DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Redundansi Bahasa Ragam Berita: Perspektif Stilistika, Semantik, Analisis Wacana, Sosiolinguistik



Umul Khasanah, Ketua Jurusan Bahasa Jepang, Fakultas Sastra, Untag Surabaya, master of literature, alumni The Graduate School of Humanities and Social Sciences, Kochi University, Kochi, Jepang
D. Jupriono, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP dan Fakultas Sastra, Untag Surabaya
Sudarwati, dosen Fakultas Sastra, Untag Surabaya; alumni Prodi S-2 Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Untag Surabaya; mahasiswa Program S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya                        

Abstract. This article explores the language use in newspaper columns. The principle of frugality, beauty, coherence, and language feature as language varieties should be considered in language use in newspaper columns.. Thus, various news can be studied from various approaches.   RBSK redundancy is treated differently by the stylistics, semantics, discourse analysis and sociolinguistics because of different language design orietantion of each field. Stylistics and semantics approach language use in expalanative descriptive point of views that results in regarding redundancy in RBSK as normal and acceptable. In contrast, discourse analysis and stylistics approach the language use in normative prescriptive point views that results in regarding redundancy in RBSK as mistakes should be avoided.

Key words: redundancy, news varietes, discourse analysis, sociolinguistics, semantics


Pendahuluan
Diskusi tentang ragam bahasa jurnalistik lazimnya didominasi oleh pembahasan tentang ragam (bahasa) berita. Selama ini, adatnya, diskusi mengenai ragam berita surat kabar berbahasa Indonesia—selanjutnya cukup disebut RBSK—senantiasa bersangkut paut dengan kelengkapan komponen berita (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, berapa, bagaimana) dan bagaimana semua itu disajikan (objektif, jujur, ringkas, padat). Pemakaian bahasa pada rubrik berita memperhatikan prinsip kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai sebuah ragam bahasa. Maka, ragam berita dapat dikaji dari berbagai ancangan. Bahwa berita harus disajikan secara ringkas, efisien, dan padat perlu mendapat aksentuasi. Pengobralan kata dalam penulisan berita akan mengakibatkan terjadinya kelimpahan kata (Kridalaksana, 1993) atau redundansi (redundancy).
Dengan berbagai fokus telaah, RBSK sering dikaji. Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini. Penggunaan ragam bahasa jurnalistik pada media massa cetak dan elektronik distudi secara empiris oleh Subrata (1997). Segi-segi kreatif ragam jurnalistik dan prospek ke depannya diteliti Sudaryanto (1997). Struktur wacana RBBI tuntas dibahas  Sulistiyo (2001). Dampak efisiensi bahasa dalam ragam jurnalistik pada pemahaman pembaca didiskusikan Sudaryanto (2003) dan Jupriono (2004). Kemiskinan struktur dalam ragam jurnalistik berbahasa Indonesia diteliti Suroso (2003) dan kohesi gramatikalnya ditelaah oleh Dalwiningsih (2007). Diksi dalam berita sebagai cermin perubahan sosial dibahas Siregar (2004). Sementara itu, kesalahan penggunaan bahasa pada media massa, termasuk pada RBSK dibahas Hendarin (2003).
Secara eksplisit atau implisit, semua penulis bersepakat bahwa RBSK hendaknya menghindari redundansi; ia harus ditulis dengan singkat, hemat, dan  padat (Subrata, 1997; Muhtadi, 1999)—dan ini pulalah yang menjadi persepsi awam hingga sekarang. Pada umumnya orang menganggap bahwa selama ini gaya sajian berita di koran-koran sudah pasti telah mengikuti prinsip efisiensi kata, sudah pasti terhindari dari redundansi kata, tulisan ini justru mempertanyakan kebenaran anggapan tersebut 1). Jika efisiensi kata selama ini hanya dilihat  dari pelesapan afiks pada judul berita dan penanggalan kata depan dalam konstruksi kalimat, dalam tulisan ini efisiensi kata lebih difokuskan pada penggunaan unsur penjelas fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, pelengkap, keterangan). Fokus kajian tersebut, selanjutnya, akan ditinjau dari berbagai perspektif keilmuan, yakni stilistika, semantik, sosiolinguistik, dan analisis wacana.
Dengan berpangkal pada berbagai perspektif tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah redundansi pada RBSK menurut perspektif stilistika, semantik, analisis wacana, dan sosiolinguistik? (2) Bagaimanakah perbandingan penyikapan terhadap redundansi pada RBSK di antara keempat perspektif tersebut?

