Redundansi Bahasa Ragam Berita: Perspektif Stilistika, Semantik, Analisis Wacana, Sosiolinguistik


Umul Khasanah, Ketua
Jurusan Bahasa Jepang, Fakultas Sastra, Untag Surabaya, master of literature,
alumni The Graduate School of Humanities and Social Sciences, Kochi University,
Kochi, Jepang
D. Jupriono, dosen Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP dan Fakultas Sastra, Untag Surabaya
Sudarwati, dosen
Fakultas Sastra, Untag Surabaya; alumni
Prodi S-2 Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Untag Surabaya; mahasiswa
Program S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Pascasarjana, Universitas
Negeri Surabaya
Abstract. This article explores the language use in newspaper columns. The principle of
frugality, beauty, coherence, and language feature as language varieties should
be considered in language use in newspaper columns.. Thus, various
news can be studied from various approaches. RBSK redundancy is treated differently by the
stylistics, semantics, discourse analysis and sociolinguistics because of
different language design orietantion of each field. Stylistics and semantics approach language use in
expalanative descriptive point of views that results in regarding redundancy in
RBSK as normal and acceptable. In contrast, discourse analysis and stylistics approach the
language use in normative prescriptive point views that results in regarding
redundancy in RBSK as mistakes should be avoided.
Key words: redundancy,
news varietes, discourse analysis, sociolinguistics, semantics
Pendahuluan
Diskusi tentang
ragam bahasa jurnalistik lazimnya didominasi oleh pembahasan tentang ragam
(bahasa) berita. Selama ini, adatnya, diskusi mengenai ragam berita surat kabar
berbahasa Indonesia—selanjutnya cukup disebut RBSK—senantiasa bersangkut paut
dengan kelengkapan komponen berita (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana,
berapa, bagaimana) dan bagaimana semua itu disajikan (objektif, jujur, ringkas,
padat). Pemakaian bahasa pada rubrik berita
memperhatikan prinsip kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai
sebuah ragam bahasa. Maka, ragam berita dapat dikaji dari berbagai ancangan. Bahwa
berita harus disajikan secara ringkas, efisien, dan padat perlu mendapat
aksentuasi. Pengobralan kata dalam penulisan berita akan mengakibatkan
terjadinya kelimpahan kata (Kridalaksana, 1993) atau redundansi (redundancy).
Dengan berbagai
fokus telaah, RBSK sering dikaji. Beberapa di antaranya dapat disebutkan di
sini. Penggunaan ragam bahasa jurnalistik pada media massa cetak dan elektronik
distudi secara empiris oleh Subrata (1997). Segi-segi kreatif ragam jurnalistik
dan prospek ke depannya diteliti Sudaryanto (1997). Struktur wacana RBBI tuntas
dibahas Sulistiyo (2001). Dampak
efisiensi bahasa dalam ragam jurnalistik pada pemahaman pembaca didiskusikan
Sudaryanto (2003) dan Jupriono (2004). Kemiskinan struktur dalam ragam
jurnalistik berbahasa Indonesia diteliti Suroso (2003) dan kohesi gramatikalnya
ditelaah oleh Dalwiningsih (2007). Diksi dalam berita sebagai cermin perubahan
sosial dibahas Siregar (2004). Sementara itu, kesalahan penggunaan bahasa pada
media massa, termasuk pada RBSK dibahas Hendarin (2003).
Secara eksplisit
atau implisit, semua penulis bersepakat bahwa RBSK hendaknya menghindari
redundansi; ia harus ditulis dengan singkat, hemat, dan padat (Subrata, 1997; Muhtadi, 1999)—dan ini
pulalah yang menjadi persepsi awam hingga sekarang. Pada umumnya orang
menganggap bahwa selama ini gaya sajian berita di koran-koran sudah pasti telah
mengikuti prinsip efisiensi kata, sudah pasti terhindari dari redundansi kata,
tulisan ini justru mempertanyakan kebenaran anggapan tersebut 1). Jika efisiensi kata selama ini hanya
dilihat dari pelesapan afiks pada judul
berita dan penanggalan kata depan dalam konstruksi kalimat, dalam tulisan ini
efisiensi kata lebih difokuskan pada penggunaan unsur penjelas fungsi kalimat
(subjek, predikat, objek, pelengkap, keterangan). Fokus kajian tersebut,
selanjutnya, akan ditinjau dari berbagai perspektif keilmuan, yakni stilistika,
semantik, sosiolinguistik, dan analisis wacana.
Dengan berpangkal pada
berbagai perspektif tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut. (1) Bagaimanakah redundansi pada RBSK menurut perspektif stilistika,
semantik, analisis wacana, dan sosiolinguistik? (2) Bagaimanakah perbandingan
penyikapan terhadap redundansi pada RBSK di antara keempat perspektif tersebut?
