pada 3 Maret segera disimpan kembali. Menurut cerita, bila boneka terus dipajang setelah festival berakhir, konon anak-anak putri dalam keluarga yang bersangkutan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pengantin (Kedutaan Besar Jepang, 2003: 14).
Yorisofu hina no ‘menjajarkan boneka’ menggambarkan bahwa setelah boneka dikeluarkan dari kotak, Hisajo menjajarkan boneka di hinadan sesuai dengan urutannya. Kaisar dan permaisuri diletakkan di posisi paling atas, kemudian menteri negara, para pembantu istana, pemain musik, serta perkakas istana. Urutan ini harus benar dan rapi. Tetapi, bagi mereka yang kurang mampu, yang dipajang cukup hanya boneka hina yang pokok saja, seperti kaisar dan permaisuri. Dalam haiku ini pun Hisajo sebagai seorang ibu berharap agar anak-anaknya memperoleh kebahagiaan, kesehatan, serta terhindar dari bencana, seperti kebahagiaan yang dialami kaisar dan permaisuri di lingkungan istana.
Onchigiri ‘janji suci’ antara kaisar dan permaisuri. Sepasang boneka merupakan pasangan setia, selalu bersama. Ini harapan Hisajo yang ingin anak-anaknya kelak bila menikah selalu memperoleh kebahagiaan abadi. Harapan ini menjadi obsesi Hisajo justru karena ia sendiri gagal meraih kebahagiaan rumah tangga (Bender & Yachimoto, 2002). Sikap Hisajo sesuai dengan pandangan kelompok Feminis Moderat yang tidak menganjurkan perempuan melajang seumur hidup. Feminisme Moderat menganjurkan perempuan mengembangkan diri agar mampu mandiri, secara ekonomis maupun intelektual, karena kemampuan ini akan membuatnya memiliki kedudukan sejajar dan tidak lagi bergantung pada laki-laki (Fakih, 2001). Sesuai dengan pandangan Feminisme Ideologis, tokoh yang ditampilkan atau ide yang disampaikan, lazim merupakan gagasan sastrawannya (Djajanegara, 2000; Sugihastuti, 2001).

4) Rela Berkorban

Haguki kayuku chikubikamuko ya hanagumori (Sugita dalam Koike, 1998: 12)
Gusi anak terasa gatal, mengigit puting susu, kabut musim semi

Haguki kayuku ‘gusi anak terasa gatal’, pada waktu gigi mulai tumbuh, gusi akan terasa gatal dan ini menandakan anak Hisajo yang mulai tumbuh besar. Kata gatal menunjukkan anak-anaknya yang sudah mulai kreatif dan aktif melakukan banyak hal, menirukan segala kejadian, selalu ingin mewujudkan keingintahuan mereka pada apa yang dilihatnya. Mereka harus diberi bimbingan agar tidak menempuh jalan salah. Chikubikamuko ‘menggigit puting susu', karena  merasa gatal pada waktu menyusu, anak akan menggigit puting susu ibunya. Keunggulan air susu isep (ASI) tidak perlu diragukan lagi. Menggigit puting susu menggambarkan pengorbanan Hisajo untuk anaknya dengan menahan rasa sakit akibat gigitan anaknya demi masa depan anak yang lebih baik. Karena keunggulan ASI yang sangat baik bagi anak, Hisajo ingin anaknya tumbuh menjadi generasi unggul, sehingga sesakit apa pun pengorbanannya, Hisajo rela melakukannya tanpa pamrih demi masa depan anak (Yachimoto, 2002; Koike, 1998).
Hanagumori ‘kabut musim semi’ menggambarkan kesedihan mendalam. Musim semi yang indah dengan banyaknya bunga yang bermekaran tiba-tiba berkabut. Musim semi simbol kedamaian budaya Jepang, sedangkan kabut melambangkan pengaruh asing. Sejak permulaan Restorasi Meiji, Jepang aktif “mengimpor” budaya Barat. Lebih-lebih setelah kalah perang, mereka harus giat memasukkan unsur-unsur budaya Eropa dan Amerika. Pengaruh berlebihan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama anak muda.
Perempuan sebagai ibu dalam haiku ini dicitrakan sebagai manusia yang penuh pengorbanan dengan mendidik anak dan menjaganya agar terhindar dari pengaruh negatif budaya asing. Hisajo berharap agar anaknya, walaupun hidup modern, masih tetap bisa menjaga kelestarian budaya. Untuk itu, Hisajo berusaha melindungi anaknya dari pengaruh budaya asing (Bender & Yachimoto, 2002). Hisajo rela mengorbankan waktu di sela-sela kesibukannya agar selalu bisa membimbing anak menghadapi masalah. Seperti pandangan Feminisme Ideologis, seradikal apa pun, tokoh dalam karya sastra yang berposisi sebagai ibu senantiasa dicitrakan bersikap berkorban dan melindungi anak-anaknya (Sugihastuti, 2001; Jupriono, 2004).

