DI JUAL Kios Lantai 3 Blok G-9 No. 6 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 450.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

Tradisi Lisan sebagai Basis Pengembangan Industri Kreatif: Parikan dalam Desain Grafis Kaos Wisata

 Tradisi Lisan sebagai Basis Pengembangan Industri Kreatif:
Parikan dalam Desain Grafis Kaos Wisata

Oral Tradition as Creative Industry Development Base: Parikan in Tourism T-shirt Graphic Design

Paper  for The International Conference on Regional Culture: 
The Challenges of Culture Revitalization in the 2015  ASEAN Economic Community Era
Universitas Negeri Jember, 8-9 Oktober 2014

 


D. Jupriono
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untag Surabaya
juprion@untag-sby.ac.id





Ayun Maduwinarti
Prodi Administrasi Bisnis, FISIP, Untag Surabaya
ayunmaduwinarti@untag-sby.ac.id

 




Hamim D.M.
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untag Surabaya






ABSTRACT
Tourism T-shirt with unique and funny words of textual graphic design are found in many cities in Indonesia, however which make use of parikan oral tradition have not been found, so it is necessary to start bravely a parikan design tourism t-shirt production. Many sources of parikan can be exploited, the parikan of ludruk artist creation as well as from campursari song creators, classic parikan and plesetan, also erotic parikan of individual creators, sounded in shows as well as recorded in cassettes, CD, DVD, and internet. There are varied parikan which can be explored as the subject of tourism t-shirt graphic design, and every type has its own market target according to typography consideration and communication norms. It needs requirements to sell tourism t-shirt: fulfilling market need, defining valuable product, offering unique subject, and entering market with the precise name.
Keywords: oral tradition, parikan, creative industry, typography graphic design, marketing strategy.

ABSTRAK
Kaos wisata berdesain grafis tekstual kata-kata unik dan lucu ada di banyak kota di Indonesia, tetapi yang memanfaatkan tradisi lisan parikan belum ada, maka perlu keberanian memulai produksi kaos wisata berdesain parikan. Banyak sumber parikan dapat dimanfaatkan, baik parikan karya cipta seniman ludruk, pencipta lagu campursari, maupun parikan klasik serta parikan pelesetan dan erotik karya orang per orang, baik yang terlantunkan dalam pertunjukan maupun yang terekam dalam kaset, CD, DVD, maupun internet. Ada bermacam-macam parikan yang dapat dieksplorasi sebagai materi desain grafis kaos wisata, dan setiap macamnya memiliki pangsa pasarnya sendiri menurut perhitungan tipografi dan kesesuaian norma komunikasi. Untuk memasarkan kaos wisata, diperlukan syarat: memenuhi kebutuhan pasar, memastikan produk bernilai, menawarkan sesuatu yang unik, dan memasuki pasar dengan nama yang tepat.
Kata kunci: tradisi lisan, parikan, industri kreatif, desain grafis tipografi, strategi pemasaran


PENDAHULUAN
Dari sekian banyak produk khas kaos wisata di negeri ini, kaos Dagadu dari Jogjakarta dan kaos Joger dari Bali dapat dipastikan menempati urutan papan atas.  Maka, banyak orang merasa belum lengkap jika belum membeli kaos-kaos itu sebagai cenderamata wisatanya di Bali atau Jogjakarta. Maka, produksi kaos wisata seperti ini kemudian menjadi industri yang cukup kreatif (sehingga layak diklasifikasikan sebagai “industri kreatif”), yang menjanjikan banyak bukti dan harapan.
Di sini kaos Doger dan Dagadu sangat tepat digolongkan sebagai “kaos wisata” dalam arti sempurna. Ini tidak berlebihan sebab kaos-kaos tersebut diproduksi dan dipasarkan di kota-kota atau kawasan wisata, dibeli dan dikonsumsi oleh para wisatawan yang sedang berkunjung ke dua destinasi tersebut. Di samping itu, kaos-kaos itu juga mencitrakan sedikit banyak mimpi banyak orang di dua kawasan wisata yang memproduksinya (cf. Choiron 2011). Malahan kemudian kedua kaos menjadi ikon wisata kedua provinsi masing-masing. Maka, seakan cukup berkeabsahan tinggi ketika orang membuat jagon yang (sesungguhnya) bermuatan penyederhanaan yang berlebihan: Bali itu Joger, Joger itu Bali; Jogja itu Dagadu, Dagadu itu Jogja!
Pemantik daya tarik kedua kaos tersebut adalah desain visual-verbalnya. Desainnya memberdayakan kekuatan energi kata. Di sini diksinya bukan gegap gempita elan vital perbuatan yang formal serius, melainkan parodi yang menggelitik, logika yang sederhana, atau sekadar sapaan mesra.
Baiklah, Bali sukses dengan Joger-nya, Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) dengan Dagadu-nya. Bagaimana Jawa Timur? Dalam urusan kaos wisata yang mengeksplorasi energi bahasa, apa yang bisa dilakukan oleh warga Jawa Timur, khususnya di kota/kabupaten yang mengandalkan dinamika perekonomiannya dari sektor pariwisata? Jawabannya adalah parikan, pantun Jawa. Jika pantun sering disebut sebagai produk sastra dan tradisi lisan asli Nusantara, kiranya tidak kelewatan kalau disimpulkan bahwa parikan adalah produk sastra dan tradisi lisan asli Jawa. Maka, dengan parikan, industri produksi kaos wisata di Jawa Timur diharapkan sanggup mengangkatnya sebagai ikon wisata provinsi.
Yang hendak dibahas di sini adalah bagaimana menjadikan tradisi lisan parikan sebagai basis desain kaos wisata kota dan kabupaten di Jawa Timur.  Berdasarkan paparan latar ini, diskusi ini akan difokuskan pada masalah berikut:  (1) tradisi lisan parikan; (2) industri kreatif; (3) parikan dalam desain grafis kaos wisata. Akan tampak dalam pembahasan nanti bahwa tradisi lisan dapat saling menyapa dan bekerja sama dengan industri yang menjanjikan keuntungan-keuntungan ekonomi dan budaya.

