Wacana Humor Agama di Indonesia dalam Perspektif Tindak Tutur


Wacana Humor Agama di Indonesia dalam
Perspektif Tindak Tutur
Makalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (Senabastra) V
Prodi Sastra Inggris, FISIB, Universitas Negeri Trunojoyo Madura
Bangkalan, 27 Juni 2013
D. Jupriono
Prodi
Ilmu Komunikasi, FISIP,
Universitas
17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
ABSTRAK
Corak
dan dinamika hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak hanya memantik
lahirnya berbagai perbedaan persepsi, perdebatan pandangan, dan konflik sosial,
tetapi juga menyuburkan tumbuhnya humor-humor agama dalam interaksi sosial. Humor
agama mencakup humor eksklusif-esoteris dan humor inklusif-eksoteris. Humor
eksklusif-esoteris didominasi oleh persepsi suatu umat yang memandang bahwa
keyakinan, ritual ibadah, dan praksis sosial umat lain itu salah, aneh, dan dangkal.
Humor inklusif-eksoteris lazimnya berupa paradoks, parodi, dan satire perilaku
sosial pemimpin suatu umat beragama. Kualitas humor baik eksklusif-esoteris
maupun inklusif-eksoteris dibangun dengan cara sama-sama melanggar norma-norma
tindak tutur (speech act), baik
prinsip kerja sama (cooperative principle),
prinsip kesantunan (politeness principle),
maupun parameter pragmatik, yang beroperasi dalam komunikasi umat beragama
dalam interaksi sosial sehari-hari.
Kata
kunci:
wacana humor, humor eksklusif-esoteris, humor inklusif-eksoteris, tindak tutur,
parameter pragmatik
PENDAHULUAN
Pernahkah
para Pembaca budiman mendengar humor berikut? Konteks humor berikut adalah kelas
mengaji TPA di sebuah langgar sore hari.
Ustadz: Anak-anak
patuhilah nasihat orangtua dan gurumu, agar kalian masuk surga. Jangan durhaka
pada orangtua. Kalau durhaka, kalian akan masuk neraka. Bapak pastilah memilih
surga. Nah, siapa yang pengin ikut Bapak ke surga? Angkat tangan ...!
Anak-anak: Sayaa
... Saya, Pak! Saya, Pak Ustadz! Saya sayaa ... Sayaaa ...
(Semua anak berebut menjawab sambil
mengangkat tangannya, kecuali Cakil. Tentu saja, ini membuat Ustadz heran)
Ustadz: Cakil,
kamu kok tidak angkat tangan? Kamu juga pingin masuk surga ‘kan?
Cakil: Kepingin,
Pak Ustadz. Tapi tadi ibu saya berpesan ...
Ustadz: Alhamdulillah
... Tapi ngomong-omong ibu kamu pesan apa sih?
Cakil: Begini,
Pak Ustadz: “Kil, habis ngaji, jangan ke mana-mana, harus langsung pulang ya”.
Begitu, Pak
Humor
ini ringan, tidak berpeluang sensitif bagi penafsir. Humor-humor agama tumbuh
subur di masyarakat. Anehnya, jika pencermatan penulis bisa dipercaya, agama
mana pun tidak akrab dengan lelucon, lawak, atau humor. Dalam kitab-kitab suci
semua agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia sulit ditemukan ayat-ayat
yang mengangkat humor sebagai pokok persoalan. Dalam konteks Islam, misalnya,
teks-teks Al-Qur’an, juga Hadits Nabi, biarpun merepresentasikan dan
mencitrakan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (ar-Rahman nir-Rakhim), belum pernah
ditemukan data apakah Tuhan suka bercanda, melucu, atau sekadar tersenyum.
Bagaimana dalam Injil, Veda, Tripitaka, Tao The Ching? Sama. Begitulah agama
dalam konteks tekstual-skripturalistik, yang selalu sakral, mustahil bersanding
mesra dengan humor, yang pastilah sangat profan (Dennet 2007).
Akan
tetapi, jika yang dimaksud “agama” di sini merujuk pada wilayah persepsi dan
praksis sosial beragama, dakwah, syiar, dan tutur sehari-hari pemuka dan
umatnya, soalnya menjadi lain. Dari pesantren diproduksi beragam tutur lelucon
konyol; dari biara-biara Katolik berkembang subur tutur humor-humor segar;
begitu juga sekolah-sekolah guru Kulla Hindu, vihara Budha, dan saolin Konghuchu,
dll. Tutur-tutur humor tersebut umumnya justru memprofankan agama. Karena itu,
dalam setiap humor tersebut sesungguhnya terjadi pelanggaran norma-norma sakral
suatu agama. Justru inilah yang membangun suasana lucu. Maka, di samping memicu
banyaknya perbedaan, polemik, bahkan konflik berdarah, realitas praksis sosial
agama-agama di Indonesia juga turut berjasa melahirkan banyak lelucon yang menyegarkan
suasana dan mengendurkan ketegangan di sana-sini.