Redundansi RBSK dalam Perspektif
Stilistika
Hemat borosnya
penggunaan kata dalam mengekspresikan maksud pembicaraan atau tulisan merupakan
salah satu aspek dalam perilaku berbahasa seseorang. Perilaku ini merupakan
salah satu bentuk gaya bahasa atau majas (style, figurative language)
seseorang. Begitu bergantungnya bentuk
gaya bahasa dengan orang yang mengucapkannya membuat Earl Hilton (1987)
berkesimpulan bahwa the style is the man 2). Pada gilirannya, gaya bahasa akan
menghasilkan figure of speech. Disiplin keilmuan yang membidangi kajian
gaya bahasa adalah stilistika. Sekalipun tidak harus, stilistika lebih sering
dimunculkan dalam kajian sastra ketimbang bahasa.
Gaya bahasa
dapat dibedakan atas (1) gaya perasosiasian pikiran (mental association)
dan (2) gaya penegasan, penekanan, penguatan (Hilton, 1987; Ahmadi, 1997). Gaya
perasosiasian mencakup 14 majas, misalnya metafora, personifikasi, dan allusio.
Gaya penegasan, penekanan, penguatan meliputi 25 majas, misalnya polisindenton,
enumerasis, dan pleonasme. Majas yang layak mendapat perhatian dalam kajian ini
adalah pleonasme. Dalam ungkapan sederhana, pleonasme merupakan gaya bahasa berupa
penggunaan kata-kata yang lebih dari yang diperlukan (Jupriono, 2009).
Kata-kata tersebut dihamburkan untuk mencapai ketegasan maksud (Hilton, 1987).
Agaknya, konsep dasar pleonasme ini amat dekat dengan redundansi.
Dalam
stilistika, gaya bahasa dimanfaatkan untuk memilih dan mengatur kata dan
kalimat yang dianggap paling mengekspresikan tema, ide, emosi, serta pengalaman
pembicara/penulisnya. Dalam konteks stilistika, tidak dipersoalkan apakah
kata-kata dipakai dengan boros, irit, atau pas-pasan saja. Ia adalah soal gaya
penggunaan bahasa (style of language use) (Allan, 2001) belaka. Maka,
redundansi dalam RBSK pun, dilihat dari sudut pandang stilistika, sah-sah saja,
tidak disalah-salahkan sepanjang penggunaan tersebut memang dinilai paling
tepat untuk mengekspresikan maksud berita. Perhatikan beberapa kutipan RBSK
dari surat kabar nasional dan lokal berikut (Kutipan bercetak miring
dari penulis, DJ; juga berlaku untuk contoh berikutnya).
1)
Laki-laki 35 tahun ini dihajar massa karena
menghajar gadis bisu tetangganya … Melihat pemandangan sadis ini, ia lantas
berteriak minta tolong, sehingga mengundang warga sekitar. (Jawa Pos,
1/9/2008)
2) Pemotongan
dana rehabilitasi sekolah dianggap biasa dan bahkan sudah sesuai dengan peraturan
yang ada. (Kompas, 4/9/2007)
3)
Menurut Kapolres Sidoarjo, AKPB Ronny F.
Sompie SH … “… Tetapi hukum tetap ditegakkan, siapa pun pelanggarnya harus
diproses sesuai hukum,” tegasnya. (Surabaya News, 2/9/2006)
Orang boleh-boleh saja mempersoalkan bahwa kata sekitar
pada klausa mengundang warga sekitar, pada kutipan RBSK (l), merupakan
bentuk kelimpahan, berlebihan, sebab dalam konteks tersebut yang dimaksud warga
(perhatikan: tanpa kata sekitar!) dengan sendirinya pastilah ‘warga
sekitar tempat tinggal gadis bisu’, sehingga sesungguhnya tidak perlu lagi
dipakai kata sekitar. Pada RBSK (2) orang mungkin juga berpendapat bahwa
pemakaian penjelas yang ada pada frase peraturan yang ada jelas
berlebihan, termasuk redundansi; adakah “peraturan yang tidak ada”
disebut orang?; dengan hanya menyebut peraturan, tanpa frase yang ada,
yang dimaksudkan pastilah bukan ‘peraturan yang tidak ada’, melainkan
‘peraturan yang ada’; untuk apa disebut jika peraturan itu tak ada. Demikian
juga pada kutipan RBSK (3), orang dapat mengoreksi bahwa dalam konteks penegakan
hukum oleh aparat kepolisian, yang dimaksud diproses pastilah ‘diproses
sesuai (dengan) hukum’ dan bukan diproses sesuai dengan bisikan paranormal,
dukun sakti, atau kehendak main hakim massa; maka, tanpa frase sesuai hukum pun, maksud kata
itu sudah jelas.
Meskipun demikian, dalam disiplin
stilistika, apa pun yang ditulis seorang penulis dan dikatakan seorang pengata
adalah gaya bahasanya (Allan, 2001). Karena itulah, pemakaian kata-kata yang
dianggap berlebihan seperti dalam kutipan RBSK (1), (2), dan (3) sah-sah saja.
Bahkan, ada namanya lagi: pleonasme (pleonasm) (Hilton, 1987).
Redundansi RBSK Menurut Perspektif Semantik
Dalam semantik,
redundansi merupakan salah satu topik yang sejajar dengan topik lain macam
homonimi, sinonimi, antonimi, polisemi, dan hiponimi (Palmer, 1997; Allan,
2001). Oleh
karena itu, redundansi kata-kata dikajinya dengan netral dan tidak dianalisis
dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar, berlebihan-ekonomis.