PEMBAHASAN
Tradisi Lisan Parikan
Tradisi lisan adalah seluruh produk budaya yang bersifat verbal lisan untuk mengekspresikan gagasan dan kontak sosiokultural dalam suatu kolektif, sebagai buah karya kolektif yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama (cf. Endraswara, 2005: 2). Dalam konteks Jawa, tradisi lisan mencakup: (1)  ungkapan tradisional, isbat, pepindan, panyandra, salam pawekas, sesanti puja; (2) wangsalan, cangkriman; (3) parikan; (4) tembang gede, macapat; (5) tembang dolanan; (6) langgam Jawa, lagu plesetan seksual; (7) lagu spiritualitas; (8) prosa rakyat, dongeng, sejarah rakyat, kisah humorologi; (9) drama rakyat: jemblung, ketoprak, ludruk, wayang, ande-ande (Endraswara 2005).
Dari kedelapan jenis tradisi lisan yang akan dibahas di sini adalah parikan. Sebagai “puisi asli” rakyat Nusantara, parikan tidak hanya muncul dalam lagu, tembang, pidato, pentas ludruk, ketoprak, dan wayang, bahkan dalam tutur sehari-hari pun parikan digunakan.
Parikan identik dengan pantun dalam sastra lisan Melayu. Ada dua jenis parikan, yaitu parikan lamba dan parikan rangkep. Parikan lamba—identik dengan “pantun kilat” atau karmina dalam sastra lisan Melayu—adalah pantun Jawa dua baris, baris pertama sampiran dan baris kedua isinya. Parikan rangkep—kurang lebih sama dengan pantun dalam khazanah sastra Melayu—merupakan pantun Jawa 4 baris, 2 baris pertama sampiran dan 2 baris berikutnya isi. Perhatikan contoh parikan lamba (1) dan parikan rangkep (2)!
1)            Rita thok, gak Elvi, ya Rhoma Irama
Cinta thok, gak dirabi, ya percuma
Rita saja, tanpa Elvi, ya Rhoma Irama
Cinta saja, tidak dinikahi, ya percuma     (Jupriono 2010b)
2)            Tuku kupat kok nang Banyuwangi
Ya jelas iku kadohan
Dadi pejabat kok korupsi
Iku ngono jenenge bajingan
                        Beli ketupat kok di Banyuwangi
                        Ya jelas itu terlalu jauh
                        Menjadi pejabat kok korupsi
Yang seperti itu namanya bajingan         (Jupriono 2008)
Baris pertama pada parikan lamba (1) dan dua baris pertama pada parikan rangkep (2) adalah sampiran, sedang baris kedua pada (1) dan dua baris kedua pada (2) adalah isi. Antara baris sampiran dan baris isi tidak harus ada hubungan maksud, akan tetapi selalu harus ada relasi bunyi, sehingga dapat membangun efek bunyi ritmis (Endraswara 2005).
Persamaan bunyi di sini sangat penting. Karena itu, andai pada (1) Rhoma Irama diganti Jaja Miharja, Ine Cyntia, Caca Andika, atau Inul Daratista, atau andai saja pada (2) Banyuwangi diganti dengan Bali, Cimahi, Sulawesi, Kediri, tidak ada masalah dan tidak mengubah status estetisnya sebagai parikan sempurna. Akan tetapi, jika Rhoma Irama diganti dengan Mansur S., Imam S. Arifin, Ice Trisnawati, atau Zaskia Gotik, dan Banyuwangi diganti dengan Bondowoso, Ambon, Jember, …   jelas ditolak! Pada (1) penggantian pertama relasi bunyi akhir antar baris kata [a]-[a] tetap terjaga, sedang pada penggantian kedua tidak terdapat relasi bunyi [a]-[a], yang ada adalah relasi bunyi [a] dengan [es] [in] [i] [ik]. Pada (2) penggantian pertama relasi [i]-[i] terjaga, sedang pada kedua tidak sebab yang ada adalah relasi bunyi [i] dengan [o] [on] [er].
Sebagai tradisi lisan rakyat (folklor), tidak jelas siapa penciptanya (anonim). Parikan merupakan kekayaan budaya kolektif. Barangkali karena itulah hingga sekarang belum ada yang mencoba mengurus hak cipta (copy right) parikan.
Parikan, sebagai tradisi lisan, gampang berubah (tidak disengaja) dan dipelesetkan (dengan sengaja). Perubahan pertama, yang tidak disengaja, umumnya tetap menjaga (relasi bunyi) persamaan sajak akhir baris (3, 3a), sehingga sama sekali tidak mengubah statusnya sebagai parikan, sedang perubahan kedua, yang memang disengaja, sanggup meminorkan statusnya sebagai parikan sempurna, bahkan mengubahnya menjadi ekspresi lisan lain yang bukan parikan lagi (4, 4a, 4b):
3)            Gaplek pringkilan                             (gaplek kecil-kecil kasar patah-patah)
Wis tuwek pethakilan                       (Sudah tua banyak tingkah)
3a)      Gaplek pringkilan
            Wis tuwek pecicilan
4)            Susu sak botole                                (Susu sekalian botolnya)
Bapak turu ketok kon….ndalan      (Ayah tidur kelihatan dari …. Jalan)
4a)      Susu sak botole                                (Susu sekalian botolnya)
            Bapak turu ketok botole                  (Ayah tidur kelihatan botolnya)
5)            Suwe ora jamu                                 (Lama tidak minum jamu)
Jamu pisan godhonge tela             (Sekali minum jamu, daun singkong)
Suwe ora ketemu                             (Lama tidak bertemu)
Ketemu pisan gawe gela                (Sekali ketemu malah bikin kecewa)
5a)      Suwe ora jamu                                 (Lama tidak minum jamu)
            Jamu pisan ora suwe                      (Sekali minum jamu, tidak lama)
Dalam kedudukannya sebagai folklor, terjadinya perubahan interpolatif semacam ini wajar saja. Perubahan (3) ke (3a) tidak mengubah statusnya sebagai parikan sempurna karena terjaganya persamaan bunyi [an] pada pringkilan baik dengan [an] pada pethakilan maupun pecicilan; apalagi kedua kata bersinonimi. Akan tetapi, perubahan (4) mengurangi kualitasnya sebagai parikan sempurna meskipun hal ini disengaja untuk menghindari impresi jorok (kalau harus menyebut kata yang semestinya, berupa nama alat vital lelaki); perubahan (4a) tetap menjamin statusnya sebagai parikan sempurna, akan tetapi botole yang tetap botole—bukan yang lain!—di sini disengaja untuk merangsang asosiasi ke (apalagi kalau bukan) kemaluan lelaki. Akhirnya, perubahan (5) ke (5a) jelas merupakan penghilangan status parikan menjadi ekspresi lisan lain, yang bukan parikan sama sekali (Jupriono 2010a), meskipun sama-sama disadari oleh kolektif Jawa bahwa kata kuncinya adalah ora suwe (di sini mengacu pada ejakulasi dini)—kata yang justru menjadi biang keladi perubahan status tersebut.