Humor-humor
tersebut berkembang baik di dalam interaksi internal satu umat maupun
komunikasi eksternal antarumat beragama. Keduanya berkembang subur dengan
karakteristiknya masing-masing. Meskipun demikian, memang mengherankan, sangat
sedikit kajian terhadap hal itu. Inilah yang mendorong penulis untuk
membahasnya.
Tulisan
ini memfokuskan kajiannya pada pelanggaran terhadap norma-norma tutur dalam humor,
baik humor intraumat maupun antarumat beragama di Indonesia. Norma-norma tutur
di sini memanfaatkan perspektif tindak tutur (speech act), yang mencakup prinsip kerja sama (cooperative principle), prinsip kesantunan (politeness principle), maupun parameter pragmatik (Levinson 1995; Yule
1996).
Fokus kajian ini diformulakan ke dalam jabaran
berikut. (1) Bagaimana karakteristik humor agama (baik intra maupun antarumat
agama) di Indonesia? (2) Bagamana tutur humor agama dilihat dari perspektif
tindak tutur (prinsip kerja sama, kesantunan, dan paramater pragmatik)?
PEMBAHASAN
1.
Karakteristik
Humor Agama di Indonesia
Apa
yang disebut sebagai humor agama adalah setiap humor yang materinya tentang
agama (ritual ibadah, interaksi sosial, perilaku para pemuka) (Dananjaya 1997),
baik yang berkembang di kalangan umat agama tertentu maupun yang beroperasi di
tengah-tengah antarumat agama yang berbeda. Yang pertama melahirkan humor eksklusif-esoteris
dan yang kedua memunculkan humor inklusif-eksoteris.
1.1
Humor
Eksklusif-Esoteris
Humor
eksklusif-esoteris tumbuh di kalangan umat agamalain. Dengan kata lain, humor ini
merupakan persepsi kolektif suatu umat terhadap umat lain. Humor
eksklusif-esoteris umat beragama didominasi oleh persepsi sepihak sosial-religi
suatu umat yang memandang bahwa keyakinan dan ritual ibadah umat lain itu
salah, aneh, dan dangkal, dan berkembang di tengah-tengah umat agama lain. Suatu
umat sering tidak mengetahui bahwa mereka dijadikan objek bulan-bulanan lelucon
oleh umat lain. Perhatikan wacana humor (1)
1)
LETUSAN NGABEN
Sepulang berwisata
dari Pulau Bali, Ahmad bercerita kepada teman-teman desanya di Trenggalek. Teman-temannya
tertarik pada cerita tentang ngaben
palebon (pembakaran jenazah). Kebetulan Ahmad piawai berkisah dengan
sedikit melebih-lebihkan.
“Nah, mayat
lelaki dan perempuan, saat dibakar, suara apinya berbeda,” kata Ahmad.
“Apanya yang
beda?” serentak teman-temannya kepingin tahu.
“Pada pembakaran mayat perempuan, suara
apinya sama seperti api-api lainnya. Tetapi, pada mayat lelaki, ... ada suara
letusan dua kali hampir bersamaan, thaar thaar ... begitu ...,” jawab Ahmad
meyakinkan.
“Itu apa ...?” ada juga yang belum
mengerti. Yang mengerti, ketawa ngakak.
Kata kunci humor
ini adalah “letusan dua kali hampir bersamaan, thaar thaar”. Humor ini
berkembang di kalangan umat muslim. Meskipun lucu, di kalangan umat Hindu Bali
humor ini pantang tumbuh. Bisa dimengerti bahwa peristiwa upacara ngaben (palebon) adalah sakral, sedikit
pun tidak ada unsur candanya. Akan tetapi, dalam persepsi nakal iseng umat lain
(Ahmad), sesuatu yang sakral ini diprofankan menjadi objek lelucon.
Kalangan umat
minoritas lain yang juga menjadi objek lelucon adalah penganut Khonghuchu. Lelucon
ini dari Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI yang juga sering dan cerdas
melontarkan humor. Perhatikan wacana (2)
2)
MENGAPA TIONGHOA KAYA-KAYA?
Tiga orang
mahasiswa, Rahman yang Islam, Samuel yang Protestan, Nyoman yang Hindhu,
membahas mengapa umumnya rata-rata warga Tionghoa kaya.
“Faktor genetik.
Dari sononya memang leluhur mereka berbakat dagang,” kata Samuel berintepretasi.
Dua mahasiswa lainnya tidak sependapat.
“Secara historis,
... kan selama rezim Orde Baru, kawan-kawan Tionghoa hanya boleh memasuki
profesi bisnis. Justru inilah penyebabnya,” kata Nyoman mencoba berargumentasi.
Rahman dan Samuel tidak menunjukkan persetujuannya.
“Nah, sekarang
kau Rahman, bagaimana kamu punya pendapat?” tanya Samuel.
Dengan pelan
Rahman menganalisis, “Begini. Saya lihat dari sisi ritual religi. Bukankah
Tionghoa banyak yang memeluk Konghuchu ...”
“Lalu, ... apa
hubungannya?” tukas Nyoman tak sabar.
“Sembahyangnya
orang Khonghuchu mesti pakai dupa Cina hio.