Redundansi RBSK dalam Perspektif Stilistika
Hemat borosnya penggunaan kata dalam mengekspresikan maksud pembicaraan atau tulisan merupakan salah satu aspek dalam perilaku berbahasa seseorang. Perilaku ini merupakan salah satu bentuk gaya bahasa atau majas (style, figurative language) seseorang. Begitu bergantungnya  bentuk gaya bahasa dengan orang yang mengucapkannya membuat Earl Hilton (1987) berkesimpulan bahwa the style is the man 2). Pada gilirannya, gaya bahasa akan menghasilkan figure of speech. Disiplin keilmuan yang membidangi kajian gaya bahasa adalah stilistika. Sekalipun tidak harus, stilistika lebih sering dimunculkan dalam kajian sastra ketimbang bahasa.
Gaya bahasa dapat dibedakan atas (1) gaya perasosiasian pikiran (mental association) dan (2) gaya penegasan, penekanan, penguatan (Hilton, 1987; Ahmadi, 1997). Gaya perasosiasian mencakup 14 majas, misalnya metafora, personifikasi, dan allusio. Gaya penegasan, penekanan, penguatan meliputi 25 majas, misalnya polisindenton, enumerasis, dan pleonasme. Majas yang layak mendapat perhatian dalam kajian ini adalah pleonasme. Dalam ungkapan sederhana, pleonasme merupakan gaya bahasa berupa penggunaan kata-kata yang lebih dari yang diperlukan (Jupriono, 2009). Kata-kata tersebut dihamburkan untuk mencapai ketegasan maksud (Hilton, 1987). Agaknya, konsep dasar pleonasme ini amat dekat dengan redundansi.
Dalam stilistika, gaya bahasa dimanfaatkan untuk memilih dan mengatur kata dan kalimat yang dianggap paling mengekspresikan tema, ide, emosi, serta pengalaman pembicara/penulisnya. Dalam konteks stilistika, tidak dipersoalkan apakah kata-kata dipakai dengan boros, irit, atau pas-pasan saja. Ia adalah soal gaya penggunaan bahasa (style of language use) (Allan, 2001) belaka. Maka, redundansi dalam RBSK pun, dilihat dari sudut pandang stilistika, sah-sah saja, tidak disalah-salahkan sepanjang penggunaan tersebut memang dinilai paling tepat untuk mengekspresikan maksud berita. Perhatikan beberapa kutipan RBSK dari surat kabar nasional dan lokal berikut (Kutipan bercetak miring dari penulis, DJ; juga berlaku untuk contoh berikutnya).

1)     Laki-laki 35 tahun ini dihajar massa karena menghajar gadis bisu tetangganya … Melihat pemandangan sadis ini, ia lantas berteriak minta tolong, sehingga mengundang warga sekitar. (Jawa Pos, 1/9/2008)

2)     Pemotongan dana rehabilitasi sekolah dianggap biasa dan bahkan sudah sesuai dengan peraturan yang ada. (Kompas,  4/9/2007)

3)     Menurut Kapolres Sidoarjo, AKPB Ronny F. Sompie SH … “… Tetapi hukum tetap ditegakkan, siapa pun pelanggarnya harus diproses sesuai hukum,” tegasnya. (Surabaya News, 2/9/2006)

Orang boleh-boleh saja mempersoalkan bahwa kata sekitar pada klausa mengundang warga sekitar, pada kutipan RBSK (l), merupakan bentuk kelimpahan, berlebihan, sebab dalam konteks tersebut yang dimaksud warga (perhatikan: tanpa kata sekitar!) dengan sendirinya pastilah ‘warga sekitar tempat tinggal gadis bisu’, sehingga sesungguhnya tidak perlu lagi dipakai kata sekitar. Pada RBSK (2) orang mungkin juga berpendapat bahwa pemakaian penjelas yang ada pada frase peraturan yang ada jelas berlebihan, termasuk redundansi; adakah “peraturan yang tidak ada” disebut orang?; dengan hanya menyebut peraturan, tanpa frase yang ada, yang dimaksudkan pastilah bukan ‘peraturan yang tidak ada’, melainkan ‘peraturan yang ada’; untuk apa disebut jika peraturan itu tak ada. Demikian juga pada kutipan RBSK (3), orang dapat mengoreksi bahwa dalam konteks penegakan hukum oleh aparat kepolisian, yang dimaksud diproses pastilah ‘diproses sesuai (dengan) hukum’ dan bukan diproses sesuai dengan bisikan paranormal, dukun sakti, atau kehendak main hakim massa; maka, tanpa  frase sesuai hukum pun, maksud kata itu sudah jelas.
Meskipun demikian, dalam disiplin stilistika, apa pun yang ditulis seorang penulis dan dikatakan seorang pengata adalah gaya bahasanya (Allan, 2001). Karena itulah, pemakaian kata-kata yang dianggap berlebihan seperti dalam kutipan RBSK (1), (2), dan (3) sah-sah saja. Bahkan, ada namanya lagi: pleonasme (pleonasm) (Hilton, 1987).