Dalam ketiga kutipan di muka, misalnya, tidak dipersoalkan manakah yang betul warga
ataukah warga sekitar (1), peraturan ataukah peraturan yang
ada (2), diproses ataukah diproses sesuai hukum (3). Perhatikan juga kutipan RBSK (4), (5), (6)!
4) Para napi berhasil menjebol besi
tersebut berikut kaca setebal 5 inci …
Suara pecahan kaca sempat membangunkan warga sekitar rutan. (Jawa Pos,
8/9/2008)
5) Gubernur Jawa Timur Imam Utomo
dinilai telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. (Kompas,
4/9/2008)
6) Warga langsung membawa korban ke RSUD
Bangkalan untuk diberi pertolongan medis. (Jawa Pos, 8/9/2007)
Pandangan bahwa RBSK harus menggunakan kata-kata seefisien mungkin
akan mempersoalkan mengapa frase sekitar rutan (4), frase yang baik (5),
dan kata medis (6) masih juga dipakai; mestinya dihilangkan saja. Tanpa
frase dan kata ini, pembaca sudah mafhum bahwa kalau disebut warga,
pastilah yang dimaksud adalah ‘warga sekitar rutan’ dan tidak mungkin warga
sekitar pantai atau pusat pertokoan. Kalau disebut asas-asas umum
pemerintahan, yang dimaksud pastilah ‘asas-asas umum pemerintahan yang
baik’—jika toh misalnya saja ada “asas-asas pemerintahan yang buruk”, untuk apa
pula ia dirujuk. Jika dibawa ke RSUD (di mana pun!), orang pun mafhum, pastilah
korban akan diberi pertolongan medis dan tentu bukan diberi pengobatan
alternatif atau mantra ampuh dukun sakti.
Berbeda dengan pandangan normatif seperti itu, semantik tidak
membuat evaluasi bahwa suatu kalimat berlebihan atau ekonomis (Palmer, 1997;
Crystal, 1997) dalam menggunakan kata-kata. Dalam kajian semantik, redundansi
disikapi secara netral deskriptif dengan difokuskan pada dua konsep
semantis—yang artinya sering dikontaminasikan—yaitu perifrase (periphrase)
dan parafrase (paraphrase) (Verhaar, 1993: 127). Dengan kedua konsep
semantis ini, frase warga sekitar rutan (4) merupakan perifrase (rumusan
lebih panjang) sekaligus parafrase (rumusan informasi yang sama dengan bentuk
yang berbeda) dari warga, frase asas-asas umum pemerintahan yang baik
(5) merupakan perifrase sekaligus parafrase dari asas-asas umum
pemerintahan, dan kata pertolongan medis (6) merupakan perifrase
sekaligus parafrase dari pertolongan. Kedua bentuk masing-masing
mendukung maksud yang sama, tetapi memuat nuansa makna yang berbeda; implisit
di sini bahwa makna berbeda dengan maksud (Verhaar, 1993: 138).
Redundansi RBSK Menurut Perspektif Analisis Wacana
Analisis wacana (discourse analysis)
mengkaji satuan lingual di atas tatataran kalimat (Kridalaksana, 1993; Samsuri,
1998). Di dalamnya dibahas berbagai konsep wacana macam implikatur
konvensional-konversional, praanggapan (presupposition), koherensi,
kohesi, interpretasi lokal, analogi, dan tindak tutur (speech act)
(Crystal, 1997; Allan, 2001). Dari sekian konsep, yang bersangkutan erat dengan
redundansi adalah tindak tutur, yang menyarankan dipatuhinya aturan-aturan
tutur yang mencakup parameter pragmatik (pragmatic pameter), prinsip
kesantunan (politeness principle), dan prinsip kooperatif (cooperative
principle). Ketiga hal ini menarik
minat banyak orang untuk menelaahnya 3).
Demi efektivitas komunikasi pesan dengan
prinsip kooperatif, H.P. Grice
menyarankan adanya empat aturan (maksim) tutur, yaitu (1) maksim
kuantitas (maxim of quantity) yang menyarani penutur agar memberikan
pernyataan seinformatif mungkin sebanyak yang diperlukan (jangan berlebihan
menyampaikan kata-kata), (2) maksim kualitas (maxim of quality) yang
menyarani penutur agar menyampaikan informasi dengan benar dan bukti yang
memadai, (3) maksim relevansi (maxim of relevance) yang menyarani
penutur agar menyampaikan informasi yang relevan, dan (4) maksim cara (maxim
of manner) yang menyarani penutur agar menghindari pernyataan yang kabur
dan ambigu serta menyatakan dengan urut dan sesingkat mungkin (Grice dlm.
Levinson, 1995; Yule, 1996).
Dalam hal ini, redundansi berkaitan dengan
maksim kuantitas dan maksim cara. Sebagai sebuah prinsip yang mengatur
bagaimana orang harus bertutur, kedua maksim tentulah memandang pernyataan apa
pun dengan parameter preskriptif. Dengan
kedua maksim ini, redundansi dipandang sebagai kesalahan dan karenanya harus
dihindari. Menurut maksim kuantitas dan cara, pada RBSK (6), misalnya, adalah
berlebihan jika masih juga ditambahkan kata medis pada kata pertolongan,
sementara konteksnya jelas-jelas RSUD. Adakah jenis pertolongan selain pertolongan medis jika tempatnya di RSUD?