Caranya cukup kreatif memaksa Tuhan: hio
dijolok-jolokkan ke atas. Nah ... lama-lama Tuhan geli dan risih juga
dijolok-jolok hio. Makanya
cepat-cepat saja doa orang Khonghuchu dikabulkan,” jelas Rahman dan diikuti
anggukan kedua temannya tanda setuju. (cf. Jupriono 2009)
Apa yang
dipersepsi lucu oleh umat lain (Tuhan risih dijolok-jolok hio) tentu sungguh tidak lucu di mata umat Khonghuchu. Agama mana
pun selalu sensitif di mata pemeluknya. Justru karena itu, wacana humor agama
adalah sebuah paradoks dan antitesis atas keangkeran dan kesakralan ajaran
suatu agama (cf. Haryatmoko 2010).
1.2
Humor Inklusif-Eksoteris
Humor inklusif-eksoteris
umat beragama lazim mengangkat paradoks, parodi, dan satire perilaku sosial
pemimpin suatu umat agama dengan atau tanpa pemuka agama lain. Dalam realitas komunikasi
keseharian seorang pemimpin umat tentu merupakan figur yang disegani, dihormati,
didengar nasihat-nasihatnya. Tetapi, justru dalam humor, perilaku para pemuka
agama (kiai, haji, pendeta, pastor, pedanda, biksu) inilah yang dijadikan bahan
lelucon. Maka, wacana humor ini menjadi semacam parodi atau satire atas
paradoksnya perilaku para pemuka agama. Perhatikan wacana (3) dan (4).
3)
MBAH SABAR DAN EYANG SUBUR
Amin: Apa besa Mbak Sabar dengan Eyang Subur?
Amat: Eyang
Subur istrinya banyak, Mbak Sabar istrinya satu ... mungkin
Amin: Bukaaan
...
Amat: Mbak
Sabar orangnya sabar, Eyang Subur orangnya cepat marah
Amin: Bukan
juga. Begini: Mbah Sabar itu kiai,
sedang Eyang Subur itu pak yai
Amat: Kiai dengan pak yai .... maksudnya?
Amin: Kiai
itu alim ulama yang menguasai ilmu gaib, kalau pak yai itu numpak karo nggrayahi (menunggangi sambil meraba-raba)
Wacana humor (3)
merambah di komunitas nahdhiyin. Humor ini sudah lama penulis dengar, lalu
muncul lagi dengan sedikit interpolasi di saat media massa memuat-tayangkan
perseteruan Eyang Subur (berpoligami dengan 8 istri) dengan Adi Bing Slamet,
Arya Wiguna, dll. Sekadar melengkapi informasi, Mbah Sabar adalah Kiai Almukarom Sabaruddin tinggal di tepi
Gunung Merapi, seorang ulama sir
legendaris, yang menyamar sebagai pengembala itik, terkenal dengan wejangan (ajaran) “ojo rumongso biso,
ojo rumangso weruh, ojo rumongso ngerti” (janganlah merasa bisa, tahu, dan mengerti; Bowo 2012). Meskipun
dimunculkan untuk mengkritik perilaku syahwat Eyang Subur, sejatinya humor ini
juga mengritik pemuka-pemuka umat Islam di lingkungan nahdhiyin (NU), terutama
yang poligami (konon, tidak sedikit).
Jika wacana (3) muncul sebagai otokritik umat Islam, wacana (4) berikut
melontarkan kritik kepada semua pemuka agama masing-masing.
4)
PASTUR, KIAI, DAN PEDANDA
Dalam kereta api
Jakarta—Surabaya seorang kiai duduk berdampingan dengan seorang pastor. Di
tengah perjalanan pastor membuka bekal, senyum ke kiai, dan segera makan dengan
lahapnya. “Pak Pastor, lahap banget. Itu apa sih?” tanya kiai penasaran.
“Oh ..., ini
sosis, dari babi, masakan paling enak di dunia. Sayang Pak Kiai tidak boleh.
Maaf,” jawab pastor sedikit malu sekaligus menang: 1-0.
Memasuki stasiun
Gubeng, Surabaya, keduanya sama-sama turun. Di beranda peron tampak dua wanita berkerudung,
cantik dan semlohe, tersenyum,
tangannya melambai-lambai kepada kiai. “Siapa wanita-wanita cantik ini, Pak
Kiai?” tanya pastor disergap penasaran.
“Ooo ... itu
daging, eh istri-istri saya. Yang ini nih ‘daging’ paling nikmat di dunia.
Sayang, Pak Pastor tidak boleh. Maaf ya...,” balas kiai: 2-1.
Tiba-tiba
keduanya menoleh balik karena bahu mereka ditepuk orang dari belakang. Tampak
seorang lelaki berjubah putih dengan rambut dikerucut. “Saya pedanda. Saya
telah menikmati keduanya,” kata pedanda itu dengan tenangnya. (Media Hindu, I/3, 2005)
Sebagai humor
inklusif-eksoteris, wacana humor semacam (4) bisa muncul di kalangan umat mana
pun. Secara cepat orang akan menarik implikasi konvensional dan konversasional
dari wacana ini bahwa “pemenang” pertama adalah pedanda, kiai kedua, dan pastor
ketiga. Akan tetapi, wacana humor ini bisa juga ditafsirkan lain. Humor ini,
misalnya, justru melontarkan peringatan sekaligus parodi satiris bermuatan kritik
sosial kepada para pemimpin umat agar senantiasa berperilaku yang meneladani
umatnya. Dalam humor (4) ketiga pemimpin umat sibuk berdebat soal syahwat dan
bukan bagaimana menuntun umat masing-masing agar berperilaku mulia (cf.