5) Perhatian

Kana kaki umishi korani soramame o mukasekeri (Sugita dlm. Yachimoto, 2002)
Bosan belajar kana, kubiarkan anak-anak, mengupas kacang

Kana kaki umishi ‘bosan belajar kana’ menggambarkan keadaan anak-anak Hisajo yang sudah mulai bersekolah. Karena keadaan pendidikan yang mulai maju, banyak budaya asing mulai masuk ke Jepang, tak terkecuali bahasa. Dibandingkan dengan Negara-negara Eropa dan Amerika, Jepang mulai belajar untuk berkembang. Hisajo ingin anak-anaknya memperoleh pendidikan tinggi, sehingga menyekolahkan ke sekolah favorit. Hisajo berharap anak-anaknya dapat belajar huruf kana, terutama katakana, untuk menulis istilah asing (Wikipedia, 2005). Ketika Jepang mengalami kemajuan pesat, dalam persaingan di segala bidang dibutuhkan kemampuan berbahasa asing. Agar anak-anaknya mampu bersaing, Hisajo mengharuskan anaknya mempelajarinya. Karena dituntut belajar dan menghafal banyak huruf (hiragana, katakana), anak-anaknya mulai bosan. Belajar katakana-hiragana memerlukan ketelitian, kesabaran. Korani ‘kubiarkan anak-anak’ menggambarkan sikap demokratis Hisajo. Walaupun banyak aturan tradisional yang menghambat kemajuan perempuan dalam berkarya, Hisajo tidak memaksa anak-anaknya mengikuti kehendaknya. Ia memberi kebebasan anak-anaknya untuk memilih keinginan. Hal ini memang tidak sesuai dengan pandangan masyarakat pada waktu itu, lagi pula semua anak Hisajo perempuan.
Pada waktu masih muda, wanita Jepang meyiapkan diri dengan belajar memasak, menjahit, merangkai bunga, dan tatacara upacara minum teh (Pharr & Lo, 1994). Dalam hal pendidikan terdapat perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Sistem ganda dalam pendidikan di Jepang menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan (Okumura, 1983; Yachimoto, 2002). Tetapi, Hisajo tidak ingin anak-anaknya menjadi korban diskriminasi sistem pendidikan. Hal ini diekspresikannya lewat haiku-haikunya. Dalam hal demikian, tidak salah pandangan Feminisme Ideologis bahwa bagi seorang perempuan sastrawan, karya-karyanya merupakan media ekspresi kebebasan berfikir, baik yang berkaitan dengan anak, suami, keluarga, maupun persoalan masyarakat (Djajanegara, 2000; Sugihastuti, 2001).
Soramame mukasekeri ‘mengupas kacang’ simbol keinginan Hisajo agar anaknya selektif dalam memilih jalan hidup. Bagaikan mengupas kacang, harus hati-hati dan tidak salah memilih karena dari luar isinya tidak terlihat. Walaupun dari luar kelihatan bagus, belum tentu isinya juga bagus. Seperti kehidupan ini, yang penuh misteri, di luar sana banyak peluang yang bisa diraih, tetapi di balik itu ada banyak hambatan, tantangan yang kadang tidak tampak. Untuk itu, dibutuhkan perjuangan keras dan ketelitian menghadapi tantangan. Agar mampu mandiri, pertama-tama perempuan harus memperoleh pendidikan yang memungkinkan dia mengasah daya pikirnya. Dengan demikian, dia sanggup mengembangkan diri untuk mencapai kemandirian ekonomis, yang pada gilirannya akan memberinya kekuasaan (Djajanegara, 2000).
Upaya ini sesuai dengan pandangan semua aliran gerakan feminisme. Seharusnya perempuan mempunyai cita-cita menjadi manusia yang mandiri lahir batin. Kemandirian  mengangkat kedudukan harkatnya hingga sejajar dengan laki-laki, baik dalam keluarga maupun masyarakat (Fakih, 2001). Hisajo ingin anaknya menjadi perempuan mandiri dan mampu menghadapi kerasnya kehidupan. Untuk itu, Hisajo mengajari anak-anaknya huruf-huruf kana.