Industri Kreatif
Istilah industri kreatif—muncul seiring dengan ekonomi kreatif—sebenarnya sudah mengemuka kali pertama pada awal 2000an, ketika John Hawkins mempublikasikan bukunya, Creative Economy, How People Make Money from Ideas, dan Richard Florida merilis bukunya The Rise of Creative Class. Di Indonesia, istilah ini cepat popular di masyarakat, terutama sejak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) dirombak menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak 2005(?).
Industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pendayagunaan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Begitulah, industri kreatif selalu berdasarkan pada kreativitas individu, skill, dan bakat dengan potensi yang menyejahterakan dan mengkreasikan pekerjaan melalui pengembangan properti intelektual, termasuk sektor iklan, arsitektur, seni dan pasar barang antik, kerajinan, desain, fashion, film, interactive leisure software (video games), musik, performing art, publishing, TV, radio) (British Council, 2011).
Industri kreatif dapat muncul dari masyarakat yang individu-individunya kreatif. Agar individu kreatif, harus ada semangat kerja yang kreatif (creative ethos) (Howkins 2007). Basis industri kreatif tidak mengandalkan kekuatan modal material, tetapi berhulu pada kesanggupan mengubah ide-ide individu sebagai modal sosial (social capital) menjadi modal kreatif (creative capital). Apa yang dimiliki individu (kreativitas) dan apa yang sudah dimiliki masyarakat (mis. nilai-nilai kebersamaan kolektif, pandangan hidup, tradisi lisan, adat) dapat digerakkan sebagai modal sosial yang bertransformasi menjadi modal kreatif (Florida 2004).
Industri-industri kreatif di Indonesia diklasifikasikan ke dalam 14 subsektor sebagai berikut: (1)            periklanan: jasa periklanan, produksi material iklan, kampanye PR, dll.; (2) arsitektur: jasa desain bangunan, perencanaan biaya konstruksi, dll.; (3) pasar barang-barang seni: perdagangan barang-barang asli, unik, langka lewat galeri, lelang, dll. (4) kerajinan: kreasi produk dari tenaga perajin yang tidak diproduksi massal; (5) desain: kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, dll.; (6) fashion: kreasi desain pakaian, desain alas kaki, aksesoris mode lain; (7) video, film, fotografi: produksi video, film, jasa fotografi, proses distribusinya; (8) permainan interaktif: kreasi games computer, video hiburan, edukasi; (9) musik: kreasi-komposisi, pertunjukan, reproduksi, distribusi rekaman suara; (10) seni pertunjukan: konten produksi pertunjukan, opera, music teater, drama, tari, dll.; (11) penerbitan-percetakan: penulisan konten-penerbitan buku, majalah, koran, bulletin, jurnal, dll.; (12) layanan computer dan piranti lunak (software): layanan computer, olah data, piranti lunak, dll.; (13) televise dan radio: kreasi konten acara, transmisi konten, station relay, dll.; (14) riset dan pengembangan: penemuan dan penerapan iptek. (Kemenparekraf dlm. Amelia 2014; cf. Sujatmiko, 2014).
Sektor industri kreatif, sebagai pendukung utama ekonomi kreatif, memiliki nilai stategis bagi Indonesia. Misalnya kontribusi signifikan secara ekonomis, penciptaan iklim bisnis yang positif, mengangkat citra dan identitas bangsa, menggunakan sumber daya alam terbarukan, mendorong terciptanya inovasi, serta memberikan dampak sosial yang positif.