Redundansi RBSK  Menurut Perspektif Semantik

Dalam semantik, redundansi merupakan salah satu topik yang sejajar dengan topik lain macam homonimi, sinonimi, antonimi, polisemi, dan hiponimi (Palmer, 1997; Allan, 2001). Oleh karena itu, redundansi kata-kata dikajinya dengan netral dan tidak dianalisis dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar, berlebihan-ekonomis. Dalam ketiga kutipan di muka, misalnya, tidak dipersoalkan manakah yang betul warga ataukah warga sekitar (1), peraturan ataukah peraturan yang ada (2), diproses ataukah diproses sesuai hukum (3). Perhatikan juga kutipan RBSK (4), (5), (6)!

4)     Para napi berhasil menjebol besi tersebut  berikut kaca setebal 5 inci … Suara pecahan kaca sempat membangunkan warga sekitar rutan. (Jawa Pos, 8/9/2008)

5)     Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dinilai telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. (Kompas, 4/9/2008)

6)           Warga langsung membawa korban ke RSUD Bangkalan untuk diberi pertolongan medis. (Jawa Pos, 8/9/2007)

Pandangan bahwa RBSK harus menggunakan kata-kata seefisien mungkin akan mempersoalkan mengapa frase sekitar rutan (4), frase yang baik (5), dan kata medis (6) masih juga dipakai; mestinya dihilangkan saja. Tanpa frase dan kata ini, pembaca sudah mafhum bahwa kalau disebut warga, pastilah yang dimaksud adalah ‘warga sekitar rutan’ dan tidak mungkin warga sekitar pantai atau pusat pertokoan. Kalau disebut asas-asas umum pemerintahan, yang dimaksud pastilah ‘asas-asas umum pemerintahan yang baik’—jika toh misalnya saja ada “asas-asas pemerintahan yang buruk”, untuk apa pula ia dirujuk. Jika dibawa ke RSUD (di mana pun!), orang pun mafhum, pastilah korban akan diberi pertolongan medis dan tentu bukan diberi pengobatan alternatif atau mantra ampuh dukun sakti.
Berbeda dengan pandangan normatif seperti itu, semantik tidak membuat evaluasi bahwa suatu kalimat berlebihan atau ekonomis (Palmer, 1997; Crystal, 1997) dalam menggunakan kata-kata. Dalam kajian semantik, redundansi disikapi secara netral deskriptif dengan difokuskan pada dua konsep semantis—yang artinya sering dikontaminasikan—yaitu perifrase (periphrase) dan parafrase (paraphrase) (Verhaar, 1993: 127). Dengan kedua konsep semantis ini, frase warga sekitar rutan (4) merupakan perifrase (rumusan lebih panjang) sekaligus parafrase (rumusan informasi yang sama dengan bentuk yang berbeda) dari warga, frase asas-asas umum pemerintahan yang baik (5) merupakan perifrase sekaligus parafrase dari asas-asas umum pemerintahan, dan kata pertolongan medis (6) merupakan perifrase sekaligus parafrase dari pertolongan. Kedua bentuk masing-masing mendukung maksud yang sama, tetapi memuat nuansa makna yang berbeda; implisit di sini bahwa makna berbeda dengan maksud (Verhaar, 1993: 138).

Redundansi RBSK  Menurut Perspektif Analisis Wacana
Analisis wacana (discourse analysis) mengkaji satuan lingual di atas tatataran kalimat (Kridalaksana, 1993; Samsuri, 1998). Di dalamnya dibahas berbagai konsep wacana macam implikatur konvensional-konversional, praanggapan (presupposition), koherensi, kohesi, interpretasi lokal, analogi, dan tindak tutur (speech act) (Crystal, 1997; Allan, 2001). Dari sekian konsep, yang bersangkutan erat dengan redundansi adalah tindak tutur, yang menyarankan dipatuhinya aturan-aturan tutur yang mencakup parameter pragmatik (pragmatic pameter), prinsip kesantunan (politeness principle), dan prinsip kooperatif (cooperative principle).  Ketiga hal ini menarik minat banyak orang untuk menelaahnya 3).
Demi efektivitas komunikasi pesan dengan prinsip kooperatif, H.P. Grice  menyarankan adanya empat aturan (maksim) tutur, yaitu (1) maksim kuantitas (maxim of quantity) yang menyarani penutur agar memberikan pernyataan seinformatif mungkin sebanyak yang diperlukan (jangan berlebihan menyampaikan kata-kata), (2) maksim kualitas (maxim of quality) yang menyarani penutur agar menyampaikan informasi dengan benar dan bukti yang memadai, (3) maksim relevansi (maxim of relevance) yang menyarani penutur agar menyampaikan informasi yang relevan, dan (4) maksim cara (maxim of manner) yang menyarani penutur agar menghindari pernyataan yang kabur dan ambigu serta menyatakan dengan urut dan sesingkat mungkin (Grice dlm. Levinson, 1995; Yule, 1996). 
Dalam hal ini, redundansi berkaitan dengan maksim kuantitas dan maksim cara. Sebagai sebuah prinsip yang mengatur bagaimana orang harus bertutur, kedua maksim tentulah memandang pernyataan apa pun dengan parameter preskriptif.  Dengan kedua maksim ini, redundansi dipandang sebagai kesalahan dan karenanya harus dihindari. Menurut maksim kuantitas dan cara, pada RBSK (6), misalnya, adalah berlebihan jika masih juga ditambahkan kata medis pada kata pertolongan, sementara konteksnya jelas-jelas RSUD. Adakah jenis pertolongan selain pertolongan medis jika tempatnya di RSUD? Perhatikan pula kutipan RBSK (7), (8), dan (9)!