Citra Perempuan sebagai Istri
1) Kekecewaan

Tabi tsugu ya Nora tomonarazu kyoushi tsuma (Sugita dalam Koike, 1998: 79)
Menambal tabi, tidak seperti Nora, istri guru

Tabi tsugu ya ‘menambal tabi’, tabi yang sering dipakai akan berlubang dan menjadi kusam, kotor, bau, dan susah dibersihkan. Tabi berlubang harus ditambal dan semua ini merupakan tugas istri. Sebagai ibu rumah tangga, Hisajo harus bisa membereskan semua tetek-bengek rumah tangga, termasuk kebutuhan suami dan anak, dari kebutuhan sulit sampai yang remeh semacam menambal tabi tsb. Hisajo merasa kecewa karena pandangan orang yang meremehkan pekerjaan itu. Padahal menambal tabi bukanlah hal mudah, dibutuhkan ketelitian dan kesabaran agar jahitannya tidak mudah lepas.
Pada Nora tomonarazu ‘tidak seperti Nora’, Hisajo membandingkan dirinya dengan Nora, seorang istri dan pahlawan wanita dalam cerita A Doll House (Rumah Boneka) karya Henrik Ibsen. Nora, dalam cerita itu, memutuskan meninggalkan suami dan anak-anak untuk meraih sesuatu yang bermakna (Djajanegara, 2000). Hisajo mempunyai keinginan agar bisa seperti Nora. Ia merasa kecewa dan tidak bahagia dengan perkawinannya. Ungkapan Nora tomonarasu ‘tidak seperti Nora’ dapat diinterpretasikan sebagai kekecewaan Hisajo sebagai istri yang selalu di bawah kekuasaan suami, sekaligus mencerminkan keinginan bertindak seperti tokoh Nora tersebut. Akhirnya, ia pergi ke Tokyo selama setahun, tinggal bersama ibunya, meninggalkan suami dan anak-anaknya. Tetapi, akhirnya Hisajo kembali ke keluarganya di Kokura dan berjanji tidak akan meninggalkan suami dan anak-anak. Ia tidak bisa seperti Nora, yang tega dan berani menghadapi semua masalah keluarga dan pandangan masyarakat walaupun seharusnya Hisajo mampu menghadapinya karena ia memiliki pendidikan yang cukup. Meninggalkan anak memang bukan tindakan baik. Tetapi fokus yang dilihat di sini adalah “keberanian memutuskan apa yang baik bagi diri sendiri”. Dari sini, gerakan feminisme mendukung keputusan Hisajo mengembangkan diri terlebih dahulu sebelum menikah (Jupriono, 2004). Perempuan dianjurkan memperoleh ilmu setinggi mungkin agar mampu mandiri tanpa harus menggantungkan hidupnya kepada orang lain dan dia sanggup mencapai kedudukan setingkat dengan kedudukan laki-laki dalam masyarakat (Sugihastuti, 2001).
Kyoushi tsuma ‘istri guru’ menggambarkan kehidupan Hisajo sebagai istri guru karena suaminya, Unai, bekerja sebagai kepala sekolah, sebuah posisi yang sangat dihormati di Jepang sebelum perang. Hisajo merasa kecewa pada suami. Hisajo berharap Unai, sebagai guru, mampu berfikir modern, sehingga tercipta keakraban dan kebahagiaan dalam keluarga; Unai diharapkan mampu mendorong istri agar bisa menjadi perempuan maju. Tetapi, kenyataannya, walaupun mempunyai pendidikan tinggi dan keahlian banyak serta sebagai istri guru, Hisajo masih merasa tidak bahagia dan merdeka. Hisajo merasa, tidak ada perbedaan menjadi istri guru atau istri orang biasa. Konstruksi sosial budaya menghendaki istri tinggal berkutat di rumah mengurusi keluarga karena dinilainya tugas mulia.
Feminisme Liberal dan Sosialis, misalnya, tidak menganggap remeh rumah tangga atau pekerjaan rumah tangga (Fakih, 2001). Bahkan, kenyataannya, kerja utama kaum perempuan adalah memiliki pemahaman (kembali) dan penghargaan akan pekerjaan rumah, sehingga perempuan yang hanya melakukan pekerjaan ini justru dibenarkan, dipahami, dan dihargai. Jika pekerjaan rumah mendapat pengakuan, kaum pria pun mungkin tidak hanya menghargainya saja, namun mungkin pula turut melakukannya. Dengan demikian, pekerjaan istri di sektor domestik (Budiman, 1982) pun harus dihargai seperti menghargai pekerjaan suami di sektor publik. Maka, kekecewaan Hisajo terhadap sikap suaminya terasa mendapat justifikasi ideologis dari Feminisme Ideologis (Djajanegara, 2000).