Kaos Wisata Berdesain Parikan
Kondisi Objektif Industri Rumah Tangga Kaos Wisata
Dalam paparan di muka disebut tegas bahwa trend produksi kaos dengan desain teks verbal humor didominasi oleh Joger Bali dan Dagadu Jogjakarta. Sebenarnya di banyak kota di luar Jogja dan Bali, industri kaos wisata dengan desain tekstual verbal humor juga tak kalah maraknya. Hampir di tiap-tiap kota (Medan, Padang, Riau, Bandung, Tegal, Semarang, Madiun, Surabaya, Jember, Banyuwangi, dll.) bermunculan industri rumah tangga kaos wisata, Beberapa desain tekstual kaos-kaos tersebut—termasuk yang di Bali dan Jogja—dikutip di sini kurang lebih sebagai berikut:
a.   Bali/Joger:
-     EVERY DAY IS SUNDAY IN BALI
-     ADA 3 TYPE LAKI-LAKI. TYPE KELAS I: LAKI-LAKI YG TIDAK SUKA NYELEWENG. TYPE KELAS II: LAKI-LAKI YG SUKA NYELEWENG. TYPE KELAS III: LAKI-LAKI YG SUKA ATAU TIDAK SUKA, TETAP NYELEWENG
-     CINTA KAMPUS BUKAN BERARTI PAGI KAMPUS, SIANG KAMPUS, SORE KAMPUS DAN MALAM JUGA KAMPUS. KARENA HAL SEPERTI ITU HANYA AKAN MEMBUAT KITA CEPAT MAMPUS
-     WANITA DIUJI KETIKA DIHADAPKAN KEPADA PRIA YANG TIDAK PUNYA APA-APA. PRIA DIUJI KETIKA DIHADAPKAN KEPADA WANITA YANG TIDAK PAKAI APA-APA
-     SODA TIDAK BISA MENGHAPUS DOSA!
b.   Jogja/Dagadu
-     JOG YESS!! MONGGO PINARAK
-     KAPAN KE JOGJA LAGI?
-     TIDAK ADA YG LEBIH BODOH DARIPADA BAWA MOTOR SAMBIL MAIN HAPE DAN MASUK COMBERAN
-     SEKOLAH ITU CANDU! DUDUK – MENCATAT – MENDENGARKAN GURU. SEKOLAH UNTUK DIKAGUMI. SEKOLAH UNTUK MERAIH JABATAN. SEKOLAH MENCETAK PEJABAT. TAPI JUGA PENJAHAT!
-     BECIK KETITIK, ALA RUPAMU
c.   Bandung
      -     SIAPA BILANG ORANG SUNDA NGGA’ BISA NGOMONG “F”, PITNAH!!!
d.   Tegal-Banyumas/Dablongan
-     JAUH DI MATA, TEGAL DI HATI
-     KEBO NUSU GUDEL, SUSU KEBONE NGANGGUR
-     NYONG BANGGA DADI WONG TEGAL
e.   Semarang
-     AKU NGENE MERGO KOWE
-     TERUS AKU KUPU PIYE?
f.    Medan
-     PUNYA MEDAN. INI BARU MEDAN BUNG!
g.   Jember
-     INDONESIA BISA STOP TERORIS, STOP KOROPSI, STOP PORNOGRAFI
h.   Malang
-     AYAS ASLI NGALAM
-     EBES NGANAL
-     AKEH KUBAM, UBLEM NARUBUK
-     MAKAN DIRAYABI, UTAPES NYELANG, HELOM NUNUT. KOK NYIMUT ….
-     GAK OLEH UBLEM NEK GAK NIAM
h.   Surabaya/CakCuk
-     FREE SEX? NO WAY! NO FREE SEX! MAUI NGE-SEX KOK MINTA FREE! MBAYAR, MAS! GAK ADA YANG GRATIS DI DOLLY!
-     JANCOK, LUGAS & TEGAS
-     DARIPADA PAKE BAHASA ASING, MENDINGAN PAKE BAHASA SENDIRI
-     ASSHOLE! YOU’RE MOTHER FUCKER!!*! SHITT!!! DAMN IT!!** BULLSHIT!!!** YOU’RE SON OF BITCH!!!** FUCK YOU!!!*
-     MBOKNE ANCUK!!!* JANCUK!!!** MATAMU!!*! ASU!!!** NGGATHELI!!!** DIANCUK!!* MAKMU KANCUTAN SENG!!!*** CINTAILAH PRODUK DALAM NEGERI
-     DIANCUK I LOVE SURABAYA. KALAU SEKEDAR  MISUH SAJA, GAK PERLU PAKE BAHASA INGGRIS, CINTAILAH PRODUK ASLI INDONESIA, TERMASUK BAHASANYA.
-     DI SURABAYA ORANG MISUH PAKE BAHASA ASLI, BUKAN BAHASA ASING, CUK!
Apa yang dapat ditangkap dari sekian banyak paparan teks desain kaos wisata di kota-kota di atas? Sebagian besar belum mencoba memanfaatkan kekayaan kearifan lokal tradisi lisan (cangkriman, parikan, misalnya), kecuali becik ketitik, ala rupamu Dagadu Jogja dan kebo nusu gudel, susu kebone nganggur dari Tegal. Maka, parikan adalah peluang emas yang potensi ekonomi-estetis-nya belum dimanfaatkan; parikan masih tersembunyi di ingatan tiap orang Jawa. Maka, parikan dapat menjadi basis desain grafis tekstual kaos-kaos wisata di Jawa Timur. Dalam hal demikian kaos wisata berdesain parikan sungguh-sungguh merupakan perwujudan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal (Suweca 2011).
Sebenarnya Jawa Timur sudah semarak dengan kaos wisata, katakan di Madiun, Malang, Jember, Banyuwangi, dan Surabaya. Untuk Surabaya teks yang mendominasi adalah pisuhan (umpatan) seperti cuk, jancuk, diancuk!  Sebagai eksplorasi atas tradisi lisan mengumpat, ini sah-sah saja. Hanya perlu disadari bahwa selalu ada kalangan yang tidak memilihnya sebagai alternatif cenderamata wisata—setidaknya hanya menempatkannya di urutan kedua, ketiga, dst., bukan yang pertama. Maka, desain yang mengeksplorasi parikan akan menjadi preferensi belanja yang potensial.