Haryatmoko 2010)..
Banyaknya berita
asusila yang melibatkan pemimpin umat (kiai berpoligami, guru ngaji mencabuli
santriwatinya, guru spiritual melecehkan anak-anak didiknya, dll.) mendorong
ditampilkannya humor ini di hadapan pemimpin umat. Jadi, sesungguhnya humor ini
ditujukan kepada sebagai paradoks, satir, dan parodi para pemuka agama, dan
bukan umat. Boleh diduga bahwa pencipta humor ini datang dari kalangan umat
biasa, dalam agama mana pun.
2.
Tutur
Humor Agama dalam Perspektif Tindak Tutur
2.1
Prinsip
Kerja Sama
Untuk
memenuhi prinsip kerja sama dalam komunikasi antarumat beragama, misalnya, Paul
Grice (Yule, 1996) mengemukakan bahwa “the speaker is commited to the truth and
relevance of his text, the hearer is aware of this commitment and perceives the
uttered text as true and relevant by virtue of his recognition of the speaker’s
commitment to its truth and relevance”. Siapa pun yang terlibat dalam tindak
tutur hendaknya memperhatikan saran Grice selanjutnya: “make your
conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs,
by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are
engaged” (Yule 1996; Littlejohn 1996). Dalam hal ini penutur hendaknya mematuhi
empat norma (maksim) tutur: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim cara. Apakah humor agama cukup patuh pada norma-norma
kerja sama ini, perhatikan wacana humor (5).
5)
UMAT MANA YANG PALING DEKAT TUHAN?
Seorang pedanda,
pastor, dan kiai berdebat siapa yang paling dekat Tuhan.
“Jelas umat
Hindhu dong. Kami biasa menyapa Tuhan dengan Om. Om swastiatsu ... Om shanti, shanti Om...,” kata seorang
pedanda.
Seorang pastor
tidak mau kalah. “Kalau itu alasannya, umat Katolik dong yang lebih dekat.
Lihat saja, kami memanggilnya Bapa,
... Bapa kami yang ada di surga. Nah...”
Kiai diam,
pedanda dan pastor penasaran. “Kalau Pak Kiai, sedekat apa umat Islam dengan
Tuhan?”
“Duuh ...
boro-boro dekat,” jawab kiai, “wong manggil-Nya saja mesti teriak-teriak dari
menara, pakai pengeras lagi ...!” (Jupriono 2009)
Wacana humor (5)
memenuhi maksim kuantitas (maxim of
quantity); ketiga pemimpin umat bertutur secukupnya, tidak berlebihan,
hanya mengatakan sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur. Maksim cara (maxim of manner) juga terpenuhi; pedanda,
pastor, dan kiai sama-sama bertutur dengan wajar, jelas, dan runtut, sehingga
lawan tutur dapat memahami dengan tepat. Akan tetapi, dua maksim lain, yakni
maksim kualitas (maxim of quality)
dan maksim relevansi (maxim of relevance),
dilanggar. Pelanggaran atas maksim kualitas terjadi ketika ketiga pemuka agama
tersebut tidak menyertakan bukti yang memadai untuk memperkuat tuturan
masing-masing; tidak disertakan bukti-bukti rasional-argumentatif bahwa mereka
masing-masing sebagai yang terdekat dengan Tuhan. Pelanggaran atas maksim
relevansi terjadi saat ketiga pemimpin umat tidak memberi kontribusi yang
sesuai (cocok) dengan topik tuturan; kedekatan dengan Tuhan yang diukur hanya
dari sebutan (Om, Bapa), cara
memanggil (teriak-teriak, ‘adzan’
maksudnya), serta lokasi pemanggilan (dari
menara), itu jelas tidak sesuai (relevan).
Jika para
peserta tindak tutur dalam proses komunikasi sudah menjalankan keempat maksim
kerja sama, selalukah bisa dijamin komunikasi akan efektif? Tidak selalu,
ternyata. Perhatikan wacana humor (6)!
6)
HALELUYA & BISMILLAH
Suatu hari seorang pendeta dan
seorang kiai ke terminal, hendak menghadiri undangan acara Pak Bupati.
Tiba-tiba turun hujan disertai badai angin petir menggelegar. Kaget, spontan pendeta
berkata, “Haleluyaah...!
Pak kiai heran mendengar ucapan pendeta,
“Maaf, Pak Pendeta, ... itu tadi bukan haleluya, tapi halilintar...”
Sampai di terminal keduanya akan naik
bis. Saat naik pintu bis, kiai spontan berkata, “Bismillah...`
Ganti Pendeta yang heran, “Maaf, Pak
Kiai, ... ini bukan bismillah. Ini bis kota.”