2) Menderita

baibaru o  yomu sabishisa yo hana no ame (Sugita dalam Koike, 1998: 6)
Sunyi, membaca injil, bagaikan hujan di musim bunga

Sabishisa sunyi menggambarkan keadaan sepi dan tidak berisik. Kondisi inilah yang dialami Hisajo, yang kesepian. Tidak ada komunikasi suami istri yang menyenangkan selama perkawinannya dengan Unai. Untuk mencari ketenangan dalam hidupnya, Hisajo memeluk Kristen. Hisajo sendirian menghadapi segala macam rintangan untuk menuju cita-citanya, terutama cara pandang masyarakat, termasuk suaminya sendiri, yang masih tradisional pada masa itu yang mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus rumah tangga (Bender & Yachimoto, 2002). Baiboru o yomumembaca injil’ simbol Hisajo yang masuk Kristen. Memang, ia dibabtis pada usia 30 tahun. Dengan membaca injil, Hisajo berharap akan mendapat ketenangan dan bisa mencari solusi agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya. Ia ingin keluarganya bahagia dan suaminya mau menghormati dan mendengarkan pendapat-pendapatnya.
Sejak Restorasi Meiji, Jepang berusaha memodernisasikan diri dan, bagi mereka, modernisasi berarti Eropanisasi dan Eropanisasi tidak lepas dari Nasrani. Hisajo jarang ke gereja walaupun ia Kristen. Dengan masuk Kristen, Hisajo berharap mendapat penghargaan, penghormatan, dan kebebasan yang sama dengan laki-laki. Tetapi, ketika membaca injil, Hisajo merasa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya (Uda, 1998). Dalam ajaran Kristen, kedudukan wanita subordinat-inferior. Seperti dalam agama mana pun, dalam Protestan dan Katolik perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah di bawah laki-laki. Gereja Katolik menganggap wanita sebagai makhluk kotor dan wakil iblis. Dalam kitab injil dikutip ucapan Santo Paulus: “and the head of every women is man. Let your women be silent in the churches, for it not permitted unto them to speak”. Selanjutnya, Injil juga mengutip ucapan Santo Petrus: “ye wives, be in subjection to your own husbands” (para istri hendaknya tunduk kepada para suami) (Djajanegara, 2000). Kedudukan perempuan yang inferior sangat bertentangan dengan tujuan gerakan feminisme karena menghambat perkembangan wanita untuk menjadi manusia seutuhnya.
Pada hana no ame ‘bagaikan hujan di musim bunga’, pada waktu musim bunga banyak bunga bermekaran, bau harum merebak di mana-mana. Tiba-tiba turun hujan, sehingga suasana menjadi tidak menyenangkan. Bunga banyak dipakai sebagai simbol perempuan serta sifat-sifatnya. Misalnya, perempuan Jepang dicitrakan sebagai bunga Yamato (Yamato Nadeshiko), yang rajin, lembut, patuh (Fahri, 2002: 4). Hujan ditafsirkan sebagai ajaran-ajaran agama yang harus ditaati pemeluknya. Dalam agama mana pun ajaran-ajarannya diharapkan dapat memperkokoh iman dan bisa mendapatkan ketenangan. Tetapi, adanya tafsir agama yang membuat kedudukan inferior perempuan malah membuat perempuan menjadi menderita. Karena kuatnya hujan yang menerpanya, bunga-bunga berguguran. Salah satu yang gugur itu adalah Hisajo, yang mulai maju dan mengembangkan bakatnya, tetapi karena adanya tafsir agama yang harus dipatuhinya, menjadi ciut nyali dan merasa tidak bebas menyuarakan keinginan. Keadaan ini membuatnya menderita karena tafsir agama ini secara tidak langsung mengidentifikasikan perempuan sebagai kelas tertindas dan kaum laki-laki sebagai kelas borjuis atau penindas (Budiman, 1982).

3) Berani dan Mandiri

Haritohosu onna no iji ya ai yukata (Sugita dalam Koike, 1998: 47)
Semangat yang gigih, wanita, Yukata nila