Perhatikan pula kutipan RBSK (7), (8), dan (9)!
7)
Sainem lantas bergegas menghubungi beberapa
tetangganya yang sedang beristirahat di rumah. Kabar tenggelamnya dua
bocah cilik di Sungai Brantas itu sontak menggegerkan warga setempat. (Jawa Pos, 8/9/2007)
8)
Áda 16 rumah yang harus dikosongkan dan
warganya mengungsi dulu ke tempat lain,” kata Bupati Bandung Obar Sobarna. (Kompas, 17/9/2008)
9)
Selepas magrib kemarin, Planetorium Jakarta
benar-benar tidak seperti biasa. Bahkan mulai pukul 16.00wib sudah dikunjungi
warga yang berdatangan baik dari
dalam maupun luar kota. (Surya, 28/8/2006)
Maksim kuantitas dan cara
mengharapkan seseorang memakai kata-kata seperlunya. Jika dapat dinyatakan
dengan 2 kata, mengapa mesti dengan 5 kata. Maka, kata atau frase yang mengakibatkan terjadi kelimpahan
informasi layak dihapus.
Pada RBSK (7)
pemakaian frase di rumah dan kata setempat dianggap sebagai
kelimpahan dan karenanya harus dihapus. Dengan konteks penduduk sekitar Sungai
Brantas, apabila disebut beristirahat tanpa frase di rumah, maksudnya pastilah ‘beristirahat di rumah
masing-masing’ dan bukan di motel, hotel, losmen. Dalam konteks yang sama pula,
dapat dipastikan bahwa kata warga, tanpa kata sekitar, dengan
sendirinya merujuk maksud ‘warga sekitar yang tinggal di pinggir Sungai
Brantas’ dan mustahil pembaca menafsirkannya sebagai ‘warga Jakarta’ ataukah
‘warga Afrika Selatan’, misalnya. Pada RBSK (8) frase ke tempat lain
merupakan kelimpahan yang layak dihilangkan berdasarkan sudut pandang maksim
kuantitas dan maksim cara; apa yang disebut sebagai mengungsi pastilah
ke tempat lain. Adakah mengungsi tetapi tidak ke tempat lain, melainkan masih
tetap di tempat bencana semula? Selanjutnya, dengan telah dipakainya frase dikunjungi
warga, pada RBSK (9), frase yang berdatangan dianggap sebagai bentuk
redundansi yang laik dihilangkan; yang namanya warga berkunjung ya tentu dengan
sendirinya berdatangan.
Dengan demikian, dalam
disiplin analisis wacana, khususnya pada topik tindak tutur, redundansi atau
kelimpahan kata dianggap melanggar prinsip maksim kuantitas dan maksim cara
(Crystal, 1997; Levinson, 1995; Yule, 1996). Sebagai disiplin yang mendekati
secara preskriptif-normatif, tindak tutur dalam analisis wacana menilai bahwa
redundansi merupakan sebuah kesalahan.
Redundansi RBSK Menurut Perspektif Sosiolinguistik
Dalam studi
interdipliner sosiolinguistik, rubrik berita merupakan ragam bahasa berdasarkan
salah satu ranah, yaitu ragam
berita—dalam hal ini RBSK. Sebagai salah satu ragam, RBSK memiliki
karakteristik linguistik dan format penulisan tersendiri yang membedakannya
dari ragam lainnya. Seperti sudah disinggung dalam bagian “Pendahuluan”,
karakteristik linguistik RBSK meliputi penanggalan prefiks meN- pada
judul, penanggalan beberapa preposisi (misalnya pada, dengan) dan
konjungsi bahwa pada tubuh teks, penanggalan bentuk hipernim atau
superordinat (Subrata, 1997; Sudaryanto, 2003), dan penggunaan kata-kata baku
(Februana, 2000), pemakaian kalimat pendek dan penghindaran kalimat panjang
(Muhtadi, 1999; Hendarin, 2003), penghindaran pemakaian kata-kata mubazir
sebagai kelimpahan (Siregar, 1994; Anwar, 1998). Karakteristik format penulisan
RBSK meliputi judul dengan atau tanpa anak judul (subjudul), teras berita,
penjelasan kronologis yang berpedoman pada apa, siapa, kapan, di mana, mengapa,
bagaimana, berapa (Sulistiyo, 2001). Berkaitan dengan redundansi, karakteristik
dalam hal penghindaran bentuk-bentuk mubazir dan kalimat panjang dalam RBSK
perlu mendapat aksentuasi.
Biarpun prinsip
kehematan kata dan penghindaran bentuk redundansi menjadi ciri khas RBSK
(Siregar, 1994; Muhtadi, 1999), ternyata terjadi juga pelanggaran selama
bertahun-tahun. Anehnya, hal ini tidak trerasakan sebagai pelanggaran terhadap
prinsip kehematan dalam RBSK. Perhatikan
kutipan berita (10), (11), dan (12)!