Wacana (6) membuktikan bahwa keempat
maksim kerja sama ternyata belum cukup dalam mencapai tujuan tindak tutur
komunikasi. Baik kiai maupun pendeta dalam hal ini sudah memenuhi keempat
maksim kerja sama. Dalam perspektif Grice (dlm. Littlejohn 1996), keduanya dapat
dikatakan telah memberikan kontribusi seinformatif secukupnya (maksim
kuantitas), menyatakan sesuatu yang benar (maksim kualitas), melontarkan
pernyataan yang relevan (maksim kecocokan), serta tidak mengaburkan pernyataan
dan juga cukup singkat dan urut (maksim cara). Mengapa tujuan tutur gagal
dicapai? Prinsip kerja sama memang belum cukup. Peserta tutur masih harus
memiliki kompetensi lain, yakni kemampuan menarik praanggapan (presupposition) (Leech dlm. Levinson
1995; Littlejohn 1996). Kesalahan ini bersumber kurangnya saling memahami
antara pendeta dan kiai; pendeta tidak mengenal idiom Islam bismillah (‘Dengan Nama Allah’) dan kiai
tidak memahami idiom Kristen haleluyah
(‘Puji Tuhan’). Kesalahpahaman lazim muncul dari komunikasi yang melibatkan
peserta tutur dari budaya (etnis, agama, misalnya) yang berbeda. Salam paham
memang potensial memicu konflik, tetapi bisa juga membangun humor (Chiaro 2002;
Jupriono 2006).
2.2
Prinsip
Kesantunan
Norma
kerja sama dilengkapi dengan norma kesantunan agar tuturan dalam interaksi
sosial antar dan intraumat beragama mencapai efektivitas seperti yang
diharapkan. Geoffrey Leech menjabarkan prinsip kesantunan tutur ke dalam enam
maksim: maksim kebaikhatian (tact maxim),
maksim kemurahhatian (generosity maxim),
maksim penerimaan (approbation maxim),
maksim kerendahhatian (modesty maxim),
maksim kecocokan (agreement maxim),
dan maksim simpati (sympathy maxim) (Levinson 1995; Littlejohn 1996). Bagaimana wacana
humor agama di Indonesia dilihat dari maksim-maksim kesantunan? Perhatikan
wacana (7)
7)
ORGAN, A.C., DAN YESUS
Saat lewat di
depan masjid NU sehabis adzan ashar, seorang pastor berhenti demi mendengar
beberapa muslim melantunkan syair shalawat pujian. Kiai menghampiri.
“Pak Kiai,” sapa
pastor, “nyanyian para santri ini akan makin bagus kalau diiringi sebuah organ,
seperti di geraja kami.”
“Tak perlu,”
jawab kiai, “organ tidak lazim dalam masjid, Pak Pastor.”
“Bukan itu,”
sela pastor. “Aku tahu alasan sebenarnya. Begini: jangankan organ, wong sandal
jepit saja dicuri kok. Betul ‘kan, Pak Kiai?” Kiai hanya bisa tersenyum kecut.
Malu.
Besoknya kiai
mencoba melintas di depan gereja, dan berhenti tepat di pintu gerbang. Pastor
menghampiri, mengajak masuk. Dilihatnya dalam gereja tak ada AC, kiai nyeletuk,
“Pak Pastor, mbok dipasang AC, masa hari gini belum AC.”
“Tak perlu,”
tukas pastor, “bangunan gereja ini sudah didesain sedemikian rupa.”
“Bukan itu,”
sela kiai. “Aku tahu alasan sesungguhnya. Kalau diberi AC, ... takut Yesus
kedinginan ‘kan? Tuh lihat ... Yesus gak pake baju. Begitu ‘kan, Pak Pastor?”
Tentu saja,
dialog wacana (7) imaginer belaka. Kedua pemuka umat diam-diam memendam beban
“warisan sejarah yang terluka” dalam berkompetisi merebut dan merawat umat. Bahwa
kedua umat di Indonesia saling merasa terancam -- sungguh bukan fantasi! Islam
merasakan ancaman “kristenisasi”, sebaliknya Kristen merasakan ancaman “islamisasi”.
Lelucon ini sedikit banyak merepresentasikan bagaimana kedua umat saling
mempersepsi sekaligus memanifeskan bagaimana kegentingan laten hubungan kedua
umat.
Lalu, bagaimana
wacana (7) dilihat dari perspektif kesantunan Leech? Baik pastor maupun kiai
dalam tutur humor agama ini sama-sama tidak memaksimalkan keuntungan dan tidak meminimalkan
kerugian lawan tutur, sama-sama tidak memaksimalkan kerugian dan tidak meminimalkan
keuntungan diri sendiri, sama-sama tidak memaksimalkan penghormatan dan tidak meminimalkan
rasa tidak hormatnya kepada lawan tutur, sama-sama tidak meminimalkan
penghormatan dan tidak memaksimalkan rasa tidak hormat kepada diri sendiri,
sama-sama tidak memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan kepada
lawan tutur, sama-sama tidak memaksimalkan simpati dan tidak meminimalkan
antipatinya kepada lawan tutur. Satu sama lain lebih sibuk menunggu kesempatan
dan, kalau perlu, menciptakan peluang, untuk memperolok, memojokkan, mempermalukan,
lawan tutur. Dengan kata lain, wacana humor (7) melanggar semua prinsip
kesantunan tutur. Pendeknya, kedua pemuka sama-sama tidak santun!