Semangat gigih menggambarkan keberanian Hisajo mengambil sikap dan tindakan tegas dalam melawan aturan tradisional yang mengekang kebebasan perempuan. Pada zaman Taisho, wanita yang suci hidup dalam bayang-bayang suaminya, melayaninya, menjaga rumah tangga dan anak-anaknya. Tetapi, Hisajo berpandangan modern, pintar, berani, sehingga mampu mengatasi pandangan tradisional tentang status istri (Bender & Yachimoto, 2002). Walaupun untuk keuangan keluarga Unai masih bertanggung jawab, Hisajo merasa mampu menghasilkan uang, menambah perekonomian keluarga. Ia menjahit dan menulis haiku. Ia melakukannya karena rasa sayang pada anak-anak. Hisajo ingin anaknya bersekolah di sekolah favorit.
Onna ’wanita’ yang dimaksud adalah Hisajo sebagai ibu rumah tangga. Sebagai perempuan hebat, Hisajo menulis haiku. Dalam menulis haiku, ia tidak pasif menggunakan tema alam saja (Bender & Yachimoto, 2002). Haiku yang dihasilkan merupakan refleksi keinginan, gagasan, yang kadang kontras dengan norma adat sosial (Yachimoto, 2002). Haiku-haiku yang dibuatnya mengangkat kondisi alam, keluarga dan kehidupan rumah tangga, serta pandangan masa depan (Bender & Yachimoto, 2002).
Ai yukata’ yukata nila’ menggambarkan kesederhanaan wanita pada masa itu. Biasanya yukata dicetak warna biru, tetapi saat ini banyak jenis dan warna. Disain yukata dengan lengan lebar seperti sayap menggambarkan bahwa sebenarnya wanita mempunyai kesempatan luas mengembangkan potensi, tetapi tidak bisa tercapai secara utuh karena adanya aturan tradisional seperti obi yang mengikat yukata dengan kuatnya agar tidak terlepas. Walaupun kelihatan indah dan anggun dengan obi berwarna-warni melilitnya, sebenarnya itu membuat sesak. Bermacam-macam bentuk ikatan obi yang indah mampu menutupi penderitaan itu. (Wikipedia, 2005).
Hisajo perempuan mandiri, memiliki potensi, dan berhasil tanpa tergantung pada suaminya. Hisajo akhirnya sadar bahwa dia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman seluas-luasnya dalam bermasyarakat agar sanggup meraih kedudukan sederajat dengan laki-laki. Walaupun banyak aturan masyarakat mengekang kebebasannya seperti lilitan obi, Hisajo tidak manyerah. Upaya ini sesuai dengan gerakan feminisme yang senantiasa menghimbau perempuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka sebelum memperhatikan kepentingan masyarakat (cf. Budiman, 1982). Haiku-haiku Hisajo pun, menurut perspektif Feminisme Iideologis, sarat dengan gagasan-gagasan untuk berani mewujudkan kepentingan tersebut (Djajanegara, 2000; Sugihastuti, 2001). 

4) Penurut

Gikyoku yomu ya toya no shokki tsukeshimama (Sugita dalam Koike, 1998: 79)
Membaca scenario, peralatan makan musim dingin, direndam                          

Gikyoku yomu ‘membaca skenario’ menggambarkan bahwa Hisajo sangat senang membaca cerita drama, tak terkecuali drama terjemahan dari luar negeri (Bender & Yachimoto, 2002). Pada masa Meiji, kesusastraan Barat melanda Jepang bagaikan gelombang besar, sehingga memperkaya kesusastraan Jepang. Karya-karya sastra Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang secara besar-besaran (Mangandaralam, 1993: 26). Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan Hisajo, termasuk keprihatinannya akan keterbelakangan perempuan Jepang yang masih terikat  oleh adat tradisi yang menghambat kemajuan mereka (Okamura, 1983).
Toya no shokki ‘peralatan makan musim dingin’ menggambarkan pekerjaan Hisajo sebagai istri yang tidak jauh dari rumah tangga, termasuk mengurusi peralatan makan musim dingin di dapur. Dalam keluarga, secara umum sebelum perang, perempuan bangun duluan pada pagi hari dan makan setelah semua selesai (Pharr & Lo, 1994: 1704). Musim dingin membuat orang jadi malas, lebih nikmat kalau duduk di dekat perapian, menghangatkan diri. Tetapi, sebagai seorang istri, Hisajo harus selalu menyiapkan segala urusan suaminya dalam kondisi apa pun. Walaupun mandiri dan sukses meraih keinginannya, dalam sikapnya sehari-hari, Hisajo masih tetap penurut dan mendahulukan kepentingan suaminya. Hal ini terlihat dari anggapannya bahwa pria memegang dominasi dan perempuan tersubordinasi. Dalam cara pandang Feminisme Ideologis, sikap Hisajo dianggap sesuai sebab kebebasan yang diutamakan adalah kebebasan berpikir—dan bukan kebebasan bertindak radikal (Sugihastuti, 2001).
Pada tsukeshimama ‘direndam’, ditunjukkan bahwa karena Hisajo gemar sekali membaca, setelah selesai makan, paralatan makan malam direndam. Hisajo tidak langsung mencucinya, seharusnya Hisajo sudah membereskan semua urusan rumah tangga. Hisajo mengambil kesempatan pada malam hari setelah suaminya beristirahat, dengan membaca cerita drama kesukaannya. Direndam juga dapat ditafsifkan sebagai ‘mengubur dalam-dalam keinginan Hisajo untuk bisa bebas mengembangkan diri’. Tindakan ini di sisi satu bertentangan dengan feminisme karena merendahkan derajat perempuan dengan bertindak sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi suami, tetapi, disisi lain, tindakan ini juga simbol kecerdikan dan konsistensi melancarkan resistensi dalam kondisi seterikat apa pun oleh norma sosial yang memerangkap perempuan (Fakih, 2001; Jupriono & Andayani, 2009).