7)               Sainem lantas bergegas menghubungi beberapa tetangganya yang sedang beristirahat di rumah. Kabar tenggelamnya dua bocah cilik di Sungai Brantas itu sontak menggegerkan warga setempat. (Jawa Pos, 8/9/2007)

8)               Áda 16 rumah yang harus dikosongkan dan warganya mengungsi dulu ke tempat lain,” kata Bupati Bandung Obar Sobarna. (Kompas, 17/9/2008)

9)               Selepas magrib kemarin, Planetorium Jakarta benar-benar tidak seperti biasa. Bahkan mulai pukul 16.00wib sudah dikunjungi warga yang berdatangan  baik dari dalam maupun luar kota. (Surya, 28/8/2006)

Maksim kuantitas dan cara mengharapkan seseorang memakai kata-kata seperlunya. Jika dapat dinyatakan dengan 2 kata, mengapa mesti dengan 5 kata. Maka, kata atau  frase yang mengakibatkan terjadi kelimpahan informasi layak dihapus.
Pada RBSK (7) pemakaian frase di rumah dan kata setempat dianggap sebagai kelimpahan dan karenanya harus dihapus. Dengan konteks penduduk sekitar Sungai Brantas, apabila disebut beristirahat tanpa frase di rumah,  maksudnya pastilah ‘beristirahat di rumah masing-masing’ dan bukan di motel, hotel, losmen. Dalam konteks yang sama pula, dapat dipastikan bahwa kata warga, tanpa kata sekitar, dengan sendirinya merujuk maksud ‘warga sekitar yang tinggal di pinggir Sungai Brantas’ dan mustahil pembaca menafsirkannya sebagai ‘warga Jakarta’ ataukah ‘warga Afrika Selatan’, misalnya. Pada RBSK (8) frase ke tempat lain merupakan kelimpahan yang layak dihilangkan berdasarkan sudut pandang maksim kuantitas dan maksim cara; apa yang disebut sebagai mengungsi pastilah ke tempat lain. Adakah mengungsi tetapi tidak ke tempat lain, melainkan masih tetap di tempat bencana semula? Selanjutnya, dengan telah dipakainya frase dikunjungi warga, pada RBSK (9), frase yang berdatangan dianggap sebagai bentuk redundansi yang laik dihilangkan; yang namanya warga berkunjung ya tentu dengan sendirinya berdatangan.
Dengan demikian, dalam disiplin analisis wacana, khususnya pada topik tindak tutur, redundansi atau kelimpahan kata dianggap melanggar prinsip maksim kuantitas dan maksim cara (Crystal, 1997; Levinson, 1995; Yule, 1996). Sebagai disiplin yang mendekati secara preskriptif-normatif, tindak tutur dalam analisis wacana menilai bahwa redundansi merupakan sebuah kesalahan.

 

Redundansi RBSK  Menurut Perspektif Sosiolinguistik

Dalam studi interdipliner sosiolinguistik, rubrik berita merupakan ragam bahasa berdasarkan salah satu ranah, yaitu  ragam berita—dalam hal ini RBSK. Sebagai salah satu ragam, RBSK memiliki karakteristik linguistik dan format penulisan tersendiri yang membedakannya dari ragam lainnya. Seperti sudah disinggung dalam bagian “Pendahuluan”, karakteristik linguistik RBSK meliputi penanggalan prefiks meN- pada judul, penanggalan beberapa preposisi (misalnya pada, dengan) dan konjungsi bahwa pada tubuh teks, penanggalan bentuk hipernim atau superordinat (Subrata, 1997; Sudaryanto, 2003), dan penggunaan kata-kata baku (Februana, 2000), pemakaian kalimat pendek dan penghindaran kalimat panjang (Muhtadi, 1999; Hendarin, 2003), penghindaran pemakaian kata-kata mubazir sebagai kelimpahan (Siregar, 1994; Anwar, 1998). Karakteristik format penulisan RBSK meliputi judul dengan atau tanpa anak judul (subjudul), teras berita, penjelasan kronologis yang berpedoman pada apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana, berapa (Sulistiyo, 2001). Berkaitan dengan redundansi, karakteristik dalam hal penghindaran bentuk-bentuk mubazir dan kalimat panjang dalam RBSK perlu mendapat aksentuasi.
Biarpun prinsip kehematan kata dan penghindaran bentuk redundansi menjadi ciri khas RBSK (Siregar, 1994; Muhtadi, 1999), ternyata terjadi juga pelanggaran selama bertahun-tahun. Anehnya, hal ini tidak trerasakan sebagai pelanggaran terhadap prinsip kehematan dalam RBSK. Perhatikan kutipan berita (10), (11), dan (12)!