Ketidaksantunan
dalam konteks ini memantik timbulnya humor. Dalam tuturan nyata sehari-hari, pelanggaran
atas prinsip kesantunan tutur akan memicu ketidaknyamanan komunikasi, bahkan
konflik. Dalam wilayah humor pelanggaran itu justru disengaja. Kelucuan akan
lahir dari penyimpangan norma kesantunan itu.
Jika humor (7)
merentang di dua umat, humor (8) berikut meresap di kalangan umat Islam saja,
sekte mana pun (NU, Muhammadiyah, Sunni, Si’ah, Ahmadiyah, bermacam tarekat,
dst.).
8)
KHATIB TENTARA
Seorang tentara
mengisi khotbah salat Jumat di masjid desa. Seperti lazimnya khatib, ia pun
menghimbau, “Marilah kita bersama-sama senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada
Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan meninggalkan semua
larangan-Nya!”
Mestinya ini
sudah cukup, tetapi barangkali karena seorang tentara, ia menambahi himbauan
lemah lembut ini dengan: “... Awas ya,
kalau tidak!” (Jupriono 2009)
Dalam konteks peribadahan
Islam, di hadapan Tuhan, atau di hadapan umat dalam suasana khusu’ ibadah,
siapa pun yang menjadi khatib haruslah berbahasa santun. Sebagai tentara,
“bahasa tentara”-nya tidak boleh digunakan. Jika toh menyampaikan ancaman, ia
hanyalah “corong pengeras” firman Tuhan, yang kebetulan berisi ancaman (yang
durhaka pada orangtua akan dimasukkan ke neraka, misalnya). Dalam wacana (8)
ancaman (Awas ya, kalau tidak!)
berasal dari pribadi khatib tentara itu. Dalam perspektif Leech (Levinson 1995;
Littlejohn 1996), tentara tersebut harus menunjukkan rasa simpati kepada para
jamaah salat Jumat agar transformasi pesan-pesan religiusitas menembus rasio
dan meresap di dalam hati. Keenam maksim dalam prinsip kesantunan telah
dilanggar. Akan tetapi, justru di sinilah pemicu humornya.
2.3
Parameter
Pragmatik
Kesantunan
dalam kenyataan tidak mutlak dapat diwujudkan sebab terkendala oleh status,
kedudukan, jarak sosial, dan tingkat kemendesakan antarpenutur. Penelope Brown
& Stephen Levinson menyodorkan tiga parameter pragmatik dalam setiap
peristiwa tutur: jarak sosial (distance
rating), status sosial (power rating),
dan peringkat tindak tutur (rank rating)
(Levinson 1995). Bagaimana wacana humor agama di Indonesia dilihat dari ketiga
parameter, perhatikan wacana (9).
9)
ANTIMO, PISANG AMBON, DAN AYAT KURSI
Keharmonisan
Ustadz Haji Akbar 60 tahun bersama ketiga istrinya yang cantik-cantik membuat
penasaran mantan-mantan santrinya yang sudah pada kawin.
“Ustadz,
rahasianya apa sih kok masih kuat melayani 3 istri?” tanya seorang santri.
“Abah sudah 60, kok
tak ejakulasi dini? Pasti obat kuat. Pasak bumi? Atau viagra ya ...?” berondong
mantan santri-santri lainnya.
“Bukan. Bukan
semua itu,” jawab Haji Akbar. “Viagra mahal. Abah punya resep murah, hasilnya
woow... Catat: Antimo, pisang ambon, dan jangan lupa baca ayat Kursi.”
“Kok Antimo? Itu
kan antimabuk kendaraan, Ustadz?” sergah mantan santrinya.
“Ikuti saja. Ini
satu paket. Jangan ragu. Lakukan malam ini!” tegas ustadz.
Besoknya para
mantan kembali menghadap. Semua melaporkan kegagalan. “Sama saja seperti
sebelumnya. Ejakulasi dini.”
“Kok bisa?
Jangan-jangan ketiga syarat belum kamu lakukan,” tanya ustadz.
“Sudah, Abah.
Antimo kami minum. Pisang ambon juga sudah kami makan. Juga ...,”
“Nah ... di situ
masalahnya. Siapa bilang pisang ambon dimakan!”
“Lho, lantas
diapakan?”
“Dengerin, catat:
sebelum naik ranjang, baca bismillah, lalu ayat Kursi, antimo diminum. Dan
pisang ambon ... masukkan pelan-pelan ke lubang bawah. Haqul yakin, kamu bisa
tahan berjam-jam,” tegas ustadz meyakinkan.
Sebagai
proses komunikasi, antara Ustadz Haji Akbar dan mantan-mantan santrinya terentang
jarak sosial dan status sosial yang sangat jelas. Di samping itu suasana
pertuturan juga tidak menempatkan kedua pihak dalam posisi terdesak dan terburu-gesa.