Parikan sebagai Modal Sosial: Sumber-sumber Parikan
Seperti telah disebutkan, industri kreatif tidak bergantung pada modal material; industri kreatif memanfaatkan kekayaan budaya dan keunikan kolektif (British Council 2011; Howkins 2007). Maka, kaos wisata yang berdesain grafis tekstual parikan sesungguhnya adalah wujud pendayagunaan modal sosial kolektif Jawa (Sujatmiko, 2014). Dengan kata lain, parikan sudah ada di masyarakat. Jika masyarakat memarginalisasikan parikan, kaos wisata ini akan merevitalisasikannya (cf. Jupriono 2010b).
Masyarakat adalah sumber parikan. Dalam hal ini terdapat lima sumber parikan yang bisa dimanfaatkan: (1) mantan pelawak-pelawak seniman ludruk (misalnya Cak Kartolo, Cak Sidik, Cak Dadang), mantan dagelan ketoprak (Topan, Joisin); (2) seniman yang masih aktif (Kirun, Sandirono); (3) rekaman/dokumentasi parikan (jula-juli Cak Kartolo, Kirun) pada kaset, internet; (4) parikan klasik yang anonim; (5) rekacipta kreatif orang per orang sekarang. Lebih lengkap dan rinci, berikut dideskripsikan lima sumber parikan yang terdapat dalam masyarakat (Jawa Timur).
Mantan seniman pelawak ludruk adalah sumber parikan. Ratusan parikan telah diproduksi oleh para seniman tradisional ini. Sayang upaya dokumentasi-inventarisasi yang memadai belum dilakukan. Dalam setiap pentas ludruk, misalnya, pada adegan pelawak tampil, parikan-parikan lazim dilantunkan, baik mengulang-ulang yang sudah ada maupun memproduksi parikan baru. Jika parikan-parikan ini diangkat sebagai teks dalam desain grafis kaos wisata, bukan saja telah mengubahnya menjadi bernilai ekonomis (cf. Florida, 2004), lebih dari itu juga turut serta menyelamatkannya dari kepunahan. Berikut dicontohkan beberapa parikan karya cipta pelawak-pelawak ludruk dari daerah (Jombang, Mojokerto, Malang), (6a 6b 6c 6d):
6a)      Jare bolah kok ireng
            Jare sekolah kok meteng
                                                Katanya benang, kok hitam
                                                Katanya sekolah, kok hamil
6b)      Macan tutul nyolong trasi
            Kadung cucul anake tangi
                                                Macan tutul mencuri trasi
                                                Terlanjur bugil, anaknya bangun
6c)       Terong kok diuntir, ya biru
            Bojone wong kok dipikir, ya kuru
                                                Terong kok  diperas, ya biru
                                                Istri orang kok dipikir, ya kurus
6d)      Kupat aja digawe bubur
            Nek digawe bubur, rasane sepa
Dadi pejabat kudu sing jujur
Nek gak jujur dadi intipe neraka
                                    Ketupat jangan dibuat bubur
                                    Kalo dibuat bubur, rasane hambar
                                    Jadi pejabat harus jujur
                                    Kalo tak jujur jadi keraknya neraka
Parikan-parikan karya mereka hingga sekarang pun dapat dinikmati di banyak rekaman kaset, CD, DVD, MP3, youtube di internet. Lantunan parikan jula-juli Cak Kartolo, Cak Sidik, Kirun, Cak Agus Kuprit, dapat di-klik kapan saja. Berikut dicontohkan sebagian parikan-parikan itu (7a 7b 7c)—kebetulan karya Cak Kartolo:
7a)      Tuku sewek milih-milih sing ireng
            Wis tuwek bolak-balik meteng                   (“Kura Kandhas”)
                                                Membeli kain memilih-milih yang hitam
                                                Sudah tua, tetapi sering hamil
7b)      Ngombe sinom kecampuran jahe
            Mangan rempeyek imbuh lombok
            Sik enom kudu sregep nyambut gawe
            Cik gak di-enyek arek wedok                     (“Bolah Ruwet”)
                                                Minum sinom tercampur jahe
                                                Makan rempeyek tambah Lombok
                                                Masih muda harus rajin bekerja
Biar tidak dilecehkan cewek
7c)       Tuku sawo milih sing bunder
            Rabi loro neng boyok klenger                    (“Bolah Ruwet”)
                                                Beli sawo memilih yang bundar
                                                Kawin dua istri bikin pinggul sakit klenger
Parikan-parikan ini tidak saja menghibur. Walaupun fungsi umum parikan adalah menciptakan efek humor yang menghibur, fungsinya sebagai kritik sosial juga niscaya. Pada parikan (6a, 6b, 6c) di muka, misalnya, kritik itu tertuju kepada orang per orang, individu-individu, secara personal atas perilaku miring mereka (hamil sebelum  nikah, kurang hati-hati beradegan intim di rumah sendiri, berharap dapat menggoda istri orang. Parikan (6d) lebih serius membentangkan kebobrokan sosial, penyalanggunaan kekuasaan, dan tentu tertuju kepada para pemegang kekuasaan dan bukan rakyat jelata. Maka, jika kaos wisata benar-benar mengutip ulang parikan-parikan seperti ini (masih sangat banyak yang lain), industry kreatif ini jelas turut serta melancarkan kritik sosial (Sutarto 2004; cf. Jupriono 2008), berani membeberkan realitas amat tercela parfa penguasa di negeri ini.
Seniman lain yang masih aktif memproduksi parikan adalah Kirun dari Jawa Timur dan Junaidi (alm.) dari Jogja. Kirun tampil sebagai pelawak ludruk, ketoprak, wayang orang, bintang tamu pentas wayang kulit, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jakarta, bahkan pernah ke Hongkong dan Suriname. Junaidi memang sudah almarhum, tetapi lawakan-lawakannya yang menyebar di banyak kaset, CD, DVD, internet masih dapat dinikmati hingga sekarang. Parikan-parikan ciptaan mereka sudah menyebar di masyarakat luas dan akhirnya menjadi milik kolektif. Jika parikan-parikan ini dimanfaatkan sebagai materi desain grafis tekstual kaos wisata, tentu akan sangat menarik karena memiliki nilai beda (distinction value) yang unik dan khas Jawa (kerjausaha.com, 2013). Contoh-contoh berikut (8a, 8b, 8c, 8d) diharapkan sanggup memotivasi calon-calon wirausaha muda Jawa Timur untuk berani memulai memproduksi kaos wisata berdesain grafis parikan:
8a)      Tembok ‘ting celoneh
            Jare kapok kok njaluk maneh        (Kirun)
                                                            Tembok belepotan
                                                            Katanya kapok, kok minta lagi      
8b)      Truwelu wulune ireng
            Bojo telu meteng bareng                (Kirun)
                                                            Kelinci bulunya hitam
                                                            Istri tiga hamil bersama-sama
8c)       Keplak pintheng jahe
            Krasa penak meneng wae              (Junaidi)
                                                            Keplak pintheng dari jahe
                                                            Merasa keenakan diam saja
8d)      Ndhog gemak diteleni karet
            Krasa penak molet-molet               (Junaidi)
                                                            Telur puyuh diikat karet
                                                            Merasa enak menggeliat-geliat
Sebagai tradisi lisan, parikan juga muncul di banyak lagu-lagu Campursari, yang terawetkan lewat produk rekaman kaset, CD, DVD, youtube, melayang bebas di jagat dunia maya. Seniman-seniman pencipta/pelantun lagu-lagu Campursari seperti Manthous, Waljinah, Didik Kempot, Sunyahni, Cak Dikin, Anjarani, misalnya, menyumbangkan banyak parikan dalam lagu-lagunya. Mereka tentulah tentu pantas digelari sebagai “Pahlawan Parikan!” Atau, begini saja: mengharagai mereka dengan cara mengawetkan pariakn-parikan ciptaannya dalam deret desain grafis pada kaos wisata. Sebagian parikan karya para seniman legendaris tersebut dicontohkan di sini (9a, 9b, 9c, 9d) khusus untuk Pembaca Budiman:
9a)      Awan-awan lunga blanja nang Pasar Paing