10)            Situasi cukup genting karena dua tentara juga terluka parah dan mengerang-erang. Keduanya kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat oleh personel medis menggunakan Humvee. (Jawa Pos, 17/7/2006)

11)            Usulan tentang dana talangan untuk program padat karya, menurut Maksum, dimaksudkan untuk mempercepat pengerjaan perbaikan saluran irigasi yang rusak.…Program padat karya dilaksanakan oleh pimpinan proyek dari staf dinas pertanian kabupaten, sedangkan dana penyaluran untuk program padat karya dikoordinir oleh kepala desa setempat… Dana program padat karya untuk Jawa Timur yang dialokasikan sebesar Rp5,08 miliar diberikan untuk 33.900 keluarga dari tujuh kapupaten yang terpilih. (Kompas, 2/9/2007)

12)            Bupati Pamekasan Drs. Ach. Syafii Yasin mengungkapkan dalam waktu dekat pihaknya akan segera mengumpulkan semua pihak terkait untuk membicarakan penanganan prostitusi secara serius. … Bupati Pamekasan secara jujur mengakui sampai saat ini Pemkab masih kesulitan untuk mencari penanganan yang tepat tentang masalah tersebut. … Karena itu, untuk mencari format penanganan yang tepat, dalam waktu dekat, pemkab akan mengumpulkan semua pihak terkait. Ia berharap pemkab segera merealisasikann pertemuan itu untuk mencari solusi terbaik. (Radar Surabaya, 9/9/2006)