10)
Situasi cukup genting karena dua tentara juga terluka parah dan
mengerang-erang. Keduanya kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat oleh
personel medis menggunakan Humvee. (Jawa Pos, 17/7/2006)
11)
Usulan tentang dana talangan untuk program padat karya, menurut
Maksum, dimaksudkan untuk mempercepat pengerjaan perbaikan saluran irigasi
yang rusak.…Program padat karya dilaksanakan oleh pimpinan proyek dari staf
dinas pertanian kabupaten, sedangkan dana penyaluran untuk program padat karya
dikoordinir oleh kepala desa setempat… Dana program padat karya untuk
Jawa Timur yang dialokasikan sebesar Rp5,08 miliar diberikan untuk 33.900
keluarga dari tujuh kapupaten yang terpilih. (Kompas, 2/9/2007)
12)
Bupati Pamekasan Drs. Ach. Syafii Yasin mengungkapkan dalam waktu
dekat pihaknya akan segera mengumpulkan semua pihak terkait untuk
membicarakan penanganan prostitusi secara serius. … Bupati Pamekasan secara
jujur mengakui sampai saat ini Pemkab masih kesulitan untuk mencari penanganan
yang tepat tentang masalah tersebut. … Karena itu, untuk mencari format
penanganan yang tepat, dalam waktu dekat, pemkab akan mengumpulkan semua
pihak terkait. Ia berharap pemkab segera merealisasikann pertemuan itu
untuk mencari solusi terbaik. (Radar Surabaya, 9/9/2006)
Pada RBSK (10) terdapat frase rumah sakit
terdekat—kata terdekat inilah pangkal terjadinya redundansi. Hanya
dengan kata rumah sakit, tanpa kata terdekat pun, makna kalimat
dalam teks RBSK ini sudah amat jelas; amat kecil kemungkinan terjadinya
ketaksaan makna. Konteks intralingual sebelum frase tersebut serta konteks
ekstralingual sudah amat mendukung penggiringan pembaca ke arah satu makna.
Jika dalam situasi genting, ada seseorang yang terluka parah dan dibawa ke
rumah sakit, maksudnya tidak lain adalah rumah sakit yang paling dekat, yang
paling cepat dan mudah dijangkau. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika orang
terluka di Surabaya,
lalu dibawa ke rumah sakit di luar Surabaya—katakan
saja RS Banyuwangi atau Pacitan, misalnya—mungkin orang tersebut keburu
sekarat, bahkan meninggal. Maka, dalam sudut pandang penulisan ragam berita, RBSK (10) jelas mengalami
redundansi dan kata yang menjadi biang keladinya (terdekat) harus
dihilangkan.
RBSK
(ll) juga menyimpan redundansi, bahkan sampai tiga kali, yaitu frase perbaikan saluran irigasi yang
rusak, kepala desa setempat, serta tujuh kapupaten yang terpilih.
Digunakannya kata perbaikan pada frase perbaikan saluran irigasi yang
rusak sesungguhnya sudah mengisyaratkan adanya sesuatu—dalam hal ini saluran irigasi—yang rusak. Jika tidak ada yang rusak, apanya yang
diperbaiki. Maka, untuk apa masih juga dipakai yang rusak pada frase
tersebut? Redundasi kedua adalah kelebihan kata setempat pada frase kepala
desa setempat., karenanya kata setempat laik dihilangkan. Dalam
konteks RBSK (ll), koordinasi penyaluran dana program padat karya, tentu saja,
dilakukan oleh kepala desa tempat program tersebut dilaksanakan. Sungguh tidak
lucu jika program dilaksanakan di desa A, tetapi koordinatornya kepala desa B,
misalnya. Frase tujuh kapupaten yang terpilih juga menyimpan kelimpahan
kata, yakni yang terpilih. Rasanya cukup jelas bahwa pengalokasian dana
sebesar Rp5,08 miliar tentu saja diberikan kepada keluarga di kabupaten yang
harus dipilih dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kondisi pembangunan
pertanian. Dengan kata lain, tidak semua dan tidak sembarang kabupaten diberi
dana itu. Penentuannya tidak secara acak, tetapi lewat seleksi ketat. Oleh
karena itu, sesungguhnya hanya dengan frase tujuh kapubaten, pembaca
sudah dapat menangkap bahwa ketujuh kabupaten itu dipilih dan tidak diacak
begitu saja. Secara alamiah, pembaca tentu tidak akan melakukan ”perluasan”
konteks (Samsuri, 1998; Siregar, 2004) saat menafsirkan frase ini.
Pada
RBSK (12) terjadi enam kali redundansi. Sebagai frase yang muncul dalam klausa
sebuah ragam yang sejak awal secara konvensional memegang prinsip kehematan
kata (Anwar, 1998; cf. Sudaryanto, 2003), keenam redundansi tersebut sungguh
sebuah cela yang harus dikoreksi. Pertama, pada klausa pihaknya akan
segera mengumpulkan semua pihak terkait, kata terkait pada
frase semua pihak terkait adalah redundansi dan karenanya harus
dihilangkan. Cukup dengan menulis semua pihak, pembaca akan tahu bahwa
yang dimaksud adalah ‘semua pihak yang terkait’; jika tidak terkait, untuk apa
dikumpulkan seorang bupati (Pamekasan) dalam suatu urusan (penanganan
prostitusi).