            Prawan randha buatku ora pati penting                (“Randha Kempling”)
                                                Siang hari pergi belanja ke Pasar Paing
                                                Perawan atau janda buatku tidak masalah
9b)      Nyang Semarang Mas lunga blanja tuku anting-anting
            Aja sumelang najan randha dijamin kempling   (“Randha Kempling”)
                                                Ke Semarang Mas berbelanja giwang
                                                Jangan khawatir biar janda dijamin masih “padat”
9c)       Jambu alas Ndhuk manis rasane
            Najan tilas tak enteni randhane                 (“Jambu Alas”)
                                                Jambu hutan Ndhuk manis rasanya
                                                Biar sudah bekas (janda), tetap kutunggu
9d)      Nyangking ember kiwa tengen
            Lungguh jejer ‘nggo tamba kangen          (“Bakso Mie Ayam”)
                                                Bawa ember kiri dan kanan
                                                Duduk bersanding untuk obat kangen
Di samping parikan-parikan ciptaan para seniman di atas—walau akhirnya menjadi milik kolektif para penikmatnya—ada lagi parikan-parikan yang terlebih dahulu muncul, banyak dikenal awam siapa saja, akan tetapi tidak terlacak siapa penciptanya. Jika anonim adalah salah satu karakteristik folklor (Dananjaya 2007), parikan yang akan dicontohkan berikut (10a 10b 10c 10d 10e) jelas “lebih parikan” dan “lebih folklor” ketimbang parikan-parikan mana pun di dunia ini! Nah, parikan-parikan klasik ini pun dapat menjadi sumber materi desain grafis untuk kaos wisata karya para wirausahawan muda. Perhatikan:
10a)    Bayem rine ketan pulukane
            Ayem atine ketekan penjaluke
                                                Bayam durinya, ketan yang diraup
                                                Tenteram hatinya, terkabulkan permintaannya
10b)    Theklek kecemplung kalen
            Timbang golek aluwung balen
                                                Bakiak jatuh ke kali
Daripada cari (baru), mending rujuk (dengan yang dulu)
10c)    Ngincer banyake kleru menthoke
            Ngesir anake kleru emboke
                                                Mengincar angsa, kena mentok
                                                Mengincar anak, keliru ibunya
10d)    Teh, kopi
            Nek waleh, ganti
                                                Teh, kopi
                                                Kalu bosan, ya cari yang lain
10e)    Ndhog banyak ditaleni
            Krasa penak, ya dibaleni
                                                Telur angsa diikat
                                                Merasa enak, ya diulangi  
Sumber berikutnya rekacipta kreatif orang per orang sekarang, yang umumnya berbentuk pelesetan, dapat pula dimanfaatkan dalam mendesain grafis tekstual kaos wisata. Parikan jenis ini dapat dan boleh-boleh saja disebut sebagai “parikan pelesetan”, “parikan gaul”, “parikan kontemporer”, (cf. Endraswara 2005; Jupriono 2010a), atau nama-nama lain entah apa. Pada hemat penulis, parikan pelesetan inilah yang paling potensial untuk memikat pangsa pasar, membidik calon konsumen. Parikan jenis ini memang bebas, tidak terikat pada norma estetis perpantunan. Baik jumlah suku kata, baris, maupun rima persajakannya, bukan harga mati. Boleh-boleh saja dilanggar. Yang penting: menarik, lucu, segar, mudah diingat, nakal menyentil. Akan tetapi, harus diakui, parikan pelesetan juga sering saru, jorok, merangsang saraf erotik.
Untuk pembahasan ini parikan akan diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: parikan pelesetan dan parikan erotik. Kedua kelompok parikan sama-sama melakukan pelanggaran. Parikan pelesetan melanggar norma estetis sastra, terutama syarat relasi bunyi persajakannya (11a 11b). Parikan erotik sengaja melanggar norma-norma etis kepatutan komunikasi (12a 12b 12c 12d). Meskipun demikian, melanggar atau patuh norma, keduanya cukup berpotensi untuk membuat desain grafis kaos wisata menjadi lebih unik, khas, lucu, dan “menjual”. Harus tetap diingat, urusan laku-tidak laku di pasaran, ini soal kecerdasan penjual membidik tepat calon konsumennya. Tidak usah khawatir, kedua jenis parikan memiliki pangsa pasarnya masing-masing. Anak-anak muda (mahasiswa, ABG, eksekutif muda) dimungkinkan akan menjadi pangsa pasar potensial untuk parikan-parikan ini. Orang-orang tua pun bukan mustahil akan menjadi sasaran bidik pasar kaos yang bersesain parikan ini, terutama orang-orangtua yang berjiwa muda, yang memang agak berbakat “sedikit genit”—atau gampangnya yang ingin “tampil beda” begitulah. Perhatikan kutipan-kutipan:
11a)    Pasa-pasa, adan mahgrib
            Ayooo bukaaa ….
                                                            Musim puasa, terdengar adzan magrib
                                                            Ayo buka
11b)    Nyang Surabaya lali dalane
            Mbaliiik reek
                                                            Ke Surabaya lupa jalannya
                                                            Ya kembali pulang saja
12a)    Pitik kok ditaleni, ya kluruk
            Wong nggitik kok dienteni, ya ngantuk                 (Jupriono 2008)
                                                            Ayam jago kok diikat, ya berkokok
                                                            Wong l bersetubuh kok ditunggu, ya ngantuk
12b)    Sumuk-sumuk keringeten
            Susu dimuk-muk, nek gak keri kebangeten        (Endraswara 2005)
                                                            Panas-panas keringatan
                                                            Susu dipegang-pegang, tidak geli, kelewatan
12c)    Pelem dirubung kepik
            Klecam-klecem ngrogoh tem….bak saja             (Jupriono 2010b)
                                                            Mangga dikerubungi serangga
                                                            Cengar-cengir merogoh tem….bak saja
12d)    Kembang kacang kembang kedhele
            Turu mekangkang ketok dhelene                          (Endraswara 2005)
                                                            Bunga kacang bunga kedelai
                                                            Tidur mengangkang tampak kedelainya
Pembaca budiman sampai di sini mungkin berkesimpulan bahwa parikan itu ternyata jorok dan nakal. Adakah parikan yang lebih serius-religius? Parikan bisa didayagunakan untuk kepentingan apa saja. Untuk nasihat-nasihat dakwah keagamaan pun siap. Parikan religius seperti mini tentu dapat juga diangkat sebagai materi teks desain grafis kaos wisata, katakana untuk membidik pangsa pasar kalangan pesantren, kalangan pendidik, kalangan orangtua. Parikan, pendeknya, “adaaa ajaa!!!” Perhatikan (13a 13b):
13a)    Anak kodhok aja dibanting
Malah-malah ingonana
Anak nyang pondhok maja dipenging
Malah-malah sangonana               
                                                Anak kodok jangan dibanting
                                                Malahan berilah makanan
                                                Anak ke pondok jangan dilarang
                                                Malahan berilah bekal
13b)    Maghrib-maghrib dimari mati
            Lampu-lampu sumetana
            Kabeh wong urip makale mati
            Mumpung durung enggal shalata             (Mun’im dlm. Jupriono 2010b)
                                                            Saat maghrib lampunya padam
                                                            Lampu-lampu nyalakanlah
                                                            Semua orang akan mati
                                                            Mumupung belum mati, segera shalatlah