Pada RBSK (10) terdapat frase rumah sakit terdekat—kata terdekat inilah pangkal terjadinya redundansi. Hanya dengan kata rumah sakit, tanpa kata terdekat pun, makna kalimat dalam teks RBSK ini sudah amat jelas; amat kecil kemungkinan terjadinya ketaksaan makna. Konteks intralingual sebelum frase tersebut serta konteks ekstralingual sudah amat mendukung penggiringan pembaca ke arah satu makna. Jika dalam situasi genting, ada seseorang yang terluka parah dan dibawa ke rumah sakit, maksudnya tidak lain adalah rumah sakit yang paling dekat, yang paling cepat dan mudah dijangkau. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika orang terluka di Surabaya, lalu dibawa ke rumah sakit di luar Surabaya—katakan saja RS Banyuwangi atau Pacitan, misalnya—mungkin orang tersebut keburu sekarat, bahkan meninggal. Maka, dalam sudut pandang penulisan ragam berita, RBSK (10) jelas mengalami redundansi dan kata yang menjadi biang keladinya (terdekat) harus dihilangkan.
RBSK (ll) juga menyimpan redundansi, bahkan sampai tiga kali, yaitu  frase perbaikan saluran irigasi yang rusak, kepala desa setempat, serta tujuh kapupaten yang terpilih. Digunakannya kata perbaikan pada frase perbaikan saluran irigasi yang rusak sesungguhnya sudah mengisyaratkan adanya sesuatu—dalam  hal ini saluran irigasi—yang  rusak. Jika tidak ada yang rusak, apanya yang diperbaiki. Maka, untuk apa masih juga dipakai yang rusak pada frase tersebut? Redundasi kedua adalah kelebihan kata setempat pada frase kepala desa setempat., karenanya kata setempat laik dihilangkan. Dalam konteks RBSK (ll), koordinasi penyaluran dana program padat karya, tentu saja, dilakukan oleh kepala desa tempat program tersebut dilaksanakan. Sungguh tidak lucu jika program dilaksanakan di desa A, tetapi koordinatornya kepala desa B, misalnya. Frase tujuh kapupaten yang terpilih juga menyimpan kelimpahan kata, yakni yang terpilih. Rasanya cukup jelas bahwa pengalokasian dana sebesar Rp5,08 miliar tentu saja diberikan kepada keluarga di kabupaten yang harus dipilih dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kondisi pembangunan pertanian. Dengan kata lain, tidak semua dan tidak sembarang kabupaten diberi dana itu. Penentuannya tidak secara acak, tetapi lewat seleksi ketat. Oleh karena itu, sesungguhnya hanya dengan frase tujuh kapubaten, pembaca sudah dapat menangkap bahwa ketujuh kabupaten itu dipilih dan tidak diacak begitu saja. Secara alamiah, pembaca tentu tidak akan melakukan ”perluasan” konteks (Samsuri, 1998; Siregar, 2004) saat menafsirkan frase ini.
Pada RBSK (12) terjadi enam kali redundansi. Sebagai frase yang muncul dalam klausa sebuah ragam yang sejak awal secara konvensional memegang prinsip kehematan kata (Anwar, 1998; cf. Sudaryanto, 2003), keenam redundansi tersebut sungguh sebuah cela yang harus dikoreksi. Pertama, pada klausa pihaknya akan segera mengumpulkan semua pihak terkait, kata terkait pada frase semua pihak terkait adalah redundansi dan karenanya harus dihilangkan. Cukup dengan menulis semua pihak, pembaca akan tahu bahwa yang dimaksud adalah ‘semua pihak yang terkait’; jika tidak terkait, untuk apa dikumpulkan seorang bupati (Pamekasan) dalam suatu urusan (penanganan prostitusi).
Kedua, klausa membicarakan penanganan prostitusi secara serius menyimpan frase yang redundan yang pantas dihapus, yakni secara serius. Jika seorang bupati sampai mengumpulkan semua pihak untuk membicarakan penanganan masalah prostitusi di wilayahnya, pastilah yang dimaksud adalah penanganan secara serius 4). Maka, mustahil munculnya kalimat “Bupati Pamekasan mengumpulkan semua pihak terkait untuk membicarakan penanganan prostitusi secara main-main”, misalnya.
Ketiga, pada klausa Pemkab masih kesulitan untuk mencari penanganan yang tepat tentang masalah tersebut terdapat kelimpahan frase yang tepat yang sesungguhnya dalam RBSK layak dicoret. Tentu, jika dikatakan bahwa Pemkab kesulitan mencari penanganan (masalah prostitusi), yang dimaksud pastilah penanganan yang tepat, jitu, atau efektif. Jika penanganan yang dimaksud adalah yang tidak tepat, asal-asalan, sembrono, misalnya, tentu Pemkab tidak akan kesulitan mencarinya.
Keempat, seperti halnya redundansi ketiga, pada klausa mencari penanganan yang tepat, terdapat bentuk redundannya adalah frase yang tepat. Tentu saja, bentuk ini harus dihapus demi prinsip kehematan kata dalam penulisan RBSK. Jika dikatakan penanganan, dengan sendirinya yang dimaksud pastilah ‘penanganan yang tepat’.
Kelima, seperti redundansi pertama, kata terkait dalam frase semua pihak terkait layak dihapus. Pihak yang dikumpulkan Pemkab pastilah dengan sendirinya pihak yang terkait. Jika tidak terkait, buat apa semua pihak itu dikumpulkan. Penjual sate atau penjaja jamu ramuan madura di Jembatan Suramadu, misalnya, tentu tidak masuk hitungan.
Keenam, informasi yang terkandung dalam kalimat terakhir pada RBSK (12) adalah ‘harapan agar Pemkab merealisasikan pertemuan untuk mencari solusi’. Tidak mungkin solusi yang diharapkan dicari adalah solusi yang terjelek. Oleh karena itu, tanpa kata terbaik pun, sesungguhnya di dalam klausa mencari solusi dalam konteks kalimat ini sudah terkandung makna ‘terbaik’. Maka, sebagai bentuk yang redundan, kata terbaik layak ditanggalkan.