Citra Perempuan di Lingkungan Publik
Kepedulian terhadap Dinamika Politik Bangsa

Yugao ya hirakikakarite hidafukaku (Sugita dalam Koike, 1998: 32)
Bunga bulan, mekar setengah, sangat kusut

Bunga bulan melambangkan Kaisar Hirohito yang memimpin Jepang pada 1926 di Masa Showa. Di bawah  Hirohito, perindustrian Jepang berkembang pesat. Pemerintahan pada mulanya bercorak parlementer. Ekonomi dunia saat itu dilanda depresi dan resesi. Daerah pasaran hasil industri direbut Amerika, Inggris, dan Prancis. Ini menghalangi Jepang untuk mengembangkan industrinya (Mangandaralam, 1993). Pada masa ini banyak kelompok aktivis perempuan bekerja sama untuk menggunakan hak-haknya; yang dikepalai oleh Fusen Kakutoku Domei. Di bawah kabinet Hamaguchi Osachi, ada perubahan pendapat tentang wanita dan pemerintah pun mendukung pernyataan hak-hak wanita sipil melalui Majelis Rendah di Diet. Walaupun tidak ikut aktif, Hisajo tetap peduli dengan keadaan negara. Hal itu ia tuangkan dengan menulis haiku yang mencerminkan realitas sosial. Haiku Hisajo tidak melulu berisi perubahan musim (Yutsuya, 2001), tetapi sebagai media ekspresi-representasi realitas sosial dan refleksi gagasannya tentang pembebasan hak-hak perempuan. Hal ini amat sesuai dengan pandangan Feminisme Ideologis (Jupriono, 2004; Djajanegara, 2000).
Hirakikakarite ‘mekar setengah’, bunga bulan tidak sanggup mekar sempurna. Ia berusaha melawan, tetapi tidak mampu; ia putus asa. Hal ini menggambarkan nasib Kaisar Hirohito yang tidak bisa mengontrol perekonomian, ibarat bunga baru mekar setengah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya menjadi lambang saja; pemerintahan dikuasai militer. Keinginannya menjadikan Jepang sebagai negara maju di Asia tinggal impian. Tingkat kehidupan rakyat sudah barang tentu mempengaruhi nasib kaum ibu. Bila suatu keluarga menderita kekurangan, umumnya kaum ibulah yang paling banyak menderita. (Uchida, 1997).  Sebagai ibu rumah tangga, Hisajo juga merasakan penderitaan akibat dnamika politik bangsa yang tidak terkendali, yang mempengaruhi perekonomian masyarakat. Pemerintah hanya memikirkan perebutan kekuasaan saja, tanpa memikirkan nasib rakyatnya yang menderita.
Hidafukaku ‘sangat kusut’, bunga bulan, bila terkena sinar matahari, akan layu, kusut. Saat itu matahari belum muncul dan malam belum berakhir, bunga bulan yang baru mekar setengah sudah kelihatan layu. Sepanjang malam ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa dipercaya lagi dan membuat kecewa bunga-bunga lain. Hal ini merefleksikan kelemahan pemerintah, yang partai-partai politiknya tidak dipercayai rakyat; mereka dianggap gagal  mengatasi kesulitan ekonomi. Keadaan buruk ini ditunggangi para pemimpin militer ekstrem dengan menghidupkan kembali semangat Bushido, dan akhirnya memegang tumpuk pemerintahan, sedang kaisar hanya lambang belaka (Mangandaralam, 1993).
Walaupun tidak langsung terjun ke dunia politik, Hisajo dapat merasakan penderitaan Kaisar Hirohito. Sebagai wujud dukungannya terhadap kaisar, Hisajo menulis haiku-haiku yang berupa sindiran terhadap militer. Hisajo berharap militer mengembalikan kekuasaan pada kaisar agar negara menjadi makmur. Bila keadaan politik stabil, perekonomian pun akan stabil., Dampak ini sangat berarti bagi Hisajo sebagai ibu rumah tangga. Mereka kesulitan menghadapi partai oposisi yang berat dari walikota, bahkan gerakan subversif yang lemah pun gagal memasuki Majelis Tinggi (House of Peers). Akhirnya,  gerakan wanita sayap kanan bersama-sama partai oposisi lain berusaha mengurangi tuntutan. Dalam hal ini, sebagai perempuan feminis, Hisajo juga berharap mampu mencapai kesetaraan derajat dengan laki-laki, sehingga tidak diremehkan. Tetapi, keadaan negara yang tidak kondusif membuat kelompok feminis terpuruk bagaikan bunga bulan yang kusut. Hisajo hanya bisa memberi dorongan lewat ide-ide pembebasannya melalui haiku-haikunya. 