Tipografi dalam Desain untuk Strategi Pemasaran Kaos Wisata
Dalam konteks visual, maksud komunikasi tersampaikan lewat pilihan, bentuk, ukuran, dan karakter aksara/huruf. Kemajuan pesat teknologi informatika membuat lompatan luar biasa bukan saja bagi perkembangan desain dan pernik-perniknya, tetapi juga bagi tipografi sebagai seni otonom dan sebagai entitas yang menjadi bagian dari orkestra besar  komunikasi. Dalam konteks inilah tipografi dipahami sebagai seni memilih, menyusun, dan mengatur tata letak huruf dan jenis huruf untuk keperluan percetakan dan reproduksi (Maharsi 2013: 2).
Aspek estetik dan komunikasi berperan sangat penting dalam desain apa pun termasuk dalam kaos wisata. Estetika bukan saja tentang bagaimana membuat huruf yang baik dan bagus sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang terkandung dalam disiplinnya, tetapi juga penataannya dan kemudian juga berkaitan dengan media (kaos wisata) yang akan dipakai sebagai wadah show off dari sebuah karya (cf. Robinovitz 2006). Kompromi keselarasan dan harmoni sangat diperlukan dan menjadi dasar perancangan huruf dalam kaos wisata. Dari sisi komunikasi, tipografi yang tercipta harus mampu menerjemahkan konsep yang diembannya sekaligus keindahan yang tervisualisasikan lewat karakter hurufnya selaras dengan konsep keseluruhan rancangan desain grafis kaos wisata tersebut.
Dalam konteks desain grafis kaos wisata, tipografi harus juga dipahami sebagai persoalan yang menyangkut prose yang benar dan hasil final yang estetik serta mampu berkomunikasi dengan efektif. Konsep tersampaikan secara visual ataupun makna yang tersirat di baliknya sebagai suatu kesatuan utuh dan menarik secara visual-estetis dan tentu saja komunikatif (Robinovitz 2006). Jika dikembalikan kepada gagasan desain kaos wisata, tipografi dikonkretkan sebagai seni mendesain, mencipta, memilih, memilah, menata dan mengorganisasi huruf dalam segala aspek ketentuan yang meliputi dirinya dan berkaitan dengan estetika serta komunikasi yang efektif karena mampu mewakili konsep dan inti pesan yang disampaikan melalui karakter dan kharakteristik hurufnya (Maharsi 2013: 5).
Jika dilakukan anatomi, garis imajiner guidelines, ruang counter-counterform, bagian ascender-descender, garis strokes dan pertemuannya, bentuk huruf, terminal dan serif, kontras stroke tebal-tipis, sudut tekanan, serta rasio x-height dan set width, dalam totalitas tipografi sebagai komponen penting desain grafis kaos wisata.
Perlu ditekankan di sini bahwa efektivitas tipografi yang dilakukan dalam mendesain grafis kaos wisata akan diukur langsung dari apakah produk final kaos wisata disukai dan dipilih untuk dibeli pasar. Menurut perhitungan ilmiah-estetis tipografi, parikan lebih pas ditulis dengan karakter Time New Romance, misalnya. Maksudnya melalui anatomi pilihan ini pas. Akan tetapi, ketika di pasar—atau katakanlah dalam sebuah survai pemasaran—ternyata publik tidak suka, atau angkanya hanya kecil (kurang dari 30%, misalnya), jangan dipaksakan ketepatan anatomi topografis tersebut. Jika ternyata pemakaian karakter Extrangelo Edessa lebih diminati, harus ada kebesaran hati untuk mengubah pendirian. Demikian juga dalam memilih bentuk huruf (kapital, kecil, campur) (lihat tabel) baik akan dipasang pada bagian depan kaos, belakang kaos, ataukah keduanya. Pakar tipografi (Indiria Maharsi atau Tova Robinovitz) boleh bilang apa saja, tetapi sekali survai membuktikan sebaliknya, harus ada keberanian untuk memodifikasi tipografi dalam desain grafis.