Kedua, klausa membicarakan
penanganan prostitusi secara serius menyimpan frase yang redundan yang
pantas dihapus, yakni secara serius. Jika seorang bupati sampai
mengumpulkan semua pihak untuk membicarakan penanganan masalah prostitusi di
wilayahnya, pastilah yang dimaksud adalah penanganan secara serius 4). Maka, mustahil munculnya kalimat
“Bupati Pamekasan mengumpulkan semua pihak terkait untuk membicarakan
penanganan prostitusi secara main-main”, misalnya.
Ketiga, pada klausa Pemkab masih
kesulitan untuk mencari penanganan yang tepat tentang masalah tersebut terdapat
kelimpahan frase yang tepat yang sesungguhnya dalam RBSK layak dicoret.
Tentu, jika dikatakan bahwa Pemkab kesulitan mencari penanganan (masalah
prostitusi), yang dimaksud pastilah penanganan yang tepat, jitu, atau efektif.
Jika penanganan yang dimaksud adalah yang tidak tepat, asal-asalan, sembrono,
misalnya, tentu Pemkab tidak akan kesulitan mencarinya.
Keempat, seperti halnya redundansi
ketiga, pada klausa mencari penanganan yang tepat, terdapat bentuk
redundannya adalah frase yang tepat. Tentu saja, bentuk ini harus
dihapus demi prinsip kehematan kata dalam penulisan RBSK. Jika dikatakan penanganan,
dengan sendirinya yang dimaksud pastilah ‘penanganan yang tepat’.
Kelima, seperti redundansi pertama,
kata terkait dalam frase semua pihak terkait layak dihapus. Pihak
yang dikumpulkan Pemkab pastilah dengan sendirinya pihak yang terkait. Jika
tidak terkait, buat apa semua pihak itu dikumpulkan. Penjual sate atau penjaja jamu
ramuan madura di Jembatan Suramadu, misalnya, tentu tidak masuk hitungan.
Keenam, informasi yang terkandung
dalam kalimat terakhir pada RBSK (12) adalah ‘harapan agar Pemkab
merealisasikan pertemuan untuk mencari solusi’. Tidak mungkin solusi yang
diharapkan dicari adalah solusi yang terjelek. Oleh karena itu, tanpa kata terbaik
pun, sesungguhnya di dalam klausa mencari solusi dalam konteks kalimat
ini sudah terkandung makna ‘terbaik’. Maka, sebagai bentuk yang redundan, kata terbaik
layak ditanggalkan.
Redundansi RBSK: Perbandingan
Antarperspektif
Terhadap
objek yang sama, yakni redundansi pada RBSK, sikap antarperspektif dapat sama,
dapat pula berbeda. Dalam menyikapi redundansi RBSK, sebuah perspektif
barangkali berpandangan seiring dengan perspektif lain, tetapi pada saat yang
sama juga berpandangan berlawanan—atau setidaknya berlainan—dengan perspektif
yang lain lagi. Hal ini terjadi karena orientasi ancangan atau pendekatan (approach)
setiap disiplin keilmuan ketika didudukan sebagai perspektif, untuk melihat
suatu objek, juga tidak selalu sama (Suriasumantri, 1994; van Peursen, 1995).
Berdasarkan
pandangan setiap perspektif bidang kajian yang diberikan terhadap redundansi
RBSK, dapat ditemukan dua kelompok kasar. Kelompok pertama adalah yang
memandang redundansi sebagai sebuah kewajaran gaya bahasa seseorang dan
karenanya boleh-boleh saja dan kelompok kedua adalah yang memandang
redundansi sebagai kesalahan dan karenanya harus dilenyapkan. Yang layak masuk
ke dalam kelompok pertama adalah stilistika dan semantik, sedangkan analisis
wacana dan sosiolinguistik pantas masuk ke dalam kelompok kedua.
Stilistika
dan semantik tidak pernah memvonis redundansi sebagai sebuah kesalahan karena
orientasi ancangan keilmuan kedua disiplin ini memang deskriptif eksplanatif.
Kedua disiplin hanya memberikan perian (deskripsi) terhadap fenomena lingual
(Yule, 1996a; Palmer, 1977; Lyons, 1998) yang terdapat dalam RBSK. Lebih
lanjut, perian-perian tentang redundansi dalam RBSK diformulasikan dalam
eksplanasi berupa karakteristik linguistik. Dengan demikian, sebagai sudut
pandang, semantik dan stilistika memandang redundansi dalam RBSK sebagai
sesuatu yang netral, sah, boleh, dan menganggapnya sebagai gejala natural
kebahasaan seseorang. Dalam kajian
kebahasaan secara deskriptif, redundansi adalah model alamiah pemakaian bahasa
manusia (Horn, 2000; Allan, 2001).