Maka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk melupakan jarak dan status sosial
masing-masing (cf. Brown & Levinson dlm. Levinson 1995). Setidaknya, ini
berlaku bagi sang mantan santri. Dari topik yang asyik dituturkan, diksi yang
dipilih, hingga gaya retorik yang diekspresikan, semuanya tidak memperhitungkan
parameter pragmatik tuturan. Maka, seperti juga terhadap prinsip kerja sama dan
prinsip kesantunan, wacana humor agama ini juga melanggar parameter pragmatik.
Ada
juga yang peserta tuturan yang sadar jarak dan status sosial. Akan tetapi, ia
tidak tepat memperhitungkan peringkat tindak tutur (rank rating) (Levinson 1995; cf. Jupriono 2009). Dalam wacana
humor, hal demikian memang disengaja, untuk memantik efek lucu. Perhatikan
wacana humor Budha (10).
Seorang
utusan Kaisar mendatangi Biara Shaolin untuk mengorek rahasia koki. Koki ini
terkenal piawai menciptakan menu vegetarian, tetapi bisa membuat tubuh para
murid Shaolin sehat kuat prima. Untuk itu, ia mewawancarai Koki sambil menyaksikan murid-murid Shaolin berlatih kungfu.
Utusan: Makanan apa yang membuat murid-murid Shaolin
sehat dan kuat walau mereka
semua vegetaris?
Koki: Maksud Anda murid-murid yang berseragam
hitam atau putih?
Utusan: Ooo... kalau yang berseragam hitam?
Koki: Yang hitam, makanannya sayur-mayur dari
hasil bercocok tanam sendiri.
Utusan: Luar biasa! Nah..., kalau yang berseragam putih?
Koki: Kalau yang putih, yaa sayur-mayur hasil
bercocok tanam sendiri juga
Utusan: Ooo ya ya... Dalam
sehari, mereka boleh makan berapa kali?
Koki: Yang mana maksud Anda, yang seragam
hitam atau putih?
Utusan: Oh... ada perbedaan ya? Kalau yang hitam?
Koki: Tiga kali sehari.
Utusan: Kalau yang berseragam putih?
Koki: Yang seragam putih, yaah sama juga tiga
kali sehari.
(Utusan Kaisar sudah mulai tidak sabar dan geregetan)
Utusan: Dari tadi Anda kalau saya tanya selalu menanyakan yang berseragam
hitam atau yang putih, tetapi jawaban Anda selalu sama, saya jadi mulai bingung
dengan penjelasan Anda seperti itu!
Koki: Ooohh... Anda jangan salah paham dulu,
Tuan. Begini: kalau yang berseragam putih itu adalah asli murid-murid Biara Shaolin
di sini.
Utusan Kaisar
sudah tidak sabar lagi: Jadi, maksud Anda yang berseragam hitam itu bukan
asli murid-murid Biara Shaolin di sini, begitu kan?
Koki: Yah... yang berseragam hitam adalah
murid-murid asli Biara Shaolin di sini juga sih...
Utusan
mulai senewen dan sewot: Waduuuhh..., kalau begitu tidak
perlu dibedakan seragam hitam dan putih dong, ah ...!!
Koki: Beda dong, Tuan. Kalau yang seragam
hitam ‘kan tempat makannya pakai mangkok ...
Utusan: Huhhh..., ‘kan sama aja, yang putih tempat
makannya pakai mangkok juga, ya kan?!
Koki: Yaiyalaah, Tuan... Tetapi ‘kan
seragamnya tidak hitam.
Utusan @#$%*&!@?#%#&!! (sambil menutup muka
dengan kedua tangannya) ia ngedumel sendiri: Karma apa yang pernah
kulakukan di masa lalu ... kok aku bisa dipertemukan dengan koki model
begini... aaarrrgghhh...
Koki: Sekarang sudah jelas perbedaannya ‘kan,
Tuan?
Utusan (sambil menahan nafas, geram): Boleh saya
minta obat untuk sakit kepala?
Koki : Ohh... kenapa, Tuan? Anda sakit kepala
ya? Baik akan saya ambilkan. Tapi, tunggu sebentar..., mmm... di sini ada dua
macam bentuk obat, bentuk kapsul dan cair. Tuan mau yang mana?
Utusan: Baiklah... saya mau yang cair saja...
Koki: Kalau yang cair, khusus untuk sakit
kepala yang sangat berat, Tuan.
Utusan: Kalau yang kapsul?
Koki: Yah... sama juga sih..!
Utusan: @#&*$+=%@!...
Buddha, help me please...!!
Mengambil
sudut pandang emik-Budhisme, wacana humor (10) bukan teks aneh. Pengajaran
Budhisme dicoraki oleh prinsip “dunia materi sebagai kepalsuan”, “tujuan utama
hidup adalah nirvana (kekosongan)”,
“keinginan sebagai sumber penderitaan”, “menghindari keekstreman dan
kemewahan”, “kebenaran Budha disampaikan dengan kesunyiheningan tanpa kata”
(Shastri 2005). Pertanyaan bermotif nafsu ingin tahu Utusan Kaisar bertentangan
dengan prinsip hidup Budha. Ada dua tafsir dalam hal ini. Pertama, wacana humor
ini terbangun untuk mengkritik ajaran Budha yang sulit dipahami awam. Kedua,
sebaliknya, wacana humor ini diperkenalkan untuk menunjukkan keunggulan
eksklusif-khas Budhisme kepada awam.