Gaplek Pringkilan
Wis Tuwek Petakhilan


GAPLEK PRINGKILAN
WIS TUWEK PETAKHILAN


gaplek pringkilan
wis tuwek petakhilan


Begitulah, seluruh pernik dan kerumitan kalkulasi tipografis dalam merancang desain grafis kaos wisata hanyalah alat, sarana, dan bukan tujuan akhir sebuah aktivitas ekonomi-industri kreatif. Oleh karena itu, harus dipahami langkah-langkah agar produk kaos wisata laku dijual, seperti disarankan oleh www.kerjausaha.com, (2013) (cf. Sujatmiko 2014) sebagai berikut.
Pertama, memenuhi kebutuhan pasar. Secara umum, konsumen memerlukan produk yang “SIMPLE” (satisfy-memuaskan; interesting-menarik; meaningful-bermanfaat; productive-mampu membuat pembelinya produktif; long lasting-tahan lama, awet; entertaining-menghibur). Tidak sulit dikatakan di sini bahwa industry kreatif kaos wisata berdesain parikan jelas memenuhi semua keinginan konsumen ini. Jika tidak seluruhnya, paling tidak ada 3 syarat terpenuhi untuk produk kaos wisata yang akan ditawarkan.
Kedua, memastikan produk bernilai. Nilai-nilai ini menyangkut kenyamanan dipakai, keindahan estetis, trend fashion, yang lazimnya secara alamiah akan berujung pada nilai gengsi sosial. Bila muatan nilai ini terlihat oelh konsumen, produk akan cepat popular, dan biaya promosi bisa ditekan.
Ketiga, menawarkan sesuatu yang unik. Yakinlah dalam hal ini: produk kaos wisata berdesain parikan itu unik, lain dari yang lain, spesial, dan pastilah memancing minat konsumen. Mereka yang berkesadaran budaya lokal tinggi, yang sedang mengejar kearifan local Jawa, pastilah akan merekomendasikan kaos wisata berdesain parikan sebagai preferensi utama belanja cenderamata.
Keempat, memasuki pasar dengan nama yang tepat. Nama dalam hal demikian akan menjadi tanda pengenal terhadap sebuah produk. Saran umum yang lazim diberikan untuk ini adalah: nama harus simpel, gampang diingat, enak didengar, dan berasosiasi pada jenis produk dimaksud. Tidak ada yang dapat dikatakan untuk langkah terakhir ini, sebelum seseorang membuktikan memproduksi dan memasarkan kaos wisata berdesain parikan.

KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dapat ditarik berdasarkan paparan di muka. Pertama, kaos wisata berdesain grafis tekstual kata-kata unik dan lucu ada di banyak kota di Indonesia, tetapi yang memanfaatkan tradisi lisan parikan belum ada, maka perlu keberanian memulai produksi kaos wisata berdesain parikan. Kedua, banyak sumber parikan dapat dimanfaatkan, baik parikan karya cipta seniman ludruk, pencipta lagu campursari, maupun parikan klasik serta parikan pelesetan dan erotik karya orang per orang, baik yang terlantunkan dalam pertunjukan maupun yang terekam dalam kaset, CD, DVD, maupun internet. Ketiga, ada bermacam-macam parikan yang dapat dieksplorasi sebagai materi desain grafis kaos wisata, dan setiap macamnya memiliki pangsa pasarnya sendiri menurut perhitungan tipografi dan kesesuaian norma. Untuk memasarkan produk kaos wisata ini, diperlukan syarat: memenuhi kebutuhan pasar, memastikan produk bernilai, menawarkan sesuatu yang unik, dan memasuki pasar dengan nama yang tepat.
Paparan ini bersifat pendahuluan belaka. Sebagai penulis, kami bertiga mencoba memperhitungkannya dari disiplin komunikasi visual dan pemasaran, sesuai dengan asal program studi masing-masing. Harus jujur dikatakan di sini bahwa penulis belum pernah mencoba memproduksi kaos wisata dengan desain parikan yang telah kami paparkan di muka dengan menggebu-gebu. Meskipun demikian, layak diapresiasi studi Suweca (2011) dan Kemenparekraf (2007) bahwa industri kreatif apa pun sangat potensial dan amat vital dalam memberdayakan perekonomian nasional. Malahan, dalam ajang Debat Capres 2014 yang abru lewat kedua capres-cawapres (Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta) sama-sama memberi perhatian serius pada masa depan industri kreatif di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, Rifki. 2014. “Jadi, Apa Itu Industri Kreatif?”. http://careernews.web.id/issues. Akses 12 Agustus 2014. Akses 12 Agustus 2014.
British Council. 2011. “What Are Creative Industries and Creative Economy”. http://creativecities.britishcouncil.org.
Choiron. 2011. “Jogja Punya Dagadu, Bali Punya Joger dan Surabaya Punya CakCuk”. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/09/02/jogja. Akses 12 Agustus 2014.
Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi LIsan Jawa, Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi.
Florida, Richard. 2004. The Rise of Creative Class and How It’s Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life. NY: Basic Books.
Howkins, John. 2007. Creative Economy, How People Make Money from Ideas. London-NY: Penguin Books Ltd.
Jupriono, D. 2008. “Puisi Parikan pada Jula-juli Ludruk dalam Perspektif Marxian Zima”. Parafrase Vol 08, No. 01, Februari: 18-25. http://sastra-bahasa.blogspot.com. Akses 12 Agustus 2014.
Jupriono, D. 2010a. “Revitalization of Parikan Oral Tradition in Secondary Orality Era”. Makalah The 2nd International Symposium on Urban Studies: Arts, Culture and History, FIB Unair, 23 Januari 2010.
Jupriono, D. 2010b. “Marginalisasi dan Revitalisasi Parikan di Era Kelisanan Sekunder”. Atavisme Vol. 13, No. 2, Desember: 137-271.
Maharsi, Indiria. 2013. Tipografi, Tiap Font Memiliki Nyawa dan Arti. Jogjakarta: CAPS.
Robinovitz, Tova. 2006. Exploring Typography. NY: Thomson/Delmar Learning
Sujatmiko, Tomi. 2014. “Menparekraf Kembangkan Produk Kreatif Berbasis Seni Budaya”. http://krjogja.com/read/218940/menparekraf-kembangkan-produk-kreatif-berbasis-seni-budaya.kr Akses 12 Agustus 2014.
Sutarto, Ayu. 2004. “Parikan: Pantun Jawa yang Sarat Tuntunan, Kritik Sosial, dan Gurauan Erotis”, hlm. 47-64, dlm. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam dan Indonesia.  Jember: Kompyawisda & Pemprov Jatim.
Suweca, I Ketut. 2011. “Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal”. Bali Post, 21 Nopember 2011. www.balipost.co.id/mediadetail.php?module= Akses 12 Agustus 2014.
Kerjausaha.com. 2014. “Empat Langkah Membuat Produk yang ‘Menjual’”. www.kerjausaha.com/2013/05/4-langkah, akses 12 Agustus 2014.

Posting Komentar