Spirit Perjuangan Meraih Kebebasan

Maiagaru habataki tsuyoshi tazuru hyakuba (Sugita dalam Koike, 1997: 91)
Menuju ke angkasa, mengepakkan sayapnya, kekuatan 100 burung bangau

Dalam haiku ini menuju ke angkasa dari konteks sosiobudaya berarti proses perjuangan panjang menuju kesetaraan, kebebasan, keadilan perempuan. Angkasa merupakan tempat yang tinggi, luas, susah dicapai. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan kekuatan besar dan kemauan kuat. Pada haiku ini angkasa yang dimaksud adalah kebebasan perempuan memperoleh hak-haknya dalam berbagai bidang dan luasnya kesempatan bila ingin mencapainya. Hisajo juga ingin mendapatkan kebebasan untuk mencapai semua keinginan dan mengembangkan bakat-bakatnya. Hisajo ingin menuju ke tempat ia dihargai, diperlakukan adil, dan didengarkan pendapat-pendapatnya. Burung bangau yang dimaksud adalah kelompok feminis di Jepang yang mulai unjuk gigi. Kelompok feminis pertama, Seitosha (Kelompok Kaos Kaki Biru),  didirikan oleh Hiratsuka Reicho; setelah itu, Shin Fujin Kyoukai (Perkumpulan Wanita-Wanita Baru) yang dikelola oleh Raicho, Oku Mumeo, dan Ichikawa Fusae; kemudian Fusen Kakutoku Domei  (Persatuan Hak Pilih Wanita). Walaupun mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, mereka tetap tidak putus asa. Dinamika kelompok feminis ini bagaikan bangau, yang dari luar kelihatan cantik anggun, tetapi di balik itu menyimpan kekuatan luar biasa. Ini simbol perjuangan kelompok feminis Jepang yang berjumlah amat kecil, tetapi ketahanan resistensinya tidak surut sepanjang waktu. Ketika terbang, bangau membentuk segitiga, tua di depan dan muda di tengah (Wikipedia, 2005). Hal ini, dalam perspektif feminisme, menunjukkan bahwa strategi perjuangan itu direncanakan dan terorganisasi, bukan gerakan liar, barbar, dan alami.
Habataki ‘mengepakkan sayapnya’ dapat ditafsirkan bahwa para feminis dalam berjuang senantiasa mencari dukungan dari berbagai pihak. Mereka tidak hanya merangkul golongan terpelajar, tetapi juga buruh pabrik dan warga sipil. Seperti bangau tua terbang, para feminis ini berada di depan untuk memperjuangkan hak-hak semua perempuan. Mereka melindungi para perempuan bawah, seperti bangau tua melindungi bangau muda.
Hisajo tidak terjun langsung dalam organisasi kelompok feminis. Ia mendukung gerakan feminis melalui haikunya. Dalam perspektif Feminisme Ideologis, tindakan kultural Hisajo ini justru amat tepat sebab sebuah perjuangan pertama-tama harus dilandasi oleh kebebasan berpikir. Kebebasan itu diwujudkan dalam karya sastra, termasuk haiku (Djajanegara, 2000). Kekuatan 100 burung bangau, dapat diinterpretasikan sbb. Walaupun jumlah aktivis feminisme sedikit, kemauan mereka cukup keras. Spirit perjuangan mereka untuk kebebasan tidak pernah surut. Banyaknya rintangan dari berbagai pihak, terutama justru dari pemerintah, tidak menyurutkan spirit mereka. Perjuangan ini akan dilakukan sepanjang masa, bak bangau yang angka reproduksinya rendah, tetapi berumur panjang. Hisajo termasuk salah satu dari “seratus burung bangau” itu. Hisajo tidak berhenti menyuarakan keinginan, visi, serta misi perempuan Jepang pada masa itu sampai ia sakit dan akhirnya meninggal.