Analisis
wacana dan sosiolinguistik memandang redundansi dalam RBSK sebagai suatu bentuk
yang salah, berlebihan, dan sebagai kelimpahan yang harus dihapus karena
orientasi ancangan keilmuan kedua disiplin dalam topik ini (RBSK) memang
normatif preskriptif. Orientasi ancangan ini berjalan dalam dua prinsip. Pertama,
kedua disiplin sejak awal sudah memasang norma: pemakaian kata dalam RBSK harus
hemat dan singkat. Kedua, berdasarkan norma pertama, kedua disiplin memandang redundansi dalam
RBSK sebagai suatu bentuk yang berlebihan (kelimpahan), yang salah, dan
karenanya harus ditanggalkan. Pada analisis wacana, kemunculan redundansi pada
RBSK dihadang oleh norma pragmatik tindak tutur berupa maksim kuantitas dan
maksim cara (Crystal, 1997; Yule, 1996; cf. Aitchison, 1995) yang menggariskan
penggunaan bahasa seperlunya, tidak lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pada
sosiolinguistik, kemunculan redundansi dikendalai oleh aturan penulisan RBSK
(Muhtadi, 1999; Hendarin, 2003; Dalwiningsih, 2007) yang mengharuskan pemakaian
kata secara hemat, singkat, padat.
Kesimpulan
Pemakaian
bahasa pada rubrik berita memperhatikan
prinsip kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai sebuah ragam
bahasa. Berdasarkan sudut pandang stilistika, semantik, analisis wacana,
dan sosiolinguistik, redundansi RBSK disikapi secara berlainan karena orientasi
ancangan kebahasaan setiap disiplin juga berbeda-beda. Stilistika dan semantik
berorientasi ancangan kebahasaan deskriptif ekspalanatif, sehingga memandang
redundansi dalam RBSK sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, dan boleh-boleh
saja. Sebaliknya, analisis wacana dan stilistika berorientasi ancangan normatif
preskriptif, sehingga memperlakukan redundasi dalam RBSK sebagai suatu bentuk
kelimpahan dan kesalahan yang harus dihapus.
Masyarakat
dan wartawan barangkali telanjur yakin bahwa pemakaian bahasa dalam ragam
berita koran sudah ekonomis, misalnya tradisi menanggalkan prefiks meN- pada judul, menanggalkan kata bahwa, pada, dengan, dsb. Akan tetapi,
kelimpahan selalu terjadi, malahan dengan modus ”baru” (Jupriono, 2004; Dalwiningsih,
2007; cf. Horn, 2000). Oleh karena itu, jika kajian ini diteruskan, itu bukan sebuah kesia-siaan.
Tentu saja, hendaknya data diperluas, misalnya dalam hal sumber data. Jika
masih mungkin, perlu juga data kajian ini berekspansi ke ragam bahasa berita
media elektronik.
Catatan Akhir
[1] Jika observasi penulis bisa dipercaya,
baru ada satu kajian—itu pun semacam kajian pengantar awal—tentang bentuk baru
keborosan bahasa dalama ragam berita, baca: D. Jupriono,
”Pemborosan Bahasa dalam Ragam Berita: Bentuk ’Baru’ Kelimpahan Kata dalam
Ragam Berita Surat Kabar”. Parafrase
4(1) Februari 2004: 34—44.
2 Inti pandangan ini adalah bahwa gaya bahasa
itu mencerminkan orangnya. Dari kata-kata yang dipilih (diction), majas yang dimunculkan, skema struktur teks yang
ditampakkan, misalnya, orang dapat menentukan (baca: menebak) siapa orang yang
sedang berbicara/berpidato/menulis suatu paparan tanpa terlebih dahulu membaca
atau diberi tahu siapa pembicara/penulisnya. Tentang ini, baca: E. Hilton, Exposition: A Rhetoric and Reader with Literary
Emphasis (Belmont, California: Wadsworth Publishing Co., 1987).
3 Sekadar menyebut beberapa kajian: I D.P. Wijana, “Wacana Kartun
Bahasa Indonesia” (Prisma 1, Januari
1996) hal. 1—15; W. Soedjatmiko, “Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam
Humor” dlm. B.K. Purwo (ed.), PELBBA 5
(Yogyakarta: Kanisius, 1992) hal. 69—96; A. Gunarwan, “Persepsi Kesantunan
Direktif di dalam Bahasa Indonesia di
antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dlm. B.K. Purwo (ed.), PELBBA 5 (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
hal.179—215; D. Jupriono, “Wacana Humor Gus Dur dalam Perspektif Tindak Tutur”
(Humanika 5/2, Desember 2001) hal.
1—16.
4 Sebagai bangsa yang secara sadar menempatkan agama sebagai dasar
formal kehidupan berbangsa dan bermasyarakat (dalam wujud sila Ketuhanan Yang
Mahaesa), masyarakat Indonesia—dari rakyat melarat hingga pejabat
berpangkat—lazim membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan pornografi
(prostitusi, VCD porno, libidoseks) secara sembunyi-sembunyi, penasaran, sangat
tertarik tetapi malu-malu memperlihatkannya. Maka, seminar mewah di hotel megah
tentang pornografi atau apa pun yang bersangkut paut dengan seks senantiasa
dibanjiri peserta. Meskipun demikian, jika seorang bupati sampai mengumpulkan
staf untuk menagani suatu kasus, dengan sendirinya itu sangat serius—sehingga
tidak perlu dieksplisitkan frase secara
serius.