Redundansi RBSK: Perbandingan Antarperspektif
Terhadap objek yang sama, yakni redundansi pada RBSK, sikap antarperspektif dapat sama, dapat pula berbeda. Dalam menyikapi redundansi RBSK, sebuah perspektif barangkali berpandangan seiring dengan perspektif lain, tetapi pada saat yang sama juga berpandangan berlawanan—atau setidaknya berlainan—dengan perspektif yang lain lagi. Hal ini terjadi karena orientasi ancangan atau pendekatan (approach) setiap disiplin keilmuan ketika didudukan sebagai perspektif, untuk melihat suatu objek, juga tidak selalu sama (Suriasumantri, 1994; van Peursen, 1995).
Berdasarkan pandangan setiap perspektif bidang kajian yang diberikan terhadap redundansi RBSK, dapat ditemukan dua kelompok kasar. Kelompok pertama adalah yang memandang redundansi sebagai sebuah kewajaran gaya bahasa seseorang dan karenanya boleh-boleh saja dan kelompok kedua adalah yang memandang redundansi sebagai kesalahan dan karenanya harus dilenyapkan. Yang layak masuk ke dalam kelompok pertama adalah stilistika dan semantik, sedangkan analisis wacana dan sosiolinguistik pantas masuk ke dalam kelompok kedua.
Stilistika dan semantik tidak pernah memvonis redundansi sebagai sebuah kesalahan karena orientasi ancangan keilmuan kedua disiplin ini memang deskriptif eksplanatif. Kedua disiplin hanya memberikan perian (deskripsi) terhadap fenomena lingual (Yule, 1996a; Palmer, 1977; Lyons, 1998) yang terdapat dalam RBSK. Lebih lanjut, perian-perian tentang redundansi dalam RBSK diformulasikan dalam eksplanasi berupa karakteristik linguistik. Dengan demikian, sebagai sudut pandang, semantik dan stilistika memandang redundansi dalam RBSK sebagai sesuatu yang netral, sah, boleh, dan menganggapnya sebagai gejala natural kebahasaan  seseorang. Dalam kajian kebahasaan secara deskriptif, redundansi adalah model alamiah pemakaian bahasa manusia (Horn, 2000; Allan, 2001).
Analisis wacana dan sosiolinguistik memandang redundansi dalam RBSK sebagai suatu bentuk yang salah, berlebihan, dan sebagai kelimpahan yang harus dihapus karena orientasi ancangan keilmuan kedua disiplin dalam topik ini (RBSK) memang normatif preskriptif. Orientasi ancangan ini berjalan dalam dua prinsip. Pertama, kedua disiplin sejak awal sudah memasang norma: pemakaian kata dalam RBSK harus hemat dan singkat. Kedua, berdasarkan norma pertama,  kedua disiplin memandang redundansi dalam RBSK sebagai suatu bentuk yang berlebihan (kelimpahan), yang salah, dan karenanya harus ditanggalkan. Pada analisis wacana, kemunculan redundansi pada RBSK dihadang oleh norma pragmatik tindak tutur berupa maksim kuantitas dan maksim cara (Crystal, 1997; Yule, 1996; cf. Aitchison, 1995) yang menggariskan penggunaan bahasa seperlunya, tidak lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pada sosiolinguistik, kemunculan redundansi dikendalai oleh aturan penulisan RBSK (Muhtadi, 1999; Hendarin, 2003; Dalwiningsih, 2007) yang mengharuskan pemakaian kata secara hemat, singkat, padat.

Kesimpulan
Pemakaian bahasa pada rubrik berita memperhatikan prinsip kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai sebuah ragam bahasa. Berdasarkan sudut pandang stilistika, semantik, analisis wacana, dan sosiolinguistik, redundansi RBSK disikapi secara berlainan karena orientasi ancangan kebahasaan setiap disiplin juga berbeda-beda. Stilistika dan semantik berorientasi ancangan kebahasaan deskriptif ekspalanatif, sehingga memandang redundansi dalam RBSK sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, dan boleh-boleh saja. Sebaliknya, analisis wacana dan stilistika berorientasi ancangan normatif preskriptif, sehingga memperlakukan redundasi dalam RBSK sebagai suatu bentuk kelimpahan dan kesalahan yang harus dihapus.
Masyarakat dan wartawan barangkali telanjur yakin bahwa pemakaian bahasa dalam ragam berita koran sudah ekonomis, misalnya tradisi menanggalkan prefiks meN- pada judul, menanggalkan kata bahwa, pada, dengan, dsb. Akan tetapi, kelimpahan selalu terjadi, malahan dengan modus ”baru” (Jupriono, 2004; Dalwiningsih, 2007; cf. Horn, 2000). Oleh karena itu, jika kajian ini diteruskan, itu bukan sebuah kesia-siaan. Tentu saja, hendaknya data diperluas, misalnya dalam hal sumber data. Jika masih mungkin, perlu juga data kajian ini berekspansi ke ragam bahasa berita media elektronik.

Catatan Akhir

[1] Jika observasi penulis bisa dipercaya, baru ada satu kajian—itu pun semacam kajian pengantar awal—tentang bentuk baru keborosan bahasa dalama ragam berita, baca: D. Jupriono, ”Pemborosan Bahasa dalam Ragam Berita: Bentuk ’Baru’ Kelimpahan Kata dalam Ragam Berita Surat Kabar”. Parafrase 4(1) Februari 2004: 34—44.

2 Inti pandangan ini adalah bahwa gaya bahasa itu mencerminkan orangnya. Dari kata-kata yang dipilih (diction), majas yang dimunculkan, skema struktur teks yang ditampakkan, misalnya, orang dapat menentukan (baca: menebak) siapa orang yang sedang berbicara/berpidato/menulis suatu paparan tanpa terlebih dahulu membaca atau diberi tahu siapa pembicara/penulisnya. Tentang ini, baca: E. Hilton, Exposition: A Rhetoric and Reader with Literary Emphasis  (Belmont, California: Wadsworth Publishing Co., 1987).

3  Sekadar menyebut beberapa kajian: I D.P. Wijana, “Wacana Kartun Bahasa Indonesia” (Prisma 1, Januari 1996) hal. 1—15; W. Soedjatmiko, “Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor” dlm. B.K. Purwo (ed.), PELBBA 5 (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hal. 69—96; A. Gunarwan, “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dlm. B.K. Purwo (ed.), PELBBA 5 (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hal.179—215; D. Jupriono, “Wacana Humor Gus Dur dalam Perspektif Tindak Tutur” (Humanika 5/2, Desember 2001) hal. 1—16.