Kesimpulan
Dari 11 haiku karya Sugita Hisajo, dapat ditarik butir-butir simpulan sbb. (1) Citra perempuan di lingkungan domestik dalam masyarakat Jepang dimanifestasikan ke dalam citranya  sebagai ibu dan istri. Sebagai ibu, perempuan dicitrakan sabar, bersahabat dan mendidik, siap berkorban, penuh kasih dan berharap akan kebahagiaan anak. Sebagai istri, perempuan dicitrakan siap kecewa, menderita, patuh, di samping berani dan mandiri. (2) Perempuan di publik masyarakat Jepang dalam haiku karya Sugita Hisajo dicitrakan sebagai manusia yang peduli dinamika politik bangsa serta berspirit perjuangan meraih kebebasan.
Berdasarkan hasil penelitian, seperti tampak dalam kesimpulan, berikut ini diajukan beberapa saran. Pertama, karena keterbatasaan peneliti dalam membahas penelitian ini, diharapkan penelitian selanjutnya dapat memanfaatkan teori-teori kritik sastra feminis ragam yang lain di luar feminisme ideologis. Kedua, karena keterbatasan data yang diperoleh peneliti, para peneliti berikutnya diharapkan dapat menjaring data dari sumber lain. Ketiga, penelitian berpendekatan kritik sastra feminis ini hanya memfokuskan penelitian tentang citra perempuan. Maka, diharapkan peneliti selanjutnya dapat membahas pokok persoalan feminisme yang lain, misalnya ketimpangan gender, kekerasan perempuan, pembagian kerja secara seksual, dominasi dan subordinasi, emansipasi, dan sebagainya. Diharapkan pengembangan kajian penelitian ini dapat menggugah kesadaran semua pihak serta mengangkat harkat dan martabat perempuan 

Daftar Pustaka
Bender, D.W. dan E. Yachimoto. 2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan: Echoes Over Hills: The Haiku of Sugita Hisajo”. www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets.shtml
Budiman, A. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.
Djajanegara, S.. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fakih, M. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Furuta, S. 1994. “Haiku: An Art for All Seasons”. Japan an Illustrated Encyclopedia. Hal 1704-1707. Tokyo: Kodansha Ltd.
Jupriono, D. 2004. “Teori-teori Sastra Marxis: Prinsip Dasar dan Aplikasi”. Parafrase 04(02) Agustus: 142-152.
Jupriono, D. & A. Andayani. 2009. “Ketimpangan Gender dalam Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia”. www.sastra-bahasa.blogspot.com/2009
Pharr, S.J. & J.P.C. Lo. 1994. “A Woman Place”. Japan an Illustrated Encyclopedia. Hal 486-489. Tokyo: Kodansha Ltd.
Kedutaan Besar Jepang.  2000a. “Haiku”. Aneka Jepang. No. 283-284. Hal. 19.
Koike, K. 1998. Sugita Hisajo no Shugaku. Tokyo: Koike Keiko.
Mangandaralam, S. 1993. Mengenal Jepang Negara Matahari Terbit. Bandung: PT Remaja Rasdakarya.
Okamura, M. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rosidi, A. 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga.
Semi, A. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sugihastuti. 2001. “Cerita sebagai Wacana: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Hal. 225-256 dalam Sumijati As. (ed.), Manusia dan Dinamika Budaya. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM dan Bigraf Publishing.
Uchida, R. 1997. Ijime no Nekko, Sumber Pelecehan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Uda, K. 2002. NHK Ningenkouza. Joseihaijin no Keifu. Tokyo: Nihon Houzousuppankyoukai.
Watanabe, M. 2003. “Hujan Bagi Orang Jepang”. Aneka Jepang. 30: 12-13.
Wikipedia. 2005. “Taisho Period” “Kana” “Grus” “Yukata” “Tabi” “Tatami” “Hanetsuki”. http://en.wikipedia.org/wiki/
Yachimoto, E. 2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan. Haiku of Sugita Hisajo”. www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets2.shtml
Yutsuya, R. 2001. “History of Haiku”. www.big.or.jp.loupe /links/ehisto/ ehisajo.shtml
  • salam hormat bapakJupriono,

    saya wiru , seorang mahasiswa sastra jepang. apakah bapak bisa membantu saya untuk memberikan sedikit analisa tentang perempuan jepang pada sebuah puisi yg sedang saya coba analisis saat ini? jika bapak berkenan membantu saya berharap bisa sharing beberapa puisi untuk bapak bisa bantu memberikan sedikit saja analisis agar bisa memberikan bukaan pemikiran dalam analisa saya. terimakasih.

Posting Komentar