Bagaimana
dalam perspektif parameter pragmatik? Wacana humor (10) memperlihatkan betapa
salah satu peserta tutur (koki biara shaolin) sangat memperhitungkan jarak
sosial dan status sosial (cf. Levinson 1995). Dia menghormati dan menempatkan
lawan tutur (Utusan Kaisar) sebagaimana seharusnya. Sang koki cukup perhatian
dan hormat. Akan tetapi, peringkat tindak tutur diabaikan sang koki saolin. Ini
terlihat dari berputar-putarnya jawaban: ia selalu memisahkan penjelasan tentang
murid shaolin berseragam putih dengan yang hitam, padahal isi jawabannya sama.
Jawaban ini membuat Utusan Kaisar kesal, geregetan, gemas, dan ... pusing tujuh
keliling! Jadi, wacana humor Budhisme ini pun melanggar parameter pragmatik.
SIMPULAN
Dari
bahasan di muka diapat ditarik simpulan-simpulan berikut. Corak dan dinamika
hubungan antarumat beragama di Indonesia tidak hanya memantik lahirnya berbagai
perbedaan dan konflik, tetapi juga menyuburkan tumbuhnya wacana humor agama
dalam interaksi sosial, baik humor eksklusif-esoteris maupun humor inklusif-eksoteris;
humor eksklusif-esoteris didominasi oleh persepsi suatu umat tentang keanehan
dan kedangkalan kyakinan, ritual ibadah, dan praksis sosial umat lain, sedang humor
inklusif-eksoteris lazim berupa paradoks perilaku sosial pemimpin suatu umat
beragama. Wacana humor agama di Indonesia dibangun dengan cara sama-sama melanggar
norma-norma tindak tutur, baik prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, maupun
parameter pragmatik, yang beroperasi dalam komunikasi umat beragama dalam
interaksi sosial sehari-hari.
Sebagai
kajian awal terhadap wacana humor agama, tentu ditemukan banyak kekurangan dan
catatan agenda untuk para peneliti berikutnya. Pertama, kajian wacana humor
agama ke depan hendaknya melebarkan perspektifnya, misalnya dari sudut pandang
polisemi dan homonimi (cf. Jupriono 2006), analisis wacana tafsir teks, dan
analisis semiotik (Bungin 2011). Kedua, jangkauan data hendaknya diperluas dengan
merambah data-data wacana humor agama (lisan atau tulis) di lingkungan
pesantren, biara, keluarga, majalah-majalah agama, radio siaran agama tertentu,
dll. Ketiga, fokus kajian ke depan hendaknya dikerucutkan ke wacan humor yang
muncul di dalam relasi-relasi antarumat (Haryatmoko 2010) yang lebih spesifik,
misalnya apa bagaimana persepsi orang Muhammadiyah terhadap ibadah dan
kehidupan komunitas NU, persepsi orang Katolik terhadap Protestan, persepsi
orang Budha atas ibadah dan kehidupan orang Hindu, persepsi ormas FPI, Hitsbut
Tahir Indonesia terhadap kelompok Ahmadiyah, Sunny di mata Syiah, dll.
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Bowo,
M. 2012. “Cerita tentang Kiai Sabar”. http://sufisbook.blogspot.com/2012/02/anekdot-sufi-jawa-cerita-tentang-kiai.html
(akses 29 Mei
2013)
Bungin, B. 2011.
Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kdebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada
MediaGroup.
Chiaro, D. 2002.
The Language of Jokes. London:
Routledge.
Dananjaya, J. 1997.
Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll.
Cet. V. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Dennet, D.C.
2007. Breaking The Spell:Religion as a
Natural Phenomenon. London: Penguin.
Haryatmoko.
2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar
Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Jupriono, D. 2006. “Kesalahpahaman dalam Komunikasi
Lintas Budaya”. Dinamika Administrator 14(17) Juni 2006.
Jupriono, D. 2009. “Wacana Humor Gus Dur dalam
Perspektif Tindak Tutur”. http://sastra-bahasa.blogspot.com (akses
29 Mei 2013)
Jupriono, D. 2010. “Lelucon Etnis Madura dalam
Perspektif Multikulturalisme”. Dlm. Prosiding
Seminar Nasional 2 Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Multikultural, R.
Inayati & S. Hanifa (ed.) (hal. 29-44). Surabaya: Lima-Lima Jaya &
Prodi Sastra Inggris, FISIB, Unijoyo, Bangkalan.
Levinson, S.C. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Littlejohn, S.W. 1996. Theories of Human Communication. Belmont: Wardsworth Publ. Co.
Mulyana, D. 2006. Komunikasi Jenaka: Parade Anekdot, Humor, dan Pengalaman Konyol.
Cet III. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yule, G. 1996. Pragmatics.
Oxford: Oxford University Press.
12 Oktober 2015 pukul 14.15
Keren kirimannya pak (y)