4  Sebagai bangsa yang secara sadar menempatkan agama sebagai dasar formal kehidupan berbangsa dan bermasyarakat (dalam wujud sila Ketuhanan Yang Mahaesa), masyarakat Indonesia—dari rakyat melarat hingga pejabat berpangkat—lazim membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan pornografi (prostitusi, VCD porno, libidoseks) secara sembunyi-sembunyi, penasaran, sangat tertarik tetapi malu-malu memperlihatkannya. Maka, seminar mewah di hotel megah tentang pornografi atau apa pun yang bersangkut paut dengan seks senantiasa dibanjiri peserta. Meskipun demikian, jika seorang bupati sampai mengumpulkan staf untuk menagani suatu kasus, dengan sendirinya itu sangat serius—sehingga tidak perlu dieksplisitkan frase secara serius.

Daftar Pustaka

Ahmadi, M. 1997. Pengembangan Paragraf serta Penciptaan gaya Bahasa Karangan. Malang: YA3.
Aitchison, J. 1995. Linguistics. London: Hodder and Stoughton.
Allan, K. 2001. Natural Language Semantics. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Anwar, H.R. 1998. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Crystal, D. 1997. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Dalwiningsih. 2007. “Kohesi Gramatikal dalam Berita pada Surat Kabar di Jawa Timur”. Medan Bahasa 2(1) Juli: 41—50.
Gunarwan, A. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dlm. B.K. Purwo (ed.), PELBBA 5. Yogyakarta: Kanisius,  hal.179—215.
Hilton, E. 1987. Exposition: A Rhetoric and Reader with Literary Emphasis. Belmont, California: Wadsworth Publishing Co.
Horn, L.R. 2000. ”Economy and Redudancy in a Dualistic Model of Natural Language”. www.yale.edu/linguist/ faculty/RTP_version_of_sky_paper.rtf
Hendarin, Y. 2003. ”Meneropong Bahasa Media Massa”. www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/20/teropong lainnya01.htm
Jupriono, D. 2004. ”Pemborosan Bahasa dalam Ragam Berita: Bentuk ’Baru’ Kelimpahan Kata dalam Ragam Berita Surat Kabar”. Parafrase 4(1) Februari: 34—44.
Jupriono, D. 2009. ”Beberapa Pandangan terhadap Daripada: Tinjauan Kepustakaan”. http://sastra-bahasa. blogspot .com/2009
Jupriono, D. 2009a. ”Bahasa Indonesia untuk Karya Tulis Ilmiah (BIKTI)”. (Untuk kalangan sendiri). Surabaya: Fak. Sastra & FISIP, Untag Surarbaya.
Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Levinson, S.C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Lyons, J. 1998. Introduction to Theoretical Linguistics. New York: The Macmillan Co.
Muhtadi, A.S. 1999. Jurnalistik: Pendekatan, Teori, dan Praktek. Jakarta: Logos.
Palmer, F.R. 1997. Semantics: A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press.
Samsuri. 1998. “Analisis Wacana”. Materi Kuliah Umum bagi Dosen-dosen Fakultas Sastra, Untag Surabaya.
Siregar, B.U. 2003. ”Metaphors of Governance in the Language of the Indonesian Press”. Language, Linguistics and the Real World: Language Practices in the Workplace. KL: UMP.
Soedjatmiko, W. 1992. “Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor” dlm. B.K. Purwo (ed.) PELBBA 5. Yogyakarta: Kanisius. hal. 69—96.
Subrata. 1997. ”Penggunaan Bahasa Jurnalistik pada Media Massa: Pendekatan Empiris”, dlm Sudaryanto & Sulistiyo (ed.), Ragam Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.
Sudaryanto. 2003. ”Efisiensi Bahasa Bisa Berbuntut Kebingungan”. www.suaramerdeka.com/harian/0210/30/ kot13.htm
Sulistiyo. 2001. ”Struktur Wacana Berita Surat Kabar Berbahasa Indonesia”. Lingua Artistika 24(3) September: 427—441.
Suriasumantri, J.S. (ed.). 1994. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suroso. 2003. ”Bahasa Jurnalistik Perspektif Berita Utama Politik Surat Kabar Indonesia pada Awal Era Reformasi (1999)”. Disertasi UNJ Jakarta.
van Peursen, C.A. 1995. Susunan Ilmu Pengetahuan Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Gramedia.
Verhaar, J.W.M. 1986. Pengantar Lingguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Wijana, I D.P. 1996. “Wacana Kartun Bahasa Indonesia” Prisma 1, Januari: 1—15.
Yule, G. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Yule, G. 1996a. The Study of Language. Cambridge: Cambridge Univ. Press.