Daftar Pustaka
Ahmadi, M.
1997. Pengembangan Paragraf serta Penciptaan gaya Bahasa Karangan. Malang: YA3.
Aitchison, J. 1995. Linguistics.
London: Hodder
and Stoughton.
Allan, K. 2001. Natural
Language Semantics. Oxford:
Blackwell Publishers Ltd.
Anwar, H.R. 1998. Bahasa
Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Crystal, D.
1997. The Cambridge Encyclopedia of
Language. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Dalwiningsih.
2007. “Kohesi Gramatikal dalam Berita pada Surat Kabar di Jawa Timur”. Medan Bahasa 2(1) Juli: 41—50.
Gunarwan, A. 1992. “Persepsi
Kesantunan Direktif di dalam Bahasa
Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dlm. B.K. Purwo
(ed.), PELBBA 5. Yogyakarta:
Kanisius, hal.179—215.
Hilton, E. 1987.
Exposition: A Rhetoric and Reader with Literary Emphasis. Belmont,
California: Wadsworth Publishing Co.
Horn, L.R. 2000. ”Economy
and Redudancy in a Dualistic Model of Natural Language”. www.yale.edu/linguist/ faculty/RTP_version_of_sky_paper.rtf
Hendarin, Y. 2003. ”Meneropong Bahasa Media Massa”. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/20/teropong
lainnya01.htm
Jupriono, D. 2004. ”Pemborosan Bahasa dalam Ragam Berita: Bentuk ’Baru’
Kelimpahan Kata dalam Ragam Berita Surat Kabar”. Parafrase 4(1) Februari: 34—44.
Jupriono, D. 2009. ”Beberapa Pandangan terhadap Daripada: Tinjauan
Kepustakaan”. http://sastra-bahasa.
blogspot .com/2009
Jupriono, D. 2009a. ”Bahasa Indonesia untuk Karya Tulis Ilmiah (BIKTI)”. (Untuk
kalangan sendiri). Surabaya: Fak. Sastra & FISIP, Untag Surarbaya.
Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Levinson, S.C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Lyons, J. 1998. Introduction
to Theoretical Linguistics. New York: The Macmillan Co.
Muhtadi, A.S. 1999. Jurnalistik: Pendekatan, Teori, dan Praktek.
Jakarta: Logos.
Palmer, F.R.
1997. Semantics: A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press.
Samsuri. 1998.
“Analisis Wacana”. Materi Kuliah Umum bagi Dosen-dosen Fakultas Sastra, Untag
Surabaya.
Siregar, B.U.
2003. ”Metaphors of Governance in the Language of the Indonesian Press”. Language, Linguistics and the Real World:
Language Practices in the Workplace. KL: UMP.
Soedjatmiko, W. 1992. “Aspek
Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor” dlm. B.K. Purwo (ed.) PELBBA 5. Yogyakarta:
Kanisius. hal. 69—96.
Subrata. 1997. ”Penggunaan Bahasa Jurnalistik pada Media Massa: Pendekatan
Empiris”, dlm Sudaryanto & Sulistiyo (ed.), Ragam Bahasa Jurnalistik dan
Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.
Sudaryanto. 2003. ”Efisiensi Bahasa Bisa Berbuntut Kebingungan”. www.suaramerdeka.com/harian/0210/30/
kot13.htm
Sulistiyo. 2001. ”Struktur Wacana Berita Surat Kabar Berbahasa Indonesia”. Lingua
Artistika 24(3) September: 427—441.
Suriasumantri, J.S. (ed.). 1994. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suroso. 2003. ”Bahasa Jurnalistik Perspektif Berita Utama Politik
Surat Kabar Indonesia pada Awal Era Reformasi (1999)”. Disertasi UNJ Jakarta.
van Peursen, C.A.
1995. Susunan Ilmu Pengetahuan Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Gramedia.
Verhaar, J.W.M.
1986. Pengantar Lingguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Wijana, I D.P. 1996. “Wacana
Kartun Bahasa Indonesia” Prisma 1,
Januari: 1—15.
Yule, G. 1996. Pragmatics.
Oxford: Oxford University Press.
Yule, G. 1996a. The
Study of Language. Cambridge:
Cambridge Univ. Press.
8 Oktober 2014 pukul 05.45
Job Internship salaries Japanese companies working 15-25 million / month
Japan Internship Non IMM
Jobs in Japan Free
Japan Internship Department of labor
job for high school vocational
vocational schools , job latest
Cheap property
Photo and Video Shooting wedding jakarta
Jakarta Wedding Photographer services
internship job japanese company
Selling cheap modem distributor prices
Lowongan Magang kerja perusahaan jepang gaji 15-25 juta/Bulan
Lowongan Magang Jepang Non IMM Terbaru
Lowongan Kerja ke Jepang Gratis
Magang Jepang Depnakertrans
Loker SMA SMK
Lowongan SMK Terbaru
Properti Murah
Foto dan Video Shooting jakarta
Jasa Fotografer Wedding Jakarta
japanese Intership program
Jual Modem murah harga distributor